Part 7, Vic
Ini part tambahan setelah direvisi, selamat membaca! 😄
--
Victoria tiba di kantor tepat pukul delapan. Seperti biasa, wanita itu langsung duduk di meja kerjanya dan menyalakan komputer. Senjatanya pagi hari, tumbler berisi kopi hitam, tidak jauh dari jangkauan tangannya. Ia sudah semangat bekerja bahkan sebelum rekan-rekan kantornya tiba.
Tangan kanannya menggerakkan mouse dengan cekatan. Victoria melakukan log in akun penyimpanan online dan mulai mengunduh rancangan-rancangan barang yang telah ia selesaikan. Sepertinya, suasana hati wanita itu sedang sangat baik. Ia bekerja sambil menggumamkan sebuah lagu milik Katy Perry kesukaannya.
"Wow, you're here!"
Victoria terlompat kaget sambil memegangi dada. Ia menoleh cepat dan memberikan tatapan tajam. Tetangga kubikelnya sedang tersenyum lebar melihat reaksi Victoria barusan.
"You creep me out, Vic," ledek George sambil meletakkan tas di atas meja.
"It should be me, yang bilang seperti itu padamu."
Victoria menghela napas panjang. Berteman dengan George memang cukup menguras tenaga. Herannya, Victoria bisa tahan dengan itu semua selama ini.
"Kau sudah sarapan?" tanya George.
"As usual," jawab Victoria sambil mengedikkan dagu pada menu andalan paginya. Wanita itu sibuk meneliti hasil print out yang baru saja diambilnya.
"Kau memang cari mati," seloroh George sambil geleng-geleng kepala. Victoria mengabaikan ucapannya. "Paling tidak kau harus meminumnya ditemani biskuit atau selembar roti, Vic."
"Sudah habis sejak seminggu yang lalu. Aku belum beli lagi," jawab Victoria masih tidak peduli.
George berdecak. Ia menarik pergelangan tangan Victoria, membuat kertas-kertas yang sedang ia baca jatuh berhamburan ke atas meja. Perbuatannya sukses menarik perhatian Victoria.
"Ambil dompetmu. Kita ke vending machine di lantai satu," ucap George tegas.
Victoria mengerutkan dahinya bingung. Walau begitu, ia tetap saja mengikuti perintah rekannya. George sangat menyeramkan jika sudah berubah mode menyerupai anjing galak.
"Lima dolar," pinta George sambil menggerak-gerakkan jemarinya minta uang. Victoria melenguh sejenak sebelum akhirnya menyerahkan begitu saja selembar kertas sesuai dengan nominal yang diminta.
Jarinya menekan sebuah tombol setelah uang Victoria lenyap ditelan mesin. Tak perlu menunggu lama, George pun menyodorkan sebungkus chocolate cookies dengan diameter sekitar empat inchi. Victoria meneguk ludah menerima pemberiannya. Ia membayangkan bagaimana lezatnya makanan itu setelah dipanaskan dalam microwave selama sepuluh detik.
"Aku tidak perlu mengajarimu cara menggunakan vending machine, kan?" tanya George setengah mencibir.
Victoria meringis. "Thanks, George," ucapnya mengabaikan ledekan wanita berkulit gelap itu.
Kini Victoria dan George berjalan bersisian menuju pantry. Victoria bergerak mengambil kotak tahan panas dan meletakkan cookies miliknya di sana untuk dipanaskan dalam microwave. George sendiri sibuk meracik kopi instan dalam sebuah cangkir.
"Sepertinya kau harus mulai memperhatikan asupan makanmu," komentar George sambil mengaduk isi cangkir. "Jujur saja, pola makanmu sangat tidak sehat."
"Hm?" tanya Victoria. Ia tidak terlalu mendengar ucapan George. Wanita itu sibuk sendiri dengan biskuit di tangan kanan dan ponsel di tangan kiri. "Did you say something?"
George berdecak kesal. "Kalau kau sakit, baru tahu rasa."
Victoria tertawa kecil. Ia merangkul bahu sahabatnya. "Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku. Aku jarang sakit."
George melepaskan tangan Victoria dari bahunya dan berjalan menuju meja kerja dengan cangkir di tangan. Victoria tertawa kecil sebelum mengikuti langkah sahabatnya.
"Akhir-akhir ini kau selalu datang lebih pagi, what happened?" tanya George penasaran. Tangannya bergerak menyalakan komputer.
Victoria duduk di meja kerjanya sendiri. Ia kembali meraih berlembar-lembar kertas yang tadi terpaksa ia tinggalkan karena ditarik paksa oleh George untuk sarapan. Keadaannya saat ini, Victoria dan George sedang mengobrol dengan sekat di antara mereka. Tidak peduli suara kerasnya akan mengganggu, toh baru ada mereka berdua saja pagi ini.
"Mengerjakan proyek yang diberikan Dave," jawab Victoria singkat.
"Batas pengerjaannya masih lama. Tumben sekali kau ingin cepat-cepat menyelesaikan," komentar George. Kini ia sudah sibuk dengan mouse di tangan kanan.
"Aku harus menyelesaikannya sebelum ambil cuti selama seminggu."
Mendengar jawaban Victoria, George termangu. Sudah lama sekali rekannya itu tidak mengambil jatah libur sebanyak itu sekaligus. Dulu sih, pasti sebulan atau dua bulan sekali Victoria akan mengajukan libur. Namun itu satu tahun yang lalu. George bahkan tidak ingat apakah tahun ini Victoria sudah mengambil jatah cutinya.
"Kau mau pergi jauh?"
Victoria mengangkat kepala dan menemukan wajah George sedang mengintip ke arahnya dari kubikel sebelah. Victoria terkekeh. Ia meletakkan kertas di tangannya dan menjawab rasa penasaran temannya.
"Iya, aku akan pulang ke Los Angeles. Ada urusan di sana," jawab Victoria. "Kenapa? Bukan itu jawaban yang kau mau?"
George menggeleng. Wanita itu memilih diam dan kembali bergelut dengan komputernya.
- - -
Aku menggeret koper kecil dan berjalan mengikuti rambu pintu keluar. Tangan kiriku memegangi ponsel yang baru saja kunyalakan kembali setelah pesawat akhirnya mendarat. Aku sudah tiba di pintu kedatangan, namun tidak kunjung menemukan wajah Joshua yang sudah berjanji akan menjemputku.
Karena tidak mau mengganggu jalan, aku memilih menyingkir dan duduk di sebuah bangku panjang terdekat. Aku menyisir rambut pendekku yang terasa sangat berantakan dengan jemari tangan. Penerbangan yang memakan waktu lebih dari setengah hari itu cukup membuatku kelelahan. Namun, pikiran untuk segera bertemu dengan Joshua mampu menghilangkan segalanya.
Ponselku berbunyi. Telepon masuk dari Joshua. Langsung saja kuangkat tanpa menunggunya berdering untuk kedua kali.
"Halo," sapaku.
"Honey, where are you?" tanya Joshua dari seberang sana. "Aku berdiri di pintu keluar dan tidak menemukanmu hingga penumpang terakhir pergi."
Mengikuti naluri, aku berdiri dan menjulurkan kepalaku ke arah yang dimaksud Joshua. Namun aku tak kunjung menemukan keberadaan pria itu.
"Aku keluar paling cepat karena tidak perlu menunggu bagasi," ucapku menjelaskan. Aku memindahkan ponsel di tangan kanan dan kembali menarik koper menuju pintu kedatangan. "Aku mendekat kesana, ya. Coba kau angkat tangan. Aku tidak melihatmu."
Joshua mengikuti instruksi yang kuberikan. Hal itu tentu saja membuatku mudah untuk menemukannya. Aku mengulum senyum.
"Aku ada di arah pukul lima. Berbaliklah," ucapku lagi.
Pria itu menolehkan kepalanya. Pandangan kami bertemu. Aku melambaikan tangan cepat ke arahnya. Senang sekali, rasanya sudah lama aku tidak bertemu dengan Joshua.
Aku memutuskan sambungan telepon dan buru-buru melangkah menghampirinya. Pun begitu Joshua. Pria itu terlihat kesusahan menembus gerombolan penjemput lainnya.
Bahu kiriku ditabrak oleh seseorang. Ponselku terjatuh dari dalam genggaman. Langkahku terhenti dan segera mengambil benda berbentuk segiempat itu. Wanita yang menabrakku hanya menunduk kecil sambil mengucapkan permintaan maaf. Ia terlihat sangat tidak peduli dan tetap melanjutkan langkahnya. Aku jadi kesal.
"Ada apa, Sayang?"
Aku menoleh. Joshua sudah berada di sampingku. Pria itu mengamatiku dengan pandangan mata penuh rasa khawatir.
"Never mind. Aku saja yang terlalu ceroboh hingga bisa ditabrak seperti tadi," jawabku. Joshua hanya diam. Ia tahu suasana hatiku tidak terlalu baik.
"Deja vu," ucapnya tiba-tiba.
Aku yang sedang memeriksa kondisi ponselku jadi mengangkat wajah untuk menatapnya. Joshua hanya menunjukkan senyuman misteriusnya. Tangan pria itu terulur untuk mengusap puncak kepalaku.
"What do you mean?"
"Ponsel jatuh. Kau dan aku. Bedanya, saat itu ponselku yang kau jatuhkan benar-benar rusak tidak bisa menyala."
Pipiku memanas. Joshua sedang membicarakan pertemuan pertama kami yang tidak disengaja. Aku jadi malu mengingat kejadian itu. Ah, kenapa Joshua mengungkitnya lagi sih?
"Kau meledekku lagi," keluhku. Aku meraih gagang koper dan berbalik badan. Aku mengambil langkah-langkah panjang menuju tempat mengantri taksi.
"Hei, jangan marah, Honey," ucap Joshua mencegahku berjalan lebih jauh. Pria ini mengambil alih koperku. Tanganku yang melayang ia genggam erat. "Sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau kita makan dulu?"
"Makan apa?" tanyaku dengan nada ketus. Pasalnya walaupun aku masih mau pura-pura ngambek, perut tidak bisa berbohong. Aku lapar.
"Kau mau apa?" tanya Joshua. Pria itu menaikkan tanganku menuju mulutnya. Tanpa aba-aba ia menciumi punggung tanganku.
Aku yang kaget tanpa sadar menariknya. Bukan berarti tidak suka, aku masih malu melakukan skinship seperti ini di muka umum. Pria di sebelahku, bukan orang biasa. Dia adalah seorang idol! Kalau ada yang melihat bagaimana?
Joshua terkekeh, ia tidak terlihat sakit hati sama sekali. Sebagai gantinya, pria itu justru mengalungkan tangannya di pinggangku, memelukku dari samping dengan posesif. Mendapat perlakuan seperti itu, tentu saja pipiku memanas. Joshua memang tak terkalahkan!
"Aku... ikut denganmu saja," cicitku yang masih sibuk meredam debaran jantung.
"Kita makan di Chinese restoran, ya? Hot pot?" Aku menjawabnya dengan anggukan.
Sampai di samping mobilnya, Joshua tak membiarkanku lepas begitu saja. He teases me. Ia mendaratkan ciuman singkat di bibirku dan tertawa kecil ketika aku hanya diam mematung. Pria itu bergegas ke bagian belakang mobil dan sibuk memasukkan koperku ke bagasi.
Aku, dengan pipiku yang memanas, langsung saja membuka pintu penumpang dan masuk ke dalamnya. Aku tidak ingin kecolongan lagi oleh tingkah manis Joshua.
- -
Joshua baru tiba di rumah satu jam yang lalu. Seperti biasa, pria itu kembali tidak dengan tangan kosong. Kali ini ia membawa sup iga sapi sebagai menu utama makan malam kami.
Sambil menunggu pria itu selesai membersihkan diri di kamar mandi, aku bergegas menyiapkan meja makan. Selesai dengan tugasku, aku memilih duduk di sofa dan menyalakan televisi. Tanganku mengganti channel secara cepat, mencari saluran televisi berbahasa Inggris. Dalam hati aku bertanya-tanya, Joshua tumben sekali mandinya lama.
"Honey," panggil Joshua.
Aku mendongak dan melihat ke arahnya. Pria itu tampak sangat tampan dengan baju santai dan rambut yang setengah basah. Plus, jangan lupakan tatapan mata hangatnya ketika pandangan kami bertemu.
"Akhirnya," selorohku sambil berdiri dan mematikan televisi. Aku berjalan terlebih dulu menuju meja makan, Joshua mengekor. "Kukira kau ketiduran di dalam kamar mandi."
Joshua terkekeh menanggapi ucapan sarkasmeku. Ia memilih duduk dan mengamati semua menu makanan yang tersaji. Aku pun ikut duduk setelah selesai mengambil dua mangkuk nasi dari dalam magic jar.
"Thank you," ucap Joshua ketika menerima pemberian mangkuk nasi dariku. "Kau sudah belajar budaya Korea, ya? Kau bahkan tahu etika mengambilkan makan untukku."
"Makan saja, jangan banyak bicara," potongku sambil menahan malu. Aku mengambilkan sepotong daging dan meletakkannya di atas nasi Joshua.
Joshua tersenyum. Pria itu tidak membalas kata-kataku dan mulai menyuap nasi ke dalam mulut. Aku ikut makan. Karena masih terlalu susah bagiku menggunakan sumpit, aku memilih pakai sendok.
"Kau mau jalan-jalan? Ini sudah hari kedua kau di Seoul dan aku belum sempat membawamu berlibur," ucap Joshua memulai pembicaraan. "Bagaimana? Ada tempat yang ingin kau kunjungi?"
"Nothing specific," jawabku. "Lagipula, bukankah kau sibuk dengan semua pekerjaan di kantor?"
Joshua tersenyum. "Ambil libur dua-tiga hari masih tidak masalah. Lagipula aku sudah dari jauh-jauh hari minta pada Minho untuk mengosongkan jadwal manggung selama seminggu ke depan karena ingin menghabiskan waktu bersamamu," jelas Joshua.
Mendengar penuturannya, aku senang. Joshua memasukkan namaku dalam prioritas hidupnya. Itu cukup bagiku untuk mengetahui ketulusan hati Joshua.
"Kalau begitu, bagaimana dengan Jeju?"
Joshua tampak berpikir sejenak. Ia kemudian mengangguk. "Boleh. Setelah makan kita rencanakan lebih detail ya. Mungkin lusa baru bisa berangkat. Aku belum bilang pada sekretaris Yoon kalau ingin ambil cuti."
Aku mengangguk mengiyakan. "Kau enak sekali. Bisa mudah meminta izin libur," ucapku setengah iri. "Saat aku minta izin tempo hari pada Dave, dia memarahiku terus. Bukan marah sih, tepatnya mengomel."
Joshua mengangkat kedua alisnya. Ia menelan makanan dalam mulut sebelum bersuara menanggapi. "Why?"
Aku mengangkat kedua bahu. "Karena aku selalu ambil cuti panjang. Dia bahkan mengancamku untuk potong gaji."
Joshua mengangguk paham. "Kalau kau kesusahan untuk ambil izin berkunjung kemari, biar aku saja yang pergi ke New York lebih sering."
Kedua mataku melebar, aku menggeleng kuat-kuat. "Tidak, tidak. Bagaimana pun juga selama ini kau yang memiliki lebih banyak tanggungan pekerjaan daripada aku. Minho dan Sekretaris Yoon bisa kebingungan mengatur jadwalmu nanti."
Joshua tersenyum. Ia kembali fokus pada isi mangkuknya.
"Kita pikirkan hal itu nanti. Sekarang kita bersenang-senang dulu saja."
Aku mengangguk patuh. Hal ini yang membuatku senang berlama-lama berada di samping Joshua. Auranya sangat positif, tenang, dan dewasa. Berbeda dengan diriku yang terkadang masih meledak-ledak emosinya dan berbuat impulsif tanpa pikir panjang.
Acara makan malam berakhir. Aku tidak bisa makan terlalu banyak. Akhirnya Joshua menghabiskan lauk di atas meja. Aku hanya mengamatinya sambil tersenyum, melihat bagaimana lahapnya pria itu makan, membuatku senang. Kalau begini aku jadi tidak khawatir meninggalkannya saat kembali ke New York nanti.
"Biar aku bantu," kata Joshua ketika melihatku mulai mengangkat tumpukan piring kotor ke dapur.
Aku menggeleng. "Duduk dulu saja. Perutmu pasti terlalu penuh untuk langsung bergerak," ucapku sambil kembali ke meja makan dengan segelas air mineral di tangan. Aku menyodorkan gelas pada Joshua yang langsung menerima.
"Good boy. Aku senang melihatmu makan seperti tadi," pujiku sambil tersenyum.
Joshua meringis. "Siapa yang bisa menolak kelezatan masakan olahan daging sapi?"
Aku tertawa kecil sambil menggeleng pelan. Kembali kubereskan meja makan dan mulai mencuci piring-piring kotor yang menumpuk. Joshua sendiri masih duduk bersandar di kursinya. Ia mengelus permukaan perutnya yang kekenyangan.
Tidak mungkin perut sixpack Joshua akan menghilang dalam semalam kan? Pikiran anehku bersuara.
"Sayang, kalau sudah selesai, langsung ke kamar ya," pinta Joshua.
Aku segera merampungkan pekerjaanku dan mengikuti perkataan pria itu. Aku ingat ucapannya tadi. Kita akan membicarakan rencana jalan-jalan ke pulau Jeju! Berlibur bersama Joshua, aku senang hanya dengan membayangkannya saja.
Setelah acara cuci piring selesai, aku bergegas mengelap tangan dan menyusul ke dalam kamar. Joshua sudah mengganti pakaiannya dengan baju tidur. Pria itu kini bergerak menyiapkan kasur untuk dipakai kita berdua, tak lupa ia mengambil laptop dari atas meja kerjanya.
Tak ingin membuat Joshua menunggu lama, aku langsung berlalu ke kamar mandi. Cuci muka dan sikat gigi. Mataku menangkap sepasang baju tidur dengan motif dan warna sama dengan yang digunakan oleh Joshua tadi. Sudut-sudut bibirku terangkat. Pasti Joshua yang menyiapkan.
Ah ya, satu hal yang aku tahu setelah mengencani pria yang berasal dari negeri ginseng ini adalah romantisme mereka yang cukup unik. Contohnya seperti sekarang ini. Mereka suka sekali hal-hal lucu seperti baju couple, peralatan kembar, dan lain sebagainya. Affectionate, kalau kubilang.
"Come here, Honey," panggil Joshua sambil menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, memberiku kode agar segera menyusul duduk bersamanya.
Aku mengangguk. Kuangkat selimut dan masuk ke baliknya. Kini aku dan Joshua duduk bersisian di atas kasur. Bahu kami saling menempel. Kami menghadap ke layar laptop yang menampilkan sejumlah tempat menarik di Pulau Jeju yang patut untuk dikunjungi.
Kami berdua menghabiskan banyak waktu untuk berdiskusi. Memang pada dasarnya aku dan Joshua adalah tipe orang yang sangat terencana dalam hal travelling seperti ini. Aku tidak ingin liburan kita berantakan. Pun begitu Joshua.
"Are you sleepy?" tanya Joshua.
Aku buru-buru menutup mulut. Joshua tersenyum melihat tingkahku. Mungkin menurutnya aku sangat lucu dengan tampang kumal kehabisan energi seperti ini.
Joshua menyibakkan selimut dan berjalan menuju meja kerjanya sambil membawa laptop. Ia meletakkannya di sana dan kembali berada di sisiku tidak sampai semenit. Pria itu menarik tubuhku ke bawah dengan cepat, membuat posisi dudukku jadi berbaring secara tiba-tiba.
"Kau mengejutkanku!" protesku sambil memukul lengannya. Ia hanya tertawa.
Joshua berbaring di sebelahku. Ia mematikan lampu dan menarik selimut hingga menutupi tubuh kami dengan sempurna. Tangan kanannya kembali menarikku mendekat, membuat jarak di antara kami terkikis.
"Ayo tidur," ajaknya. Kini aku sudah berada dalam dekapan pria itu.
"Pengap, Josh," rengekku sambil berusaha mengangkat kakinya yang memeluk kakiku bagaikan guling.
"Sorry," ucapnya sambil terkekeh. "Kau enak untuk kujadikan guling."
Aku mencubit pinggangnya pelan. Pria ini mengaduh kesakitan. Rasakan Joshua Hong. Dari kemarin kau selalu menggodaku.
Aku menggunakan kesempatan yang ada untuk mengambil jarak darinya. Aku berbalik memunggungi. Tak lama kemudian, kurasakan lengan Joshua melingkari pinggangku, memeluk dari belakang.
"Selamat tidur," ucapnya lirih di telingaku.
Aku mengangguk. Mataku sudah terpejam. "Selamat tidur."
Malam itu, aku tertidur nyenyak. Perut kenyang, pikiran senang karena akan berlibur, ditambah dengan berada dalam pelukan hangat seorang Joshua. Perasaan menyenangkan yang mahal harganya. Aku jadi ingin berlama-lama berada dekat dengan priaku ini.
- - -
Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore ketika Victoria keluar dari ruangan Dave. Wajah wanita itu tampak cerah. Walaupun di tangannya terdapat banyak dokumen pekerjaan, Victoria merasa hatinya kini menjadi seringan kapas.
"Bagaimana?" tanya George sambil berbisik ketika Victoria sudah kembali duduk di depan meja kerjanya.
Victoria mengangguk kuat-kuat dengan senyuman lebar terkembang di wajahnya. "Approved! Padahal aku sudah takut pria itu tidak mengizinkanku pergi di tengah mengerjakan proyek seperti ini."
George mengangguk. Wanita Afro-Amerika itu menggeser kursinya berpindah ke kubikel samping. Ia menundukkan kepalanya hingga hampir menyentuh bahu Victoria yang ramping.
"Sekarang jawab pertanyaanku. Daritadi aku sangat penasaran."
Victoria mengangguk. Ia ikut menunduk. Keduanya terlihat seperti sedang membicarakan hal paling rahasia. Tidak boleh terdengar orang lain.
"Kau ke Los Angeles untuk bertemu dengan Joshua?"
Pertanyaan George sukses membuat kedua mata Victoria melebar. Saking terkejutnya, tanpa sadar Victoria memukul lengan gemuk sahabatnya. Ia meminta maaf kemudian dan kembali menundukkan kepalanya.
"Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?"
George mengangkat bahu. "Hanya menebak-nebak. Dulu kau sering sekali ambil cuti panjang untuk menemui your man. Yeah, biasanya sih kau ambil izin untuk bertemu dengannya di luar negeri, jadinya butuh cuti panjang."
Victoria menggeleng. "Bukan. Aku ke Los Angeles untuk menemui sahabatku. Ada acara baby shower anak pertamanya." George terlihat diam mendengar jawaban Victoria. "Maaf mengacaukan khalayanmu, kawan."
"Kalau begitu, kenapa sampai ambil cuti seminggu?"
"Sekalian berlibur. Aku lelah dengan pekerjaan," jawab Victoria enteng.
"Kau? Seorang Victoria White? Kau kan orang paling gila kerja yang pernah kutemui!" pekik George tak percaya.
Victoria memutar kedua matanya. "Wajar jika aku lelah. Selama setahun ini aku selalu lari dari masalahku dengan bekerja keras tanpa istirahat," jelas wanita itu. "Aku ingin berlibur dan memberikan apresiasi pada diri sendiri. Kesehatan mental tak kalah penting."
Terdengar bunyi batuk yang dibuat-buat dari balik punggung Victoria dan George. Kedua wanita itu tak langsung menoleh. Tahu bahwa keduanya sudah tertangkap basah melakukan kesalahan.
"Kalian berdua cukup punya waktu untuk mengobrol di tengah jam kerja?"
Victoria meringis sambil melirik ke arah George. Ia sangat mengenal nada suara sang atasan yang semakin memberat jika sedang kesal. Wanita itu memutuskan untuk membalikkan tubuh dan menghadapi Dave. Membujuk pria itu lebih tepatnya.
"Kami hanya sedang berdiskusi, Dave. Aku butuh saran untuk pekerjaanku," bohong Victoria.
Dave tak langsung percaya. Ia kini menatap George yang berpura-pura melakukan review terhadap gambar rancangan yang dibuat Victoria di layar komputer. Pria itu menghela napas berat dan kembali menoleh ke arah Victoria yang masih menunjukkan senyum manis di wajahnya.
"Kerjakan dengan benar. Kalau tidak, izin cutimu terpaksa aku cabut," ucap Dave memberikan peringatan.
"Yes, Sir!" jawab Victoria cepat. Wanita itu mendorong bahu sahabatnya agar kembali ke kubikelnya sendiri. Victoria tidak ingin bertaruh dengan hari libur berharga yang ia miliki.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top