Back with Her
Kwon Soonyoung
Aku menahan gigil di depan gedung apartemen milik Somi. Kumasukkan dalam-dalam kedua tanganku ke saku jas. Ugh, tidak mempan. Aku jadi mengutuk diri sendiri karena lupa tidak membawa sarung tangan.
"Young-ie, maaf lama menunggu," seorang gadis berhenti tepat di depanku. Ia menunduk dengan kedua tangan di lutut, tampak terengah-engah karena berlarian.
"Kau lari-lari?" tanyaku terkejut.
Somi berdiri tegak. Ia tersenyum lebar dan mengangguk. "Iya, aku takut membuatmu menunggu lama."
"Ya ampun, padahal aku tidak apa-apa," ucapku merasa bersalah.
Somi menggeleng kuat. "Pekerjaanku tambah berat karena harus membuat laporan akhir tahun. Aku sampai lupa waktu dan ketinggalan jadwal bus."
"Terus kau kemari naik apa?" tanyaku. Kuambil tas dari tangannya ketika ia tampak kesulitan mencari akses card.
"Naik taksi," jawabnya sambil meringis. "Tidak apa mahal sedikit. Kan jarang-jarang kau mengajak ketemu duluan."
Aku tersenyum. Sebelah tanganku bergerak tanpa sadar untuk mengelus kepalanya.
"Ya! Tanganmu dingin sekali!" pekik Somi.
Aku buru-buru menarik tangan dan berusaha memasukkan kembali ke dalam saku. Namun Somi bergerak lebih cepat. Ia menggenggam telapak tangan kananku dan memenjarakannya di antara kedua telapak tangan mungil miliknya.
Iya sih, kalau begini bukan hanya tanganku saja yang menghangat. Bahkan wajahku ikut merona dan jantungku jadi berdebar sangat keras.
"Sudah lebih baik, kan?" tanya Somi sambil melepaskan tanganku.
Yah, aku merasa kehilangan.
"Ayo cepat masuk, sebelum liftnya menutup. Di apartemenku ada penghangat ruangan," ajaknya.
"Siap. Laksanakan," seruku semangat.
--
Aku duduk canggung di sofa. Tanganku sudah berkali-kali membolak-balikkan lembaran majalah musik milik Somi, namun tidak ada hal menarik di dalamnya. Aku lebih sering mencuri pandang ke arah dapur. Somi tampak sedang sibuk memasak makan malam kami.
Jengah karena menunggu lama, aku memutuskan untuk ikut gabung bersamanya di dapur.
"Jangan kemari, kan aku sudah bilang bisa melakukan ini semua sendiri," ucap Somi bersungut-sungut.
Aku terkekeh. "Kau kan koki yang payah. Entah sampai kapan aku harus menunggu untuk makan pasta."
Awalnya Somi tampak cemberut karena aku ejek. Namun sedetik berikutnya ia tertawa dan tampak malu.
"Baiklah, bisa minta tolong potongkan wortel yang ada disana?" akhirnya Somi menyerah.
Aku menurut. Sebelum ikut memasak, aku mencuci tangan terlebih dahulu. Aku kemudian bergerak menuju meja dimana wortel dan alat pemotongnya sudah tersedia.
"Tunggu dulu," cegah Somi.
Aku menoleh keheranan. Gadis itu tampak sibuk mencari-cari sesuatu dari dalam lemari. Ia mengeluarkan celemek dari dalam sana dan memakaikannya padaku.
"Kau harus berhati-hati agar bajumu tetap bersih. Aku tahu kau pasti tidak bawa baju ganti," ucapnya sambil menalikan celemek di area leherku.
Jarak kami terlalu dekat. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya di bahuku. Oh my god, Somi berada dalam jarak yang pas untuk kupeluk!
"Nah selesai," ucap Somi sambil menepuk kedua bahuku. Ia melihatku dengan tatapan bangga. "Kau terlihat imut dengan celemek bergambar Pororo."
Somi tertawa. Aku ikut menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alhasil aku juga ikut tertawa, walaupun tidak ada hal yang lucu. Tawa Somi memang virus yang membahayakan, bisa menular dengan sangat cepat.
--
Aku terbangun di pagi hari karena ada sinar matahari yang mengusik tidurku. Aku mengulet sebentar. Badanku pegal-pegal semua. Mataku sontak membuka lebar karena aku hampir saja jatuh ke bawah.
Aku tidur di sofa? Pandanganku menyapu seluruh isi ruangan. Aku kemudian ingat bahwa semalam aku menginap di apartemen Somi dan memilih tidur di sofa.
Kulirik pintu kamar Somi, belum ada tanda-tanda pemiliknya telah bangun. Aku kembali berbaring di sofa dan menatap langit-langit ruangan. Menikmati hari libur ditengah kesibukan pekerjaan.
Pikiranku melayang ke malam tadi. Setelah menghabiskan spaghetti tuna bersama, aku dan Somi mengobrol banyak hal. Keceriaan gadis itu membuat rasa canggungku menguap entah kemana. Aku jadi mengingat masa lalu, dimana aku dan Somi masih akrab.
Kami berdua adalah teman sekelas pada masa SMA. Dengan jarak sekolah-dorm yang jauh, aku tidak punya terlalu banyak teman. Ditambah aku harus langsung kembali ke kantor agensi untuk berlatih. Menjalani hidup sebagai seorang trainee sekaligus seorang siswa tidaklah mudah. Aku juga tidak bisa pindah begitu saja ke sekolah yang lebih dekat dengan dorm seperti member lain. Bisa dibilang, kondisi perekonomian keluargaku kurang baik pada masa-masa itu.
Aku dan Somi mulai dekat saat kami ditugaskan untuk mengerjakan suatu proyek sains bersama. Pada saat itu, Somi adalah salah satu murid yang memiliki otak cemerlang di sekolah. Aku pun heran mengapa ia memilihku sebagai partner kerja kelompoknya, padahal bisa dibilang aku tidak terlalu banyak membantu akibat jadwal latihanku yang padat. Namun gadis itu kekeuh. Alhasil aku hanya bisa berterimakasih atas bantuannya.
Kedekatan kami tidak berhenti saat tugas sains itu selesai. Aku dan Somi justru makin sering menghubungi satu sama lain. Dari sanalah aku menikmati perhatian-perhatian kecil dari seorang gadis yang selalu menanyakan kabarku tiap hari. Somi memang orang yang menyenangkan, siapa saja bisa mudah dekat dengannya.
Akibat rangkaian acara variety show pre-debut Seventeen, aku jadi sering ambil izin sekolah. Ada masa ketika aku harus mempromosikan grup-ku di jalanan Itaewon. Aku tidak menyangka Somi datang untuk menonton pertunjukkanku. Ia bahkan membawa beberapa teman dari kelas kami untuk ikut menyaksikannya.
Dengan segala bentuk perhatiannya, hatiku jadi tercuri. Aku mulai memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku. Untunglah, ia juga memiliki rasa yang sama. Kami berpacaran di akhir-akhir masa sekolah.
Namun, apa yang kami impikan tidak berjalan dengan lancar. Walaupun Somi bisa dibilang sebagai anak cerdas dan rajin, ia berkali-kali gagal ujian universitas. Harapannya memang tinggi sih. Dia mengejar posisi sebagai mahasiswa jurusan hukum di universitas nomor satu Seoul. Ia bahkan tidak mau pilihan lain selain jurusan itu.
Aku yang sudah debut, makin bekerja keras untuk membesarkan nama Seventeen. Hubungan kami sedikit merenggang akibat kesibukan masing-masing. Namun disela-sela jadwal berlatih, aku diam-diam masih menghubunginya. Kami bahkan sesekali jalan bersama ketika malam tiba. Sebisa mungkin aku menutupi hubungan ini karena pihak agensi melarang kami untuk kencan di awal-awal masa debut.
Dua tahun berkecimpung di dunia hiburan, aku memutuskan mencoba mendaftar universitas jurusan seni. Dalam sekali coba, aku berhasil. Kehidupan kampusku pun dimulai. Disela-sela belajar aku harus bekerja keras untuk menyiapkan comeback Seventeen. Tahun 2017 adalah awal mula era Seventeen berjaya. Tentu bukan hal yang mudah untuk melakukan semuanya sekaligus. Dalam menyusun skala prioritas, Somi jadi berada di urutan ketiga.
Hingga suatu malam, Somi mengajakku bertemu. Baru kali itu aku melihat sisi dirinya yang gelap. Ia merasa rendah diri karena tidak kunjung menembus universitas, sedangkan aku sudah sukses dengan pilihan jalan hidupku.
Aku tidak menyangka, pertemuan itu merupakan perpisahan kami. Ia berbicara terus terang bahwa ia tertekan dengan fame yang aku kini miliki. Somi merasa tidak pantas. Baginya, pacaran denganku hanyalah membawa keburukan baginya.
Mendengar hal itu, tentu saja aku sedih. Setelah bertengkar selama seminggu penuh, akhirnya aku mengalah. Bukan berarti aku menyerah. Kami berpisah untuk kebaikan masing-masing. Somi bahkan berjanji akan kembali padaku jika ia sudah berhasil meraih impiannya. Sedangkan aku berjanji untuk setia menunggunya.
Aku tidak tahu kedepannya bahwa menepati janji bisa menjadi hal yang teramat berat bagiku.
Setahun kemudian, kudengar kabar bahwa Somi berhasil masuk jurusan yang ia inginkan. Kadang-kadang kami masih bertukar kabar. Namun, tak lama kemudian, gadis itu menghilang dari hidupku. Ia menjadi Somi yang tak dapat kuraih. Ia sengaja menjauh dariku untuk fokus dengan pendidikannya. Bahkan ia mengganti nomornya agar aku tidak bisa menghubunginya.
Aku akhirnya menyerah. Hanya dengan modal memegang janji, aku menunggunya kembali. Aku bahkan tidak mengganti nomorku selama bertahun-tahun, takut jikalau gadis itu kembali mencariku.
"Melamun?"
Wajah manis Somi muncul tiba-tiba di hadapanku. Lesung pipitnya tercetak sempurna. Sapaan indah di pagi hari.
Aku balas tersenyum padanya. Semoga saja pilihanku tidak salah. Kedatangan Somi kembali ke kehidupanku pasti ada maknanya. Aku akan menepati janjiku terhadap gadis ini.
"Morning, Somsom," ucapku memberi sapaan.
Somi tampak tertegun sesaat. Ia kemudian tertawa kecil dan menghadiahiku ciuman ringan di bibir. "Morning, Young-ie."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top