Please, I Need to Grow Faster! (5)
Minji memandangi layar ponselnya. Sedari kemarin Hansol mengiriminya banyak pesan yang tidak ia baca sama sekali. Bahkan puluhan telepon masuk dari pria itu juga diabaikannya. Minji hanya membaca satu pesan dari Sofia yang mengucapkan permintaan maafnya karena tidak bisa ikut mengantar ke bandara sebelum ia berangkat ke Italia. Sepertinya Hansol belum cerita apa-apa ke adiknya itu perihal kejadian kemarin.
Sekarang masih pukul lima sore. Dua jam lagi ia sudah harus naik ke atas pesawat. Lagi-lagi Minji menghembuskan napas panjang. Keduaorangtuanya yang ikut mengantar ke bandara sampai bingung dibuatnya. Tidak seperti biasa, anak semata wayangnya itu terlihat sangat gugup.
"Kwak Minji!"
Sebuah seruan membuat Minji mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang masih terus-terusan berdering. Kedua matanya melebar melihat siapa yang memanggilnya. Ia kembali mengarahkan tatapannya ke layar ponsel. Nama itu masih terpampang disana, namun si penelepon kini sudah berdiri dengan napas terengah-engah di hadapannya.
"Kalau tahu sedang ditelepon kenapa tidak kau angkat sih?" gerutu orang itu kesal.
"Hansol Oppa?" Minji secara refleks menyebutkan nama orang yang sedari kemarin menghantui pikirannya.
"Iya, ini aku," kata Hansol sambil menampilkan sederet gigi putihnya. Wajah kesalnya sudah menghilang entah kemana. "Aku takut kau sudah masuk ke ruang tunggu dan tidak bisa mengantarmu pergi. Maaf, jadwal pemotretannya mundur satu jam dari seharusnya."
"Untuk apa Oppa kemari?" tanya Minji yang masih belum terbangun dari keterkejutannya.
"Tentu saja untuk mengantarmu. Aku harus memberimu semangat agar kau bisa membawa pulang medali emas nantinya."
Minji masih terpana. Ia tidak mengeluarkan satu kata pun untuk membalas perkataan orang di hadapannya. Gadis itu membiarkan Hansol bercuap-cuap sendiri mengenai bagaimana khawatirnya ia karena sedari kemarin tidak berhasil menghubungi Minji.
"Oh, ini ya kakak Sofia yang sering Minji ceritakan?" sebuah suara menarik perhatian kedua orang itu. "Ah, perkenalkan saya Ibu Kwak Minji."
Hansol segera membungkuk hormat ke arah orang yang ia sinyalir sebagai kedua orang tua Minji. "Maafkan saya karena tidak melihat Om dan Tante tadi. Perkenalkan saya Hansol Vernon Chwe, kakak Sofia."
"Tidak masalah kok, jangan dipikirkan," seru Ayah Minji sambil menjabat tangan dan menepuk-nepuk bahu Hansol. "Sepertinya kau panik karena takut Minji sudah masuk ke dalam."
"Maafkan anak ini ya, Hansol. Dia memang begitu. Ia akan berpura-pura tidak peduli jika berada di dekat orang yang dia su...," ucapan Ibu Minji menggantung di udara.
"Ibu," seru Minji panik. Ia takut ibunya itu akan membuat suasana antara dirinya dan Hansol kembali canggung. "Ehm, sepertinya aku dan Hansol Oppa mau membeli minum dulu di kafe terdekat. Pesawatku masih lama boarding-nya. Ayah dan Ibu tunggu saja disini. Kami tidak akan pergi terlalu lama."
Setelah mendapat izin dari keduanya, Minji segera melangkahkan kakinya pergi. Hansol mengangguk sopan ke arah ayah dan ibu Minji sebelum terburu-buru mengejar gadis itu yang sudah agak jauh di depannya.
"Ya, Kwak Minji!"
Minji tidak memperlambat langkahnya. Ia tetap berjalan memasuki sebuah kafe disana. Hansol hanya pasrah mengikuti. Setelah memesan sebuah ice americano dan segelas cokelat panas, mereka berdua kini duduk saling berhadapan.
"Kau masih marah karena kejadian kemarin?" tanya Hansol akhirnya memecah keheningan.
Minji menggeleng, "Aku tidak marah kok, Oppa. Anggap saja hal kemarin itu tidak pernah terjadi."
"Tidak bisa," kata Hansol tegas. Ia berdeham kecil sebelum melanjutkan. "Kemarin kau menyatakan perasaanmu yang sesungguhnya padaku. Bagaimana bisa aku melupakannya?"
Wajah Minji memerah mendengarnya. Ia memainkan cangkir isi cokelatnya dalam diam.
Hansol menghela napas berat. "Maafkan aku karena tidak menyadari perasaanmu. Aku kira ekspresi malu-malu yang selama ini kau tunjukkan karena kau adalah fans berat diriku." Minji membelalakkan matanya terkejut. Tahu darimana pria di hadapannya ini kalau ia adalah bias Minji. Seperti mengetahui isi pikiran Minji, Hansol menjawab singkat. "Sofia menceritakan semuanya padaku."
Ugh, gadis itu benar-benar tidak bisa dipercaya, rutuk Minji dalam hati.
"Untuk perasaanmu, maaf aku tidak bisa membalasnya sekarang," lanjut Hansol lagi.
Walaupun Minji sudah tahu akan jawaban itu, tetap saja ia merasa ada palu godam yang menghantam dadanya secara telak. Realita tidak seindah mimpi. Anehnya, ia justru merasa lega. Minji mengangkat wajahnya hingga ia kini berhadapan dengan cowok berwajah bule tersebut. Gadis itu kini bisa tersenyum lepas.
"Aku sudah menduga Oppa akan menjawab seperti itu. Terima kasih."
Melihat senyuman Minji yang penuh dengan kesedihan, membuat hati Hansol sakit. "Maafkan aku, Minji-ya. Aku tidak bermaksud mempermainkanmu dengan memberikan perhatian lebih. Bodohnya aku malah terus-terusan bersikap manis hingga membuatmu suka padaku."
"Jangan menyalahkan diri sendiri seperti itu, Oppa. Ini kan perasaanku, aku yang bertanggung jawab dengan perasaanku ini. Lagian tidak ada yang tahu kan kalau aku malah akan benar-benar suka pada idol sekaligus kakak dari sahabatku sendiri?" Minji terkekeh pelan.
Hansol tersenyum. Untuk ukuran anak berusia 12 tahun, Minji terkadang terlihat dewasa. Hansol bahkan malu kepada gadis yang memiliki selisih umur enam tahun dengannya itu. Minji bisa dengan baik mengendalikan emosinya, berbeda dengan Hansol yang cenderung tidak peka bahkan kelewat cuek dengan hal sekitar.
Hansol mengulurkan tangannya ke puncak kepala Minji. Ia mengacak-acak rambut gadis itu. Minji sampai kesal dibuatnya.
"Kau belajarlah dengan giat dan capai cita-citamu. Anak kecil masih harus banyak belajar, bukan sibuk memimkirkan masalah cinta-cintaan."
"Aku bukan anak kecil!" Protes Minji. Kini ia sudah kembali menjadi sosok gadis kecil yang mood-nya sering berubah.
"Okay, aku percaya," kata Hansol dengan senyum lebarnya yang tidak meninggalkan wajah. Ia berhenti menjahili sahabat adiknya itu ketika Minji terus-terusan tampak melipat wajahnya.
"Kwak Minji," panggil Hansol lagi. "Jangan terlalu sering fangirling. Utamakan belajarmu dulu."
"Memang Oppa tahu apaan sih?" cibir Minji pelan hingga tidak terdengar Hansol.
Hansol tahu dirinya sedang diejek, namun ia membiarkan gadis itu. "Kau boleh melakukannya jika sedang bosan, tapi jangan terlalu sering. Kalau disana kau rindu padaku, kau boleh melihat foto-fotoku. Pasti kau banyak menyimpannya di ponselmu kan?"
"Tidak kok," bantah Minji dengan wajah memerah. Bohong.
Hansol berdiri dan menarik kursinya hingga bersebelahan dengan gadis itu. Tangannya dengan cekatan menarik ponsel dari genggaman Minji. Ia mengambil foto selfie dirinya dengan gadis itu. Minji yang belum siap, memasang wajah dengan ekspresi jelek saat difoto.
"Ya! harusnya Oppa bilang dulu kalau mau ambil foto," protes Minji.
Hansol tertawa pelan. "Harusnya kau jujur padaku dari awal kalau kau adalah fans beratku. Pasti sudah lama sekali kau ingin minta foto bersama atau minta tanda tanganku kan?"
"An... aniya," jawab Minji terbata-bata. Sial. Setelah menolaknya, kenapa pria berwajah blasteran ini malah makin menggodanya sih?
Hansol tertawa hingga puas. Ia kemudian tersadar dan memandang ke arah jam di pergelangan tangannya. Raut wajahnya berubah menjadi sedih.
"Kau sudah harus kembali, aku juga harus segera pulang karena masih ada jadwal latihan," kata Hansol dengan tatapan menyesal.
Minji ikut melihat ke arah jam di layar ponselnya. Ia buru-buru menghabiskan isi cangkir cokelatnya yang sudah mendingin. Dalam diam, Hansol mengamati tiap gerakan yang dibuat oleh gadis di sampingnya. Ia tersenyum kecil ketika pandangan mereka bertemu.
Hansol dan Minji kini berjalan bersisian kembali menuju tempat kedua orangtua dan anggota lomba lainnya menunggu. Tidak ada kata yang terucap diantara mereka selama perjalanan dari kafe hingga kini bayangan ayah Minji sudah terlihat dari jauh.
"Minji-ya," panggil Hansol sembari menghentikan langkahnya. Mau tak mau Minji ikut berhenti dan menatap cowok di sebelahnya. Ia hanya mengangkat alisnya dengan tatapan bertanya. "Jaga dirimu baik-baik disana ya."
"Aku hanya pergi selama tujuh hari kok," kata Minji. Hansol menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tampak risau seperti ingin mengucapkan sesuatu. Minji yang menangkap keanehan itu bertanya, "Ada apa Oppa?"
"Eoh.. tidak ada," jawab Hansol pada akhirnya sambil melanjutkan langkah.
"Hmm, Minji-ya," panggil Hansol lagi.
"Ya?"
"Kau harus jaga diri baik-baik. Jangan pedulikan masalah percintaan sebelum kau lulus sekolah," kata Hansol terdengar tegas. "Kau harus menolak cowok manapun yang mendekatimu karena itu akan mengganggu studimu. Dan lagi, jangan pernah mengutarakan perasaanmu terlebih dahulu ke cowok. Itu tugas seorang cowok. Mengerti?"
Minji mengangguk pasrah sekaligus bingung. Hansol terlihat berbeda. Padahal orangtuanya juga tidak melarang dirinya untuk dekat dengan lawan jenis.
"Bagus. Simpan perasaanmu untukku dengan baik ya," kata Hansol lagi. Pria itu berjalan menghampiri kedua orangtua Minji yang sudah menunggu. Ia terlihat berpamitan dengan keduanya.
Apa maksud ucapan oppa tadi? Pikir Minji.
Dilihatnya Hansol sudah akan kembali pergi bersama dengan salah seorang manajer yang daritadi menunggunya. Minji segera mengejar langkah kaki Hansol dan memanggil nama cowok itu.
"Hansol Oppa!" Hansol menyunggingkan senyum manisnya sembari menghadap Minji. "Maksud Oppa tadi apa sih?"
Hansol terkekeh pelan. Ia kembali mengacak-acak rambut gadis di hadapannya. "Kau kembalilah ke ibu dan ayah, mereka sudah menunggumu. Kalau kau sudah sampai kabari aku ya. Semangat lombanya!"
Hansol segera berlalu bersama sang manajer. Meninggalkan Kwak Minji yang hanya bisa memandanginya dengan pandangan bingung. Setelah sadar akan arti ucapan Hansol barusan, gadis itu menangkupkan kedua belah telapak tangan di pipinya yang sudah memanas.
"Hansol Vernon Chew, apa yang sudah kau lakukan padaku?" Pekik hati Minji dengan debaran kencang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top