[WOOZI] Tamu Tak Diundang

Lee Jihoon

Ingin tahu hal menyenangkan yang aku sukai dari hari libur? Bersantai!

Kamis pagi yang menyenangkan. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, namun aku masih bergelung di bawah selimut. Jangan salah sangka. Aku sudah bangun dari tadi, hanya saja aku tidak berani beranjak dari kasur ketika menyadari sebelah tangan Hyesung melingkari perutku bagaikan guling. Gadis itu baru tiba di rumah sekitar pukul tujuh pagi. Tanpa membersihkan diri terlebih dahulu, ia langsung saja menyusup masuk dalam selimut dan terlelap. Sepertinya kekasihku ini benar-benar lelah dari jadwal jaga malamnya.

"Hm," Hyesung mengerang pelan dalam tidurnya. Aku meletakkan ponsel yang sedari tadi bersarang di tangan dan berganti jadi membelai lembut rambut gadis itu.

Hyesung mengerjap-erjapkan matanya lucu. Aku jadi gemas melihatnya. Langsung saja kucuri ciuman singkat dari bibir mungilnya.

"Selamat pagi, Princess!" sapaku dengan senyum lebar.

Wajahnya memerah ketika mendengar sapaanku. Hyesung membenamkan wajahnya di dadaku. Ah, lucunya! Aku menertawakan sikapnya yang kelewat manis.

Gadis itu akhirnya bangun. Ia merentangkan kedua tangannya ke atas dan terduduk. Aku ikut membenahi posisi jadi duduk bersandar di kepala dipan. Game yang sedari tadi aku mainkan di ponsel jadi tampak kalah menarik dibandingkan wajah mengantuk gadis di sebelahku. Mau kulihat berkali-kali pun aku tidak akan bosan!

"Sekarang jam berapa?" tanyanya.

"Sepuluh lebih," jawabku. Sebelah tanganku bergerak merapikan anak rambutnya yang menutupi mata besar Hyesung. "Kau lapar?"

Hyesung mengangguk. Ia mengucek-ucek kedua matanya. "Tapi aku masih lelah."

Aku tersenyum. "Kalau begitu, tidur saja lagi. Aku akan pesankan makanan."

"Mau omelet."

Mendengar permintaan tiba-tibanya, gerakanku berhenti. Jujur saja, aku paling malas kalau disuruh masak. Setiap pagi jika Hyesung sedang tidak mood untuk memasak pasti kami akan memilih untuk pesan antar saja. Atau kalau tidak, kami akan sarapan bersama di kafetaria di lantai bawah gedung apartemen.

Kulihat kedua bola mata gadisku yang tampak memohon. Seperti tokoh kucing pada film animasi Puss in Boots. Ugh, bagaimana aku bisa menolaknya kalau begini?

Aku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. "Mau bantu memasak?"

Hyesung mengerucutkan bibirnya. "Aku mau tidur tiga puluh menit lagi, Oppa. Buatkan aku omelet ya? Please..."

Aku menyodorkan sebelah pipi ke arah wajahnya, meminta imbalan. Bukan mendapat kecupan sesuai dengan yang kuharapkan, gadis itu malah kembali masuk ke dalam selimut. Ah, benar-benar nakal gadis kecil satu ini!

Karena Hyesung sudah bisa dipastikan tidak akan bangun lagi, aku menghela napas. Aku mengecup puncak kepalanya sebelum berlalu keluar kamar. Kalau hanya sekadar omelet dan french toast, sepertinya aku bisa memasaknya sendiri. Semoga saja tidak terlalu asin seperti hasil masakanku tempo hari.

"Selamat tidur, sayang," bisikku pelan sebelum berlalu pergi.

---

Dengan hati-hati aku meletakkan roti yang telah kupanggang ke atas piring. Omelet sudah, roti bakar sudah. Selai! Dengan semangat aku bergegas menuju lemari penyimpanan di atas rak piring. Tanganku mengambil botol selai kacang, blueberry, dan coklat, kemudian meletakkannya di atas meja bar. Kurang sentuhan terakhir. Saat hari kerja, Hyesung selalu butuh asupan kafein di pagi hari. Namun, jika hari libur seperti sekarang gadisku itu sangat suka minum susu rasa strawberry. Aku kemudian berjalan ke arah kulkas, mengambil dua kotak susu dingin dari dalam sana.

Kegiatanku menyiapkan brunch terganggu oleh suara dering ponsel. Dengan kesal, aku meraih benda berbentuk segiempat itu dan menjawab panggilan.

"Halo," sapaku malas-malasan setelah membaca caller id si penelepon.

"Lee Jihoon!" Aku sampai menutup telinga mendengar sapaan salah satu hyung-ku dari seberang. "Kau sekarang ada di apartemen Hyesung kan? Aku akan kesana ya!"

"Ya ya ya!" protesku. Ini hari liburku dan Hyesung, aku tidak ingin ada yang mengganggu kegiatan bersantai kami. "Pulang saja sana ke dorm. Aku ada rencana kencan dengan Hyesung."

"C'mon man," suara Jisoo terdengar tambah menyebalkan. "I miss my sweet little sister. Lagipula definisi kencanmu adalah bermalas-malasan seharian di dalam rumah."

Aku berusaha menahan rasa kesalku dengan tidak berteriak. Kasihan jika Hyesung sampai terbangun dari tidurnya nanti.

"Tidak, tidak," seruku tegas. "Aku tidak menerima tamu pada hari libur."

"Jahatnya...," lenguh Jisoo main-main. "Terlambat! Dalam dua puluh menit aku sudah akan sampai disana! Siapkan makanan yang enak ya."

"Ya!" Belum sempat aku mengeluarkan kalimat protes, sambungan telepon sudah terputus. Dengan kesal, aku menurunkan ponsel dari telinga.

Rekan kerjaku sekaligus seseorang yang sudah dianggap sebagai kakak oleh kekasihku itu terkadang memang menyebalkan. Sikap semaunya sendiri sepertinya tertular dari Jeonghan hyung. Ah, aku jadi ingat. Karena tidak bisa merecoki Jeonghan hyung yang sudah beristri, pasti Jisoo hyung akan mencari mangsa lain sebagai target kejahilannya.

"Pagi-pagi kok sudah marah-marah sih?"

Aku memutar badan. Perasaanku menghangat ketika menemukan senyuman menenangkan dari seorang Han Hyesung. Gadis itu tampak sudah rapi dan bersih. Sepertinya ia mandi dulu begitu bangun tidur.

"Jisoo hyung," jawabku singkat. Aku meletakkan susu kotak dingin di atas meja. "Ayo makan."

Hyesung mengangguk. Ia duduk di salah satu kursi bar dan memandangi masakanku dengan pandangan berbinar. Aku ikut duduk di sebelahnya.

"Terlihat sangat lezat!" ucapnya senang. Ia kemudian menoleh ke arahku dengan mata besar memukaunya.

Aku tertawa kecil, bangga karena masakanku mendapat pujian darinya. Padahal ini hanya menu sederhana yang bahkan anak sd pun bisa menyiapkannya seorang diri.

"Selai kacang dan blueberry jadi satu seperti biasa?" tawarku siap membuka botol selai.

Hyesung mengangguk semangat. Gadisku ini memang suka sekali dengan roti panggang oles selai kacang dan selai blueberry. Menu sarapan yang sudah biasa di negaranya sana, katanya. Namun lidahku tidak terlalu sesuai dengan pilihannya. Terlalu manis.

Aku mengoleskan pesanannya pada dua buah roti. Gadis itu menunggu dengan sabar. Biasanya ia akan ikut menyiapkan sarapan. Tapi hari ini entah mengapa Hyesung terlihat sangat manja. Ya sudah lah, jarang-jarang aku memberinya pelayanan selayaknya tuan putri seperti hari ini.

"Joshua bilang apa?" tanyanya sambil menungguku yang belum juga selesai mengoleskan selai.

"Dia mau kesini," jawabku singkat. Kekasihku ini saking dekatnya dengan Jisoo, ia lebih memilih memanggil dengan nama panggung pria itu, sekaligus nama yang lebih sering dipanggil di keluarga Jisoo. Hyesung juga tidak menambah embel-embel oppa dalam panggilannya. Jika mereka sedang berdua saja, bisa dipastikan keduanya sedang bercakap-cakap dalam bahasa ibu mereka.

Hyesung menegakkan tubuh. "Dia sudah kembali dari LA? Wah, aku sangat merindukannya!"

"Dia kan hanya pulang selama seminggu disana," ucapku terdengar cemburu.

Hyesung terkekeh kecil. "Maaf maaf. Aku juga merindukan oppa kok," aku mengernyitkan dahi mendengar kalimatnya. Sudah seminggu lebih aku menginap di apartemen gadis ini, apa yang ia rindukan lagi? "Karena aku ingin selalu bersama Jihoon Oppa. Minggu depan kalian sudah mulai kegiatan promosi lagi. Pasti akan sangat susah menemuimu."

Aku menyodorkan piring berisi french toast permintaan Hyesung ke hadapan gadis itu. "Kalau begitu, kau temani aku syuting dan pergi ke semua acara saja."

Hyesung memutar kedua bola matanya jengah. "Tidak mungkin aku punya waktu seluang itu."

Aku tertawa. "Ya ya, dokter Han yang sibuk, idol Woozi yang juga sibuk, bersama-sama bekerja keras agar keduanya bisa hidup bersama dengan bahagia di masa depan."

"So cheesy," balasnya malu-malu. Gadis itu berusaha menyembunyikan perasaannya dengan memasukkan potongan roti ke dalam mulut. Aku mencubit ujung hidungnya pelan. Ah, menggemaskan sekali!

---

Kali ini Hyesung ikut membantuku membersihkan peralatan makan yang kotor sehabis sarapan. Pekerjaan ini jadi selesai lebih cepat. Gadis itu bahkan menyuruhku mandi sedangkan ia sendiri membersihkan ruang tengah. Biar bersih katanya. Huh, padahal bilang saja kalau ia sengaja membersihkan rumah untuk menyambut kedatangan Jisoo, lalu untuk menyingkirkan aku yang tidak bisa diandalkan dalam hal bersih-bersih ia menyuruhku pergi mandi.

Tak butuh waktu lama, aku sudah selesai. Sambil mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk, aku mencari-cari keberadaan Hyesung di seluruh penjuru rumah. Ah, ternyata gadis itu sedang berada di lantai dua, tempat favoritnya.

Baru saja aku melangkahkan kaki di anak tangga pertama, terdengar dering interkom. Pandangan mataku sempat bertemu dengan milik Hyesung.

"Tolong ya Oppa," pintanya sembari tersenyum manis. "Itu pasti Josh. Bilang saja pada pihak security untuk membiarkannya naik kemari. Jadi oppa tidak perlu menjemputnya ke bawah."

Aku mengangguk paham. Dengan tiga langkah besar aku berjalan menghampiri interkom yang masih saja berbunyi.

"Biarkan dia naik," ucapku tanpa membuang waktu untuk mendengar perkataan petugas keamanan yang menelepon dari resepsionis bawah.

Hyesung tampaknya sudah selesai membenahi ruang bersantainya di atas. Gadis itu tampak riang menuruni tangga. Bahkan kini dirinya sudah berjalan menuju dapur untuk menyiapkan kudapan kecil sebagai snack untuk Jisoo nanti.

Tak berapa lama kemudian, bel berbunyi. Tanpa menunggu disuruh oleh Hyesung, aku berinisiatif membuka pintu. Sebelum bertemu dengan kekasihku ini, aku akan memberi peringatan terlebih dahulu pada hyungku itu. Setidaknya ia tidak boleh berkunjung lebih dari dua jam hari ini.

Pintu mengayun terbuka. Aku sudah membuka mulut siap mengomelinya. Namun, bukan Jisoo hyung yang kutemui. Dengan alis menyatu, aku mengamati sesosok wanita berambut pirang berdiri di depan pintu. Ia terlihat kesusahan menggeret koper besar di sisinya.

"Hello," sapanya sedikit ragu-ragu. Sepertinya ia juga tidak mengira bahwa yang membuka pintu adalah diriku. "Isn't it Han Hyesung' place?"

Aku tergagap. Ternyata gadis di hadapanku ini hanya bicara menggunakan bahasa Inggris. Mungkin kenalan Hyesung dari LA. Melihat banyaknya barang bawaan gadis itu, dugaanku makin kuat.

"Yes," jawabku kagok. Tiba-tiba kemampuan bicaraku jadi menghilang.

"Oppa, kenapa Josh nggak langsung disuruh masuk sih?" Kudengar suara Hyesung mendekat. Aku menoleh ke belakang. Gadis itu sudah berdiri mematung. Bola matanya yang besar jadi makin besar karena terkejut.

"Temanmu?" tanyaku memecah keheningan.

Hyesung merengut tak suka. Gadis itu dengan kesal menutup kembali pintu yang masih terbuka. Aku tentu saja terkejut dengan perbuatannya. Gadisku ini terkenal dengan sikap menyenangkan dan mudah bergaulnya. Tentu saja perbuatannya tadi mampu membuat sang tamu sakit hati. Hm, mungkin mereka tidak berteman baik.

"Aku tidak kenal dengannya," ucapnya sambil berlalu ke dalam rumah.

Bohong. Kalau dia tidak kenal, pasti dia tidak mungkin bisa merasa sekesal itu hanya dengan memandang wajahnya. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Jujur saja, aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang.

---

Setelah kubujuk beberapa kali, akhirnya Hyesung mau juga menemui 'tamu jauh' dari LA. Gadisku itu benar-benar menyeramkan. Selama bersamanya, aku tidak pernah melihat Hyesung semarah ini. Ia bahkan tidak menganggap keberadaan gadis berambut pirang itu.

Beruntungnya aku ketika Jisoo hyung datang. Sebenarnya, aku sendiri merasa tidak nyaman karena suasana perang dingin sekaligus karena tidak lancar berbahasa Inggris.

Aku makin kalang kabut ketika Hyesung pergi meninggalkan gadis bernama Victoria itu sekaligus mengusirnya pergi. Aku memutuskan untuk mengikuti gadis itu ke kamar. Jisoo hyung menurut saja ketika kusuruh untuk menangani Victoria.

Yup, dari percakapan antara mereka, aku bisa menyimpulkan bahwa Victoria ini adalah calon saudara tiri Hyesung. Aku jadi paham mengapa gadisku bisa semarah ini. Bisa dibilang, perceraian kedua orangtuanya meninggalkan luka yang dalam di hati. Hyesung bahkan butuh waktu bertahun-tahun untuk menerima fakta menyakitkan itu. Ia bahkan sempat ragu untuk kembali menjalin hubungan dengan lawan jenis. Cerita bagaimana kini aku dapat kembali memiliki hatinya, itu semua butuh perjuangan dan kesabaran yang besar.

Sebelum menyusul Hyesung ke dalam kamar, samar-samar aku mendengar percakapan antara Jisoo dan Victoria. Hyung-ku itu mengajak Victoria untuk makan di kafetaria bawah. Untunglah, Jisoo hyung bisa diandalkan dalam waktu genting seperti sekarang. Setelah yakin bahwa tidak ada masalah dengan tamu itu, aku bergegas mengejar Hyesung.

Begitu membuka pintu kamar, aku mendapati Hyesung sedang duduk di kursi meja kerjanya. Ia membaca sebundel dokumen yang kuketahui adalah makalah kesehatan yang sedang ditelitinya. Aku menghela napas panjang. Gadisku ini kalau sedang ada masalah memang sering kali menutupinya dan menjadikan pekerjaan sebagai tempat pelariannya.

"Sayang," panggilku lembut. Hyesung tidak menjawab. Entah sengaja, atau karena sedang tidak ingin diganggu.

Dengan perlahan aku berjalan menghampirinya. Kutarik kepala gadis itu masuk ke dalam pelukanku. Hyesung pasrah. Ia membenamkan wajahnya pada perutku.

"Aku... capek," ucapnya lirih. Akhirnya usahaku setelah lima menit dengan berdiri sambil memeluknya yang sedang terduduk begini terbayarkan.

Aku merenggangkan pelukan. Ia menengadahkan wajahnya hingga pandangan mata kami bertemu. Dengan kedua tangan, aku membingkai wajah manisnya yang tidak pernah bosan kulihat tiap saat.

"Kalau capek istirahat dulu," ucapku sambil tersenyum. "Tidak ada yang memaksamu untuk berlari. Pelan-pelan saja."

Hyesung mengangguk. "Aku sengaja tidak ingin mendengar kabar dari Papa atau Mama karena masih sakit hati dengan keputusan mereka. Tapi kenapa Papa malah mengutus anak barunya untuk menemuiku? Apa orang tua itu sudah tidak memikirkan bagaimana perasaanku sekarang?"

"Kau mau menangis?" tawarku. Ya, selain keras kepala karena selalu menyimpan masalahnya seorang diri, gadisku ini juga sering kali menahan tangis. Padahal tidak ada salahnya menangis jika hal itu bisa membuat perasaan lega.

Hyesung menggeleng pelan. Gadis itu berdiri dari duduknya dan menarik sebelah tanganku menuju ranjang. Hyesung duduk bersandar di kepala dipan. Ia kemudian menepuk-nepuk tempat kosong di sisinya. Paham akan keinginannya, aku menurut. Begitu aku duduk, gadis mungilku ini langsung saja menyusup masuk ke dalam pelukanku. Ia berlaku seperti kucing yang sedang bermanja-manja dengan pemiliknya, mengemis minta pelukan ketika udara dingin.

"Aku mau dipeluk saja. Air mataku sudah kering untuk menangisi masalah yang sama terus-menerus."

Aku memeluknya dalam diam, tidak berani buka suara. Hyesung menarik-narik ujung kausku, memainkannya tanpa banyak bicara. Andaikan saja waktunya sedang tidak tegang seperti ini, sepertinya aku sudah menyasar bibir mungilnya yang terus saja maju satu sentimeter tiap moodnya sedang tidak baik. Namun aku berhasil menahan diri. Lagipula suasana hatinya saat ini sedang sangat mendung.

Dengan sebelah tangan yang tidak untuk menyangga beban gadis di dekapanku ini, aku memain-mainkan rambut hitam lebatnya. Hal itu terbukti membuatnya lebih nyaman. Hyesung menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Belum tentu juga Victoria datang karena suruhan ayahmu," ucapku berusaha membuka jalan pikiran Hyesung.

"Apa lagi alasan yang lebih logis?" sahutnya berusaha mengelak.

"Kau kan pernah cerita kalau hubunganmu dengan Victoria sebelumnya baik-baik saja," ucapku hati-hati. "Ehm, dengan mengesampingkan fakta bahwa ibunya berselingkuh dengan ayahmu."

Hyesung diam saja. Ia tidak mengiyakan maupun mengelak. Walaupun begitu, aku tahu bahwa ia sedang mendengarku secara keseluruhan.

"Hyesung-ah, kau kan sudah dewasa. Kau tahu kenapa aku bisa jatuh cinta padamu? Itu karena sikap terbuka dan pikiran logismu. Kau terlihat mandiri dan kuat. Tapi di sisi lain, aku mau kau tahu bahwa aku selalu siap disisimu setiap saat. Saat ini pun, aku akan selalu berada di pihakmu. Jadi, jangan lagi lari dari masalah karena aku siap membantumu. Okay?" Hyesung diam saja.

Aku mengecup puncak kepala Hyesung pelan. Gadis itu membenahi posisi duduknya.

"Jadi aku harus bagaimana?" tanyanya sambil menatapku dengan mata besarnya yang menyiratkan kebingungan.

Aku tersenyum. Akhirnya Hyesung mulai membuka diri. "Bicara baik-baik dengan Victoria." Aku menghentikan kalimatku, menunggu respon dari gadis itu. Namun Hyesung hanya menatapku, memintaku agar meneruskan ucapan. Aku berdeham kecil sebelum melanjutkan. "Aku yakin Victoria memiliki alasan yang jelas untuk jauh-jauh datang kemari, apalagi dia belum pernah ke negara ini sekali pun sebelumnya. Kau lihat usahanya tadi. Bahkan ia belum mencari penginapan dan langsung pergi kemari. Itu membuktikan bahwa kau memiliki nilai penting dalam hidupnya."

Hyesung menegakkan punggungnya. Sepertinya kalimatku barusan berhasil menyadarkan dirinya. Gadis itu melepaskan diri dari dekapanku. Ia duduk diam sembari bersandar di kepala kasur.

"Mungkin, aku memang harus bicara dengannya," kata gadisku masih terdengar ragu-ragu. "Tapi tidak sekarang. Hatiku masih kesal jika melihat wajahnya."

Aku tersenyum simpul. Sebelah tanganku terjulur untuk menepuk puncak kepala gadisku ini. "Keputusan yang bagus, Han Hyesung."

Hyesung merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat ulahnya yang masuk-masuk ke dalam pelukanku tadi. Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar. Seketika aku teringat dengan barang-barang milik Victoria yang masih ditinggalkan di ruang tengah. Bisa gawat jadinya kalau Hyesung tahu Victoria belum pergi. Buru-buru kususul langkah Hyesung.

Terlambat. Dengan dahi berkerut, Hyesung memandangi koper Victoria yang masih teronggok diam tidak berpindah satu sentimeter pun. Moodnya seketika kembali memburuk. Gadis itu menatap ke arahku dengan tatapan kesal.

"Oppa, aku kan sudah bilang agar menyuruhnya pergi dari sini. Ini apa?" serunya dengan nada yang sedikit naik sambil menunjuk barang milik Victoria.

Jujur saja, aku tidak suka dengan nada bicaranya. Aku mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh. Sebisa mungkin aku menahan diri agar rasa kesalku tidak meluap keluar.

Belum sempat aku membuka bibir untuk menanggapi perkataan Hyesung, dari arah pintu depan kudengar ada seseorang yang memasukkan password. Pasti itu Jisoo hyung. Tentu saja bersama Victoria. Tak sampai semenit kemudian Jisoo dan Victoria sudah menampakkan wajah di ruang tengah. Perang dingin kembali berlanjut.

Hyesung terdengar marah pada Jisoo dan Victoria. Ketika hyungku itu membalas ucapan Hyesung sebagai pembelaan diri, Hyesung terlihat makin gusar. Sejujurnya ketiga orang itu bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Hal itu membuatku tersisih hingga tidak bisa ikut dalam pertengkaran ketiganya. Walaupun begitu, aku dapat menangkap sebagian besar isi percakapan mereka.

Kulihat Victoria menarik koper besar miliknya ke arah pintu depan. Sepertinya ia sudah tidak tahan menerima kalimat-kalimat sinis nan menyakitkan yang dilontarkan Hyesung. Gadisku yang awalnya terdiam karena terkejut, berseru keras. Hal itu berhasil membuat Victoria menghentikan langkahnya. Entahlah, aku juga tidak tahu apa isi kepala gadisku ini.

Hyesung kemudian mengambil kunci mobil miliknya dari atas meja dan melemparkannya ke arah Jisoo. Dengan sigap, ia menangkapnya. Ada raut wajah bingung yang tergambar di wajah Jisoo dan Victoria. Aku pun juga heran.

"Aku pinjamkan mobil untuk kau pulang ke dorm, Josh. Antar juga wanita itu ke hotelnya," ucap Hyesung dingin dalam bahasa Inggris.

Ah, rasanya aku sangat lega mendengar hal itu. Walaupun marah, Hyesung tetap tidak tega untuk membiarkan Victoria pergi sendiri tanpa pengawasan. Gadisku ini menyerahkan tanggung jawab pada Jisoo secara tidak langsung untuk mengawasi Victoria. Aku benar-benar bangga pada Han Hyesung!

Tak lama kemudian, Jisoo dan Victoria berlalu keluar dari apartemen. Hyesung hanya mengamati kepergian keduanya tanpa minat untuk mengantar ke depan sedikit pun. Aku juga terdiam di tempat. Saat kualihkan tatapan melihat wajah Hyesung, disana sudah terdapat aliran air mata. Dengan cepat Hyesung menghapusnya dan menyembunyikan wajahnya dariku.

"Oppa, aku mau sendiri dulu. Jangan ganggu aku," ucapnya lirih nyaris tak terdengar. Ia kemudian balik badan dan masuk ke dalam kamar.

Aku menghela napas panjang. Kali ini aku benar-benar yakin bahwa Hyesung memang butuh waktu seorang diri tanpa interupsi dariku. Kalau aku memaksa, itu hanya akan menurunkan poin kepercayaannya padaku. Lagipula sepertinya Hyesung memang harus menjernihkan pikirannya saat ini. Aku tidak berhak ikut campur.

---

Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Masih belum ada tanda-tanda dari Hyesung untuk keluar kamar. Padahal jam makan siang sudah lama lewat. Aku memberanikan diri mengetuk pintu kamarnya.

"Hyesung-ah!" seruku sedikit berteriak agar terdengar. Setengah menit tidak ada jawaban, aku membuka pintu pelan-pelan.

Kulihat Hyesung sedang meringkuk dengan seluruh badan tertutupi selimut. Aku berjalan menghampiri. Setelah dekat, aku duduk di sisi kasur dekat wajahnya menghadap.

Aku mengelus lembut kepalanya. Kusingkirkan anak-anak rambut yang menutupi sebagian wajah gadis itu. Masih tersisa jejak-jejak air mata. Sungguh, aku tidak tega melihat keadaan seorang Han Hyesung sangat rapuh seperti sekarang ini.

Hyesung membuka kedua matanya ketika menyadari gerakan tanganku. Aku tersenyum manis menyapanya. Gadisku balik tersenyum simpul.

"Mau makan?" tawarku.

"Aku tidak lapar, Oppa," ucapnya dengan suara lirih.

Otakku berputar cepat. Kalau dibiarkan, gadis ini bisa saja tidak makan selama dua hari saat sedang punya masalah seperti saat ini.

"Bagaimana kalau kita makan diluar?" tawarku. "Lagipula hari ini kan memang jadwal kencan kita."

Hyesung terkekeh kecil ketika mendengar usulku. "Tumben oppa mengajak keluar duluan."

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Ganti suasana."

Hyesung bangun dari tidurnya. Gadis itu duduk di hadapanku. "Kencan ya," ucapnya sambil menerawang. "Kalau begitu aku boleh bermanja-manja seharian?"

Aku tertawa kecil. Hyesung sudah mulai kembali menjadi gadis yang aku kenal. "Tentu saja. I am yours, babe."

Hyesung meleletkan lidahnya keluar. Ia mengejekku! "Huu, sekalinya pakai bahasa Inggris cuma untuk godain cewek."

"Kan cuma sama seseorang saja, Han Hyesung," lanjutku.

Hyesung tertawa lagi. Ia kemudian mengangguk-angguk kecil. "Okay, okay. Kita dinner diluar ya, Oppa. Aku benar-benar masih belum lapar. Lagipula aku tidak mau keluar dengan kondisi mata bengkak seperti ini," ucapnya sambil menunjuk kedua kelopak matanya yang memang membesar akibat menangis lama.

Aku mengangguk menyetujui. "Kalau begitu sekarang mau apa?"

"Main playstation bareng!" seru Hyesung. "Tapi sambil dipeluk Oppa."

Kini aku yang tertawa. Hyesung dengan mode manja seperti ini benar-benar membuatku gemas setengah mati. "Iya, iya. Kalau kau mau, aku juga bisa memelukmu sepanjang hari," ucapku setelah tawaku selesai. "Kalau begitu sekarang kau cuci muka dulu saja. Aku siapkan gamenya. Begitu selesai langsung ke ruang tengah. Arrasseo?"

"Okay!" serunya. Dengan semangat gadis itu berlalu menuju kamar mandi.

Melihat tingkahnya, aku hanya geleng-geleng kepala. Setidaknya aku bisa bernapas lega karena Hyesung tidak berlarut-larut dalam masalahnya. Dan... sekali lagi aku peringatkan pada kalian yang menganggap bahwa sikap gadisku ini sungguh labil dan kekanak-kanakan terutama saat menghadapi Victoria. Kalian tidak bisa membayangkan luka batin yang dirasakan Hyesung dari perceraian kedua orangtuanya. Ia bahkan menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab ayah dan ibunya berpisah.

Untuk kalian tahu saja, saat ini pun Hyesung sedang dalam tahap pemulihan traumanya. Hal ini juga yang membuatku menahan diri agar tidak terlihat terlalu memaksakan hubunganku dengannya. Kalau dilihat dari lamanya masa kami berpacaran dengan progressnya, bisa dibilang hubungan kami kemajuannya sangat lambat, bahkan cenderung stagnan. Walaupun aku sangat ingin segera melamar dan menikahinya, tapi aku sadar diri akan keadaan emosi Hyesung yang belum siap untuk menjalani hubungan seserius itu. Berdoa saja semoga kami bisa bersama hingga akhir hayat.

Dan untuk masalah tadi siang, aku yakin suatu saat nanti Hyesung akan membuka diri dan menceritakan masalahnya padaku. Yang harus kulakukan saat ini adalah selalu berada di sisinya. Aku tidak akan meninggalkannya dalam kondisi apapun. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Aku tidak ingin kehilangannya lagi.

"Oppa!" seru Hyesung.

Gadis itu langsung menyusup masuk ke dalam rangkaian tanganku yang sedang memegang joystick. Dengan nyaman, ia menyandarkan tubuhnya pada dadaku. Dengan posisi begini, aku bisa menyandarkan daguku pada puncak kepala Hyesung.

"Kau sudah tidak sabar main, hm?" tanyaku. Hyesung hanya terkekeh kecil. Ia meraih joy stick lainnya.

Ya. Semakin lama aku menghabiskan waktu dengan gadis ini, semakin banyak aku melihat sisi lainnya. Aku makin mengenalnya. Begitu juga dengan Hyesung. Ia jadi makin mengenalku. Terkadang, ada beberapa hal yang tentu saja membuat hubungan kami sedikit pecah karena ada perselisihan kecil. Tapi hal itu tidak akan bertahan lama. Kami berdua benar-benar tidak tahan harus marahan lama-lama.

Ah, aku benar-benar bahagia bisa memiliki Han Hyesung! Ups, belum sih. Tapi akan kupastikan bahwa aku adalah lelaki beruntung yang bisa menghabiskan sisa hidupku dengannya.

--

Panjang ya? Semoga suka dan nggak ngebosenin ya hehe

Aku pasti bakal seneng kalau kalian mau meninggalkan jejak pakai vomment. makasih :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top