Feeling Guilty
Kwon Soonyoung
Setelah pulang dari rumah sakit, aku diizinkan tinggal selama seminggu di rumah. Kakakku yang tinggal di Jeju sampai membawa anak-anaknya pulang ke rumah kami di Hanam untuk menjengukku. Selama aku dirawat, kakakku memang belum sempat menengok. Ia masih repot mengurus keponakan terkecilku.
Sejak insiden aku menangis tiba-tiba di rumah sakit, ibu jadi memberiku perlakuan ekstra. Ya, aku memang belum cerita mengenai hal yang mengusik pikiranku saat itu. Ibu pun tidak memaksaku untuk membuka semuanya. Apalagi aku baru saja pulih dari luka-luka di tubuh.
"Kak, aku mau menggendong Jihee," pintaku pada kakak. Aku bosan bermain seorang diri di dalam kamar.
"Kau yakin bisa menggendongnya?" tanya kakakku sangsi.
"Bisa," jawabku yakin. Aku menggerak-gerakkan kedua tangan seperti anak kecil.
"Awas saja kalau kau sampai menjatuhkannya," ucap Minkyung eonnie. "Aku akan ganti menjatuhkanmu dari tempat yang tinggi. Lebih tinggi dari empat meter."
"Hii, seram," balasku meledeknya.
Kakak mencibir tanpa suara. Walaupun begitu, ia tetap membiarkanku menggendong Jihee yang sedang terlelap.
"Jangan terlalu keras mengayunnya, nanti dia bisa bangun lagi," ucap Kakak memperingatkan. "Sepuluh menit lagi, taruh dia di box bayi ya, jika dia sudah benar-benar terlelap."
Aku mengangguk menyetujui. Kakakku itu beranjak dari tempatnya duduk dan berlalu ke dapur. Yup, karena sibuk mengurus tiga anaknya yang tidak pernah bisa diam, Kakakku jadi belum sempat makan siang.
Aku mengayun pelan Jihee di dalam pelukanku. Kupandangi wajahnya yang imut dan sangat mirip dengan ibunya. Yah, berarti secara otomatis, putri mungil ini juga mirip denganku. Pertemuan pertamaku dengan Jihee adalah malam ketujuh sejak ia lahir. Saat itu ia terlihat benar-benar ringkih dengan wajah yang sangat merah. Setelah berumur hampir satu bulan, Jihee mulai terlihat menggemuk dan lebih tembam.
Aku sering kali menggunakan alasan untuk menengok kakak dan Jihee di Jeju pada para member dan manajer. Padahal, aku pergi bermalam di kediaman Somi. Jika mengingat masa-masa itu, aku jadi menyesal. Andaikan aku benar-benar menggunakan waktuku untuk mengunjungi keluarga, pasti aku bisa melihat bagaimana Jihee tumbuh dan tidak akan memiliki rasa menyesal sebesar ini.
Hingga kini aku belum bisa menghubungi Midori. Gadis itu tidak pernah mengangkat teleponku dan terus mengabaikan pesan yang kukirim. Setelah membaca surat bersamaan dengan hadiah yang ia siapkan untukku, aku tentu saja tidak bisa tinggal diam. Bahkan rasanya aku ingin langsung membeli tiket menuju Jepang. Namun baik orangtua maupun pihak agensi melarangku karena kondisi fisikku yang belum pulih benar. Aku benar-benar frustasi karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Kabar perselingkuhanku tersimpan rapat pada Mingyu dan Bora. Untunglah mereka tidak membeberkan kepergian Midori dari sisiku pada Jihoon maupun Hyesung. Bisa digorok leherku kalau mereka berdua tahu bahwa aku bermain api di belakang Midori.
Aku sempat memberanikan diri menanyakan kabar mengenai Midori pada Hyesung. Kekasih Jihoon itu bilang, tidak ada yang aneh padanya. Midori memang membuat rencana untuk memberiku kejutan dengan datang di acara musik akhir tahun tanpa memberi kabar. Setelah kupaksa, Hyesung akhirnya menceritakan bagaimana antusiasnya Midori merencanakan semua hal. Mulai dari beli hadiah, hingga booking kamar hotel untuk menikmati malam tahun baru bersamaku. Namun, rencana tinggallah rencana. Kejadian naas itu menghancurkan semuanya.
Aku berusaha keras mencari tahu mengapa Midori bisa tahu bahwa aku berselingkuh. Setelah bertanya pada Somi, ternyata mereka berdua sempat bicara melalui telepon saat aku masih tidak sadar. Bodohnya aku. Jadi sejak hari pertama aku dirawat di rumah sakit, Midori sudah tahu kejahatan yang aku lakukan. Namun, gadis itu tetap saja merawatku seperti tidak ada apa-apa. Ia mengesampingkan rasa sakit hatinya.
Aku tertegun. Kalau sudah tahu, mengapa Midori pura-pura tidak tahu? Ugh, sejauh aku mengenal Midori, gadis itu memang terlalu dewasa dan terlalu bijak dalam mengambil tiap keputusan. Jangan-jangan ia berharap aku sendiri yang membukanya? Ia memberiku waktu untuk berterusterang padanya. Apa itu berarti dia memberikan kesempatan kedua padaku?
Aku menggeleng pelan. Kepalaku terasa mau pecah karena memikirkan masalah ini terus-menerus dan hanya bisa menerka-nerka. Yang paling sakit adalah, aku tahu bahwa aku yang salah, namun aku tidak bisa meminta maaf padanya.
Hubunganku dengan Somi merenggang. Aku hanya bilang padanya bahwa aku butuh waktu sendiri untuk memulihkan diri. Aku hanya ingin berada di sekitar anggota keluargaku.
"Soonyoung, ada temanmu datang," seru Kakakku dari ruang depan.
Aku berdiri dan berjalan ke arah sumber suara. Masih dengan Jihee di dalam dekapanku. Gadis mungil ini menggeliat sedikit dan kembali tertidur setelah menemukan posisi nyamannya. Aku iri, aku ingin kembali menjadi bayi lagi.
"Siapa, Kak?" tanyaku pelan, takut membangunkan Jihee.
"Aku hyung," seru Mingyu. Pria jangkung itu menunjukkan cengiran lebarnya padaku. "Tidak keberatan kan, kalau aku yang datang menjenguk?"
Aku tersenyum. Dengan bahasa isyarat, aku menyuruhnya masuk. "Kau langsung saja masuk ke kamarku. Aku mau meletakkan Jihee di tempat tidurnya," bisikku pada Mingyu.
---
Setelah sukses menidurkan Jihee di kasurnya, aku bergegas ke kamar. Aku membuka pintu perlahan dan melihat ke dalam kamar. Dongsaeng-ku itu sedang tidur-tiduran di atas kasur sambil membaca komik. Mulutnya sibuk mengunyah potongan melon yang disuguhkan kak Minkyung.
"Ya! Kalau mau makan jangan di atas tempat tidur," seruku mengingatkan sambil memukul pelan lengan Mingyu. "Kau mengotori kasurku."
Mingyu menunjukkan cengiran tak berdosanya dan beranjak duduk di kursi meja belajar. Ia meletakkan kembali komik yang dibaca ke barisan buku lainnya di lemari.
"Kau sepertinya sudah sembuh, hyung."
"Aku memang sudah sembuh," balasku singkat. Tanganku bergerak menyuap potongan melon ke dalam mulut.
"Kalau sakit hati, juga sudah sembuh?"
Aku menoleh. Kutatap dongsaeng-ku tanpa bicara. Mingyu menaikkan kedua alisnya. Ia terlihat sangat santai dalam menanyakan hal yang menurutku paling sensitif saat ini.
"Hyung," kali ini Mingyu memilih duduk di sampingku. Ia menunjukkan wajah seriusnya. "Sejak kapan?"
Aku mengerti arah pembicaraannya. Walaupun ia tidak memperjelas, aku yakin dia sangat penasaran dengan cerita sesungguhnya. Karena selama ini tidak punya teman cerita, akhirnya cerita mengenai Somi-Soonyoung-Midori mengalir begitu saja dari mulutku. Mingyu mendengarkan dengan seksama dan tidak memotong sedikit pun.
"Terus sekarang perasaanmu bagaimana?" tanya Mingyu lagi.
Aku menunduk, tidak bisa menjawab. Aku saja tidak yakin dengan perasaanku saat ini.
"Entahlah, saat bertemu kembali dengan Somi, aku merasa harus menepati janjiku yang dulu. Namun, kalau melihat bagaimana perasaan Midori tumbuh padaku seiring waktu, aku juga memiliki tanggung jawab karena aku lah yang pertama kali mengajarkannya untuk jatuh cinta padaku," ucapku panjang lebar.
Aku mengacak rambut frustasi. "Saat bersama Somi, aku merasa bersalah padanya karena aku sudah mendua dan tidak setia memegang janjiku untuk menunggunya. Saat bersama Midori, aku merasa bersalah karena menyia-nyiakan perasaan tulusnya yang telah ia berikan padaku."
"Kau terlalu serakah, hyung," komentar Mingyu. "Menurutku, Midori sudah memberimu waktu untuk memilih. Tapi, karena kau terlalu plin-plan, Midori yang membuat pilihan itu untukmu. Ia mengorbankan perasaannya sendiri karena menganggap bahwa kau lebih bahagia bersama Somi," lanjut Mingyu. "Sekarang, setelah Midori pergi, apa kau benar-benar bahagia dengan Somi?"
Aku terdiam. Sibuk mencerna kata-kata Mingyu. "Entahlah, aku tidak tahu. Aku merasa diriku tidak pantas untuk bahagia."
"Ei, jangan begitu," tukas Mingyu cepat. "Jangan lari dari masalah, Hyung. Kau harus memilih salah satu atau semua orang akan tersakiti."
"Kalau boleh jujur," ucapku lirih, tidak berani mengangkat wajah. "Kali pertama bertemu Midori, aku tertarik karena dirinya sangat mirip dengan Somi. Secara fisik dan wajah. Aku memang brengsek. Karena obsesiku terhadap Somi, aku 'memaksanya' untuk jatuh cinta padaku. Aku menganggap dua gadis itu adalah orang yang sama. Padahal Somi dan Midori berbeda, jauh berbeda."
"Jujur hyung," sahut Mingyu lagi. "Selama pacaran dengan Midori, apa kau sungguh-sungguh menganggapnya sebagai pengganti Somi semata?"
Aku diam. Tidak bisa menjawab. Tidak tahu jawabannya.
"Dan, selama bersama dengan Somi, apa perasaanmu padanya masih sama dengan perasaanmu ketika dulu kalian pacaran?"
Mingyu berdiri dari posisi duduknya ketika selama lima menit aku hanya terdiam. Ia meraih coat-nya yang tersampir di sandaran kursi dan mengenakannya kembali.
"Pikirkan matang-matang sebelum mengambil keputusan," kata Mingyu. "Jangan lupa istirahat. Lusa kau akan kembali ke asrama untuk persiapan promosi Jepang kita, kan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top