Part 4, Josh
Hari yang cerah di musim panas. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang memasuki area pariwisata yang cukup terkenal di daerah Yeongdong, Ghungcheongbuk-do. Setelah berhasil memarkirkan mobil dengan benar di tempat yang disedikan, keluar dua orang pria dari sana.
"Udaranya cukup segar hari ini, tidak terlalu panas," ucap seorang pria yang keluar dari sisi pengemudi.
Pria yang satunya melepas kacamata hitam yang ia pakai dan memasukkannya ke dalam saku kemeja lengan pendek yang ia kenakan. Ia mengangguk, tidak terlalu antusias.
"Tetap saja. Bagiku lebih baik menghabiskan waktu dengan berenang dibandingkan jalan-jalan sejauh ini hanya untuk minum anggur," keluh pria itu.
"Wine, hyung. Wine," ucap pria yang menjadi pengemudi tadi. "Kau kalah dalam taruhan, jadi kau harus mengikuti keinginanku."
Pria berkemeja lengan pendek itu mengangguk dan mengalah. Ia mengikuti langkah dongsaeng-nya yang sudah lebih dulu berjalan ke arah loket. Pandangannya mengarah ke sekeliling. Dimana-mana terdapat gambar anggur maupun wine. Dirinya bukan tidak suka minum-minuman beralkohol, hanya saja ia sudah mengurangi konsumsinya sejak dua tahun yang lalu.
"Shua hyung, kemari!"
Joshua yang masih sibuk membaca papan pengenalan tentang asal-usul pendirian tempat tersebut menoleh ke sumber suara. Ia melihat Minghao dengan semangat mengibarkan dua buah tiket yang ada di tangannya. Joshua bergegas mendekat. Ia bukan semangat untuk melihat koleksi wine yang ada di sana. Joshua terlalu gerah hingga tak sabar masuk ke dalam wine cellar yang suhunya pasti lebih sejuk daripada di luar ruangan seperti sekarang.
"Dia sengaja kembali lebih cepat dari China hanya untuk menyeretku kemari," gerutu Joshua pada dirinya sendiri. "Benar-benar pecinta wine."
--
"Welcome home!"
Victoria melebarkan kedua lengannya ke samping begitu membuka pintu. Aku berusaha mengintip ke dalam apartemennya. Senyumku perlahan mengembang. Dia menyiapkan sesuatu.
"Kau bisa mandi dan beres-beres dulu," ucapnya sambil mengambil tas ransel dari punggungku dan meletakkannya di atas sofa.
Aku masih sibuk memandangi area meja makan yang kini sudah ia sulap menjadi lebih rapi. Bunga imitasi dalam vas, kursi yang dipasang pita, bahkan ia menata meja makan sedemian rupa hingga mirip seperti yang ada di restoran.
"Kau menyiapkan ini semua sendiri?" tanyaku tak percaya sambil berbalik memandangnya.
Gadis itu mengangguk dengan wajah berbinar. "Itu belum semua. Aku akan memanaskan makanannya selagi kau mandi. Kau pasti lelah dengan penerbanganmu yang memakan waktu lebih dari setengah hari."
"Kau juga yang memasak?"
Bibirnya mengerucut lucu. Aku berusaha menahan tawa melihat responnya.
"You are teasing me," katanya. Ia kemudian mengangkat kedua bahunya, berusaha bersikap cool dan berlalu ke arah dapur. "Aku belum mengambil kursus memasak. Aku beli ini semua dari restoran Korea yang kau suka."
Aku melangkah mendekatinya yang kini sedang sibuk membuka berbagai bungkus makanan di meja dapur. Kulingkarkan kedua lenganku di pinggangnya. "Maaf, aku hanya bercanda."
"It's okay, honey. Lagipula aku tidak gampang sakit hati dengan ledekanmu yang itu," balasnya sembari mencubit lenganku pelan. "Sekarang, lepaskan. Aku butuh menyiapkan makan malam. Kau pasti lelah dan lapar."
Aku kini bergerak ke sampingnya dan ikut membantu menuang makanan ke atas piring-piring keramik cantik yang sudah ia siapkan. "Let me help you."
"Kau yakin tidak ingin bersih-bersih dulu?" tanyanya untuk kesekian kalinya. Sepertinya wanitaku ini bingung karena biasanya aku akan langsung memilih mandi setelah perjalanan jauh. "Atau kau mau kusiapkan air hangat untuk berendam? Aku punya bath bomb baru yang aromanya enak."
Aku menggeleng. "Aku lapar. Lagipula kau sudah menghias meja dengan sedemian rupa. Aku tidak ingin membuatmu lama menungguku."
Victoria terkekeh geli. Kulihat ia menggelengkan kepalanya kecil mendengar ucapanku. Aku jadi tersenyum.
"Jadi," ucapku lagi sambil menaruh semangkuk japchae ke dalam microwave. "Malam ini temanya adalah menu korea?"
"Fusion," jawabnya sembari tersenyum jahil. Ia melangkah ke sudut ruangan dan membuka pintu laci penyimpanan khusus. Vistoria mengeluarkan satu botol wine dari dalam sana. "Jangan lupakan ini untuk date kita."
Aku tertawa. "Date? So, you're really trying hard to make it for me."
Victoria mengangguk. Ia menata gelas wine dan botol yang dibawanya ke atas meja. Victoria juga sibuk memindahkan semua makanan yang sudah dipanaskan ke sana.
"Selama ini selalu kau yang menyiapkan segalanya," katanya tanpa berhenti melakukan kegiatannya hingga semua selesai. "Aku memang bukan tipe orang yang pintar membuat suatu event, tapi setidaknya aku ingin memcoba merancang kencan romantis kita barang sekali."
"You can do it million time," balasku sambil mencium puncak kepala wanitaku singkat sebelum menarik kursi untuknya.
Ia duduk di kursinya dan menunjukkan senyum miring ke arahku yang bergerak ke kursi di hadapnnya. "You and your sweet mouth, Josh."
Aku tertawa sebentar sebelum bergerak menuangkan wine ke gelas kami berdua. Kuangkat gelasku ke atas, begitupun Victoria. Kami bersulang sebelum menyesapnya pelan menikamati rasa pahit dan manis dari minuman beralkohol favorit kami.
Satu jam lamanya kami berbincang sembari makan malam bersama. Makanan pun hanya tersisa sebagian di atas meja. Aku menuangkan wine terakhir ke dalam gelas.
"Sudah habis?" tanya Victoria. "Akan aku ambilkan lagi."
"Tidak," cegahku memegang pergelangan tangannya yang sudah berdiri dari kursinya. "Satu botol sudah cukup untuk malam ini."
"Okay," katanya. Ia duduk kembali di kursinya sembari menungguku menghabiskan isi gelas. "Sudah malam. Aku akan membereskan meja makan dan menyusulmu ke kamar setelah semuanya selesai."
"Aku belum mandi," ucapku sambil menurunkan gelas yang telah kosong. Aku mengerling genit ke arahnya. "Kurasa berendam dalam air hangat cukup menyenangkan."
"Kalau begitu akan aku siapkan sekarang," katanya bangkit berdiri dan berjalan menuju ke kamar mandi.
Aku mengikuti langkahnya dari belakang. "Katanya kau punya bath bomb baru?"
Ia mengangguk. Setelah memastikan bahwa suhu air sudah pas, tidak terlalu panas maupun terlalu dingin, Victoria membuka laci penyimpanan di atas lemari dan menarik sebuah bungkusan berwarna kuning. Hm, kali ini aroma citrus?
Aku memeluk pinggang Victoria dari belakang dengan lembut bertepatan dengan ia menjatuhkan benda berbentuk bulat itu ke dalam air yang menimbulkan bunyi berdesis kecil. Kucium pipinya sekilas. Victoria hanya tertawa kecil.
"Aku sudah mandi, Josh," katanya. Ia ternyata bisa membaca pikiranku.
"Tapi kau belum mencoba bath bomb barumu, kan?" ucapku lagi. Kali ini aku mencium daun telinganya.
"Are you drunk?" tanyanya dengan nada mengejek. Ia membalikkan tubuhnya hingga menghadap ke arahku. "Hanya karena sebotol wine?"
Aku mengangkat kedua bahu sembari tersenyum penuh arti. "Aku hanya akan mabuk jika minum denganmu."
Victoria tertawa kecil. Dia terlihat benar-benar manis. Aku yang benar-benar merindukannya karena sudah satu bulan tidak bertemu, tidak dapat menahan diri lagi. Aku mencium dan melumat bibir merah mudanya. Dia pun membalas.
Malam itu, kami berakhir dengan mandi bersama. Bukan. Maksudku, mencoba bath bomb baru milik Victoria bersama.
--
"Ah, yang ini enak. Sesuai dengan seleraku," seru Minghao riang sambil meletakkan gelas kecil yang telah kosong kembali ke atas meja. Ia menoleh ke arah Joshua yang sedari tadi diam saja melihat-lihat sekitar. "Hyung, cobalah."
Joshua mengernyitkan dahinya sedikit. Ia menggeleng. "No. Thanks."
"Kenapa hyung? Mumpung sudah sampai sini. Sayang sekali kalau kau pergi tanpa mencicipi sedikit pun," ucap Minghao lagi berusaha membujuk. Ia kemudian mendekat dan berbisik tepat di telinga kiri hyung-nya itu. "Hanya mencoba saja gratis kok, hyung."
Joshua tersenyum kecil mendengar bisikan lirih Minghao. Ia melirik ke arah pelayan yang masih menunggu mereka dengan senyuman manis terpampang kepada dua orang calon pembeli potensialnya. Pasti dalam benak wanita itu, Minghao sedang berusaha membujuk Joshua agar ikut membeli beberapa botol wine dengannya.
"Kau saja yang beli," tolak Joshua halus sambil mendorong pelan bahu Minghao agar menjauh. "Lagipula harus ada salah seorang dari kita yang tidak minum untuk menyetir pulang ke Seoul."
"Kenapa, hyung?" rengek Minghao. "Tempat penyimpanan wine-mu sudah lama kosong."
"Aku memang sengaja mengosongkannya," balas Joshua kukuh. "Entah sampai kapan."
"Aku tahu alasanmu berhenti minum alkohol, hyung," kata Minghao. "Tapi sekarang alasan itu kan sudah tidak ada. Rencanamu untuk punya anak..."
"Hentikan, Xu Minghao," potong Joshua sebelum dongsaeng-nya itu berhasil menyelesaikan kalimatnya. "Aku lebih memilih langsung memakan buah anggur daripada minum wine. Jangan bahas hal itu lagi."
Minghao diam. Seketika ia jadi merasa bersalah. Padahal pria itu sengaja mengajak Joshua kemari karena dulu mereka berdua selalu menghabiskan waktu luang dengan minum wine bersama. Ia ingin mood Joshua yang akhir-akhir ini murung menjadi lebih baik dengan melakukan hal-hal yang ia sukai.
Sesungguhnya, Minghao sangat menyesal dengan 'musibah' yang menimpa hyung-nya itu. Walaupun satu tahun sudah terlewati dan Joshua selalu bilang bahwa dirinya baik-baik saja, Minghao tahu kalau Joshua merasakan hal yang sebaliknya.
"I'm sorry," ucap Joshua penuh penyesalan ketika Minghao hanya diam saja. Ia pun tanpa sadar telah meninggikan nada bicaranya tadi.
Joshua menepuk pelan bahu Minghao. "Aku tunggu diluar. Aku ingin cari udara segar."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top