Part 6, Josh
Ini part tambahan setelah direvisi, selamat membaca! 😄
--
Matahari belum memunculkan semburat cahaya menandakan pagi sudah tiba. Langit masih tertutup kabut dingin sisa hujan semalam. Kota itu masih tertidur. Pun begitu dengan penduduknya. Tidak ada aktivitas yang terlihat di jalanan.
Terdengar suara orang memasukkan password di panel pintu. Joshua mengangkat kepalanya untuk mengintip jam di layar ponsel. Ia melenguh kemudian. Sang manajer pasti sudah datang untuk menjemputnya.
Benar saja, tak sampai semenit, Minho menunjukkan eksistensinya di dalam kamar Joshua. Pria yang lebih tua tujuh tahun dari Joshua itu mengguncang bahu sang artis dengan pelan, berusaha membangunkannya.
"Iya, Hyung. Aku sudah bangun," parau Joshua.
"Kalau begitu segeralah bersiap-siap," ucap Minho.
Joshua duduk di atas kasurnya, masih dengan memeluk selimut. Ia enggan membuka mata. Semalam dirinya baru bisa tidur lewat tengah malam karena harus menyelesaikan pekerjaan kantor yang terbengkalai. Joshua tidak siap memulai aktifitas pukul empat dini hari.
Melihat sang artis masih bermalas-malasan, Minho mau tak mau turun tangan lagi. Ia menarik selimut yang dipakai Joshua hingga terlepas dari tubuh pria berkewarganegaraan Amerika itu.
"Kau bisa lanjut tidur selama perjalanan nanti," ucap Minho.
Sejujurnya pria itu pun tidak tega memperlakukan Joshua seperti ini. Ia sangat tahu pekerjaan artisnya itu sangat merepotkan. Menjadi idol yang siap memenuhi panggilan manggung ataupun datang ke sebuah acara televisi, menjadi bintang model bagi pemotretan sebuah produk, serta sebagai CEO perusahaan fashion miliknya sendiri yang baru seumur jagung, belum terhitung pertemuan-pertemuan kantor yang harus ia hadiri.
Tak sekali dua kali Minho meminta Joshua untuk menolak beberapa tawaran pekerjaan. Namun pria yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri itu tetap keras kepala, tak menghiraukan saran Minho sedikit pun. Sesungguhnya, Joshua baru gila pekerjaan dimulai satu tahun belakangan ini. Minho pun tahu alasan yang ada di baliknya.
"Kak, aku mau ice Americano," pinta Joshua sambil membuka kedua matanya.
Minho mengangguk. "Iya, nanti beli di kafe yang terlewati saat perjalanan," jawab Minho. Padahal pria itu tahu, jarang sekali ada toko yang sudah buka di pagi hari seperti ini.
Joshua mengangguk. Ia akhirnya meninggalkan tempat tidur dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
- - -
Aku keluar kamar mandi sambil mengeringkan rambut menggunakan handuk. Kulirik seseorang yang masih tidur nyenyak di atas kasur tanpa terganggu sedikit pun dengan cahaya matahari. Victoria baru tiba di Seoul tengah malam tadi. Wajar saja jika wanitaku itu masih lelah dan jet lag dengan penerbangan jarak jauh.
Kupakai bando di kepala sebelum sibuk mengaplikasikan berbagai macam skincare pagi hari. Setelah selesai, aku meraih hair dryer dari laci penyimpanan dan menyalakannya. Dengan telaten aku bersiap untuk pergi ke kantor pagi ini.
Suara mesin pengering rambut sepertinya membangunkan wanitaku. Melihat bayangannya dari cermin yang perlahan bangun dan memilih duduk di atas kasur dengan kedua mata terpejam, membuatku membalikkan badan dan mengamatinya secara langsung. Perlahan Victoria meregangkan kedua tangannya ke atas. Ia menoleh. Pandangan mata kami bertemu.
"Sorry. Did I wake you up?"
Victoria menggeleng. Ia turun dari kasur dan menyeret langkahnya menuju ke arah tempatku duduk. Wanita itu menunduk dan mencium bibirku singkat.
"Good morning," sapanya.
"Morning, Honey," balasku. Aku masih asyik mengamati dirinya dari samping. Victoria kini sedang bercermin sambil menyisir rambut pendek sebahunya.
"Oh, my puffy eyes. Duh, mata pandaku makin parah," keluhnya. Aku hanya tertawa, sudah biasa mendengar keluhan serupa. Victoria terkenal dengan sikapnya yang sangat menjaga penampilan, namun wanitaku itu selalu sibuk bekerja hingga lingkaran di bawah matanya terus menghitam.
"Kau menertawakanku, Josh."
"Kau lucu, Honey. Jangan marah," bujukku sambil memeluk pinggangnya agar mendekat. "Aku tidak peduli dengan mata pandamu. Kau selalu terlihat cantik bagiku."
Victoria tersenyum. Tangannya mengelus rambutku yang masih setengah basah. "Tapi aku peduli, Josh," balasnya. Ia melihat bayangan kami di cermin. "Ah, kau sudah siap-siap bekerja, ya?"
Aku mengangguk. Aku kembali melanjutkan kegiatan mengeringkan rambut yang belum aku tuntaskan.
"Kau bisa menungguku?" tanya Victoria sambil berlalu mengambil handuk. "Aku juga mau ikut denganmu ke kantor."
"For what?" tanyaku keheranan. "Lebih baik kau istirahat saja. Aku akan pulang cepat untuk makan malam bersamamu."
Victoria tersenyum miring, meledekku. "You can't stop me. Dulu kau sendiri yang bilang ingin mengajakku melihat-lihat perusahaanmu itu, kan?"
Skak mat. Aku bahkan lupa pernah menjanjikan hal itu padanya.
- -
Sesuai permintaan Victoria, aku menunggunya bersiap-siap untuk ikut ke kantor. Aku cukup terpukau dengan kecepatannya dalam berdandan. Hanya dalam waktu dua puluh menit, ia sudah siap. Aku melihat penampilannya dari atas ke bawah dengan pandangan tercengang. Ia memang terlihat sederhana dan menyesuaikan penampilannya denganku, namun aku bisa mengkalkulasi total harga dari masing-masing benda yang melekat di tubuhnya. Tentu tidak murah, tidak perlu kuperjelas rincian biayanya.
"Wah, jadi ini gedung yang kau sewa," ucap Victoria setelah kakinya melangkah keluar dari mobil. "Aku tidak sabar untuk melihat bagian dalamnya."
Aku tersenyum melihat sikap Victoria. Ia pasti berkata seperti itu untuk memujiku. Tidak mudah mendapatkan gedung sebaik ini dengan biaya sewa yang cukup murah. Untunglah aku punya kenalan yang bisa membantu. Koneksi dengan berbagai macam orang sangat menguntungkan bagi seorang pebisnis.
Victoria menyamai langkah kakiku berjalan menuju lift. Ia ikut menyapa seorang satpam yang bertugas. Ini pertama kalinya aku membawa seorang wanita berpotongan "orang asing" ke kantor. Tentu saja Victoria mendapat tatapan aneh dari orang-orang sekitar.
"Tenang saja, I am here," ucapku padanya saat hanya ada kami berdua di dalam lift. Victoria mengangguk dan tersenyum.
Kami sampai di lantai tiga. Aku mengenalkan Victoria pada sekretarisku. Setelah basa-basi selesai, aku mengarahkan Victoria masuk ke dalam ruanganku.
"Karyawanmu belum tahu hubungan kita?"
Sebuah kalimat penuh tanya meluncur dari sepasang bibir wanitaku. Aku menoleh cepat menatapnya. Kulihat binar mata Victoria meredup. Walaupun ia berusaha menyembunyikannya dengan senyuman, aku tahu bahwa hatinya terluka.
"Ah, maaf. Sepertinya aku terlalu berharap banyak," lanjutnya. Wanita itu menghampiri sofa yang tersedia di ruangan dan duduk sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Kenapa masih berdiri? Kau tidak bekerja? Tenang saja, aku akan duduk manis menunggumu di sini. Jadi, aku tidak perlu terlihat oleh para rekan kerjamu."
Aku mengusap ujung hidungku gugup. Aku dan Victoria baru memulai kehidupan baru kami bersama satu bulan yang lalu. Setelah kembali dari Los Angeles, aku pun langsung bekerja keras mengurus pekerjaan yang menumpuk. Aku tidak ada waktu untuk mengumumkan hubungan kami pada karyawan kantor.
Aku duduk dan mulai menghidupkan komputer. Sambil menunggu perangkat tersebut siap digunakan, aku meraih ponsel dan kembali melihat jadwal pekerjaan hari ini. Sebuah ide terlintas di pikiranku.
"Jadwalku hari ini tidak terlalu padat," ucapku.
Wanitaku hanya berdeham sebagai jawaban, ia bahkan tidak mengangkat sedikit pun wajahnya dari layar ponsel. Victoria yang kutahu selalu bersikap dewasa, namun melihatnya cemberut seperti ini ternyata cukup menyenangkan. Aku tahu, ia sedang merajuk.
"Come on," aku berdiri dan mulai bersiap-siap untuk keluar ruangan.
"Mau kemana? Aku di sini saja," tolak Victoria.
"Saat di rumah tadi, kau sangat semangat ingin melihat pekerjaan departemen kreatif, right?" ucapku mengingatkan. "Saat ini sedang ada pemotretan produk di studio foto lantai satu. Salah satu desainer andalanku pasti sedang ikut memantau kegiatan disana. Aku akan mengenalkanmu padanya."
Victoria terlihat ragu. Kali ini bukan raut cemberut yang terpasang di wajahnya.
Melihat wanitaku yang tak kunjung bergerak, aku mengambil inisiatif untuk meraih telapak tangannya dan memaksanya bangkit. Victoria ingin protes, namun aku tak memberinya waktu untuk melawan.
"Aku bahkan cukup punya banyak waktu untuk mengenalkanmu ke semua karyawanku."
Victoria pada awalnya terlihat tidak percaya mendengar penuturanku. Ketika aku mulai memperkenalkan dirinya dari bagian front office di lantai satu, barulah senyum penuh percaya diri wanitaku ini kembali terbit. Sesuai dengan janjiku, aku memperkenalkan Victoria sekaligus mengumumkan hubungan kami ke seluruh rekan kerjaku.
"Aku jadi yakin banyak hati karyawan wanitamu yang patah setelah mengetahui hubungan kita," ucap Victoria setengah berbisik ketika kami baru saja melangkah meninggalkan kantor bagian keuangan.
"Mereka harus tahu," jawabku sambil tersenyum bangga. "Walaupun perasaan mereka juga harus kandas."
Kedua mata Victoria terbelalak membuka. "Josh, kau sangat menakutkan. Jadi kau tahu kalau dirimu adalah tipe atasan idaman para wanita?"
Aku mengangguk. "Tampan dan baik hati."
"Gee," cibir Victoria tanpa kentara di sampingku. Aku terkekeh kecil. Kami kini menggerakkan kaki menuju lantai dua.
"Are you jealous?" tanyaku sebelum membuka pintu ruangan studio foto. Aku membalikkan tubuh untuk melihat raut wajah Victoria dengan lebih jelas.
Wanitaku mengerucutkan bibirnya. Ia tidak berani menatap kedua mataku. "Tidak mungkin aku tidak cemburu. Kau lebih sering bertemu dengan mereka daripada aku. Rasanya, aku seperti tokoh antagonis yang merebutmu dari mereka."
Aku mengurungkan niat untuk membuka pintu. Sebagai gantinya, aku menarik tangan Victoria menuju sudut ruangan yang cukup sepi dan tak terlihat banyak orang.
"Look at me," perintahku sambil menggenggam kedua tangan Victoria. "Dari awal aku memang milikmu. Buang pikiran negatif seperti itu."
"I am sorry," lirihnya.
"Honey," panggilku sambil tersenyum. "Perusahaanku juga perusahaanmu. Sebagai atasan kau harus mampu berdiri tegak dan terus menghadap depan. Mana rasa percaya diri dan antusiasmemu saat di rumah tadi? Aku tidak suka melihat kau bersedih seperti ini."
Victoria balas tersenyum. "Can I hug you? Aku butuh energi."
Aku tertawa kecil dan langsung meraih tubuhnya. "With my pleasure, Queen."
Victoria menarik badannya terlebih dahulu. Ia mengepalkan kedua tangan di sisi wajah dan tersenyum lebar. "Okay, aku siap. Ayo kita bekerja."
"Kau mau bekerja di sini?"
"Kau sendiri yang bilang perusahaanmu adalah perusahaanku," ucapnya. Kini ia kembali menjadi Victoria yang kukenal. "Aku mungkin bisa membantu beberapa hal yang berkaitan dengan bidangku. Walaupun bantuan kecil, kau tetap akan menerimanya, kan?"
"Tentu saja," jawabku cepat. Kami berjalan bersisian menuju pintu studio foto. "So, are you ready?"
Victoria tertawa kecil mendengar pertanyaanku. Ia mengangguk mantap. "Sangat siap."
- - -
Jadwal photoshoot Joshua selesai pukul sepuluh pagi. Pria itu lanjut berpindah ke lokasi berikutnya. Ia ada jadwal manggung di sebuah variety show sebagai pembicara. Setelah jadwal syutingnya selesai, Joshua masih harus mampir ke kantor sebelum pukul empat untuk meletakkan dokumen yang telah ia tinjau semalaman. Makan malam nanti ia pun sudah ada janji bertemu dengan sang sekretaris untuk membahas perkembangan brand fashion miliknya.
"Hyung, aku mau tidur. Tolong bangunkan aku jika sudah sampai di kantor," pinta Joshua sambil menurunkan sandaran kursi.
"Baiklah."
Minho mengintip melalui kaca spion tengah. Ia menghela napas lega ketika Joshua memilih tidur menggunakan penutup mata. Artisnya itu membutuhkan istirahat cukup. Andaikan bisa, Minho rasanya ingin sekali mengosongkan jadwal Joshua selama seminggu ke depan.
Setelah melewati halang rintang jalan di kota Seoul, mobil yang membawa mereka berhasil tiba di depan gedung kantor tingkat tiga yang disewa Joshua. Bangunan itu menjadi saksi mata kegigihan seorang pria mendirikan bisnis produk fashion dari nol.
"Sudah sampai," ucap Minho sambil mematikan mesin mobil yang telah berhasil diparkir di basemen gedung.
Joshua menggeliat di kursinya. Ia masih belum bangun.
Minho berdecak pelan. Ia melirik arloji di pergelangan tangan dan sadar bahwa tinggal sedikit waktu yang tersisa. Jam hampir menunjukkan pukul empat sore. Sang manajer akhirnya melepas seatbelt dan turun dari mobil. Ia membuka pintu yang berada tepat di sebelah Joshua dan mengguncang bahu pria itu pelan.
"Joshua, sudah sampai kantor. Sekarang sudah hampir pukul empat," ucap Minho dengan sedikit keras.
Joshua menarik penutup mata hingga lepas. Ia melihat sekeliling. Pria itu tersadar dan langsung meraih ransel yang berada di kursi sebelah.
"Terima kasih, hyung," ucap Joshua sambil menepuk bahu Minho. Pria itu turun dari mobil dalam satu loncatan. "Aku bisa pulang sendiri. Setelah ini aku akan langsung mempersiapkan bahan diskusi dengan sekretaris Yoon."
"Kau yakin baik-baik saja?"
Pertanyaan Minho sukses membuat kening Joshua berkerut. "Memang ada apa, hyung?"
"Wajahmu sangat pucat." Minho menyibakkan poni milik Joshua dan memeriksa dahi pria itu dengan punggung tangannya. "Kau demam."
Joshua mendengus geli. "Aku masih tahan," ucapnya terdengar biasa saja. "Hyung pulang saja. Terima kasih untuk hari ini."
"Kalau kau butuh teman untuk mengantar ke rumah sakit, kau bisa hubungi aku," tawar Minho. "Kau hanya punya satu jadwal untuk besok hari."
Joshua memaksakan senyumnya. "Tenang saja, Hyung." Pria itu membenahi letak tali ransel di bahu dan berjalan meninggalkan Minho seorang diri.
Joshua menyapa petugas keamanan yang berjaga di pintu akses masuk. Sebagai pemilik perusahaan, Joshua terkenal ramah pada siapa pun. Tak heran jika ia sangat dihormati oleh para karyawannya.
Joshua menekan tombol lift menuju lantai teratas, tempat ruang kerjanya berada. Ia menyapa Sekretaris Yoon yang berdiri menyambutnya dari balik meja kerja. Joshua kemudian berlalu membuka pintu ruangannya.
Setelah memastikan semua dokumen semalam sudah benar ia teliti, Joshua mengangkat gagang telepon dan menekan tombol panggilan cepat. Pria itu menghubungi sekretaris Yoon untuk masuk ke dalam ruangannya. Tak lama, wanita berkacamata tersebut mengetuk pintu.
"Aku sudah selesai menandatangani semua dokumen ini," ucap Joshua sambil menepuk tumpukan kertas di sisi kiri. Kini tangannya beralih ke atas folder tebal sebelah kanan. "Tolong benahi laporan-laporan ini. Aku sudah memberi tanda bagian yang harus diperbaiki."
"Baik, Pak," Sekretaris Yoon berjalan mendekat, bermaksud mengambil kedua tumpukan pekerjaan tersebut.
Joshua mengangguk kecil. Pria itu menyerahkan beban tubuhnya pada sandaran kursi. Ia memejamkan kedua matanya sembari memijat pelan kening dengan sebelah tangan.
Melihat sikap sang atasan, hati Sekretaris Yoon tergerak. Joshua memang jarang menampakkan diri secara langsung di kantor akhir-akhir ini, namun wanita itu tahu kalau Joshua punya banyak pekerjaan berat di luar sana.
"Ingin saya buatkan teh madu, Pak?"
Joshua membuka matanya. Ia menggeleng. "Tidak perlu. Sebentar lagi pukul empat, jam kantor akan berakhir," ucap Joshua. "Lagipula, malam ini kita akan rapat sambil makan malam. Kau tidak lupa mengabari kepala departemen pengembangan, kan?"
"Sudah saya siapkan semua bahan diskusinya," jawab Sekretaris Yoon dengan sigap. "Sepertinya Bapak perlu istirahat. Kondisi Bapak terlihat tidak baik."
Joshua tersenyum. Selain sang manajer, ternyata sekretarisnya juga sadar. Apakah penampilannya saat ini sangat berantakan?
"Kalau Bapak mau, saya bisa menyampaikan pesan pada Direktur Lee untuk menjadwalkan ulang pertemuan nanti malam," usul Sekretaris Yoon.
Joshua menggeleng. Kini tatapannya terfokus pada layar laptop yang menampilkan deretan usulan desain terbaru untuk produk tas. Ia terlihat tidak mengindahkan kekhawatiran sang sekretaris.
"Aku yang meminta pertemuan ini, aku tidak akan membatalkannya," ucap Joshua terdengar tak ingin dibantah. "Siapkan semua bahan dengan baik. Kalau pertemuan nanti malam bisa berlangsung singkat, aku juga jadi cepat istirahat."
Sekretaris Yoon hanya bisa mengangguk patuh. Wanita itu meraih dua tumpuk dokumen dalam gendongannya dan pamit keluar ruangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top