[JOSHUA] Newborn
Victoria White
Beberapa hari pertama punya bayi di rumah, aku dan Joshua selalu menatapnya dengan senyum lebar. Apalagi kalau Jio sedang tidur sehabis menyusu. Joshua bahkan betah sekali berdiri di samping kasur bayi hanya untuk memandanginya, sekaligus menunggu hingga si bayi merengek bangun. Pada awalnya aku tidak mengerti dengan sikap Joshua yang satu itu. Dibandingkan denganku, secara emosi Jio lebih dekat dengan ayahnya. Mungkin saja ini karena Joshua hampir tak pernah absen mengajaknya bicara, baik saat masih dalam kandungan, maupun setelah lahir.
Aku kini maklum. Joshua memang sudah lama menginginkan keturunan. Aku saja yang keras kepala menolaknya dan berujung pada perceraian. Entah sial atau beruntung, setelah satu tahun lamanya berpisah, pria itu malah menghamiliku. Ujung-ujungnya aku kembali menikah dengannya.
Hidup memang lucu.
Kehidupan baru menjalankan peran sebagai orangtua terus berlanjut. Aku bingung. Sangat. Dari kecil, aku tidak memiliki role model yang layak untuk aku tiru. Aku sangat kaku dalam mengasuh bayi. Bahkan, produksi ASI sempat tersendat karena aku kelewat stress. Aku juga pernah tak mau melihat Jio sama sekali karena aku takut untuk menyentuhnya. Bisa dibilang, aku terkena sindrom yang biasa dirasakan ibu baru. Baby blues.
Pada masa-masa seperti itu, aku sangat bersyukur pada Tuhan yang telah memberiku Joshua sebagai sosok yang sabar meladeni segala keluhanku. Dia yang menggendong dan menenangkan Jio ketika anak kami itu menangis. Dia yang mendekap erat tubuh Jio saat si bayi menjulurkan tangan ke arahku meminta perhatian, sedangkan aku malah menghindarinya. Dia juga yang selalu memelukku dan memberi kata-kata penyemangat saat aku rasanya ingin menyerah mengurus Jio.
Di minggu kedua, pada akhirnya, aku kembali mampu menggendong tubuh rapuh Jio. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang melekat di dadaku ketika menyusu. Aku sempat terpana dengan mata hijau Jio yang menatapku lekat saat bibirnya terus menyedot susu dengan semangat. Saat itu, air mataku kembali keluar. Bedanya, tidak lagi ada rasa takut pada Jio. Aku justru merasa bersalah sempat mengabaikannya ketika dia justru sangat mendambakanku.
Aku akhirnya dapat merasakan perasaan itu. Aku jatuh cinta. Pada bayi yang sedang kudekap di depan dada.
"Honey, kau mau aku bawakan camilan? Tunggu. Kau menangis? Hei, kenapa?" Suara Joshua masuk ke telingaku, menarikku keluar dari menyelami pikiran akan masa lalu.
Ketika Joshua mengulurkan tangan ingin mengambil Jio dariku, aku menolak. Aku tersenyum tipis menanggapi pandangan penuh tanya yang dilayangkan Joshua.
"Aku ingin bersama Jio. Tenang saja, aku menangis karena bahagia. Seumur hidupku, akhirnya aku menemukan orang-orang yang tepat, orang-orang yang menginginkanku. Kau, lalu Jio."
Joshua tampaknya mengerti. Tangannya meluruh jatuh ke sisi tubuh. Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan, dan mengecup sebelah pipiku yang masih basah oleh air mata.
"Aku akan selalu menginginkanmu. Begitu juga dengan Jio."
"Thanks," ucapku lirih. Banyak sekali kata yang bisa aku ucapkan. Saking banyaknya, aku hanya hanya bisa menyebut satu kata.
Joshua tersenyum. Dia kembali menegakkan tubuh dan mengusap kedua pipiku dengan ibu jarinya. "Tersenyumlah. Jio pasti suka melihat eomma-nya tersenyum."
Aku kembali menunduk. Netra Jio masih asyik mengamatiku. Ah, bayi yang tampan. Aku tersenyum. Kubiarkan kelima jemari mungil Jio menggenggam jari telunjukku.
"Aku akan mengambilkanmu puding," ucap Joshua setelah dia puas memandangi tingkah Jio.
Ketika Joshua pergi, aku memandangi punggungnya yang berjalan menjauh. Perlahan senyumku terbit.
Sejauh ini Joshua berperan sebagai ayah ASI yang baik. Ketika aku sedang menyusui Jio, dia pasti akan membawakanku camilan, tahu saja kalau aku gampang lapar setelah menyusui Jio. Ketika Jio sudah kenyang dan melepaskan mulutnya dari puncak dadaku, Joshua dengan sigap mengambil si bayi dan menepuk-nepuk punggungnya agar bersendawa. Oh ya, Joshua juga selalu mengingatkan jadwal agar aku tidak lupa memerah ASI. Ketika aku sedang menyusui, pasti dia selalu ada di samping. Bahkan, Joshua terpaksa mengerjakan tanggungan kantor dari rumah agar dapat menjalankan peran sebagai pemilik perusahaan, suami, dan ayah sekaligus.
"Ayo, makan."
"Nanti saja," jawabku saat Joshua menyodorkan piring berisi puding taro. "Bolehkah aku minta tolong? Punggungku pegal."
"Mau aku pijat?"
Aku mengangguk semangat. Joshua tanpa bicara apapun langsung memasang posisi di balik punggung. Tangannya bekerja mengurut pelan serabut otot yang terasa kencang nyaris kram.
"Vendor baru yang waktu itu kau bilang, ada kemajuan?" tanyaku mengenai perihal kantor.
"Lusa mereka mau datang ke studio untuk diskusi lebih lanjut dengan tim material."
"Apa kau akan pergi juga?"
Joshua tak kunjung menjawab. Aku tahu, dia sedang terjebak dilemma.
"Pergi saja," ucapku pada akhirnya.
"Tidak. Aku tetap di rumah menemanimu."
"Aku sudah bisa mengurus Jio sendiri kok."
"Bagaimana kalau aku panggil Hyesung? Kakakmu itu pasti senang aku undang kemari."
"Hyesung? Apa dia tidak punya jadwal di rumah sakit?"
"Seharusnya tidak. Lusa kan hari liburnya tiap minggu," jawab Joshua. "Katanya dia juga punya beberapa peralatan bayi milik Yerin yang ingin diberikan untuk Jio."
"Ehm, kalau tidak merepotkan, boleh."
---
Joshua Hong
Setelah urusan bisnis selesai, aku memacu kendaraan secepat yang kubisa untuk kembali ke rumah. Aku berusaha menelepon ponsel Victoria, tapi tak kunjung diangkat. Akhirnya aku ganti haluan menghubungi Hyesung. Pada dering ketiga, terdengar sapaannya.
"Apa terjadi sesuatu di rumah? Kenapa Vic tidak bisa aku hubungi?"
"Calm down, boy. She is sleeping." Suara Hyesung terdengar malas. Bisa kubayangkan raut wajahnya saat ini. Hyesung pasti memutar bola matanya, memandangku dengan tatapan mencemooh.
"Oh, untung lah." Aku kini bisa menghela napas lega.
"Hei, mampir beli makanan dulu, dong. Untuk lima orang ya. Aku tunggu. Bye!"
"Lima orang? Memang siapa yang.... Hei! Han Hyesung! Aish! Dia seenaknya saja menyuruhku dan memutus sambungan telepon."
Aku akhirnya putar haluan. Meskipun sempat kesal karena mau tak mau harus menuruti keinginan Hyesung, aku tetap saja melajukan kendaraan menuju rumah makan langganan Victoria. Aku akan membelikan makanan kesukaan Jio Eomma.
"Welcome home, Josh!"
Bukan Victoria yang barusan menyapaku, tapi kakak tirinya yang super duper annoying. Ibu satu anak itu nongkrong di depan TV sambil mengemil keripik kentang. Saat aku sedang meletakkan belanjaan di atas konter dapur, kurasakan sesuatu tiba-tiba memeluk kakiku. Sontak, aku menunduk.
"Samchun," panggil Yerin tak jelas. Bocah berusia lima belas bulan itu menatapku dengan mata bulatnya yang menyilaukan. "Ppang."
"Kau mau roti?" tanyaku. Yerin mengangguk.
"Hyesung-ah, anakmu kelaparan!" Aku sedikit berteriak pada Hyesung.
Tak lama kemudian, Hyesung tiba. Dia menggendong putrinya dan kembali membawa sang anak ke ruang TV. Hyesung bicara panjang lebar bahwa tidak ada snack siang ini, si bocah harus makan nasi.
"Benar tidak apa-apa?" tanyaku pada Hyesung yang kembali masuk ke area dapur. Diam-diam aku melirik Yerin yang merajuk dengan menyembunyikan wajah di bantal sofa.
"Aku harus tegas. Karena Jihoon oppa selalu menuruti permintaannya, Yerin jadi tak suka makan nasi," Hyesung mulai mengomel. Tangan wanita yang sudah kuanggap seperti adik kandungku sendiri itu bekerja cepat mengeluarkan makanan yang baru aku beli dari plastiknya. "Kau pikir kita hidup dimana? Amerika? Huh, Yerin itu orang Korea. Bagaimana bisa dia tak suka makan nasi tapi suka sekali roti?"
"Yerin pasti meniru dirimu."
"Aku orang Amerika. Yerin bukan."
"Ya sudah lah. Apa katamu saja," ucapku mengalah. "Vic dimana? Jio? Mereka baik-baik saja kan?"
Hyesung mengangguk seadanya. "Mereka berdua sedang tidur. Jio tidur karena kekenyangan. Victoria tidur karena lelah menyusui."
"Tidak ada sesuatu yang terjadi selama aku tinggal?"
"Ada," ucap Hyesung. Dia mengerling jahil sebelum menjawab. "Yerin hampir saja menggigit pipi putramu karena menurut Yerin dia sangat lucu."
Aku tercengang. Hah? Kalau lucu jadi menggigit pipi? Jangan-jangan Yerin menganggap pipi Jio mirip roti. Dasar. Keluarga Jihoon tidak ada yang benar.
Hyesung berjalan menghampiri putrinya untuk menyuapi makan. Aku sendiri berlalu ke dalam kamar untuk menengok keadaan Victoria dan Jio. Kudengar suara bel pintu berbunyi ketika sedang berganti pakaian. Saat aku keluar kamar, tahu-tahu Jihoon sudah duduk di samping Hyesung bersama Yerin di pangkuannya.
"Untuk apa kau kemari?" tanyaku pada Jihoon.
"Ya! Hyung! Bisa-bisanya kau menculik istriku di hari liburnya untuk jadi baby sitter. Kau benar-benar keterlaluan," protes Jihoon.
"Sekalian menjenguk Jio. Minggu-minggu awal kelahirannya, aku kan melarang siapa pun untuk berkunjung," sanggahku cepat.
"Sudah lah, Oppa. Aku kan juga ingin bertemu dengan ponakan kecilku," Hyesung pun ikut membujuk suaminya.
"Aku tidak melarangmu. Sayangnya, kau pergi dari rumah tanpa menghubungiku sama sekali. Aku kira kau dan Yerin kabur dari rumah."
"Kenapa Hyesung kabur dari rumah?" tanyaku bingung.
"Soalnya semalam dia bilang, umph...," ucapan Jihoon terpotong oleh bekapan Hyesung di mulutnya. Si istri malah meringis. Yerin, yang melihat ayahnya tersiksa, memukul-mukul tangan sang ibu agar melepaskannya.
"Urusan rumah tangga tidak boleh keluar dari rumah, Oppa," ucap Hyesung pada Jihoon penuh penekanan. Wanita itu mengecup sebelah pipi Jihoon sebagai permintaan maaf sebelum bangkit berdiri. "Aku akan menyiapkan makan siang. Tolong suapi Yerin hingga makanannya habis ya."
Aku memandangi Hyesung dan Jihoon bergantian. Sebagai orang yang dekat dengan keduanya, aku takjub. Hyesung masa pacaran dan Hyesung setelah jadi ibu tampak berbeda. Atau, ini hanya perasaanku saja?
"Jihoon-ah," panggilku bisik-bisik sambil duduk di tempat Hyesung tadi. "Kau tertindas oleh istrimu sendiri?"
"Tertindas?"
Aku mengangguk. "Di Seventeen, kau terlihat seram dan tak terkalahkan. Di rumah, ternyata Hyesung berhasil mengalahkanmu."
"Aku tidak kalah. Hyesung juga tidak menang. Begini lah hidup berumah tangga yang sesungguhnya. Apalagi setelah punya anak. Sepertinya kita tak akan kehabisan bahan bertengkar tiap hari. Tapi, ya, begitu."
"Appa, aaa," pinta Yerin sambil menarik-narik tangan Jihoon yang memegang sendok. Jihoon kembali mengisi mulut putrinya yang telah kosong.
"Apa semua wanita akan berubah seperti itu?" tanyaku heran. Jujur, aku tidak bisa membayangkan Victoria akan memperlakukanku seperti Hyesung memperlakukan Jihoon.
"Tidak seburuk yang kau bayangkan kok," jawab Jihoon sambil terkekeh. Ia fokus mengumpulkan nasi yang berceceran di sekitar mulut Yerin. "Aku justru senang Hyesung mau terbuka denganku. Entah itu perasaan negatif atau positif, kami saling berbagi. Kalau tidak padaku, memang pada siapa lagi? Suami-istri itu satu tim, hyung."
"Hmm, kurang lebih aku tahu maksudmu."
"Josh," panggil Victoria. Aku mengangkat wajah dan mendapati istriku berdiri di ambang pintu kamar.
"Honey, sudah bangun?" sapaku. "Ada apa?"
Victoria menyapa Jihoon sebentar sebelum menunduk dan berbisik tepat di telingaku. "Pembalutku habis. Aku lupa belum beli lagi."
"Aku akan ke supermarket bawah," ucapku sigap. "Kau tunggu saja disini bersama yang lain. Oh ya, tadi aku mampir beli samgyetang kesukaanmu. Makan lah dulu. Hyesung sedang memanaskan menu makan siang kali ini."
"Josh," Victoria menarik lengan kausku. "Cepat ya. Aku tidak nyaman."
"Okay, honey!" Aku masuk ke kamar untuk mengambil dompet. Hanya sebentar. Aku berjalan cepat, nyaris berlari, menuju pintu keluar.
"Hyung!" panggil Jihoon. Aku menoleh dengan kedua alis terangkat. "Kau sama saja sepertiku. Tertindas."
Aku terkekeh. Sial! Benar juga apa kata Jihoon. Aku tidak ada bedanya dengan dia.
Tapi, apa aku saat ini merasa tertindas? Tidak juga. Aku kan suami Victoria, sudah sewajarnya aku membantunya. Kewajiban malah.
---
Hola! Ada kah yang bingung maksudnya Victoria? Nikah-Cerai-Hamil-Nikah lagi.
Sebenarnya, buku yang menceritakan kisah Joshua sudah pernah aku publish dengan judul "In The End of The Day". Tapi, sekarang lagi aku unpub dulu untuk proses revisi. Apakah bakal aku publish lagi? Hm, lets see yaa hehe
Happy reading, pals! Jangan lupa vote and comment yaa :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top