Part 2, Josh
Pria itu melangkah memasuki set untuk photoshoot siang ini. Ia terlihat mengangguk sembari tersenyum lebar menyapa para staff yang ada disana. Seorang pria yang tampak sebagai photografer senior menghampiri pria itu dan menyalaminya.
Joshua menurut ketika ia diarahkan untuk mengikuti langkahnya menuju suatu ruangan. Disana, ia diberi penjelasan mengenai konsep pemotretan hari ini. Joshua mendapat pekerjaan sebagai model fashion untuk kategori aksesoris.
"Baiklah," ucap Joshua setelah briefing selesai. Ia mengikuti stylist-nya ke ruang ganti untuk persiapan ambil foto pertama. Fokus utamanya adalah pergelangan tangan dan wajah. Produk jenis gelang.
Sembari didandani, Joshua membuka website penjualan online produk yang saat ini sedang ia kerjakan. Jempolnya bergerak men-scroll layar, berbagai tampilan gelang ada disana. Ia menemukan produk limited edition yang akan digunakan sebagai bahan foto nanti.
--
"Come on, Josh," Victoria menarik jari telunjukku dengan semangat. Ia bahkan berusaha menyeretku untuk segera melangkah masuk ke dalam toko perhiasan.
Aku mengamati tingkah wanitaku dari belakang. Ia terlihat benar-benar bersemangat. Aku jadi tidak tega untuk menolak ajakannya.
Kami langsung disambut oleh pegawai laki-laki begitu muncul di depan pintu. Aku membalas senyumannya sambil tetap mengikuti langkah Victoria di belakang. Ia sudah sampai di depan etalase kaca di sisi kiri ruangan.
Aku mendongak sekilas, membaca nama brand yang tertera di dinding. Fred, produk dari negara Prancis. Mataku meneliti tiap produk yang dipajang disana. Semua tampak cantik menawan, bahkan aku tidak bisa menemukan apa yang spesial dari masing-masing barang saking berkilaunya semua koleksi yang ada.
Victoria sibuk bicara dengan pelayan wanita yang berdiri di sisi lain etalase. Kudengar, ia menanyakan sebuah koleksi gelang terbaru keluaran merek tersebut. Wanita berseragam rapi itu kemudian membalikkan badannya dan berjalan ke dalam suatu ruangan.
Aku mengernyitkan dahi bingung. Mengapa ia malah meninggalkan pelanggan?
"Barangnya tidak ada?" tanyaku pada Victoria yang kini sedang mengamati berbagai jenis perhiasan di dalam lemari kaca di depannya.
Ia menoleh. Akhirnya ia melihatku, kukira dia lupa bahwa aku ikut kemari bersamanya. Jika sudah membahas perihal gelang, ia akan melupakanku. Hobinya mengoleksi gelang bisa membuatku geleng-geleng kepala.
Victoria tertawa kecil. "Ada kok. Pelayan sedang mengambilkannya di dalam. Produk itu hanya diproduksi sebanyak 100 copy di seluruh dunia. Aku beruntung tidak terlambat saat memesannya."
Kedua alisku naik mendengar penuturan Victoria. "Is it really that special?"
Victoria mengangguk kuat-kuat. Rambut pirangnya bergoyang lucu. "Tentu saja, ini edisi spesial hari jadi Fred. Aku sengaja datang kemari begitu sampai di Tokyo untuk mengambil pesananku."
"Tidak ada store di New York?"
Victoria menggeleng, bibirnya mengerucut. Aku mendengus geli. Tanganku bergerak mengelus rambutnya yang lembut.
Tak lama kemudian, pelayan tadi kembali. Kali ini dengan sebuah kotak perhiasan di tangannya. Wanita itu meletakkannya dengan hati-hati di atas etalase. Victoria menunggu dengan tak sabar. Dapat kuamati, ia terlihat bersemangat dan gugup menunggu gelangnya yang akan terpampang di depan mata.
Benar saja. Victoria tidak bisa menahan raut wajah terkejutnya ketika melihat gelang berwarna biru langit dengan aksen minimalis yang manis. Ia bertanya dahulu pada pelayan sebelum berani memegangnya. Victoria sangat berhati-hati memperlakukan barang tersebut.
"Warnanya biru?" tanyaku bingung.
Victoria mengangguk. Ia menoleh ke arahku dengan pandangan berbinar. "Aku pesan dengan warna custom. Ini juga yang membuat barang ini lebih istimewa."
"Harganya sampai berapa?" tanyaku lagi. Kali ini murni karena penasaran.
Victoria meringis. "Kurang lebih 4000 US dollar."
"What?!" ucapku memberi komentar.
Wanita itu terkekeh kecil, seperti sudah menyadari reaksi yang akan aku berikan. Tanpa mempedulikan diriku yang masih terkejut dengan mulut setengah terbuka, Victoria menyelesaikan transaksinya.
Yah, tidak masalah juga sih. Toh, Victoria membeli semua gelang koleksinya dengan uang sendiri. Seleranya yang bagus dalam urusan fashion memang sebanding dengan harga barang-barang yang melekat di tubuhnya. Walaupun tak jarang, ia juga tetap tampil apa adanya tanpa ada kesan mewah.
Tetap saja aku masih tercengang dengan Victoria. Ia bisa menghabiskan beribu-ribu dolar untuk perhiasan. Hobi yang aneh menurutku. Hingga kini aku masih tidak bisa memahaminya. Apalagi aku termasuk orang yang akan berpikir dua kali bahkan untuk sekadar membeli baju baru untuk tidur.
"Thank you," kata Victoria sambil tersenyum ramah. Ia kini sudah mengenakan gelang barunya di tangan. Sangat sesuai dengan pakaiannya saat ini. Sadar bahwa aku masih terdiam di tempatku berdiri, ia mengalungkan tangannya di lenganku, menyeretku untuk keluar dari toko perhiasan karena urusannya sudah selesai.
--
Di lain hari, saat kami sedang berkencan di jalanan kota Hongdae, mata Victoria juga tidak lepas dari deretan penjual kaki lima. Ia mengamati berbagai aksesoris lucu yang dijajakan disana. Sesekali ia bahkan berhenti dan melihat lebih dekat.
"Kau mau?" tanyaku saat ia sedang mencoba gelang terbuat dari kayu ek dengan aksen bunga sakura di salah satu sisinya.
Victoria tersenyum lebar. Ia memperlihatkan pergelangan tangannya yang kini tidak tampak polos dengan perhiasan di sana.
"Is it good?" tanyanya balik meminta pendapatku.
"Semua terlihat bagus jika kau yang memakainya," ucapku sedikit menggombal. Victoria hanya tersenyum miring sembari menyikut perutku pelan. Tingkahnya membuat tawaku pecah.
"Tapi ini hanya gelang murahan, tidak seperi koleksi milikmu yang lain."
Victoria menoleh ke arahku. Ia menunjukkan tatapan tak suka dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulutku. Wanita itu melepaskan gelang di tangannya dan meletakkannya kembali ke atas meja. Ia berlalu begitu saja meninggalkanku.
"Hei, kau marah?" tanyaku setelah berhasil mengejarnya. Kupegang erat pergelangan tangannya agar Victoria tidak berusaha kabur dariku lagi.
Victoria berhenti. Kudengar ia menghembuskan napas panjang sebelum berbalik memandangku. Kulihat kilatan marah sekaligus kecewa di kedua matanya.
"Jadi selama ini kau menilaiku seperti itu? It hurts me a lot, Josh," ucapnya.
Aku sadar. Aku telah salah dalam memilih kata-kata. Ia berhak marah.
Aku dan Victoria tinggal di tempat yang berbeda. Selain kencan di Seoul ataupun New York, kami seringkali bepergian ke negara lain. Kencan sekaligus berlibur, keluar dari sesaknya hiruk pikuk pekerjaan di kota kediaman masing-masing. Di masing-masing tempat, Victoria selalu mencari gelang. Sebagai kenang-kenangan sekaligus 'penanda jejak', katanya.
"Maafkan aku," ucapku lirih. Aku memegang kedua telapak tangannya dan meremasnya pelan. "Aku seharusnya tidak begitu. Aku kurang mengerti dirimu."
Victoria menghela napas lagi, kali ini diakhiri dengan dengan senyuman tipis di wajahnya. Ia terlihat sangat dewasa dan bisa diandalkan jika sedang begini. Victoria memelukku erat sambil mengelus punggungku lembut.
"Tidak apa, maafkan aku juga," katanya lirih. Ia kemudian menguraikan pelukan kami dan memandangku dengan kedua bola mata indahnya. "Aku tidak ingin merusak momen kebersamaan kita. Aku tidak ingin marah padamu, hanya buang-buang waktu."
Aku tersenyum tipis. "Kalau begitu, we are good?"
"Absolutely," balasnya dengan tawa renyah menghiasi wajahnya. Tangannya merangkul lenganku erat. "We are on a date. I won't ruin it."
Aku tertawa mendengar nada bicaranya yang terdengar imut saat menekankan kata date. Victoria memang senang menggunakan kata itu di semua pertemuan kami. Entah mau benar-benar keluar dan jalan-jalan bersama, atau sekadar bermalas-malas di atas kasur.
--
"Kau berniat membelinya?" tanya Minho hyung dari balik punggung pria itu.
Joshua berbalik. Ia tersenyum kecil ketika aktivitasnya diketahui oleh manajernya itu. Tidak ada yang bisa ditutupi jika sudah begini.
"Bagus kan, hyung?" tanya Joshua sambil menunjukkan gambar di layar ponselnya.
"Ya, bagus," ucapnya memberi komentar sambil mengangguk. "Tapi, bukankah kau tidak terlalu terarik dengan gelang?"
Joshua meringis. "Gelang ini bagus. Limited edition. Modelnya cocok untuk gender laki-laki maupun perempuan."
"Kau berniat membelikannya untuk orang lain?" tanya Minho penasaran.
Joshua diam. Ia pura-pura tidak mendengar pertanyaannya hyung-nya. Jemarinya sibuk bergerak di atas touch screen ponselnya. Pria itu memasukkan nomor credit card-nya. Dalam waktu kurang dari lima menit, gelang yang sedari tadi ia lihat sudah berhasil dipesan.
Terdengar suara arahan staff yang menandakan bahwa pemoteratan akan segera dimulai. Joshua mengunci kembali ponselnya dan menyerahkannya pada Minho. Saatnya kembali bekerja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top