[VERNON] Rencana Masa Depan

Sedari tadi Hansol hanya mengikuti langkah Minji yang tak bosan mencoba berbagai macam jepit rambut sambil berkaca. Pria itu tidak tertarik dengan pernak-pernik wanita, lain cerita kalau dia diajak berkunjung ke toko topi. Hansol terlihat terpaksa.

"Bagus nggak, Oppa?" Minji bertanya sambil berbalik badan, menunjukkan bando berwarna putih yang ia kenakan.

"Bagus."

Minji menggigit bibir bawahnya. Ia melepas bando dan tertunduk. "Apa Oppa tidak senang menghabiskan waktu bersamaku?"

Ditanyai seperti itu, Hansol gelagapan. "Senang, kok. Aku senang."

"Hari ini Oppa tidak tersenyum sama sekali."

"Aku hanya sedikit lelah karena latihan semalam."

"Benarkah?"

"Iya," Hansol mengangguk mantap.

"Harusnya Oppa bilang," omel Minji. "Aku kan bisa menunda jadwal jalan-jalan kita ke minggu depan."

"Aku sudah janji bisa hari ini, Kwak Minji," Hansol mengacak puncak kepala gadis di depannya. Ia mendengus geli. "Aku menantikan hari ini tiba dengan berdebar-debar. Bagaimana bisa aku malah menundanya?"

Rona pipi Minji muncul. Ia mengangguk. Gadis itu akhirnya mengajak Hansol keluar dari toko, tanpa membeli apapun. Kini keduanya menyusuri jalan dengan langkah-langkah santai.

"Oppa mau duduk di cafe? Tadi katanya lelah."

"Aku masih bisa tahan."

Minji memiringkan kepalanya. Gadis itu pindah ke depan Hansol, berjalan mundur agar bisa mengamati wajah Hansol. Dipandangi dengan instensif, Hansol pun gugup. Ia mendengus geli. Meskipun manja dan terkadang menyebalkan, Minji akan selalu terlihat imut di mata Hansol.

"Kalau begitu, masih kuat jalan lima puluh meter lagi? Kita makan street food saja. Hari Selasa seperti ini, pasti akan sepi pengunjung."

"Hati-hati." Hansol menarik pergelangan tangan Minji tiba-tiba, membuat gadis itu bergerak maju dan menabrak dada bidang pria di depannya. Minji mengedipkan mata berulang kali karena kaget. "Kau hampir menabrak tiang," Hansol kembali bicara, getarannya sampai ke pipi Minji.

"Ya! Jangan tiba-tiba!"

"Kalau tidak begitu, kepalamu saat ini sudah benjol sebesar bola pingpong. Kau harus menahan malu karena terjerembab jatuh di tempat umum."

"Sekarang pun aku sangat malu."

"Malu?" Hansol tertawa saat menyadari sesuatu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kau... malu karena tanganmu aku pegang?"

"Bukan."

"Lalu?"

"Oppa memelukku."

"Memeluk.... Ya! Aku tidak...."

Sudut-sudut bibir Minji melengkung ke bawah. "Segitu malunya? Oppa sampai tidak mau mengaku sudah memelukku."

"Itu bukan pelukan," Hansol membela diri. "Aish, aku bisa masuk penjara karena memeluk anak kecil di tempat terbuka seperti ini."

"Huh, selalu saja begitu," Minji bicara lirih. "Kau tidak menganggapku lebih daripada seorang adik."

Hansol geleng-geleng kepala. Dia menjulurkan tangannya. "Sini, biar aku pegang saja tanganmu. Anggap saja sebagai pengganti pelukan."

"Tidak usah."

"Jangan merajuk, Kwak Minji. Tahun depan aku pasti akan melangkah lebih jauh."

"Kenapa harus menunggu tahun depan?"

"Karena kau akan berusia dua puluh tahun usia Korea dan menjadi mahasiswi yang menakjubkan," jawab Hansol. Ia tersenyum. "Kau bisa menunggu satu tahun lagi, kan? Kita bisa menjalin hubungan lebih jauh saat kau sudah dewasa."

Minji akhirnya mengangguk. Ia menerima uluran tangan Hansol. Kini keduanya berjalan bergandengan tangan. Ini pengalaman pertama kali untuk mereka. Rasanya masih canggung.

"Tapi, Oppa," Minji kembali bersuara. "Bukankah pegangan tangan seperti ini juga tidak boleh dilakukan pada anak di bawah umur? Pegangan tangan termasuk aktivitas intim yang biasa dilakukan para pasangan."

Keduanya berhenti. Lampu rambu lalu lintas untuk pejalan kaki menunjukkan warna merah. Mereka belum boleh menyebrang.

Menanggapi ucapan Minji, Hansol menggeleng. Ia menunjuk ke sisi lain jalan di depan mereka, tepatnya pada seorang ayah yang sedang bergandengan tangan dengan putrinya. Ditaksir dari penampilannya, mungkin gadis kecil itu berumur sekitar lima atau enam tahun.

"Mereka juga gandengan."

"Hah? Mana?"

"Itu, di depan sana."

Minji baru sadar. Matanya sukses membulat. Masa hubungan mereka disamakan dengan hubungan ayah dan anak? Hansol benar-benar keterlaluan!

"Ugh, aku memang tidak bisa mengharapkan apapun dari Oppa," keluh Minji.

Hansol mendengus geli. Ia mengusap punggung tangan Minji dengan ibu jarinya. "Ayo jalan. Lampu sudah berubah warna."

Berjalan perlahan di tempat umum sangat menyenangkan. Waktu seolah melambat, ketika bagi orang lain waktu justru berjalan terlalu cepat. Menurut kebanyakan orang, ketika sedang bersama orang tersayang, waktu akan cepat berlalu, seolah tidak pernah ada kata cukup. Namun, tidak dengan pendapat Hansol. Waktu yang ia lalui bersama Minji terasa cukup. Kalau terlalu sering bersama, Hansol jadi tidak bisa merasakan kerinduan yang membuncah. Maka dari itu, meskipun Hansol tidak bisa sering mengunjungi Minji di kota tempatnya tinggal, Hansol akan selalu memikirkan kehadiran gadis itu dalam hidupnya. Dengan kata lain, Minji selalu ada di otak dan hati Hansol.

Tapi, Hansol tak bisa mengakui. Setidaknya sampai tahun depan. Ia tahu Minji selalu gemas dengan kelakuan Hansol yang terkesan menarik ulur. Meskipun begitu, Hansol tak berniat menanggapi terlalu cepat. Sesuatu yang terburu-buru itu tidak baik.

Kini Hansol dan Minji sudah duduk bersisian di meja makan yang memang disediakan di bagian tengah kerumunan food truck yang berjajar. Minji sibuk mengunyah udang bakar, Hansol asyik menikmati kentang goreng saus mayones.

"Oppa, aku mau tanya."

"Ap-ha?" Hansol menjawab dengan kentang goreng masih berada di mulutnya.

"Seungkwan Oppa sudah berangkat wamil. Kau kapan?"

"Tahun depan."

Minji merengut. "Berarti, aku akan langsung ditinggal wamil begitu kita pacaran."

"Ada yang salah?"

"Banyak pasangan putus karena cowoknya masuk wamil."

"Dan tidak sedikit yang masih menjalin hubungan meskipun cowoknya wamil," balas Hansol. Ia mengambil satu potong kentang goreng dan menyodorkan ke depan mulut Minji. "Kau percaya saja padaku. Aku pergi untuk menjalani masa pelatihan, bukan pergi ke medan perang."

"Bukan itu." Minji menggeleng. "Aku jadi tidak bisa menghubungi Oppa dengan bebas."

"Oh ya? Seungkwan bisa tuh. Dia justru sibuk meramaikan grup chat kita dengan lelucon-lelucon konyolnya. Seungkwan seperti orang kurang kerjaan," Hansol berhenti sejenak untuk meneguk air mineral. "Sistem wajib militer sekarang berbeda dengan masa dulu. Kita bisa pegang ponsel tiga-empat hari dalam seminggu, meskipun ada jam-jam tertentu. Kalau aku bisa, ya pasti aku sempatkan untuk telepon."

"Begitu ya?"

Hansol mengangguk dan tersenyum. "Sebenarnya ada keuntungan kita selisih umur sampai enam tahun."

"Kenapa?"

"Karena aku punya cukup waktu. Sambil menunggumu menyelesaikan pendidikan dan meraih cita-cita, aku masih bisa menyiapkan diri."

"Menyiapkan diri untuk apa?"

Hansol tak kunjung menjawab. Ia malah mencomot kentang goreng dan kembali menyodorkannya ke depan mulut Minji. Si gadis menerima, namun tatapannya tetap terpaku memandang pria di hadapannya, menunggu jawaban.

"Aku bukan tipe pria yang menjalin hubungan main-main, Kwak Minji," jawab Hansol pada akhirnya. Ia terlihat malu, tidak seperti biasanya yang cenderung cuek. "Ah, molla. Kau membuatku malu."

Minji mengerjap bingung. Perlahan, ia mengerti. Minji malah terbatuk, tak siap untuk memperjelas ucapan Hansol dan tersedak oleh ludah sendiri. Wajah gadis itu memerah. Yang dimaksud Hansol adalah pernikahan, Minji tahu itu.

"Itu masih terlalu jauh ke depan Oppa. Aku bahkan memikirkannya sejauh itu," ucap Minji setelah berhasil mengatur napas.

"Iya, aku tahu. Makanya, aku menunggu. Lagipula aku kan tidak mendesakmu untuk sesegera mungkin menikah denganku."

Minji menutup wajah dengan kedua tangan. Mengapa Hansol malah memperjelas dan bilang secara blak-blakan? Huh, tidak tahukah ia bahwa jantung Minji bisa meledak saat ini juga saking bahagianya?

"Kau kan ingin berkuliah di Seoul University. Belajar lah dengan giat. Kalau kau sudah pindah ke Seoul, jarak kita jadi semakin dekat. Aku bisa menengokmu lebih sering daripada sekarang."

Minji mengangguk. Dia tak sanggup bicara.

"Habiskan makananmu. Masa aku suapi terus? Tanganku juga aku gunakan untuk menyuap diriku sendiri."

"Kau kembali menjadi Oppa yang menyebalkan," ucap Minji lirih, nyaris tak terdengar.

"Kau bilang sesuatu?"

"Tidak," sahut Minji cepat. Ia meringis. Ia makan sendiri, tanpa bantuan Hansol. "Ayo makan lagi, Oppa."

--

Vernon cuek gitu sebenernya pengertian kok, ke Minji tapi, bukan ke kamu wkwk

Vomment yuk :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top