Part 9, Josh

Ting tong ting tong.

Joshua mengulet di atas kasur. Ia enggan membuka kedua matanya. Karena bel pintu terus berbunyi, pria itu akhirnya menyeret langkah menuju interkom. Ia terlihat sedikit senang melihat pengganggu kecil yang membangunkan tidurnya.

"Josh!"

Joshua berusaha keras membalas senyuman gadis kecil yang baru saja masuk ke apartemennya. Ia merapatkan selimut yang berada di kedua pundaknya. Jujur saja, ia merasa sangat lemas hanya untuk bangun dari kasur.

"You look awful." Hyesung memegang dahi Joshua. Ia berjengit kecil ketika menyadari Joshua masih demam. "Cepat pergi ke kamarmu."

Joshua melirik ke balik punggung Hyesung. "Jihoon-ah kau tidak ingin masuk?"

"Kalian terlihat mesra, aku tidak berani mengganggu," ucapnya penuh penekanan. Sudah bukan rahasia lagi kalau Jihoon mudah cemburu pada Joshua, padahal tidak ada hal yang harus dikhawatirkan.

Hyesung memutar kedua matanya tanpa terlihat Jihoon. Joshua yang tahu hanya terkekeh geli. Sebentar lagi ia akan menyaksikan Hyesung mengeluarkan jurus maut aegyo-nya membujuk Jihoon agar tidak merajuk.

"Aku kembali ke kamar ya," pamit Joshua ketika rasa pening di kepalanya bertambah.

Percakapan Hyesung dan Jihoon terhenti. Keduanya sadar bahwa mereka kesana untuk merawat Joshua yang sakit.

"Josh, kau sudah makan?" tanya Hyesung. Ia membantu Joshua kembali berbaring di kasurnya.

"Biskuit, hanya untuk dasar sebagai makan obat," jawab Joshua. Ia sudah memejamkan matanya.

"Kalau begitu aku akan membuatkan bubur," kata Hyesung.

"Walaupun bubur buatanmu enak, makan bubur ketika sakit itu tidak menyenangkan," sambung Jihoon. "Lebih enak makan pizza."

"Itu kan Oppa, beda dengan Josh" protes Hyesung. Ia kemudian sadar bahwa mereka berdua harus keluar dari kamar Joshua agar pria itu bisa istirahat dengan tenang. "Josh, tidurlah. Aku akan membangunkanmu ketika makanan sudah siap."

Joshua mengangguk. Ia merapatkan selimutnya dan berusaha untuk tidur lagi. Setelah pintu kamarnya ditutup, Joshua tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia senang karena Hyesung, yang sudah seperti adik kandungnya sendiri, ada disisinya ketika ia sakit.

Pria itu jadi ingat dengan seseorang yang akan bertindak sama seperti Hyesung. Wanita itu akan mengambil cuti dan memesan tiket penerbangan tercepat untuk ke Seoul saat mendengar Joshua sakit.

--

"Just sleep, Honey," seru Victoria dari dapur. "I can handle it."

"Don't force yourself," cegahku dengan suara serak. "I am not that hungry."

Mendengar ucapan bebalku, tangan Victoria bersedekap di depan dada. Ia memberikan tatapan tajam padaku.

"Itu karena kau sedang sakit, kau jadi merasa tidak lapar karena lidahmu pahit," ucap Victoria. Ia mendorong bahuku agar kembali masuk kamar.

Aku menyerah dan menurut ketika Victoria menyuruh masuk ke dalam selimut. Victoria bahkan memasang alat kompres di dahiku. Ugh, aku jadi seperti anak kecil.

"Aku akan tidur, tapi aku tidak ingin makan," kataku lagi.

Kedua tangan Victoria berada di pinggul. Ia terlihat sangat menggemaskan karena sedang kesal tapi tidak bisa memukulku. Aku jadi makin bersemangat menggodanya.

"Jawab jujur," ucapnya tajam. "Kau tidak ingin makan atau kau tidak mau makan masakanku?"

Kedua mataku melebar. Niat ingin menggoda, ia malah jadi marah beneran. Sepertinya aku sudah keterlaluan. Victoria benar-benar mengkhawatirkan kondisiku.

"Bukan begitu," sangkalku. "Okay, okay. Aku akan mempercayakan semuanya padamu. Aku tidur ya."

Victoria mengangguk. Sekali lagi ia memastikan bahwa aku sudah dalam posisi nyaman sebelum meninggalkanku untuk memasak.

Sebenarnya aku hanya sakit flu batuk biasa. Aku ingin menyembunyikannya dari Victoria karena ia sedang sibuk di New York sana. Sayangnya, ia menyadari perubahan suaraku yang menjadi serak saat ditelepon olehnya dan langsung menyusulku disini. Padahal aku tahu, hanya dengan banyak istirahat dan minum obat pemberian Hyesung, aku pasti akan langsung sembuh. Aku tidak sakit separah itu, lagipula aku juga sedang tidak ada pekerjaan yang mengharuskanku untuk bernyanyi.

Satu setengah jam tidur, aku akhirnya membuka kedua mata. Kulihat ke arah jendela yang tirainya masih belum ditutup. Langit diluar sana sudah mulai menggelap. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam sore.

Aku bangun dan meletakkan kain yang digunakan untuk kompres ke atas nakas. Dimana Victoria? Aku tidak melihat tanda-tanda keberadaannya.

Penasaran, aku jalan keluar kamar. Kulihat Victoria sedang memandangi layar ponselnya dengan serius. Apron berwarna cokelat tua masih melekat di tubuhnya. Kuhampiri wanitaku yang masih belum tahu bahwa aku sudah bangun.

"Sedang apa?" tanyaku penasaran.

Victoria terkejut melihat diriku sudah ada di depannya. "Kau sudah bangun? Tapi aku belum selesai menyiapkan makanan."

"Bukankah kau memasak bubur? Itu mudah, kan?" tanyaku dengan alis ke atas.

"Buburnya berubah jadi kerak nasi," ucap Victoria. Sudut bibirnya mengarah ke bawah. "Seharusnya aku sadar diri dan tidak memaksakan diri. Aku bahkan tidak bisa buat bubur biasa."

Victoria menenggelamkan wajahnya pada kedua belah telapak tangan. Suaranya jadi bergetar. "Aku berusaha mencari restoran yang menjual bubur disini. Tapi aku tidak bisa membaca huruf hangul. Aku mencoba menelepon dan bicara menggunakan bahasa Inggris, tapi mereka tidak mengerti. Aku benar-benar gagal."

Aku kaget ketika melihat Victoria menangis karena gagal memesan makanan. Kurengkuh tubuhnya masuk ke dalam pelukan. Punggungnya kutepuk pelan. Bukannya mereda, tangisnya justru makin deras.

"Kau tidak gagal, honey," ucapku menenangkan. Aku sendiri tahu bagaimana beratnya tinggal di negara lain yang tidak kau ketahui. Ditambah lagi, Victoria tidak mengerti bahasa Korea. "Coba aku lihat masakanmu. Mungkin masih bisa diselamatkan."

"Jangan," ucapnya melarang sambil menahan tanganku agar terus duduk memeluknya. "Jangan makan itu. Kau bisa jadi tambah sakit."

Aku berusaha menahan tawa. Wanitaku benar-benar menggemaskan. Sepertinya ia panik karena tidak pernah merawat orang sakit sebelumnya.

"Baiklah, berhentilah menangis. Aku akan memesan makanan untuk makan malam kita," kataku lagi. Aku melepas pelukan dan menghapus jejak air mata dari kedua pipinya. "Aku sudah lebih baik kok. Kau tidak perlu khawatir."

Victoria menyedot ingusnya. Ia mengelap air mata yang tersisa dengan lengan baju. Setelah itu, tangannya bergerak memegang dahiku.

"Demammu sudah turun," katanya dengan suara khas orang habis menangis.

Aku meringis. "Benar, kan? Aku hanya butuh istirahat lebih banyak."

Ia mengangguk. Ah, lucu sekali. Mata hijaunya yang masih berair, ujung hidungnya yang memerah. Rasanya aku ingin menciumnya saat ini juga. Untunglah aku masih dapat menahan diri. Aku tidak ingin menularkan penyakit flu batuk ku pada Victoria.

"Kalau begitu, sekarang mau pesan makan?" tawarku. Ia mengangguk.

Aku memberikan beberapa pilihan restoran yang bisa melakukan pesan antar. Kuterjemahkan menu makanan yang tertulis dengan hangul pada Victoria yang meringkuk nyaman dalam lenganku. Victoria tetap bersikeras agar aku makan bubur, padahal aku sedang ingin ayam goreng.

Akhirnya malam itu kami memesan bubur, tangsuyuk, dan samgyetang. Perpaduan yang aneh. Tapi aku tetap memesannya karena Victoria bilang ia ingin tangsuyuk dan samgyetang asli buatan Korea.

Sambil menunggu pesanan diantar, kami menonton televisi bersama diselingi bercanda gurau. Victoria tertidur ditengah film. Wajar saja, saat baru tiba di apartemenku, ia justru ribut ingin memasak, bahkan belum membereskan barangnya sama sekali. Pasti ia lelah dengan penerbangan jarah jauh sekaligus mengkhawatirkanku.

Dari kejadian malam ini, aku jadi sadar bahwa Victoria tidak main-main ketika bilang bahwa ia khawatir denganku. Ia bahkan memperhatikanku terlebih dulu dan mengabaikan fakta bahwa dirinya sendiri pun lelah.

Sejak hari itu, Victoria jadi berniat mengambil kursus bahasa Korea. Katanya, agar bisa bicara dengan warga lokal jika ada keadaan emergency di negaraku ini ketika aku sedang tidak ada. Ah, aku bangga dengan wanitaku Victoria!

--

"Hyung," panggil Jihoon membangunkan Joshua. "Hyung bangun. Sudah jam makan siang. Kau harus makan."

"Hmm," Joshua mengulet kecil.

Jihoon memegang dahi Joshua yang berkeringat. "Kau banyak berkeringat, Hyung. Untunglah demammu sudah membaik. Kau akan merasa lebih sehat lagi setelah makan."

Joshua membuka matanya. Ia melihat berkeliling. Ketika tidak menemukan sosok yang ia harapkan, Joshua menghela napas panjang.

"Ah, kukira dia benar akan datang," ucap Joshua lirih. Ia mengacak rambutnya dan terkekeh kecil, menertawakan diri sendiri. "Lagipula darimana ia bisa tahu kalau aku sakit? Bahkan sepertinya ia sudah tidak peduli padaku."

Jihoon mengerutkan dahinya. "Hyung, kau sedang tidak menggigau, kan? Apa ada yang sakit lagi? Aku bisa minta Hyesung untuk memeriksamu."

Joshua mengangkat wajahnya. Ia menggeleng pelan dan menyingkirkan selimut dari tubuhnya. "Aku baik-baik saja. Ayo makan."

Jihoon hanya mengikuti langkah Joshua keluar dari kamar dalam diam. Ia masih bingung dengan ucapan yang Joshua keluarkan tadi. Apa hyung-nya masih belum bisa melupakan orang itu?

"Josh," panggil Hyesung. Ia menunjuk ke arah kursi, menyuruh Joshua untuk duduk disana. "Ayo makan dulu. Setelah itu kau harus minum obat lagi dan tidur."

Joshua mengangguk. Ia memandang permukaan mejanya yang tampak penuh dengan berbagai jenis makanan. Sudah lama sekali ia tidak makan di meja. Joshua pasti lebih memilih membawa makanannya ke depan televisi.

"Kau menyiapkan ini semua?" tanya Joshua. Tangannya bergerak mengambil sendok.

Hyesung mengangguk. "Dengan bantuan Jihoon Oppa."

Joshua menyuapkan bubur telur buatan Hyesung ke dalam mulut. Ia berhenti sesaat. Hyesung dan Jihoon yang menyadarinya jadi terdiam, menunggu reaksi Joshua berikutnya.

Pria kelahiran 1995 itu tampak menghapus setitik air matanya yang lolos dari sudut mata. Ia kemudian tersenyum. Sadar bahwa sedang diperhatikan, Joshua tidak ingin membuat khawatir adik-adiknya disana.

"Enak, sangat enak," ucapnya sambil kembali menyendokkan bubur ke dalam mulut. "Aku sampai terharu dengan rasanya."

Hyesung dan Jihoon saling tatap. Mereka tahu pikiran Joshua sedang tidak disana. Joshua sedang merasa kesepian walaupun saat ini ada dua orang yang menemaninya. Hyesung dan Jihoon akhirnya melanjutkan makan, berusaha membuat suasana kembali hidup dengan candaan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top