Part 3, Vic
"Morning, George!" Victoria melangkah masuk memasuki ruang kerjanya dengan riang. Di tangannya terdapat satu buah tumbler berisi kopi hitam, minuman rutinnya untuk memulai hari.
Wanita ras afro-america yang disapa Victoria mengangkat kepalanya dari layar komputer. Ia mengangkat tangannya sekilas membalas sapaan yang dilontarkan padanya tadi.
"Kau sudah bertemu dengan Dave?" tanyanya. Pandangannya tetap terpaku pada layar persegiempat. Mulutnya sibuk mengunyah roti lapis sarapannya.
"Belum," jawab Victoria sambil meletakkan tasnya di atas cubicle kecil miliknya. "Apa ada sesuatu yang harus didiskusikan dengan Dave?" tanyanya sembari menyebut nama ketua tim yang sudah bekerja sama dengannya selama dua tahun belakangan ini.
"Sepertinya begitu," George membersihkan remahan roti dari mejanya dengan tissue. "Ia ingin kita semua sudah tiba di ruang diskusi tepat pukul 12.00."
Victoria bersiul. "Emergency meeting, huh?"
"Not that emergency," suara bariton terdengar dari balik punggung Victoria yang sedang berdiri bersandar di meja kerja George. "Aku ingin membahas rencana produk baru untuk koleksi musim dingin."
"Dave," sapa Victoria ringan. Pria itu tersenyum dan mengangguk. "Apa sudah ada tema khusus? Selain hal-hal yang berkaitan dengan musim dingin, maksudku."
"Casual," jawabnya. "Kali ini kita akan menyasar pasar usia dewasa muda. Tema yang cukup mudah sebenarnya. Hanya saja, saking mudahnya, kita harus lebih kreatif lagi menciptakan sesuatu yang beda dari biasanya."
"Sesuatu yang tidak terpikirkan oleh grup competitor," sambung George. Wanita itu memutar kursinya hingga dapat mengamati dengan jelas Dave dan Victoria yang berdiri di sisi kanan kubikelnya.
Victoria mengerutkan kening. Tugas yang cukup susah. Apalagi dia memegang peranan penting dalam tim kreator ini.
Dave menepukkan kedua belah telapak tangannya. Membuyarkan konsentrasi Victoria.
"Kalau Jason dan Anne sudah datang, segera berkumpul di ruang diskusi ya," ucap pria berambut pirang itu. Ia kemudian menatap jam di pergelangan tangannya. "Masih ada cukup waktu untuk kau berpikir sembari menyesap kopimu. Aku mengandalkanmu, Vic."
Dave tersenyum sembari menepuk bahu kanan Victoria. Pria itu kemudian berlalu menuju ruangan khusus miliknya. Sepeninggal Dave, Victoria dan George hanya saling pandang dalam diam.
--
Aku memainkan ponsel sembari duduk santai di ruang televisi. Joshua baru pulang dari rapat di kantor. Kini kita akan makan malam bersama selagi aku berada di Seoul.
Tidak sampai lima belas menit, pria itu keluar dari kamar. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih santai. Aku menurunkan pandanganku dari layar ponsel dan mengamati Joshua berulang kali dari atas hingga bawah.
"Anything wrong?" tanya Joshua ketika melihatku yang terlalu serius menatap penampilannya.
Dengan gaya sok serius, memiringkan kepala sembari memicingkan mata dan mengetuk-etukkan jari di dagu, aku tetap memandangnya bak scanner. Sebenarnya tidak ada yang salah. Joshua termasuk salah satu pria yang menyukai penampilan rapi. Karena dirinya selalu 'bermain aman' dalam memilih pakaian, aku jadi gatal ingin mendandaninya.
Aku bangkit dari sofa dan menarik pergelangan tangannya untuk kembali masuk ke dalam kamar. Ia hanya menurut mengikuti langkahku dengan kedua alis terangkat kebingungan. Aku tuntun ia duduk di pinggir tempat tidur, kemudian aku berjalan membuka pintu lemari bajunya.
"Kau tidak suka dengan pakaianku?" tanyanya ketika sadar bahwa aku sedang memilih baju lain.
Aku menoleh ke belakang sekilas. Setelah memberikan gelengan dan senyuman misterius, aku kembali sibuk menggeledah isi lemarinya.
"Aku hanya sedang ingin bereksperimen," jelasku. "Di hadapanku ada model tampan, kenapa tidak sedari dulu aku coba dandani?"
Aku kembali melirik ke belakang. Joshua terlihat tersipu malu dan berusaha menutupi wajahnya yang memerah. Pura-pura tidak melihatnya, aku kembali melanjutkan aktivitasku sembari berusaha menahan tawa.
"Take off your clothes," kataku setelah mencomot beberapa pakaian dari dalam lemari dan menyerahkan semuanya pada Joshua.
"Really? All of these?" tanya pria itu terkejut ketika menerima beberapa pakaian dariku.
"Inner, middle, outer," ucapku sambil menunjuk kemeja biru muda, knitted sweater berwarna cokelat, dan jaket kulit berwarna navy blue secara berurutan. Aku mengangguk berusaha meyakinkannya. "Kau sudah pakai celana warna cokelat. Jadi kombinasi ini tetap terlihat bagus," tambahku lagi.
Aku berjalan menuju lemari lain tempat menyimpan segala aksesoris. "Kau ingin pakai dasi atau scarf? Ah, scarf pasti lebih cocok, lagipula sebentar lagi malam dan udara akan menjadi semakin dingin," ucapku tanpa menghiraukan pendapatnya sambil menarik sebuah kain syal dengan nuansa cokelat terang.
"Kau mau pakai tas yang itu, kan?" tanyaku sambil menunjuk tas ransel berbahan kulit warna cokelat gelap. Joshua mengangguk kecil. "Akan aku ambilkan boots warna senada untukmu dari lemari penyimpanan," ucapku berlalu keluar kamar.
"Wait," cegahnya sebelum aku benar-benar pergi dari sana. Aku membalikkan badan dan menelengkan kepala memandangnya, menyiratkan kata tanya apa. Joshua mengusap ujung hidungnya dan melihat ke arahku dengan tatapan memelas. "Memang ada yang kurang dari perpaduan celana panjang, kemeja warna putih, sweater, dan hoodie yang aku kenakan sekarang?"
Aku tersenyum. Sesungguhnya, jika tidak terpaksa karena pekerjaannya, Joshua jarang sekali mau berdandan. Ia tidak ingin terlihat terlalu mencolok. Sebisa mungkin tampak biasa saja.
"Are you college student?" candaku sambil tertawa kecil menanggapinya. Joshua diam saja.
Aku berbalik menghampirinya dan berusaha membujuknya lagi. "Aku menghargai selera berpakaianmu. Sekali ini saja, ya? Kau dan aku akan sibuk selama beberapa minggu ke depan. Aku ingin mengabadikan diirmu dalam balutan busana pilihanku. Kau tahu sendiri aku suka mix and match pakaian untuk para model di kantor. Aku ingin mendadanimu sekali iniiii saja," ucapku berusaha terdengar meyakinkan. "Mau ya? I want to break the rules. Winter outfit bisa terlihat benar-benar menarik, tidak selalu gaya yang itu-itu saja. You are my model. How?"
Joshua mengalah. Ia akhirnya mengangguk mengiyakan. "Sebenarnya aku berencana mengajakmu ke restoran terkenal sekaligus untuk merayakan ulang tahunku sebulan lebih awal. Tapi kalau aku harus berganti pakaian lagi, sudah tidak ada cukup waktu kesana. Pasti sudah waiting list."
Oh, ternyata ia mencemaskan hal lain.
"Aku bahkan tidak masalah diajak makan mie instan sembari menikmati suasana sungai Han di malam hari," balasku berusaha mengurangi perasaan bersalahnya.
Kelopak mata Joshua melebar mendengarnya. "Kau sudah mendadaniku menjadi superstar dan kita hanya makan ramyeon?!" aku tertawa mendengar reaksinya. "Tidak, tidak. Aku masih punya alternatif lain yang lebih baik. Let me make a reservation first. Ada restoran lain yang tidak kalah bagus."
"Memang bisa? It should be one day before, right?"
Joshua memberikanku kedipan sebelah matanya. "Aku punya banyak kenalan orang penting."
Aku mendengus geli mendengar kalimat penuh rasa percaya diri dari pria di hadapanku. Aku menepuk lengannya pelan. "Okay, go on. Setelah selesai telepon, segera ganti baju ya. Aku tidak sabar melihat perubahanmu."
"More handsome," sahutnya.
Aku tertawa kecil sembari tersenyum miring. "Indeed."
--
Victoria menekan tombol space untuk melihat deretan foto koleksinya melalui layar komputer. Wanita itu mengamati satu-satu dengan senyum kecil tersungging di bibir. Tangan kirinya menopang dagu, menikmati apa yang terpampang disana.
"Is he Joshua?" tanya George dari balik punggung Victoria.
"You know him," jawab Victoria. Ia kemudian menutup jendela komputer yang menunjukkan gallery foto di akun online-nya. Ia menyesap kopinya hingga tandas dan tampak sibuk mengambil notebook dan pensil andalannya. "Aku ada ide. Sebelum semuanya lenyap, aku harus segera menulisnya di buku."
"Is he inspiring you?" tanya George.
Tangan Victoria berhenti. Ia membalas tatapan mata rekan kerjanya. "Uhm, yes?"
"Are you alright?" wanita berambut ikal itu kembali bertanya. Terlihat kilat khawatir dalam matanya.
Victoria tersenyum menenangkan. Ia berdiri bersandar di mejanya dan menghadap George yang masih berada di kubikel sebelahnya.
"Aku mendapat ide bagus untuk koleksi musim dingin kita. Sesuatu yang tidak biasa, yang menarik. Tentu saja aku tidak akan menyiakan kesempatan yang diberikan Dave dengan memberi ide yang biasa saja hanya karena aku memiliki permasalahan pribadi dengan sumber inspirasiku," ucap Victoria panjang lebar.
George masih memandangnya tak yakin.
Victoria melihat jam kecil di atas meja kerja. Wanita itu kemudian mengambil notebook dan alat tulis yang tadi kembali diletakkannya. Ia membawa tumbler kopinya yang telah kosong untuk diisi ulang.
"I got to go," kata Victoria pada George. "If you need me, aku sedang berada di tempat biasa. Doing my job."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top