Heart Break

Kwon Soonyoung

Aku baru saja dibangunkan oleh seorang pria. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha menyesuaikan dengan cahaya ruangan. Aku memandangi orang yang membangunkanku. Ah, dia adalah pria yang tadi diajak bicara oleh Midori.

"Semua kelas sudah selesai, apa Anda menunggu seseorang?" tanyanya sopan padaku.

Aku menyapukan pandangan ke penjuru ruang. Benar. Sudah tidak ada orang lain selain kami berdua. Kalau begitu, Midori juga sudah pulang? Aih, bodohnya aku. Kenapa aku harus pakai acara ketiduran segala sih?

"Apa ada Tanaka Midori?" tanyaku akhirnya untuk memastikan.

Pria di depanku mengernyitkan dahi. "Maksudmu Tanaka Midori guru kelas origami?" Aku mengangguk. "Dia sudah lama pulang. Lagipula kelas terakhirnya sudah selesai sejak pukul setengah sembilan."

Benar dugaanku. Kalau begini, mungkin aku memang tidak punya kesempatan untuk bertemu dengannya.

Tiba-tiba pintu kaca depan membuka dengan gerakan cepat. Aku dan pria ini menoleh serentak. Kedua bola mataku membulat melihat siapa yang datang. Dengan terburu-buru aku menghampiri gadis itu.

"Midori, kau kenapa?" tanya pria berkacamata di sampingku. Ugh, aku kalah cepat.

Midori berjalan tertatih menuju kursi terdekat dengan bantuan pria itu. Aku jadi merasa diabaikan. Dalam diam, aku mengikuti keduanya dari belakang.

"Apa ada barang yang tertinggal? Kau bisa menitipkannya padaku," omel pria itu sambil mengamati Midori dari atas hingga bawah.

Midori menatapku tajam. Ia mengacungkan telunjuknya ke ujung hidungku.

"Dia," ucapnya dingin. "Dia yang tertinggal."

Baik aku maupun si pria berkacamata terdiam. Kami merasa takut oleh nada dingin yang dikeluarkan gadis ini.

"Ternyata kalian saling kenal. Baru saja dia menanyakan tentang dirimu padaku," kata pria itu membaca suasana. "Kalian bisa bicara berdua setelah kau menceritakan kejadian apa yang menimpamu hingga kau terlihat seperti gembel"

Midori tampak berusaha mengatur napas. Ia mengesampingkan anak-anak rambutnya yang berantakan akibat dari lari-lari. Gadis ini tampak enggan melihat ke arahku.

"Aku sudah sampai di rumah dan baru membuka pesan dari bocah ini yang mengatakan akan menungguku disini," ucapnya dalam satu tarikan napas. "Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari menuruni tangga dari unit apartemenku dan menaiki bus yang kebetulan belum berangkat. Aku kembali berlarian setelah turun di halte tujuan. Dalam perjalanan aku hampir saja tertabrak mobil karena meleng. Aku mendapat luka ini karena jatuh terjerembab ke tanah ketika sedang berusaha menghindari mobil itu."

"Kau gila!" omelku tak tahan mendengar ceritanya yang nyaris celaka. "Kau bisa meneleponku dan menyuruhku untuk datang ke apartemenmu. Jangan sakiti dirimu seperti ini."

Midori menatapku sinis. "Aku tidak kepikiran."

Aku mengacak rambut frustasi. Dasar gadis keras kepala.

"Apa kau punya kotak P3K?" tanyaku pada pria berkacamata yang diam saja melihat pertengkaranku dengan Midori.

Tanpa banyak bicara, ia berbalik badan dan masuk ke suatu ruangan. Tak sampai semenit ia sudah kembali dengan barang permintaanku di tangan kanannya.

"Sepertinya kalian punya masalah pribadi," ucap pria itu. Ia menoleh ke arah Midori. "Kalian berdua bicaralah. Aku akan memeriksa ruangan di lantai atas."

Sepeninggal pria itu, aku dan Midori saling tatap dalam diam. Midori menatapku dengan pandangan dinginnya, sedangkan aku masih belum berhasil meredakan rasa amarah akibat kebodohan yang dilakukan oleh gadis itu. Akhirnya aku mengalah. Aku menghela napas panjang dan berlutut di hadapan Midori.

"Aw," erang Midori ketika aku meraih pergelangan kaki kanannya yang mulai membengkak.

"Kakimu sudah mulai bengkak," ucapku ngeri melihatnya. "Apa sebaiknya kau aku antar ke rumah sakit?"

"Jangan berlebihan, aku hanya terkilir," elaknya.

"Kau tidak tahu sampai dokter memeriksa dan memastikannya," balasku tak mau kalah.

"Aku sedang tidak mood berdebat, Kwon Soonyoung," ucapnya dengan tegas.

Aku mendongak. Pandangan mata kami bersirobok.

"Baiklah," ucapku pada akhirnya. "Kalau begitu, harus segera dikompres sebelum bengkaknya bertambah parah."

"Di dalam sana ada spray dingin pereda nyeri," ucap Midori memberi tahu.

Aku menurutinya. Kusemprotkan spray itu pada pergelangan kakinya yang terluka. Aku membersihkan luka lecet lainnya di kaki dengan cairan antiseptik.

"Tanganmu," pintaku.

Midori mengangkat kedua alisnya, tampak tidak mengerti. Tanpa banyak bicara aku menarik tangannya dan memeriksanya dengan seksama. Benar saja, ada beberapa luka di tangannya. Gadis ini jatuh seperti apa sih? Jangan bilang dia berguling-guling di tanah. Jadi banyak luka ditubuhnya dan bajunya tampak sangat kotor seperti ini.

"Kau bilang, kau ingin bicara," ucap Midori memecah keheningan.

Tanganku mengambang di udara. Lima detik keheningan yang mencekik. Aku kemudian meneruskan pekerjaanku membersihkan luka-luka di tubuh Midori.

"Aku ingin menjelaskan semuanya padamu," kataku mantap. Tak ada balasan dari Midori. Aku mendongak. Kulihat gadis itu tampak tenang menunggu kelanjutan kata yang keluar dari mulutku.

Aku berdiri dan membereskan peralatan P3K. Aku sudah selesai mengobati Midori. Aku duduk di kursi yang berhadapan dengan Midori.

"Aku akan mengatakan semua hal dari awal hingga akhir. Tanpa ada yang perlu di tutupi. Kuharap kau mau mendengarkannya sampai selesai. Setelah itu, aku akan menyerahkan keputusannya padamu," kataku mantap.

Midori menarik napas. Ia menoleh ke arah lain. "Bicaralah. I am listening."

---

Tanaka Midori

Sesuai dugaanku, Soonyoung tidak pernah benar-benar suka padaku pada pandangan pertama. Walaupun aku sudah mengantisipasinya, tetap saja aku masih tidak siap begitu mendengar penuturan langsung dari Soonyoung yang mengatakan bahwa aku hanyalah pengganti sosok Somi di hidupnya.

Bodohnya aku jatuh cinta pada orang yang salah.

Setelah Soonyoung selesai membeberkan semuanya, aku hanya mampu terpaku di tempat. Hingga Atsuhiko kembali dari membereskan ruangan di lantai atas. Ia menyuruh kami segera pergi dari workshop jika tidak ingin dikunci dalam ruangan.

Soonyoung memaksaku untuk diizinkan mengantar pulang. Menyerah, aku membiarkannya mencari taksi untuk kami. Ia bahkan tidak membiarkanku menggunakan kaki untuk berjalan. Alhasil, aku selalu berada di punggungnya. Soonyoung menggendongku.

Kami turun dari taksi di area depan komplek apartemenku. Soonyoung lagi-lagi memaksaku untuk naik ke punggungnya. Lelah berdebat, aku langsung menurut dan membiarkannya jalan membawa beban tubuhku.

Ditengah perjalan pulang, salju turun. Soonyoung menghentikan langkahnya sejenak dan menengadah ke atas. Aku ikut terpana dengan pemandangan ini. Aku mengulurkan tangan kiri ke atas dan berusaha meraih butiran salju.

"Indah ya," ucap Soonyoung. "Ini salju pertama yang aku nikmati bersamamu."

Aku melirik wajahnya dari samping. Salah. Saat malam tahun baru aku menungguinya di rumah sakit, malam itu turun salju pertama di Seoul. Aku menikmati indahnya white new year eve bersama pria ini. Aku bahkan memberikan ciuman ringan di bibirnya ketika Soonyoung masih tertidur. Kenangan manis. Namun aku akan menyimpannya seorang diri, Soonyoung tidak perlu tahu.

"Dingin. Ayo cepat masuk," perintahku pada Soonyoung.

---

Ini bukan kali pertama Soonyoung masuk ke kediamanku. Tapi pria itu terlihat canggung seperti baru pertama kali datang. Huh, padahal dulu ia menganggap tempat ini sebagai rumahnya. Ia bebas mau melakukan apa pun yang ia suka.

"Aku akan mengambilkan minum untukmu," ucap Soonyoung berdiri dari duduknya. "Jangan berdiri! Kalau kau butuh sesuatu tinggal bilang padaku."

Soonyoung berlalu ke arah dapur. Ia menggeledah isi lemari pendinginku dan mengeluarkan dua botol air mineral dingin dari dalamnya. Ia ikut bergabung kembali bersamaku di ruang tengah.

"Terima kasih," ucapku menerima pemberiannya. "Kau tidak perlu repot-repot. Aku tidak mau kau merawatku seperti ini hanya karena dulu aku pernah melakukan hal yang sama padamu."

Soonyoung terdiam. Sepertinya ucapanku benar-benar pedas dan menusuk hatinya.

"Aku melakukannya murni karena aku ingin melakukan hal ini," balasnya. "Seperti yang sudah aku bilang. Aku menyukaimu, Midori."

Aku mendengus kesal. Bosan dengan kata-kata itu.

"Jangan bicara hal itu seperti sesuatu yang remeh dan tidak berarti," ucapku mengingatkan. "Aku cukup cerdas untuk tidak jatuh ke lubang yang sama."

Soonyoung menghela napas. "Kau berhak untuk marah padaku. Kau boleh memukulku sepuasmu."

Aku menatapnya nyalang. Memang pria ini pikir semudah itu untuk kembali mengulang dari awal? Memang dia pikir aku ini cewek apaan?

"Kau... tidak tahu perasaanku," ujarku pelan, nyaris tidak terdengar. Aku menunduk, berusaha keras agar pertahananku tidak runtuh. "Tidak akan pernah tahu."

"Midori...," panggil Soonyoung panik. Ia bergerak dan memilih duduk di sampingku.

"Stop!" cegahku sebelum pria ini berhasil menarikku masuk dalam pelukannya. "Jangan mendekat, please. Jangan."

Soonyoung diam di tempat. Air mataku jatuh. Awalnya hanya setetes dua tetes, lama-lama tangisku pecah. Aku membiarkan diriku mengeluarkan semua emosi yang selama ini aku pendam seorang diri. Sedangkan Soonyoung hanya dapat duduk di sampingku, tidak bisa berbuat apa-apa.

Ugh, aku benci diriku sendiri. Kenapa aku harus menangis di depannya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top