[DINO] Pulang

"Taeyun, habiskan makananmu."

"Taeyong, mainannya jangan dilempar, nanti rusak."

"Anak-anak, cuci tangan dulu sebelum makan."

Semakin besar, tingkah si kembar juga makin macam-macam. Taeyong yang dulunya cenderung pendiam, kini tak mau kalah aktif dari saudara kembarnya. Ketika Taeyun melakukan kenakalan kecil, Taeyong justru menirunya. Entah bagaimana mereka jadi sangat nakal, begitu lah yang terlihat di mata Nara.

"Aku lelah," keluh Nara sambil membaringkan tubuhnya di sofa. Memejamkan matanya sejenak, Nara menikmati ketenangan yang terasa mahal. Si kembar sedang tidur siang, dia jadi punya cukup banyak waktu untuk istirahat. Biarlah mainan mereka terserak di lantai, akan Nara bereskan nanti.

Tanpa Nara sadari, ada seseorang yang mencoba masuk ke rumah. Terdengar denting sederet kata sandi dimasukkan ke panel pintu. Bahkan, ketika si penyusup mengaduh pelan karena tak sengaja menginjak mobil-mobilan, Nara tetap tidak bangun.

Niat hati hanya ingin istirahat selama beberapa menit, Nara justru lanjut tertidur hingga setengah jam lamanya. Ketika membuka mata, Nara kaget melihat ruang tengah yang sudah rapi, tidak seperti saat sebelum dirinya tertidur. Nara berjaga-jaga, was-was pada siapa pun yang datang. Bisa saja itu hanya Bora, saudara kembarnya, atau orang tuanya, atau bisa pula mertuanya. Mereka semua tahu password rumah Nara karena beberapa kali Nara mintai bantuan untuk menjaga anak-anak saat dirinya sibuk bekerja.

"Bora?" Panggil Nara tak yakin sambil jalan menuju kamar Taeyun-Taeyong. Hanya ada anak-anaknya disana.

"Eomma," panggil Nara lagi, kali ini dia berlalu ke dapur.

Pintu kamar mandi di ujung lorong rumah terbuka. Seorang pria keluar dari sana. Nara menjerit. Pasalnya, orang itu tidak mengenakan pakaian, hanya celana boxer pendek saja yang masih melekat.

"Noona, ini aku. Tenang lah."

"Chan?"

"Iya, aku suamimu," jawab Chan sambil terkekeh geli. Pria itu jalan menghampiri Nara yang masih terpaku di tempatnya semula dengan wajah pias. "Kenapa kaget begitu, hm?" tanya Chan sambil memberikan Nara ciuman di kening sebagai sapaan.

"Kau... pulang?"

"Tentu saja. Ini kan rumahku. Berarti aku pulang."

"Bukan, bukan," sela Nara dengan kening berkerut. "Harusnya saat ini kau ada di barak militer, di kaki gunung Seorak."

"Ini hari liburku, kau lupa?"

"Libur?"

Chan hanya mengangguk. Pria itu berjalan melewati bahu Nara dan membuka pintu kulkas. "Noona pasti terlalu sibuk mengurus si kembar sampai-sampai lupa dengan jadwal kepulanganku."

"Kenapa kau tidak telepon? Aku bisa menjemputmu."

Chan meraih satu botol minuman energi dan menutup kulkas di balik punggungnya. Pria itu tersenyum tipis sebelum menegak minuman di tangan. Sambil mengelap bibirnya, Chan mengedikkan dagu ke arah Nara.

"Aku yakin Noona tidak bisa menjemputku. Untuk melepas celemek sebelum tidur saja, kau tidak ada waktu."

Nara sontak menunduk memperhatikan pakaiannya. Benar apa yang telah dibilang Chan. Nara ketiduran masih dengan celemek memasak melekat di tubuh.

"Ah, aku lupa." Tangan Nara bergerak melepaskan ikatan tali celemek di punggung.

Chan mendengus geli. "Bagaimana kabarmu?"

"Chan, lebih baik kau memakai baju dulu sebelum kita mengobrol lebih jauh."

"Lebih enak begini. Seoul sedang panas. Baru beres-beres rumah sebentar, aku sudah gerah dan tak tahan ingin mandi."

"Taeyong dan Taeyun bisa kaget melihat Appa mereka bertingkah seperti orang hutan yang tidak kenal adab sepertimu."

"Kejamnya," keluh Chan. "Memangnya Noona tidak ingin melihat ini lebih lama?" tanya Chan menggoda sambil mengusap deretan kotak-kotak di perutnya.

"Tidak."

"Benar?"

"Chan!" pekik Nara kaget ketika suaminya tiba-tiba mengangkat tubuh Nara dengan mudah dan mendudukkannya di meja makan. "Minggir! Duduk di meja itu tidak baik."

"Aku hanya ingin mengamati wajahmu dengan lebih baik," ucap Chan bengal sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Nara.

"Jangan terlalu dekat," ucap Nara lirih sambil memalingkan wajah.

Chan meraih sebelah pipi Nara. Ibu jarinya mengusap pelan kulit lembut istrinya. Diperlakukan dengan lembut seperti itu, Nara perlahan luluh. Dia kembali menghadap pada Chan. Kening mereka sudah bersatu. Nara menahan napas ketika merasakan hangat hembusan napas Chan menerpa wajahnya.

Cup! Chan hanya menjatuhkan kecupan ringan di atas bibir Nara. Hal itu membuat si wanita membuka mata tak percaya.

Hanya itu? Pikir Nara.

"Kenapa?" tanya Chan sambil menarik tubuhnya, membuat jarak. "Apa Noona menungguku melakukan sesuatu yang lain?"

"Ti... tidak...."

"Bagus lah," balas Chan sambil tersenyum meledek. "Aku harus berpakaian rapi sebelum anak-anak bangun."

Nara mengumpat dalam hati. Ugh, rasanya benar-benar mengesalkan. Dia telah dipermainkan oleh Chan.

---

"Satu untuk Taeyong, satu untuk Taeyun," ucap Chan sambil meletakkan potongan ikan di piring anak-anaknya. "Tunggu Appa dan Eomma makan dulu. Mengerti?"

"Iya, Appa," jawab si kembar serempak.

Nara tersenyum simpul. Dia meletakkan mangkuk nasi Chan dan piring berisi telur gulung ke atas meja. Selesai memindahkan semua bahan makanan, Nara pun duduk bergabung di kursi.

"Terima kasih makanannya," ucap Chan sebelum mengambil sumpit. Nara membeo.

"Terima kasih makanannya, terima kasih Eomma," ucap Taeyun semangat sambil menarik piring berisi makanannya mendekat. Di samping, si saudara kembar sudah menyuap nasi terlebih dahulu.

"Anak-anak sudah pada besar," ucap Chan lirih. "Lihat, mereka sudah pandai memakai sendok."

"Taeyun dan Taeyong sudah dua tahun lebih. Tentu saja mereka sudah bisa makan sendiri," balas Nara.

"Aku melewatkan banyak hal," keluh Chan.

"Tidak, tidak," seru Nara menggeleng tak setuju. "Ke depannya, masih banyak hal lain yang akan terjadi pada mereka. Kau tidak terlambat sama sekali. Aku akan memberimu kesempatan untuk mengantar mereka pada hari pertama berangkat sekolah."

"Ugh, aku tak rela."

"Tidak selamanya mereka kecil dan selalu kita gendong kemana-mana."

"Iya, aku tahu," balas Chan. Sebelah tangannya bergerak mencubit pelan pipi Nara. "Kau ini terlalu serius. Santai lah sedikit. Aku ingin menikmati momen bersama kalian dengan perasaan yang ringan."

Nara terkekeh. "Baik lah."

"Eomma," panggil Taeyong. "Aku mau ikan lagi."

"Punya Taeyong sudah habis?" tanya Nara terkejut. Si ibu mengambilkan lauk untuk putra sulungnya.

"Kau tidak makan sayur?" tanya Chan menyadari bahwa sayur di piring Taeyong tak tersentuh sama sekali.

"Brokoli, aku tidak suka."

"Kau harus makan banyak sayur kalau mau tetap sehat," ucap Chan menasehati.

"Aku suka wortel. Tapi aku tidak suka brokoli."

"Untuk aku saja," ucap Taeyun, tangannya terulur ingin mengambil piring kakaknya.

"Tidak boleh. Kalian harus menghabiskan semua makanan yang diberikan Eomma di piring kalian masing-masing," tegas Chan.

"Appa jahat!" teriak Taeyun. "Yong-ie tak suka brokoli, jadi aku yang makan. Aku tak suka wortel, jadi Yong-ie yang makan."

"Memarahi orangtua itu tidak baik," ucap Nara menengahi.

Taeyong dan Taeyun melakukan aksi mogok makan. Nara menghela napas panjang. Kepulangan Chan ke rumah tampaknya tidak mendapat sambutan hangat dari anak-anak. Mereka malah bertengkar dengan sang ayah.

Acara makan malam berlalu dengan diikuti pertumpahan air mata. Chan memaksa Taeyong untuk memakan sayur miliknya sendiri. Karena si anak membandel tak menuruti apa kata sang ayah, Chan turun tangan menyuapi Taeyong secara langsung. Tingkah Taeyong makin menjadi. Lagaknya seperti dicekoki minum obat pahit, padahal hanya sayur tumis brokoli bawang putih biasa.

Melihat kakaknya tampak tersiksa, Taeyun melakukan pembelaan. Dia tak mau menghabiskan isi piringnya hingga Chan melepaskan Taeyong. Dua puluh menit berlalu, pertarungan itu berakhir. Taeyong dan Taeyun melarikan diri dari meja makan dan masuk ke dalam kamar.

"Chan," keluh Nara. Matanya menatap nanar ke arah pintu kamar anak-anak yang tertutup rapat.

"Mereka harus diajarkan dari kecil. Tidak baik pilih-pilih makanan."

"Kau tidak perlu bertingkah keras seperti tadi. Mereka masih anak-anak. Ini salahku. Harusnya aku bisa mengolah brokoli menjadi makanan yang enak untuk Taeyong santap."

"Nanti mereka jadi manja kalau kau begitu kan terus."

"Aku sudah pengalaman lebih dulu mengurus anak kecil, dibandingkan dirimu. Aku ini guru taman kanak-kanak."

"Aku ayahnya Taeyong dan Taeyun. Aku berhak campur tangan dalam mendidik mereka."

"Apa kau sedang menantangku?!"

Chan terdiam, tak lagi membalas ucapan istrinya. Belum sampai dua puluh empat jam tinggal di rumah, sudah ada pertengkaran di antara mereka.

"Maaf," ucap Chan mengalah pada akhirnya.

"Kau harus minta maaf pada Taeyong."

"Iya." Chan berdiri dari tempat duduknya. "Aku pergi ke kamar mereka dulu."

--

Minta maaf pada anak-anak tidak semudah yang Chan bayangkan. Taeyong dan Taeyun tidak menganggap kehadiran Chan, alias merajuk tak kenal ampun. Dengan iming-iming boleh makan cokelat, barulah keduanya mau menoleh. Rasanya Chan ingin menggeram gemas menghadapi kelakuan si kembar.

"Sudah baikan?" tanya Nara melihat Taeyong dan Taeyun duduk tenang sibuk membuka bungkus cokelat di tangan masing-masing.

Kedua bibir Chan mengatup membentuk garis lurus. Ia mengedikkan dagu ke arah buah hatinya. "Mereka terlalu cerdik untuk aku kelabui."

"Kalau mereka mau menerima cokelat, tandanya mereka juga mau menerima permintaan maaf," ucap Nara mengambil asumsi. Wanita itu menepuk pelan puncak kepala Chan dan kembali berdiri. "Aku akan membereskan dapur. Kalian main yang akur ya."

Chan mengamati punggung Nara yang berjalan menjauh. Diam-diam Chan melenguh. Nara selalu saja begitu, menepuk puncak kepalanya seolah-olah Chan adalah anak kecil.

"Appa, mau?" tanya Taeyong menyodorkan bungkusan cokelat di tangannya.

"Appa boleh minta?"

"Aku kasih."

"Terima kasih, Taeyong." Chan menerima pemberian putra sulungnya. Setelah itu, Chan mengangkat tubuh Taeyong untuk duduk di pangkuannya. "Appa minta maaf ya, Taeyong. Tadi Appa maksa Taeyong makan."

Kepala Taeyong mengangguk-angguk lucu. Wajahnya mulai belepotan oleh cokelat.

"Taeyong maafin Appa?"

"Iya."

"Pintar," puji Chan. Ia mencium kepala putranya. "Tapi, lain kali Taeyong harus mau makan sayur ya. Kasihan Eomma sudah capek masak. Taeyun juga. Kalau kalian suka makan sayur, kalian akan semakin kuat."

"Kalau kuat, aku bisa jadi tentara kayak Appa?" tanya Taeyun polos.

"Iya, bisa," jawab Chan. Ucapannya berhenti. Chan lalu berpikir. "Tunggu, sepertinya ada yang salah."

Chan mendudukkan Taeyong di lantai berkarpet, menghadap ke arahnya. Si kembar yang sedang asyik makan cokelat menatap Chan dengan tatapan bingung. Keduanya ikut terdiam.

"Taeyong, Taeyun, pekerjaan Appa apa?"

"Tentara," jawab Taeyong dan Taeyun serentak.

Chan menepuk jidat. Ini lah yang salah! Lee Taeyong dan Lee Taeyun tidak tahu bahwa ayah mereka adalah idol. Lee Chan yang sekarang memang sedang menjalankan tugas negara dengan wajib militer, tapi bukan berarti dia pensiun dari jabatan member termuda grup bernama Seventeen.

"Appa seorang penyanyi, idol. Kalian lupa? Dulu Appa sering membawa kalian ke ruang latihan menari," ucap Chan memberi pembelaan.

"Paman Mingyu penyanyi," kata Taeyong.

"Tante Bora seorang idol," lanjut Taeyun. Bocah itu melepaskan cokelat di tangannya dan berdiri. Taeyun menunjukkan gerakan menari yang dia tiru dari tantenya. "Tante Bora menari seperti ini. Ireoke, ireoke." Taeyun menari dengan lucu.

"Ani~, Appa-neun," Chan mengacak rambut frustasi. Dia berdiri dan mengambil ponsel, tak lama kemudian sebuah lagu mengalun. "Appa juga idol seperti mereka. Akan Appa tunjukkan bahwa Appa adalah seorang dancer terbaik di industri K-Pop."

Sambil mengelap meja makan, Nara tertawa mendengar perdebatan Chan dan anak-anak. Chan terdengar tidak mau kalah. Kalau sedang begini, di mata Nara, Chan seperti anak kecil yang cemburu karena kemampuannya tidak diakui. Dengan anak sendiri saja Chan tidak mau kalah.

Selesai membersihkan sisa-sisa acara makan bersama tadi, Nara bergabung di ruang tengah. Dia melihat kemampuan Chan menari setelah sekian lama. Di sampingnya, Taeyong dan Taeyun melompat-lompat. Ketiganya menari diiringi lagu Seventeen, namun koreografinya tak ada yang sama. Nara tertawa terbahak-bahak menyaksikan pertunjukan dadakan itu.

"Sayang, kau tidak memberi tahu mereka kalau aku ini seorang idol?"

"Saat ini kau sedang jadi tentara. Tiap kau melakukan video call, yang mereka lihat adalah seragam tentara. Wajar kalau Taeyong dan Taeyun menganggapmu seorang tentara."

Chan menggeleng. Dia menyalakan televisi. Pria itu mengutak-atiknya sebentar, dan terpampang lah satu video performance grup Seventeen disana.

"Paman Mingyu!" teriak Taeyun semangat sambil menunjuk-nunjuk wajah Mingyu yang muncul di layar televisi.

"Haneul Appa!" ucap Taeyong menunjuk wajah Jeonghan.

"Lihat, itu ada Appa juga!" ucap Chan meyakinkan. Dia menekan tombol pause saat wajahnya sedang disorot kamera. "Lihat baik-baik. Appa sedang menari."

"Itu bukan Appa," ucap Taeyun yakin, sekaligus keras kepala. Di belakang, Nara puas tertawa melihat aksi suaminya yang gemas dengan ucapan Taeyun barusan.

"Sayang, bantu aku. Mereka tidak percaya," rengek Chan pada Nara. Tawa Nara makin menjadi mendengar rengekan Chan.

--

Kasihan, Yong-ie sama Yun-ie nggak kenal sama bapak sendiri...

Vomment yuk :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top