First Night
Kwon Soonyoung
Aku tidur terlentang dan menarik selimut hingga sebatas dada. Walaupun lampu kamar sudah dimatikan, masih terdapat sumber cahaya lain dari lampu belajar di atas meja. Takuo sedari tadi duduk tenang menghadap buku pelajarannya yang terbuka. Karena itu juga aku jadi tidak enak untuk tidur duluan, walaupun sebenarnya aku sudah lelah dengan perjalanan menuju Osaka ini.
"Kau belum tidur?" tanya Takuo.
Aku menoleh. Adik Midori itu melihatku dengan tatapan datarnya. Akhirnya, aku mengalah. Aku bangkit memasang posisi duduk mengarah padanya.
"Mungkin sebentar lagi," jawab Soonyoung.
"Atau karena kau tidak terbiasa tidur di lantai?" cecar Takuo. "Kau tidur saja di atas? Di kasurku?"
Soonyoung menggeleng cepat. "Bukan begitu. Aku memang butuh sedikit lebih banyak waktu untuk membiasakan diri dengan lingkungan. Kalau masalah tidur di lantai begini, aku juga sudah terbiasa sedari dulu."
Takuo terdiam beberapa saat. Ia akhirnya menutup buku pelajaran di meja dan berlalu naik ke kasurnya. Aku terperanjat. Jangan-jangan anak itu memutuskan untuk selesai belajar karena tidak enak denganku.
"Ceritakan tentang dirimu. Aku harus tahu seseorang yang mungkin akan menjadi kakak iparku kelak," katanya. Takuo merangkak masuk ke balik selimutnya dan tidur terlentang. Melihatnya begitu, aku menjadi santai dan kembali berbaring di matras tipis yang digelar tepat di samping dipan Takuo.
"Apa yang kau mau tahu tentang diriku?" ucapku melempar pertanyaan pada Takuo.
"Keluargamu," jawab Takuo singkat. Ya ampun, entah memang nada bicaranya yang songong atau bagaimana, sedari tadi aku hanya mendengar nada sinis dari setiap ucapannya.
"Hm, keluargaku," aku menimbang-nimbang.
Sebenarnya aku jarang menceritakan perihal keluarga pada orang yang baru saja aku kenal. Bukan apa-apa. Hanya saja, hidup sebagai seorang idol, aku harus sangat berhati-hati. Terlebih lagi aku tidak ingin kehidupan keluargaku diusik oleh publik. Yah, tapi sepertinya Takuo bukan tipe orang yang akan repot mengganggu kehidupan orang lain. Kecuali kehidupanku.
"Aku anak kedua dari dua bersaudara. Aku punya kakak perempuan yang sudah berkeluarga dan kini menjadi ibu dari dua orang anak. Selama ini aku mendapat banyak cinta dari keluargaku."
Aku mendengar gumaman panjang dari Takuo. Dengan was-was aku menunggu kalimat balasan yang akan dikeluarkannya.
"Kau benar tertarik dengan kakakku? Dalam artian ingin menjadi kekasihnya?"
Mendengar pertanyaan itu, aku secara mantap langsung menjawabnya dengan kata iya. Lagipula kenapa harus dipertanyakan lagi? Usahaku sudah sampai mengunjungi Osaka seorang diri demi bertemu dengannya. Selama tiga bulan ini pun aku berusaha mengenal gadis itu lebih jauh. Tidak ada sesuatu yang mampu menghentikan langkahku ini.
"Kakakku...," kali ini nada bicara Takuo terdengar sangat serius. "Dia tidak pernah berpacaran sebelumnya. Kakak adalah sosok pekerja keras. Sedari dulu, ia selalu berusaha menyelesaikan pendidikannya dengan baik. Bahkan saking seriusnya bekerja, Kak Midori tidak memikirkan sedikitpun masalah percintaan."
Aku mendengarkan dengan penuh perhatian. Dari ulasan Takuo tentang kakaknya barusan, aku bisa melihat bahwa Takuo sangat menyayangi Midori.
Kudengar Takuo tertawa kecil. Wah, anak ini bisa tertawa juga rupanya!
"Kak Midori pandai dalam segala hal. Cuma satu yang tidak bisa ia mengerti," Takuo sengaja memberi jeda panjang dalam kalimatnya. Aku menunggunya dengan sabar. "Cinta. Dia bodoh dalam hal itu. Jadi tolong maafkan kakakku, jika nanti kau kerepotan mengurusnya."
Hei, tunggu dulu. Apakah aku sudah mendapat izin dari Takuo untuk mendekati kakaknya? Apakah aku sudah bisa bersorak senang?
"Tapi tetap saja, menurutku kau bukan orang yang tepat untuk kakakku."
Sial, baru saja aku mau terbang. Dasar pemberi harapan palsu!
"Aku ini pria yang teguh pada pendirian," balasku mencoba meyakinkannya. "Lihat saja nanti! Aku akan membuktikannya padamu."
"Ya, ya, ya," Takuo kini kembali menggunakan nada bicara sombong itu. "Sekarang tidurlah. Kalau kau benar-benar ingin membuktikan ucapanmu, kuberi kau kesempatan. Kak Midori terbiasa bangun pagi pukul lima dan langsung pergi ke pasar untuk mengambil bahan makanan."
Pandanganku berbinar. Besok pagi aku punya misi khusus. Membantu pekerjaan Midori layaknya pria sejati.
"Bolehkah aku membantunya?"
Takuo memberikan tatapan sinis padaku. Pria itu bergerak ke sisi terjauh tempat tidur dariku. Alih-alih menjawab pertanyaan, Takuo malah memberikan punggungnya padaku. Wah, kurangajar sekali bocah ini!
--
Tanaka Midori
Bunyi alarm mengganggu tidur. Tanganku meraih ponsel di nakas samping tempat tidur. Bagai terlatih, aku mematikan bunyi bising dari benda kecil itu tanpa membuka kedua mata. Aku mengulet kecil di atas kasur sebelum bangkit berdiri.
Pagi tiba. Saatnya aku menjalani rutinitas harianku.
Sambil mengucek mata, agar mampu tetap terbangun, aku berjalan terseok keluar kamar. Langkah kakiku sudah terprogram untuk langsung membawa ke dalam kamar mandi. Aku membasuh wajah dengan air dingin yang mengalir. Usaha itu sukses membuat kesadaranku tertarik dari alam mimpi. Tak mau banyak membuang waktu, aku segera menyikat gigi dan mencuci muka.
Hanya butuh waktu kurang dari lima menit, aku sudah siap untuk berangkat 'bekerja'. Aku menutup pintu kamar sepelan mungkin, tidak ingin membangunkan orang-orang rumah. Setelah mengambil kunci mobil dari tempat penyimpanannya, aku melangkah menuju pintu dari arah ruang tamu. Satu-satunya akses untuk keluar rumah dari arah depan.
Pandanganku menangkap bayangan seseorang yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Aku berjalan mengendap. Setahuku tidak ada orang lain di rumah ini yang sudah bangun pada pukul lima pagi.
Ah, ternyata Soonyoung. Aku menarik napas lega begitu tahu siapa gerangan manusia itu.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku heran.
Pria bermata sipit itu tersenyum. Kedua matanya makin menghilang.
"Aku ingin jalan-jalan pagi," jawabnya riang.
Aneh. Padahal langit di luar belum menampakkan semburat mentari sedikit pun. Atau Soonyoung sedang berbohong? Jangan-jangan Takuo mengusirnya dari kamar sehingga dia tidak bisa istirahat dengan nyaman.
"Untuk apa? Kau pasti masih lelah sehabis konser dan perjalanan kemarin," ucapku.
Bagai tuli, pria itu malah bangun dari posisi duduknya. "Kelihatannya kau mau pergi pagi-pagi begini. Kalau begitu, aku ikut ya."
Tuh kan. Aku tidak didengarkan.
Akhirnya aku membiarkan Soonyoung untuk ikut denganku. Lagipula aku sedang tidak ingin berdebat. Yah, sekali-kali pergi pagi bersama seorang teman sepertinya menyenangkan juga. Aku jadi tidak terlalu kesepian.
--
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top