[DINO] Boys Day Out
"Aku sudah menyiapkan makanan untuk kalian di kulkas. Kau bisa memanaskannya menggunakan microwave. Segera hubungi aku jika ada masalah di rumah. Note: jangan beri Taeyong dan Taeyun makanan manis!"
Chan memajukan bibirnya membaca pesan di sticky notes yang ditinggal Nara di pintu lemari pendingin. Pria itu mengacak rambut belakangnya dengan frustasi. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia membuka pintu kulkas. Benar saja, sang istri sudah menumpuk beberapa kotak makan di dalam sana. Bahkan hampir setengah lemari penyimpanan makanan penuh olehnya.
Pagi ini Chan bangun dengan suasana hati yang tidak secerah biasanya. Pasalnya, ia tidak menemukan Nara berada di sisinya. Bahkan tidak berada di mana pun walaupun ia sudah mencari ke seluruh penjuru rumah.
Semalam, Nara sudah memberitahunya bahwa pagi ini ia harus pulang ke rumah orangtuanya karena sang Ayah jatuh sakit. Chan tentu tidak dapat melarangnya. Pada awalnya, pria itu menawarkan diri untuk mengantar Nara ke Iksan, kampung halaman mereka berdua. Namun, istrinya menolak. Alasannya, kalau mereka berdua pergi, siapa lagi yang akan merawat si kembar? Jadilah mereka bagi tugas. Nara mengurus sang Ayah dan Chan mengurus si kembar.
Chan masih ingat betul bagaimana hubungan Nara dan kedua orangtuanya sempat retak akibat pernikahan mereka. Yah, Chan juga ambil alih sebagai penyebab itu semua. Andaikan saja Nara tidak hamil di luar nikah, pasti wanita itu tidak perlu menyembunyikan semuanya dari orang-orang di rumah. Alhasil, ketika Taeyong dan Taeyun lahir, mereka berdua sempat tidak diakui oleh orangtua Nara sebagai cucu.
Ah, ingat masa-masa itu, suasana hati Chan jadi bertambah mendung. Sungguh saat yang berat.
Maka dari itu, ketika ada kejadian seperti sekarang, dimana sang Ayah membutuhkan bantuan Nara, Chan tidak mungkin melarangnya untuk pergi. Ia saja sudah dicap sebagai menantu kurang ajar, dulu. Chan tidak mau memperkeruh suasana dengan bersikap egois.
Yah, dia hanya bisa berdoa semoga ayah mertuanya tidak sakit berat. Jadi, Nara tidak terlalu lama pergi meninggalkannya bertiga di Seoul. Chan tidak dapat membayangkan bagaimana repotnya mengurus dua bocah kembar yang tidak pernah lelah untuk bermain. Apalagi sekarang Taeyong dan Taeyun sedang berada dalam masa pertumbuhan dimana keduanya menjadi penuh rasa ingintahu dan gampang rewel.
"Ap..pa, ap..pa."
Chan menoleh cepat mencari suara kecil yang menyapanya. Mulutnya terbuka lebar. Ia segera menutup pintu lemari pendingin dan menghampiri Taeyun yang berjalan lucu menuju dapur.
"Kenapa kau bisa kabur dari kasurmu, huh?" tanya Chan bingung. Ia membawa putranya itu dalam dekapan dan berlalu menuju kamar tidur si kembar.
Sebenarnya, Taeyun sudah cukup mahir untuk memanjat keluar dari kasur bayinya. Bahkan anak itu cukup cerdas untuk menumpuk boneka mainannya dan bantal sebagai pijakan. Nara seringkali menangkap basah kelakuan putra keduanya itu. Maka dari itu, ketika Taeyun sudah tidur, ia akan mengeluarkan segala boneka dan mainan dari tempat tidurnya.
"Kau memanjat keluar?" kali ini Chan terperangah terkejut. Ia melihat jejak peninggalan tumpukan boneka yang digunakan Taeyun untuk kabur. "Wah ternyata benar apa kata Noona. Aku harus lebih hati-hati lagi."
"Mam," celoteh Taeyun ceria dalam gendongan Chan. "Appa mam."
"Ah, kau bangun karena lapar rupanya," kata Chan mengerti keinginan Taeyun. "Pantas saja kau langsung jalan ke dapur."
"Mam, Appa mam," rengek Taeyun. Ia menggerak-gerakkan kakinya ingin turun dari gendongan Chan.
Sang ayah menuruti keinginan Taeyun. Ia menurunkan anaknya yang langsung melesat berjalan tertatih keluar kamar. Chan mengamati Taeyong masih tenggelam dalam tidurnya. Ia tersenyum sekilas dan keluar mengikuti langkah Taeyun.
"Kakakmu belum bangun, kau mau makan duluan?" Chan seperti bermonolog sendiri. Ia membuka pintu kulkas. Dibelakangnya Taeyun berdiri dengan kedua tangan berada di depan dada. Pria kecil itu tidak sabar dengan menu sarapan yang akan disiapkan sang ayah.
"Kita lihat, Eomma sudah menyiapkan apa," seru Chan. Ia melihat isi kotak makan satu per satu. Alisnya bertemu ketika tidak menemukan bubur yang biasa Nara berikan pada si kembar.
"Wah, nggak ada bubur," kata Chan.
Seperti mengerti dengan ucapan sang Ayah, Taeyun mulai merengek. Ia bahkan menerobos melalui dua kaki Chan dan ikut melihat ke dalam kulkas. Tangan mungilnya menarik apa saja yang berada dalam jangkauannya.
"Mam... mam...," racaunya.
"Jangan yang itu!" pekik Chan kaget ketika Taeyun hampir saja membuat mangkuk berisi kimchi jatuh mengenai wajahnya sendiri.
Tangannya bergerak cepat menyelamatkan Taeyun. Dengan satu sentakan, Taeyun sudah ia tarik ke belakang. Karena kaget dengan pintu kulkas yang tiba-tiba menutup keras di depan wajahnya, Taeyun menangis. Kali ini Chan makin kelabakan.
"Mian, mian," ucap Chan menggendong Taeyun. Ia mengayun putra kecilnya sembari mengelap air mata dari wajah Taeyun. "Appa minta maaf, kau pasti terkejut."
Chan menarik kursi makan bayi berwarna hijau muda mendekat ke arah meja makan. Ia mendudukkan Taeyun di atasnya. Pria itu kembali membuka pintu kulkas. Kali ini ia mengeluarkan satu gelas berisi yogurt rasa strawberry. Ia kemudian mengambil celemek makan dan sendok kecil.
Melihat sang ayah datang dengan makanan di tangannya, Taeyun kembali tertawa senang. Ia bertepuk tangan dan meracau dengan bahasa bayi. Bahkan ia berdiri dari posisi duduknya.
Chan menggeleng. Ia menjauhkan yogurt dari Taeyun dan menunjukkan sikap disiplin pada putranya.
"Anja!" ucap Chan tegas. Taeyun masih menggerak-gerakkan tangannya dengan tidak sabar. "Anja! Kalau tidak menurut, Appa tidak akan memberikan ini padamu."
Taeyun menatap wajah sang ayah dengan kedua mata bulatnya. Ia duduk seperti semula. Matanya masih memandangi Chan penuh harap.
Dengan telaten, Chan memasangkan celemek makan di leher Taeyun. Ia menyerahkan sendok bayi milik Taeyun yang langsung diterima dengan suka cita oleh pemiliknya. Chan tertawa kecil. Taeyun memang lebih aktif dan cerewet jika dibandingkan saudara kembarnya, namun sikapnya bisa dibuat tenang hanya dengan makanan.
Chan membukakan tutup pembungkus yogurt dan meletakkannya di hadapan Taeyun. Bayi berusia 18 bulan itu dengan tak sabar menariknya mendekat. Chan buru-buru mencegah. Ia menangkupkan kedua tangan Taeyun menjadi bersedekap di atas meja. Chan menunduk kecil, Taeyun mengikuti.
"Jal meokkessumnida," kata Chan mengajarkan pada Taeyun.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Chan membiarkan Taeyun menyantap yogurtnya. Sungguh perjalanan yang melelahkan hanya untuk menikmati satu gelas yogurt di pagi hari. Nara memilih metode mengajar anak-anaknya seperti ini. Dimulai dari kecil, katanya. Jadi mau tak mau, Chan ikut menerapkannya.
Chan berlalu mengambil ponselnya dari meja. Ia duduk di kursi meja makan sambil memandangi Taeyun yang kini sedang fokus menggunakan sendok untuk menikmati yogurtnya. Di telinganya menempel ponsel, Chan sedang menunggu seseorang terhubung dengan teleponnya.
"Sayang," panggil Chan ketika akhirnya panggilannya terjawab. "Bubur milik si kembar dimana? Kalau pagi mereka sarapan bubur, kan?"
Kedua mata Chan terbuka lebar mendengar jawaban sang istri. "Tidak ada?! Jadi aku harus membuatnya sendiri?"
Chan mengerjapkan kedua matanya. Kalau untuk masalah memasak, walaupun keahliannya sudah cukup meningkat, ia masih ragu untuk membuatkan makanan bagi si buah hati. Lagipula ia tidak pernah membuat bubur sebelumnya.
"Tunggu dulu," cegah Chan ketika Nara tampak ingin memutuskan sambungan teleponnya. "Ajarkan padaku bagaimana cara membuat bubur untuk mereka."
Chan bergerak cepat mengambil notes dan pensil dari laci meja. Ia mencatat langkah-langkah membuat bubur yang diceritakan Nara. Kepalanya mengangguk-angguk mengerti, tangannya bergerak cepat.
"Ah, jadi tidak perlu terlalu halus, yang penting cukup lembut untuk mereka makan," kata Chan mengerti. "Aku boleh memberi mereka makan mie tidak? Bukankah Noona tadi bilang sudah boleh dikenalkan makan-makanan padat."
Chan meringis mendengar omelan Nara di seberang. "Aku lupa kalau mereka lahir premature. Arra, arra. Aku akan lebih berhati-hati," ucap Chan mengalah. "Kau mau melihat Taeyun? Saat ini ia sedang makan yogurt."
Chan mengubah sambungan telepon menjadi video call. Wajah Nara terpampang di layar. Walaupun baru meninggalkan rumah selama dua jam, wanita itu sudah rindu dengan bayinya.
"Taeyun-ah," panggil Nara ketika melihat putranya sedang makan dan belepotan dimana-mana. Taeyun bahkan sudah menyerah menggunakan sendoknya dan lebih memilih menggunakan kedua tangan untuk menyantap yogurt. "Wah, kau seperti monster kecil. Chan, kau akan bekerja ekstra keras untuk membereskan itu semua."
Chan menghela napas panjang. Ini masih pagi, namun entah mengapa ia sudah merasa lelah. "Ya, aku tahu. Tenang saja, aku bisa mengatasi semua yang ada disini."
"Ma... eomma," panggil Taeyun. Ia tertawa kecil ketika melihat wajah sang ibu di layar ponsel. Tangannya yang kotor berusaha meraih ponsel Chan.
Chan buru-buru menjauhkan benda berbentuk segi empat itu ke atas. Taeyun merengek, ia belum puas memandangi wajah sang ibu. Namun Chan tidak menuruti keinginannya. Ia tidak ingin ponselnya rusak akibat tangan kotor Taeyun.
"Jangan terlalu banyak memberinya makanan sampingan, Chan," ucap Nara setelah tawanya selesai. Ia tertawa karena melihat 'perkelahian kecil' antara ayah dan anak. "Membuat bubur tidak terlalu susah kok. Jangan lupa beri mereka minum ASI. Aku sudah menyiapkannya di kulkas, tempat biasa."
"Okay, aku mengerti," kata Chan mantap. "Kau tidak akan pergi terlalu lama kan?"
Nara tersenyum. Sebenarnya ia pun tidak tega meninggalkan suaminya mengurus si kembar seorang diri. Namun mau bagaimana lagi, Bora pun sedang sibuk dengan persiapan album solonya, ia tidak mungkin memberatkan saudara kembarnya untuk membantu Chan.
"Kita lihat nanti ya," kata Nara tidak yakin. "Ah, sekarang aku sedang ada di kereta. Aku hubungi lagi setelah sampai di rumah. Selamat bersenang-senang!"
Chan tersenyum. Antara senyum getir atau senyum dengan usaha untuk menghilangkan kekhawatiran sang istri. "Kau juga. Hati-hati dan cepatlah kembali ke rumah."
Chan meletakkan ponselnya ke atas meja setelah memutus sambungan telepon. Ia kemudian berlalu ke dapur sambil bergumam sendiri.
"Nasi sudah masak," kata Chan sambil membuka rice cooker. "Hm, tinggal masukkan air ke dalam panci, tambahkan nasi, aduk hingga lembut. Terus tambahkan daun bawang dan telur kocok," lanjutnya sambil membaca catatan kecil yang ia buat sebelumnya.
Chan menarik napas. Ia menepukkan kedua belah telapak tangannya. "Baiklah, Appa akan memasak untuk kalian."
"Appa, ting, mam!"
Chan menoleh. Ia tersenyum melihat Taeyun yang mengoceh sambil tertawa. Seketika ia mendapat kekuatan hanya dengan melihat wajah polos anaknya. Chan akan berusaha yang terbaik untuk anak-anaknya.
--
Mobil telah terparkir dengan rapi di tempatnya. Chan mematikan mesin mobil. Sebelum turun dari kendaraannya, ia memastikan sekali lagi bahwa dandanannya sudah cukup rapi. Walaupun ia sudah menjadi ayah, penampilan tetap menjadi hal utama yang harus ia jaga. Terutama ketika ia sedang keluar rumah. Siapa yang tahu kalau ia akan bertemu dengan fansnya di luar?
Chan mengeluarkan tandem baby stroller dari bagasi dan menyetelnya dengan cekatan. Tak lupa ia meletakkan tas berisi peralatan si kembar di tempat penyimpanan bawah stroller. Pria itu kemudian membuka pintu penumpang belakang dan membebaskan Taeyong serta Taeyun satu per satu dari kursi bayi mereka. Ia memindahkan Taeyun yang masih terlelap dengan hati-hati ke atas kereta dorong bayi. Taeyong dengan patuh dan tenang menuruti sang ayah untuk duduk di samping saudara kembarnya.
"Kajja! Kalian akan melihat Appa menari dengan mengagumkan,"kata Chan semangat.
Pagi ini setelah berperang di dapur untuk menyiapkan sarapan anak-anaknya, kegiatan memberatkan lainnya bagi Chan adalah memandikan mereka yang belepotan makanan. Bahkan entah bagaimana bisa bubur telur yang dibuatnya bisa hinggap di atas kepala Taeyong. Sungguh pagi yang repot.
Namun rasa lelah itu semua terbayarkan ketika mendapat telepon dari Soonyoung. Pria itu memintanya datang ke kantor agensi untuk membantunya membuat koreografi baru bagi lagu mereka. Hanya dengan menari, Chan dapat melepaskan semua rasa stressnya.
Chan mendorong baby stroller memasuki gedung tempatnya biasa latihan. Ia sengaja memilih jalan belakang. Demi keamanan anak-anaknya ia menghindari para fans yang pastinya berkerumun di depan pintu masuk. Walaupun pihak agensi sudah memberi kabar perihal pernikahan Chan dan kelahiran putra-putranya, tetap saja Chan tidak ingin anaknya menjadi buronan publik. Setidaknya sampai Taeyong dan Taeyun lancar jalan dan bicara.
"Hai, hai, hot daddy!" sapa seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik punggung Chan.
Chan menoleh. Senyumnya mengembang. "Hyung! Kau baru sampai juga rupanya," kata Chan menyapa Soonyoung.
Soonyoung mengangguk. Ia menyesap sedikit ice americano yang ada di tangannya sembari mengintip isi stroller. Pandangan mata Soonyoung bertemu dengan milik Taeyong yang sedang menggigit mainannya.
"Halo anak manis!" sapa Soonyoung sambil menunduk. "Dia ini Taeyong atau Taeyun?" tanya Soonyoung pada Chan.
"Taeyong, hyung," jawab Chan. "Lebih gemuk Taeyun, kan? Lihat saja pipinya sampai sebesar bakpau sekarang."
Soonyoung memandang ke arah bayi Chan lainnya yang masih terlelap. Hebat sekali, bahkan Taeyun tidak terbangun oleh suara berisik samchonnya ini.
"Wah, benar. Dia jadi mirip Jihee sekarang," seru Soonyoung menyebutkan nama keponakan yang seumuran dengan si kembar.
Chan terkekeh. Pria itu mendorong strollernya menuju ruang latihan dance Seventeen. Soonyoung membuka pintu dan menahannya untuk si maknae.
"Wah, kalian sedang latihan disini rupanya," kata Chan saat menemukan Seungcheol, Wonwoo, Mingyu, dan Hansol berada di ruang latihan.
"Kau bawa Taeyong dan Taeyun?" tanya Mingyu. Pria jangkung itu otomatis berdiri dan menghampiri Taeyong yang masih diam saja fokus dengan mainan di tangannya. Ia meraih bocah itu dengan kedua tangannya dan membawanya bermain bersama anggota Seventeen yang lain.
Chan menarik napas lega. Setidaknya ada Mingyu disini yang bisa membantunya mengasuh si kembar jika mereka tiba-tiba rewel. Mingyu memang senang bermain dengan para keponakannya. Tidak heran jika Taeyun dan Taeyong sudah kenal dengan Mingyu.
"Tidak ikut comeback kali ini, kau jadi punya banyak waktu untuk bermain dengan anak-anakmu ya," komentar Seungcheol iri. Matanya terpaku pada Taeyong yang saat ini sedang memperhatikan trik sulap abal-abal yang ditunjukkan Wonwoo.
"Sebelum aku berangkat wajib militer, aku ingin menghabiskan banyak waktuku dengan mereka," kata Chan. Ia memandang Seungcheol. "Hyung enak ya, sudah berangkat wamil sebelum punya anak."
Seungcheol tertawa. "Setidaknya kau harus bisa pulang dan bertemu dengan mereka saat ada waktu libur," kata leader Seventeen itu sambil menunjuk Taeyong dan Taeyun. "Bisa-bisa mereka lupa dengan wajah Appa-nya dan tidak mengenalimu saat kau kembali."
Chan terperangah. "Hyung, jangan bicara yang aneh-aneh. Aku tidak membesarkan mereka untuk menjadi anak durhaka."
"Kudengar, anak kecil akan mengingat wajah seseorang tidak terlalu lama. Jika kau menghilang selama sebulan, mereka akan melupakan wajahmu," kali ini Hansol ikut bicara.
"Kejam sekali," Chan menatap Taeyong yang sedang tertawa bersama Wonwoo dan Mingyu dengan tatapan ngeri. "Kalau begitu aku akan melakukan video call dengan anak-anakku sesering mungkin."
Soonyoung menepuk bahu Chan dari belakang. "Ayo bekerja. Hyerim Noona sudah datang."
Chan mengangguk. Ia berdiri dan mengecek kondisi Taeyun yang masih terlelap. Kepalanya kembali menoleh pada Taeyong yang duduk di pangkuan Mingyu. Anak-anaknya tampak tenang, ia bisa bekerja dengan tenang sekarang.
Melihat tingkah Chan yang penuh dengan kehati-hatian dalam mengurus anaknya, membuat Seungcheol berdecak kagum. Maknae grup-nya itu sudah tumbuh dewasa dengan baik. Ia masih ingat bagaimana kekacauan yang sempat terjadi di asrama ketika mendengar kabar bahwa Chan akan menjadi ayah tanpa ikatan pernikahan. Seungcheol bersyukur semuanya berjalan dengan baik hingga saat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top