Dating? Hmm

Tanaka Midori

Libur musim semi telah berakhir. Semester baru telah dimulai. Namun bukan berarti hal itu membuat restoran menjadi sepi. Memasuki bulan April, semakin banyak turis yang datang ke Jepang untuk menikmati keindahan bunga sakura yang bermekaran. Otomatis, aku makin tidak punya waktu untuk beristirahat. Apalagi bala bantuan tenaga dari adik-adikku sudah tidak ada, mereka mulai sibuk dengan sekolahnya.

Pukul setengah satu dini hari aku bahkan baru selesai mengurus segala administrasi restoran. Ayah dan Ibu sudah kembali sejak satu jam yang lalu. Pegawai terakhir yang bertugas membersihkan lantai atas pun sudah berpamitan pulang lebih dulu dariku. Aku memang memiliki tugas tambahan untuk menghitung segala pemasukan dan pengeluaran restoran tiap akhir bulan.

Aku membuka pintu depan dan kembali menutupnya tanpa suara. Sebagian besar lampu di rumah sudah padam. Aku meletakkan tas selempang di sofa ruang tengah dan berlalu menuju dapur. Aku mengambil air mineral dingin untuk menyembuhkan rasa haus kerongkongan.

"Kakak," aku berjengit kecil. Ternyata Takuo belum tidur. Ia berlalu menuju kulkas dan mengambil satu kotak es krim rasa cokelat dari dalam sana.

"Kau belum tidur? Besok harus bangun pagi lho," ucapku mengingatkan.

Ah, perlu digarisbawahi. Jika sudah memasuki masa sekolah, aku memiliki pekerjaan tambahan tiap pagi. Membangunkan para adik yang tidurnya hampir mirip seperti kerbau, sangat susah untuk dibangunkan.

"Aku kan memang selalu belajar tengah malam," ucap Takuo santai sambil melahap es krim. "Kakak baru selesai?"

Aku mengangguk. Tangan kananku bergerak memijat pundak yang terasa berat. "Maka dari itu, jangan terlalu larut tidurnya. Kau membuat pekerjaanku bertambah berat dengan susah dibangunkan."

"Keisuke lebih parah dariku," ucapnya membela diri dengan membawa-bawa nama adik keduaku. "Dia bahkan walaupun sudah tidur sejak pukul sembilan, tetap akan susah untuk dibangunkan."

Aku tertawa kecil mendengar penuturannya. Yah, memang benar sih. Aku hanya merasa lucu melihat tingkah adik-adikku yang menggemaskan. Saling mengejek satu sama lain.

Aku memiliki tiga orang adik, semuanya laki-laki. Yang pertama Takuo. Tahun ini ia akan berusia tujuh belas tahun. Usia kami memang terpaut jauh, sekitar sepuluh tahun, namun hal itu tidak membuat hubungan kami canggung. Aku tetap bisa bermain sesuai dengan anak seusianya. Bisa dibilang aku cukup gaul hingga tidak ketinggalan zaman.

Keisuke adalah anak ketiga. Dibandingkan Takuo, dia cenderung lebih pendiam dan introvert. Ia banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar, entah mengerjakan apa di komputernya. Selama ia memiliki hobi yang baik dan tidak mengganggu anak lain, aku sih mendukungnya. Toh, dia masih bisa berinteraksi dengan anak-anak sebayanya.

Urutan terakhir, adalah Masuo. Dia masih berumur dua belas tahun dan sedang berada di fase-fase menggemaskan. Tidak ingin dianggap sebagai anak kecil. Duh, padahal pipinya yang tembam itu tidak pernah gagal membuatku gemas untuk mencium atau sekadar mencubitnya.

Umur ketiga adikku memang tidak terlalu jauh, paling hanya selisih dua sampai tiga tahun. Dulu, ibu hamil aku ketika masih berusia dua puluh tahun. Sepuluh tahun hidup sebagai anak tunggal, akhirnya datanglah Takuo. Tak lama kemudian Keisuke dan Masuo juga hadir. Suasana yang dulu sepi, menjadi ramai dengan kehadiran para pangeran di keluarga kecil kami.

"Tetap saja kau juga susah dibangunkan," ucapku meledek Takuo. Dengan jahil, aku mencuri sesuap es krim darinya. "Ada makanan seenak ini di kulkas kenapa kau tidak membaginya dengan kakakmu ini, hm?"

Takuo menatapku dengan pandangan aneh. Ia kemudian menggeleng. Heran, biasanya dia selalu tidak mau kalah dan membalas semua ucapanku. Namun kali ini ia mengalah dan bertindak seperti tidak mendengar apa-apa.

Tidak menyerah, kali ini aku memonopoli seluruh kotak es krim di hadapannya. Aku menyendokkan es krim ke dalam mulut dengan semangat sembari memeluk kotak di depan dada. Aku menyesal sedetik berikutnya. Ini terlalu dingin. Brain freeze.

"Nah, kan. Pelan-pelan saja, Kak," kata Takuo. Ia mengambil alih kotak es krim dari tanganku dan meletakkannya di atas meja. "Pantas saja kau tidak punya kekasih kalau makanmu serakus ini."

Aku ingin sekali menyumpal mulut Takuo dengan es krim saat ini. Sembarangan kalau bicara!

"Aku tidak punya kekasih karena aku terlalu sibuk bekerja," sangkalku setelah terbebas dari rasa dingin.

Takuo mengamatiku dalam diam. Aku sampai merinding dibuatnya. Sebenarnya apa sih yang sedang ia pikirkan? Aku memilih berpura-pura sibuk memakan es krim daripada meladeninya.

"Kakak," panggilnya lagi. Aku hanya bergumam kecil sebagai jawaban. "Kau sedang tidak dekat dengan siapa pun kan? Dalam konteks mencari pacar."

Mataku membulat. Aku tersedak. Tuh kan, pikiran Takuo memang aneh.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyaku balik sambil menyeka sudut mulut.

"Kakak kan sudah 27 tahun. Siapa tahu kakak sedang memikirkan pernikahan dan mencari pasangan hidup," ucap Takuo terdengar tenang.

Aku tertawa kecil, kikuk. "Haha. Kau ini bicara apa sih. Aku sedang fokus mengumpulkan uang. Tidak ada kata pacaran dalam kamus hidupku. Hal itu hanya membuang-buang tenaga."

Takuo mengernyitkan dahi. Ia menatapku tak percaya dengan kedua mata yang dipicingkan. "Benarkah?"

"Yup," jawabku mengangguk mantap. "Makanya kau juga belajar saja dengan benar, jangan memikirkan masalah remeh seperti itu dulu," aku menepuk pelan bahu Takuo. "Kau sudah berjanji padaku untuk masuk Universitas Tokyo. Jangan membuatku kecewa, mengerti?"

Takuo diam saja. Aku anggap dia mengerti dengan apa yang baru saja aku sampaikan. Sebelum bangkit berdiri, aku mencuri sesuap es krim lagi dan menjejalkannya ke mulut. Aku mengusap pelan puncak kepala Takuo dan berlalu mengambil tas di ruang tengah.

Saat aku kembali melewati dapur untuk menuju kamar, Takuo memanggilku. Aku berhenti sejenak dan memberikan tatapan bertanya dengan menaikkan kedua alis. Mulutku masih sibuk untuk mencairkan es krim.

"Terima kasih, Kak. Maaf sudah merepotkanmu selama ini," ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.

Aku mengulum senyum. Sepertinya adikku yang satu ini sedang masuk masa pubertas. Makanya, sikap dia jadi aneh dan mudah berubah-ubah seperti sekarang.

"Nevermind, Takuo-kun," balasku. "Kalau kau mau tidur, pastikan untuk mencuci peralatan yang kau pakai dan mematikan lampu dapur."

---

Kwon Soonyoung

Aku mengamati video dance yang baru saja aku ambil semenit yang lalu. Aku berdecak puas dengan hasilnya. Kalau untuk urusan menari aku tak malu untuk berbangga diri. Ini bidang keahlian yang aku tekuni lebih dari sepuluh tahun.

"Hyung, lihat ini," seruku memanggil Sungmin hyung. "Kalau bagus, aku mau mengunggahnya ke akun YouTube Seventeen."

Manajer Seventeen itu menurut dan berjalan menghampiriku yang duduk dilantai bersandar pada dinding cermin. Ia berjongkok di hadapanku. Dengan senang hati, aku menyodorkan ponsel yang kugunakan untuk merekam.

"Bagus. Kirimkan padaku dan akan aku upload sore nanti," ucapnya tampak puas. "Kau juga sudah lama tidak menunjukkan tarian baru pada para fans."

Aku meringis mendengarnya. Akhir-akhir ini bisa dibilang aku memang lebih jarang menyapa para Carat daripada hari biasa. Disamping karena sibuk menyiapkan pertunjukan untuk bulan Mei nanti, showcase anniversary Seventeen, aku juga lebih memilih bersantai dengan main game.

Sambil menunggu balasan Midori, pastinya. 

"Oh ya, Hyung," ucapku lagi. Sungmin menyuarakan kata apa dengan mulutnya, namun pandangannya tak lepas dari layar ponselku yang masih menunjukkan video dance tadi. "Bulan Juli nanti, kita ada jadwal di Jepang, kan?"

"Iya, di Nagoya," jawabnya. Ia mengembalikan ponselku setelah berhasil mengirim video dance cover tadi. "Kau pasti ingin mencari waktu untuk dapat bertemu dengan Tanaka, kan?"

Aku hanya dapat menunjukkan sederet gigi putihku pada Sungmin. Memangnya pikiranku semudah itu untuk dibaca ya?

"Oh, ayolah, hyung," bujukku. "Bolehkan aku menghabiskan waktu liburku setelah itu disana? Toh Jun dan Minghao juga langsung kembali ke China."

"Memang kau tidak mau pulang ke Gyeonggi-do?" tanyanya lagi menginterogasi.

Aku menggeleng. "Kakakku sedang hamil anak ketiganya. Ayah dan Ibu juga memilih tinggal disana. Di rumah jadi tidak ada orang sama sekali, deh," jelasku. "Tenang saja, hyung. Aku akan minta izin pada orangtuaku. Kau juga tidak perlu menemaniku disana."

"Ya! memangnya kau bisa hidup sendirian di Jepang?" pekik Sungmin tidak percaya.

Aku mengangguk mantap. "Serahkan semuanya padaku, hyung! Aku pasti bisa kembali ke Seoul dengan selamat."

Sungmin menghela napas panjang. Ia akhirnya mengalah. "Baiklah. Lakukan sesukamu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top