[Hoshi] 10.000 hours

Tanaka Midori

Aku menatap Soonyoung yang masih terlelap di atas kasur tak terganggu sedikit pun. Tanpa sadar aku tersenyum. Pria itu telah resmi menjadi suamiku selama satu bulan ini. Aku masih tidak percaya, seolah ini semua mimpi. Aku bisa menikahi salah seorang member dari grup terkenal di industri musik!

Tak berniat mengganggu tidur pulas Soonyoung, aku berjingkat keluar kamar. Biarlah Soonyoung tidur lebih lama. Dia pasti lelah dengan semua pekerjaannya. Apalagi dia juga stress harus berangkat wajib militer tidak lama setelah kami menikah. Katanya, itu sungguh ujian terberat. Soonyoung memang suka berkata berlebihan.

Aku membuka lemari pendingin. Tidak banyak makanan di dalam sana. Aku lupa belum belanja bulanan. Kemarin baru saja aku dan Soonyoung kembali mendarat di Seoul, setelah menghabiskan beberapa hari di Osaka mengunjungi keluargaku.

Hal pertama yang aku siapkan adalah menanak nasi putih. Masih ada telur dan nori. Karena Soonyoung tidak suka telur mentah, aku akan membuatkan telur dadar untuknya. Ah, ternyata masih ada natto juga. Aku yang akan memakannya. Ya, Soonyoung tidak suka dengan natto. Aku sebenarnya ingin membuat sup miso, namun karena tidak ada tahu, jadinya hanya berupa air kaldu dengan daun bawang.

Tidak butuh waktu lama untuk menyiapkan sarapan sederhana pagi ini. Dalam setengah jam, semua makanan sudah jadi. Aku menyiapkan meja dan piring-piring di atasnya.

Bertepatan dengan aku selesai meletakkan piring terakhir di atas meja, Soonyoung keluar kamar. Wajahnya terlihat sedikit bengkak. Matanya membentuk dua garis lurus. Bibirnya mengerucut. Ugh, menggemaskan. Dia terlihat mirip dengan adik terakhirku, haha.

"Cuci muka dulu, Soonyoung."

"Panggil aku Yeobo."

Aku geleng-geleng kepala mendengar permintaannya. "Cuci muka dulu, Yeobo."

"Okay, Darling."

Sambil menunggu Soonyoung kembali dari kamar mandi, aku mengambil mini speaker dari ruang tengah dan meletakkannya di atas kabinet tak jauh dari meja makan. Aku tahu kebiasaan Soonyoung. Dia suka sarapan sambil mendengarkan lagu.

Saat pertama kali hidup bersama, aku tidak terbiasa dengan tingkah Soonyoung yang satu itu. Aku terbiasa memulai hari dengan cekatan. Sedangkan Soonyoung malah suka sekali melakukannya dengan lambat. Untuk beberapa hal, kami memang sangat bertolak belakang, tapi itu tidak menghentikanku untuk mencintainya.

Soonyoung datang. Pria itu tidak langsung duduk di kursinya biasa. Dia malah berdiri di samping tempat dudukku, kepalanya merunduk, bibirnya maju, kedua matanya terpejam. Aku mendengus geli. Tanpa bertanya lagi, aku mengecup bibirnya cepat.

"Wah, terlihat sangat enak!" puji Soonyoung sambil melihat keseluruhan hidangan yang aku sajikan.

"Kau pasti melebih-lebihkannya. Ini sarapan standar orang Jepang."

"Sayang, kalau aku memujimu, terima saja. Tidak usah protes."

Aku sontak tertawa. Setelah menikah, Soonyoung baru mengatakan secara jujur bahwa terkadang aku ini sangat kaku dan terlalu logis. Susah sekali untuk membuatku tersipu malu. Katanya, mulutku juga suka sekali melontarkan sindiran halus padanya.

"Kau mau lagu apa?" tanya Soonyoung. Di tangannya telah bersarang ponsel. Dia pasti sedang sibuk menyambungkan gawainya ke speaker.

"Apa saja."

Soonyoung mengangguk. Dia memilih satu lagu dan meletakkan ponsel di atas meja. Bukannya langsung mengambil sumpit, pria itu malah memandangiku sambil terus tersenyum. Aku mengangkat kedua alis tak mengerti dengan kelakuannya.

"Aku suka sekali dengan lagu ini," ucap Soonyoung memberitahu. "Semua liriknya adalah perasaan yang ingin aku ucapkan padamu."

Aku menelengkan kepala. Jujur saja, aku tidak begitu tahu dengan aneka lagu. Kedua telingaku awas mendengar bait demi bait. Ah, ini lagu berjudul 10.000 hours.

"Bagaimana?" tanyanya antusias.

Aku hanya mengedikkan bahu. "Bagus. Kalau begitu, ayo kita dengarkan sambil makan."

---

Kwon Soonyoung

Memang ya, wanita seperti Tanaka Midori itu susah sekali ditaklukkan. Aku kira begitu kita menikah, dia akan mulai bermanja-manja padaku. Ternyata, dia malah seringkali bersikap seolah aku ini adalah salah satu adik laki-lakinya di rumah. Padahal kan aku satu tahun lebih tua dari Midori.

"Hari ini kau tidak ada jadwal?" tanya Midori.

"Jadwalku adalah menghabiskan waktu bersamamu." Aku menaik-naikkan kedua alis, berusaha menggodanya.

"Kalau begitu, aku mau browsing kreasi origami baru."

Lho, kenapa aku malah jadi diacuhkan olehnya? Tidak bisa dibiarkan!

"Tidak lama lagi aku harus berangkat wajib militer," ucapku berusaha membujuknya. "Ayo kita menghabiskan waktu bersama."

"Mau apa?"

"Kau mau belanja kebutuhan dapur? Biar aku temani."

"Repot sekali keluar di siang hari bersamamu. Lebih baik aku belanja sendiri."

"Kenapa?!"

"Karena akan lebih banyak mata yang melihat. Aku tidak suka difoto sembarang orang."

Yah, benar juga. Meskipun aku tidak menyembunyikan pernikahan kami, tapi tetap saja ada orang-orang yang melanggar batas privasi dengan mengambil gambar kami diam-diam. Aku sih tidak masalah, tapi tidak dengan Midori. Aku juga tahu, tidak mudah untuk membiasakan diri dengan dunia entertainment bagi orang biasa seperti Midori.

"Kalau begitu, menonton? Baca komik bersama? Ah, bagaimana dengan mengobrol santai sambil berpelukan?"

Midori melepaskan ponsel dari tangannya. Wanita itu berpindah tempat duduk, awalnya dari single sofa menjadi ke sisi sofa yang kosong di sebelahku. Midori tersenyum penuh arti. Tanpa bicara, dia malah memelukku duluan.

Hatiku bersorak kesenangan. Kedua tanganku bergerak melingkar di balik punggung Midori, memeluknya lebih erat. Bibirku mulai bekerja, menggelitik wajahnya dengan kecupan ringan di sebelah pipi apel Midori.

"Kau suka sekali skinship."

"Ini bahasa cinta, Sweety," balasku tak mau kalah.

"Kalau terus berpelukan, bisa-bisa aku jatuh tertidur. Kita malah tidak jadi mengobrol."

"Bagaimana kalau mengobrol sambil berbaring?"

"Terserah kau saja."

Aku melepaskan pelukan dan berdiri. Sebelah tanganku menggenggam pergelangan tangan Midori, memintanya agar segera ikut. Dengan malas-malasan, Midori berdiri. Belum sempat dia melangkah, aku sudah mengangkat tubuhnya masuk ke dalam gendongan.

"Turunkan aku!" Midori meronta.

"Setelah di kamar," jawabku tak begitu saja menuruti keinginannya.

Kami berdua sampai di kamar. Kurang dua langkah lagi menuju kasur, aku malah tersandung pinggiran karpet yang entah bagaimana tergulung. Refleks, aku melempar Midori ke atas kasur tanpa ada kelembutan sama sekali. Gagal romantis.

"ADUH!" Aku merutuk keras sambil mengusap jari kelingking kaki yang terasa sangat sakit seperti hampir copot. Semoga saja tidak copot, atau pun patah.

"KWON SOONYOUNG!"

"Maaf, maaf," aku segera menghampiri Midori yang sedang merintih kesakitan sambil mengusap pinggul. "Apa yang sakit? Sini aku lihat."

Midori langsung melancarkan pukulan panas andalannya membabi-buta. Aku meringis, berusaha melindungi diri dengan kedua lengan berada di depan kepala. Jujur, aku mulai kewalahan. Akhirnya aku malah menangkap pergelangan tangan Midori, mendorong tubuhnya hingga telentang, dan menyatukan tangannya di atas kepala.

Wanitaku langsung terdiam. Wajahnya memerah. Manis sekali. Karena gemas, aku menjatuhkan kecupan di ujung hidungnya.

"Biarkan aku melihat pinggulmu," ucapku sambil menegakkan tubuh. Tanganku langsung menaikkan kausnya. Benar saja, pinggul Midori berwarna agak kemerahan. Perasaan bersalahku makin memuncak.

"Apakah sangat sakit?" tanyaku khawatir. Aku mengusap ruam di pinggulnya pelan.

"Sepertinya besok pagi akan membiru."

"Aku ambilkan obat oles untuk lebammu dulu."

---

Tanaka Midori

Aku memandangi wajah Soonyoung yang tampak serius mengoleskan obat. Kalau sedang diam begini, dia benar-benar tampan. Huft. Seharusnya aku tidak merona ketika dia berusaha bersikap romantis. Suamiku ini punya sisi cerobohnya sendiri. Bisa-bisanya dia melempar tubuhku begitu saja seperti boneka. Pinggulku yang jadi korban, terantuk pinggiran dipan.

"Sudah cukup. Kau mau mengoleskan berapa banyak obat?"

Soonyoung menghela napas panjang. Dia menurunkan kausku yang sedikit tersingkap. Setelahnya, baru dia berani menatap ke dalam mataku.

"Apa aku lebih sering membuatmu kesal dan sakit?" tanyanya dengan nada sedih. "Sepertinya semua hal yang ingin aku lakukan untukmu, berakhir dengan kegagalan. Jarang sekali ada yang membuatmu tersenyum lepas. Apa kau menyesal telah menikah denganku?"

"Apa-apaan itu?!" aku terpekik kaget. "Aku tidak pernah berkata seperti itu."

Soonyoung cemberut. "Saat dulu kita masih pacaran, aku pernah melakukan hal yang sangat jahat padamu. Aku ingin membuatmu bahagia terus setelah menikah denganku, sebagai ganti atas kesalahan di masa lalu."

"Kenapa kau membahas masa lalu, Kwon Soonyoung?"

"Tuh kan, kau bahkan masih memanggilku dengan nama lengkap. Apakah memang benar masih ada garis pembatas di antara kita?"

Aku mengatupkan kedua bibir membentuk garis lurus. Wajar saja Soonyoung salah sangka. Aku ini paling payah dalam hal bermanja-manja. Jujur pada perasaan sendiri pun susah. Meskipun sudah menikah, bukan berarti aku bisa begitu saja membuka diri. Semuanya butuh proses.

"Tidak ada yang seperti itu," ucapku meyakinkan. "Kemari lah. Aku ingin kau memelukku. Bukankah kita akan mengobrol sambil berbaring?"

"Kalau kau tidak mau, lebih baik tidak usah dilakukan."

"Aku mau...," aku menelan ludah, menyiapkan keberanian untuk bertingkah manis. "Yeobo."

"Benarkah?"

"Iya."

"Aku akan memelukmu dengan hati-hati. Pinggulmu masih sakit."

"Tidak. Peluk aku dengan hangat, seperti biasa. Tidak perlu takut. Luka begini saja tidak berarti apa-apa untukku."

Soonyoung kembali memandangiku. Dia hanya diam. Jengah dengan tatapannya yang tak biasa, aku memalingkan muka. Bagaimana ini, hanya karena ditatap olehnya, aku berdebar tak karuan.

"Berbaringlah," perintah Soonyoung. Dia malah berdiri.

"Kau mau kemana?"

"Menyalakan lagu. Tunggu sebentar ya."

Tak lama, Soonyoung kembali. Kali ini wajahnya cerah. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas, memberiku senyuman lembut, bukan senyuman menyebalkan. Pria itu meletakkan speaker di atas nakas, memilih lagu, baru dia berbaring di sebelahku dan membawaku masuk ke dalam pelukannya.

"Lagu ini lagi?" tanyaku sambil sedikit mendongak. Aku ingin melihat raut wajahnya dengan lebih jelas.

"Sshhh, dengarkan saja." Soonyoung mendorong agar wajahku terbenam di dadanya.

Do you miss the road that you grew up on?
Did you get your middle name from your grandma?
When you think about your forever now, do you think of me?


Aku tersenyum. My forever? Tentu saja Kwon Soonyoung. Dari dulu selalu orang yang sama. Cinta pertama, dan semoga cinta terakhirku.

When you close your eyes, tell me, what are you dreamin'?
Everything, I wanna know it all.

Soonyoung bilang, lirik lagu ini sangat menggambarkan perasaannya. Benarkah? Yah tidak salah sih. Dia memang selalu ingin tahu banyak hal tentangku.

"I'd spend ten thousand hours and ten thousand more,
Oh, if that's what it takes to learn that sweet heart of yours,
And I might never get there, but I'm gonna try,
If it's ten thousand hours or the rest of my life."

Aku tersenyum ketika Soonyoung menyanyikan bait berikutnya untukku. Suaranya lembut dan lirih, seolah dia sedang berbisik dan ingin nyanyiannya hanya aku yang mendengar. Kalau aku bilang aku menyukai caranya mencintaiku, aku tidak berlebihan kan?

Soonyoung lanjut bernyanyi. Terkadang dia akan berhenti dan membalas tatapanku untuknya. Satu lagu habis dan pandangan kami tak pernah terputus. Selama tiga menit, hanya ada aku di matanya, dan hanya ada dia di mataku.

"Aku bersungguh-sungguh ketika aku bilang aku mencintaimu."

"Aku tahu." Aku buru-buru menambahkan sambil membekap mulutnya dengan sebelah tangan. "Jangan bawa-bawa masa lalu. Aku tahu bagaimana tulusnya perasaanmu sekarang. Itu yang paling penting."

Soonyoung menyingkirkan tanganku dan mengecup keningku lama. Ah, kenapa dia sedang dalam mode melow seperti ini? Apakah aku tanpa sengaja membuatnya rendah diri lagi? Ya ampun, kejadian itu sudah lewat dua tahun lamanya!

"Keputusan terbesar yang pernah aku ambil dalam hidup adalah jatuh cinta padamu. Aku tidak menyesal sama sekali. Justru, aku pasti akan menyesal andai saja malam itu aku marah besar padamu yang pergi diam-diam membeli cincin untuk melamarku dan malah membiarkanku menunggu dengan sepiring okonomiyaki."

Wajah Soonyoung memerah, bahkan hingga ke telinga dan ke leher. Dia pasti malu setengah mati. Aku berusaha keras menahan tawa.

Aku mengusap punggungnya dengan sebelah tangan. "Kita saling mencintai. Andaikan ada hal-hal yang belum kau ketahui dariku, itu bukan berarti aku berniat menyembunyikan selamanya. Aku hanya butuh waktu sedikit lama untuk terbiasa dengan bahasa cinta yang kau tunjukkan. Kau tahu sendiri, bahasa cinta kita berbeda. Semoga kau paham apa maksudku."

Soonyoung mengangguk dan tersenyum. "Ya aku paham. Maaf karena sempat meragukanmu."

Aku balas tersenyum. Syukurlah, dia sudah kembali, keluar dari pikiran buruknya.

Mencintai adalah sebuah ketakutan dan keberanianku. Banyak hal yang membuat cerita cintaku dan Soonyoung makin menarik. Tapi aku yakin, kalau berdua, aku pasti bisa melalui semuanya. Lagian, hidup tidak terasa seru tanpa masalah.

"Hahhh," Soonyoung menghela napas panjang. "Kau benar-benar hebat. Tidak salah aku memilihmu untuk jadi pendamping hidup."

Aku tertawa kecil. "Ngomong-ngomong kenapa lagu ini terus terputar tanpa henti?"

"Oh, aku memang memasang setting seperti itu. Lagunya terus diulang sampai satu jam ke depan."

Kedua mataku membuka lebar. Ugh, dasar Kwon Soonyoung. Dia memang berlebihan. Kalau sudah suka dengan satu lagu, dia pasti akan memutarnya terus. Lihat saja, minimal selama satu bulan ke depan lagu ini pasti akan terus terdengar di seluruh penjuru rumah. Semoga aku tidak mual mendengarnya terus-terusan.

"Kau suka, kan? Ini lagu cintaku untukmu." Aku hanya membalas dengan anggukan sambil meringis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top