Part 5, Vic
Ini part tambahan setelah direvisi, selamat membaca! 😄
--
Victoria keluar dari ruangan Dave sembari berbincang mengenai pekerjaan dengan Anne. Kedua wanita itu baru saja mengusulkan desain baru yang telah selesai diedit. Setelah mendapat persetujuan dari atasan, Victoria masih harus pergi ke gudang barang untuk melihat bahan bermotif yang dimaksud oleh Dave. Hari-hari di kantor memang tidak pernah santai, terutama menjelang pergantian musim seperti ini, yang berarti harus mengeluarkan koleksi terbaru mereka.
"Kalau sudah ada kabar dari departemen periklanan, segera beritahu aku. Terima kasih, Anne."
Victoria berpisah arah dengan sang rekan kerja. Ia membawa tumbler kopi dan tablet miliknya kembali ke meja kerja. Ia mendaratkan pantatnya di kursi kerja. Bersembunyi di balik kubikel, wanita itu menelungkupkan kepala di atas lipatan kedua lengannya. Dua jam diskusi yang baru ia lewati terasa sangat menguras tenaga. Dave memang punya selera tinggi dalam hal desain, pria itu tidak akan membiarkan Anne maupun Victoria lengah sedikit pun dalam merancang detail suatu produk.
Telinga Victoria awas mendengarkan sekeliling. Wanita itu mengangkat kepalanya. George sedang bicara dengan seseorang. Penasaran, Victoria berusaha mengintip ke kubikel sebelah.
"Wah!" George buru-buru menutup mulutnya. Wanita itu melotot ke arah Victoria yang masih setia menampakkan kepalanya saja dari atas meja. "Kau mengejutkanku, Vic!" desis George sambil melepas headphone dari kepala.
Victoria meringis. Ia berdiri dan membenahi tatanan rambutnya yang sedikit kacau. "Jason dan Anne sedang istirahat makan siang, kau tidak pergi juga?"
Wanita berkulit gelap itu menggeleng. "Aku sedang bicara dengan kekasihku."
Victoria mengintip layar laptop George. Ia bersiul kemudian. "A new hot guy, huh?"
"Jangan menggodaku, Vic," balas George tak terpengaruh. "Kapan kau kembali? Akhirnya rapat dengan Dave selesai juga, ya."
"Untunglah," jawab Victoria sambil mengangkat bahu. Ia mengedikkan dagu ke arah laptop. "Lanjutkan saja."
"Oh come on, I really know you," George memutar bola mata. "Kau pasti akan menggangguku."
Victoria tertawa kecil dan tidak mengelak. Wanita itu mengambil ponsel dan dompet dari dalam tasnya. Ia merapikan make up sebelum benar-benar beranjak dari balik kubikel kecilnya.
"Aku mau ke cafetaria. Kau juga jangan lupakan makan siangmu," ucap Victoria berlalu menuju pintu. "Kecuali, jika pacar barumu cukup membuatmu kenyang," ledek Victoria sambil mengerlingkan sebelah mata dengan nakal.
- - -
Ponselku berdering nyaring, memaksaku untuk membuka mata. Aku tidak mungkin memasang alarm di hari Sabtu seperti ini. Siapa yang berani menelepon dan mengganggu tidurku?
Tangan kananku meraba-raba atas nakas, mencari benda yang tak kunjung berhenti bersuara itu. Aku mengintip dengan enggan dari balik selimut. Mataku sukses terbuka lebar melihat caller Id yang terpampang disana. Aku buru-buru berdiri dan bangkit menuju kamar mandi. Tanpa mengangkat telepon yang datang, aku justru sibuk mencuci muka dan sikat gigi.
Dering ponsel berhenti. Tak lama kemudian kembali berbunyi. Pasti dari orang yang sama. Kali ini panggilan video call. Setelah menimbang-nimbang, kuputuskan untuk mengangkat telepon.
"Hai!" sapaku kikuk masih dengan sikat gigi di dalam mulut.
Joshua terlihat berusaha menahan tawa di seberang sana. Ah, kenapa aku tidak menyelesaikan sikat gigi dulu? Penampilanku sekarang pasti masih sangat berantakan.
"Hai, Sweety. Kau baru bangun?" tanya Joshua. Sungguh, itu adalah pertanyaan yang tidak perlu kujawab. "Selesaikan dulu saja sikat gigimu. Aku hanya ingin melihatmu."
Blush! Pipiku memanas. Berusaha menyembunyikan kekikukkan terhadap perkataan Joshua, aku meletakkan ponsel dengan posisi berdiri di atas rak sudut wastafel dan melanjutkan kegiatanku menyikat gigi.
Ini kali pertama aku menjalin hubungan dengan seorang pria dari daerah Asia, tepatnya Korea Selatan. Aku tidak tahu persis seperti apa penggambaran tokoh pria idaman di drama Korea, namun sepertinya salah satu tokoh itu kini tengah mewujudkan diri di hidupku. Dalam bentuk seorang Joshua Hong.
Tingkahnya kelewat manis untukku. Kata-katanya selalu berselimut madu. Entah apakah ini sisi sebenarnya atau tidak, yang jelas aku masih belum terbiasa dengan semua sikapnya. Jujur, aku merasa kembali menjadi gadis remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Masih malu-malu.
"Di sini masih pukul enam pagi, Josh," ucapku setelah menyelesaikan ritual di kamar mandi. Aku meraih ponsel dan kembali masuk ke dalam kamar.
"Maaf, apa aku mengganggumu?" tanya Joshua dengan nada bicara penuh rasa bersalah.
Ah, jangan tunjukkan mata itu padaku. Aku jadi tidak bisa marah. Siapa yang rela harus bangun pagi di waktu weekend? Jawabannya, aku, dan itu semua demi Joshua.
Oh God! Aku masih belum terbiasa dengan kehidupan baruku!
"Tidak, tidak," jawabku cepat. "Bagaimana harimu?" tanyaku mengalihkan perhatiannya.
Kulihat Joshua menghela napas panjang dan menunduk. Aku memicingkan mata, berusaha melihat jelas posisi pria itu berada. Ah, rupanya ia sedang ada di ruang tengah apartemen. Kulihat jendela di balik punggungnya yang belum tertutup gorden. Langit mulai menggelap, menandakan malam akan tiba.
"Aku lelah dengan pertemuan pagi ini," ucapnya. Ia kemudian tersenyum. "Makanya, aku jadi ingin melihat wajahmu. Aku butuh obat untuk mengembalikan semangatku."
Mulutku hanya bisa buka-tutup seperti ikan koi kehabisan napas. Aku tidak bisa membalas godaannya. Bingung, aku justru meraih segelas air mineral dari atas nakas, yang tak pernah lupa kusiapkan sebelum tidur, dan menghabiskan isinya. Aku salah tingkah dan tak tahu harus bersikap.
Tawa Joshua pecah. Ia selalu menikmati sikap kikuk yang aku tunjukkan jika sedang salah tingkah.
"Hari Sabtu pun kau ke kantor?"
Tawa Joshua berhenti mendengar pertanyaanku. Ia mengangguk di seberang sana. "Bahan-bahan yang dibeli tidak sesuai dengan barang contoh. Aku jadi harus langsung turun tangan minta ganti rugi ke pihak supplier."
Aku meringis. Dalam urusan bisnis fashion seperti yang dikelola Joshua, hal-hal seperti itu memang bisa saja terjadi. Salah langkah, kerugian bisa jadi berkali-kali lipat. Perusahaanku juga mengalami hal yang sama.
"Hasilnya bagaimana?"
"Tidak terlalu baik, aku terpaksa menunda launching produk baru kami," jawab Joshua sambil memijat kepala dengan sebelah tangan. "Benar-benar efek domino. Aku pun harus kembali menghubungi banyak rekanan lain."
"Ah, aku akan kembali memikirkannya hari Senin nanti. Aku menghubungimu untuk berkencan, bukan membahas masalah pekerjaan," ucap Joshua lagi.
Aku tersenyum. "Kau sudah makan malam?"
Joshua menggeleng. "Kau juga belum sarapan, kan? Ayo kita makan bersama."
Aku mengernyitkan dahi. "Bagaimana caranya?"
"Kita sedang melakukan video call, Sweety," ucap Joshua sambil terkekeh kecil mengingatkan.
Pria itu bangkit dan berjalan ke arah dapur. Ia meletakkan ponselnya sedemikian rupa hingga aku dapat melihatnya kini berdiri di depan kompor.
Ah, aku kini tahu maksud dari ajakannya tadi. Aku juga mengikuti berjalan menuju dapur apartemenku. Sesampainya di sana, aku hanya berdiri bingung. Aku tidak terbiasa sarapan pagi saking sibuknya bekerja. Paling cepat hanya menyeduh air untuk membuat kopi hitam.
"Kau mau masak apa?" tanyaku pada Joshua yang kini sedang meletakkan panci berisi air di atas salah satu tungku.
"Ramyeon," jawabnya singkat. Ia sedang berkonsentrasi menyalakan kompor.
Aku mengangguk-angguk paham. Tidak, aku tidak akan masak mie seperti dirinya. Terlalu pagi untuk makan makanan instan seperti itu.
Setelah berpikir selama beberapa saat, akhirnya aku memutuskan untuk mengisi pemanas air listrik dan menyeduh air. Aku menyiapkan biji kopi dan alat penggilingnya. Sesekali mataku melirik ke layar ponsel, mengamati dari samping wajah Joshua yang sibuk memasak.
Aku tersenyum sambil menggerakkan tuas penggiling kopi. Aku tidak pernah melakukan persiapan makan dengan seseorang via video call seperti ini. Jujur saja, ini pertama kalinya aku menjalin hubungan jarak jauh. Terlebih lagi, jarak dan waktu yang memisahkan kami tidak main-main, selisih tiga belas jam. Aku baru bangun, dia akan tidur. Aku sarapan, dia baru makan malam.
Kuletakkan bubuk kopi di atas kertas saring yang sudah aku susun sedemikian rupa. Sambil menunggu air matang, aku memilih duduk dan memandangi layar ponsel.
"Kau hanya makan malam dengan mie?" tanyaku pada Joshua.
Joshua menoleh, ia tersenyum dengan tangannya yang sibuk mengaduk isi panci. "Sepertinya begitu. Aku lupa tidak beli makanan lain saat di perjalanan pulang tadi."
"Memang kenyang?" tanyaku sambil menumpukan dagu di tangan. Aku tidak tahu hingga hari ini bahwa kegiatan memandangi wajah pria tampan yang sedang memasak bisa jadi sangat mengasyikkan.
Joshua terkekeh. Tangannya kini sibuk memasukkan dua butir telur ke dalam masakannya.
"Now, I am questioning you," sambil menunggu makanannya matang, Joshua pun fokus menatap ke kamera ponselnya, menatapku. "Kau hanya sarapan dengan kopi hitam, makan siang dengan salad dan sandwich tuna, makan malam dengan buah apel setiap hari. Memang kenyang?"
Aku mengerucutkan bibir. "Why me?" protesku.
Joshua lagi-lagi tertawa. Aku mendengus kesal dan meninggalkan ponsel tergeletak begitu saja di atas meja bar. Airnya sudah mendidih, saatnya menyeduh kopi.
"Sayang, kau tidak pergi, kan?"
Aku menahan tawa mendengar pertanyaan Joshua. Pria itu terdengar takut jika aku benar-benar merajuk dan memilih pergi. Aku sengaja berlama-lama menyiapkan kopi dan roti tawar full grains yang tersimpan di kabinet dapur bagian atas.
"Sayang? Sweety? Where are you? Aku minta maaf," ucap Joshua panik.
Aku tidak tega mengabaikannya terlalu lama. Kuangkat cangkir kopi dan piring berisi selapis roti tanpa isian kembali ke meja bar. Aku mengangkat ponsel dan menyetel sudut peletakannya agar dapat melihat Joshua dengan lebih nyaman.
"Apa kau sangat panik jika aku benar pergi?" tanyaku sambil menyesap sedikit kopi.
Joshua memberiku tatapan tajam dengan wajah datar. Ia pasti kesal karena telah ditipu. Huh, siapa duluan yang mulai mengganggu? Tanpa bicara, pria itu kini sibuk menuangkan beberapa hidangan pelengkap ke piring kecil. Aku menunggunya hingga ia siap makan.
"Jangan bermain-main dengan kata 'pergi'. I hate it," ucap Joshua begitu ia duduk.
Rasanya sangat aneh mendengar pria itu bicara dengan nada serius dengan semangkuk ramyeon yang masih mengepulkan uap panas di depannya. Namun aku cukup tahu diri untuk tidak membalas. Kami berdua baru melangkah bersama lebih jauh dalam satu bulan ini. Kata-kata seperti "pergi", "pisah", dan sejenisnya, tentu menjadi larangan bagi pasangan baru seperti kami.
"Maafkan aku."
Aku menunduk dalam-dalam dan memilih memainkan sendok kopi dibandingkan menatap ke dalam matanya. Aku tahu, kali ini aku yang salah. Joshua sangat benci jika aku melontarkan candaan seperti kalimat tadi, tapi aku justru tetap menantangnya.
"Honey," panggil Joshua. Nada bicaranya kali ini melembut.
Aku mengangkat wajah. "Hm?"
"Bogo sipeo, I miss you," ucapnya menggunakan bahasa Korea.
Aku tersenyum. "Miss you too."
Aku dan Joshua saling pandang selama beberapa saat tanpa suara. Ia duluan yang mengangkat sumpit dan mulai mengaduk isi mangkuknya. Kalau begini, pertengkaran kecil kita sudah dianggap selesai. Aku menghela napas lega. Perlu kuakui, Joshua sangat sabar dalam menghadapiku.
"Jal meokkesseumnida, selamat makan," ucapnya dengan riang sambil menyuap ramyeon ke dalam mulut.
Aku mengangkat rotiku dan ikut menyuap. "Bon appetit!"
Hari itu kami habiskan dengan melakukan video call seharian. Berpindah tempat dari satu sudut rumah ke sudut lain pun, ponsel tak akan ketinggalan. Mulai dari makan bersama, menonton film bersama, hingga mencuci baju. Aku bahkan menemaninya tidur dari jauh sembari aku mengerjakan gambar desain produk pekerjaanku. Wajah tidur Joshua yang terlihat sangat damai membuatku jadi semangat bekerja.
Hubungan jarak jauh memang tidak gampang. Namun Joshua mampu membuat hal yang tidak mungkin menjadi terasa biasa saja. Aku selalu takjub dengan cara berpikir pria itu.
- - -
Victoria menyapa Jason dan Anne yang telah lebih dulu tiba di kantin. Seperti biasa, Victoria hanya akan mengambil salad dan roti lapis isi tuna ke atas nampannya. Wanita itu bergabung ke meja rekannya. Tak butuh waktu lama, ia sudah selesai. Bukan hal yang tidak biasa, semua orang tahu kalau Victoria sangat gila kerja. Saat berada di kantor wanita itu tidak akan menyiakan waktunya terbuang percuma. Prinsipnya satu, tidak membawa beban pekerjaan ke rumah.
"I'll go first," pamit Victoria sambil membawa nampannya ke rak pengumpulan piring kotor. Para rekan kerjanya yang berada di meja yang sama membalas kalimat Victoria sambil lalu.
Sesampainya kembali di ruang kerja, Victoria hanya geleng-geleng kepala. George masih melakukan video call dengan kekasihnya itu. Berusaha tak mempedulikan kegiatan sang sahabat, Victoria berjalan menuju kubikelnya, mengambil tumbler kopinya yang telah kosong, dan melangkah menuju pantry untuk mengisi ulang.
"What am I thinking?" rutuk Victoria lirih pada sendiri ketika sebersit rasa iri merasuki hati. Sebenarnya Victoria juga bingung, dia beneran iri atau sebenarnya hanya merindukan momen video call dengan kekasih seperti yang dilakukan George sekarang.
Wanita itu segera mencuci tempat minumnya dan mengeringkan dengan selembar tisu. Ia mengisi ulang dengan air dingin dan kembali ke meja kerjanya. Victoria menyumpal kedua telinganya dengan earphone dan menyetel lagu-lagu pop kesukaan. Ia tidak ingin pekerjaannya terganggu karena rasa ingin tahu.
Pekerjaan masih banyak. Segala bentuk distraksi harus dienyahkan. Pikir Victoria.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top