Part 18, Vic
Aku membuka mata dengan malas. Kudengar suara aneh peralatan medis dari sekelilingku. Aku berusaha mengangkat tangan. Kulihat sebuah selang infus menancap disana.
"Pasien bed 6 sudah sadar." Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang perawat datang bergegas menghampiri ranjang dimana aku berbaring. Tak lama kemudian, seorang pria berbadan besar ikut berdiri di sampingnya. Dari penampakannya ia terlihat seperti dokter.
"Nyonya White, kau bisa mendengarku?" Aku mengangguk pelan membalasnya. Ah, tubuhku sakit sekali. Aku jadi malas bergerak.
"Apa yang terjadi?" tanyaku pada dokter yang kini sedang memeriksa keadaanku secara keseluruhan. Suaraku lirih sekali, aku tidak yakin ia bisa mendengarnya.
"Kau mengalami kecelakaan tertabrak mobil. Dua hari yang lalu," jawab sang perawat.
Sang dokter menunduk melihat selang yang terhubung ke dadaku. Ia kemudian beralih pada sang suster dan berkata dengan bahasa medis yang aku tidak tahu apa artinya. Sepeninggal pria itu, suster kembali menghadapku. Kali ini ia tersenyum.
"Keadaanmu sudah cukup baik. Besok pagi kau akan dipindahkan ke ruang rawat biasa," ucapnya. "Aku akan memberi kabar pada anggota keluargamu dulu."
"Tunggu," cegahku sebelum perawat ini pergi. "Keluargaku? Mama?"
"Bapak Jisoo Hong," jawabnya. "Sedari kemarin dia yang menunggumu disini. Dia juga yang menandatangani surat persetujuan operasimu sebagai wali pasien."
Napasku tercekat. Kubiarkan perawat pergi mengerjakan urusannya. Joshua? Joshua ada disini? Bagaimana bisa?
"Kau sudah sadar?"
Aku menoleh. Joshua tersenyum lebar. Ia tampak sangat gembira melihatku membuka mata. Kudapati kantung matanya menghitam. Ah, aku lagi-lagi membuatnya repot. Padahal sudah lama kita tidak saling bertukar kabar, mengapa kita harus bertemu dalam kondisi seperti ini?
"Sejak selesai operasi, kau tidak juga bangun," ucapnya sambil duduk di kursi sebelah kasurku. "Kau membuatku takut."
Aku hanya tersenyum simpul. Jujur saja, sebenarnya aku sedang menahan sakit. Barusan aku menarik napas panjang akibat tidak menyangka bahwa Joshua benar-benar datang kemari. Ternyata perbuatanku barusan justru berujung dengan rasa nyeri di dada. Sepertinya aku menderita patah tulang rusuk cukup parah.
"Kenapa? Apa ada yang sakit?" tanya Joshua mengerti diriku.
"Ini... sakit," jawabku sambil memegang dada sebelah kanan bawah.
Joshua melihat arah tanganku menunjuk. Ia mengangguk. Pria itu berdiri dan bergegas mencari perawat. Ia kembali bersama seorang wanita yang tadi mengurusku.
"Apa sangat sakit, nyonya White?" tanyanya sambil membuka selimutku dan melihat perban putih yang melilit melingkari dada. Kulihat Joshua membalikkan badan. He is still a gentleman, like I used to know.
"Dari skala satu sampai sepuluh, berapa sakit yang kau rasakan?" tanyanya lagi.
"Tujuh," jawabku sambil meringis. "Aku tidak nyaman untuk bergerak sedikit pun."
"Itu karena ada empat buah tulang rusuk yang patah, nyonya," jelasnya. Perawat ini kembali membenahi letak selimutku. "Aku akan memberikan obat pereda nyeri. Mungkin ini akan membuatmu tertidur sampai pagi."
Aku mengangguk setuju. "Thank you, hm, Olivia," ucapku sambil membaca badge nama di bajunya.
Ia tersenyum. "You're welcome." Wanita itu berbalik. Ia berbicara pada Joshua selama beberapa saat sebelum berlalu menuju troli obat. Kulihat Joshua kembali berdiri di sampingku. Ia mengelus puncak kepalaku lembut.
Oh no!. Jangan lakukan itu! Rambutku sedang sangat berminyak!
"Sakit sekali ya?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. "Istirahatlah. Aku akan menemanimu disini."
Olivia datang. Ia memasukkan beberapa jenis obat melalui selang infus yang terpasang di tangan kananku. Kurasakan cairan itu mengalir di dalam pembuluh darah.
Aku menoleh ke arah Joshua, tak tahan jika harus melihat tindakan medis yang dilakukan perawat. Joshua menggenggam tanganku yang lain dengan lembut, ia mengusapnya, memberiku kekuatan. Ah, bahkan tanpa perlu bicara, dia masih sangat mengerti kegugupanku ini.
"Tidurlah," suara lembut Joshua mengalihkan perhatianku dari rasa sakit ini. "Rasa sakitnya sebentar lagi akan berkurang."
"Thank you, Josh," balasku sambil memaksakan senyum.
Joshua mengangguk. "Never mind," jawabnya. Tangannya tetap bergerak mengusap punggung tanganku. Membuatku merasa aman dan nyaman. Entah bagaimana, aku bisa terlelap. Tidur ternyamanku selama satu tahun terakhir ini.
--
Aku membuka mata. Kali ini ruangan yang kutempati berbeda dengan ruangan kemarin. Sepertinya aku sudah dipindahkan ke kamar rawat inap dari ICU.
Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruang. Aku mendapati seseorang yang tampak familiar sedang sibuk dengan laptopnya di atas sofa.
"George?"
Wanita berkulit gelap itu menoleh. Ia melatakkan perangkatnya di atas meja dan berjalan menghampiriku.
"Kau sudah bangun rupanya," ucapnya terdengar lega.
Aku melirik ke arah laptopnya. "Kau tidak ke kantor?"
"Aku izin sehari pada Dave," jelasnya. "Joshua memberitahuku bahwa kau sudah dipindahkan ke ruangan biasa. Jadi aku menawarinya untuk menjagamu bergantian."
"Where is he?" tanyaku sambil melihat sekeliling. Mencari jejak keberadaannya.
George melirik jam dinding. "Sebentar lagi dia datang. Joshua bilang dia hanya akan mandi, makan, dan mengambil beberapa pakaian dari rumah," jelasnya. Bibir George kemudian mengerucut lucu. "Kau tidak senang aku menjagamu disini dan malah langsung mencari mantan suamimu ini? Come on, bitch! Aku sahabatmu."
Aku tertawa mendengar makiannya. Sebuah hal yang kusesali berikutnya. Aku meringis memegang dadaku. Ugh, masih sakit, walaupun sudah jauh lebih baik.
Seketika aku tergelitik. Ketika sadar kemarin, aku tidak tahu cerita lengkap mengapa bisa sampai ada di rumah sakit. Pikiranku terlalu sibuk melihat kedatangan Joshua hingga lupa menanyakannya. Ini saat yang tepat untuk mencari tahu.
"Do you mind to tell me," pintaku pada George. "Tentang kecelakaanku."
George mengangguk. Ia menarik kursi mendekat ke arahku dan duduk di atasnya.
"Kau baru tiba dari Los Angeles saat itu. Aku juga tidak tahu mengapa kau justru memesan taksi untuk ke Broadway theater dan tidak langsung kembali ke rumah," ucap George. Aku meringis. Ya, aku akui kebodohanku yang itu. "Diperjalanan, mobil yang kau naiki ditabrak dengan keras oleh sebuah mobil lain yang melaju dari arah berlawanan. Kau beruntung. Dalam kecelakaan naas itu, hanya kau yang selamat. Supir taksi dan pengendara mobil yang mabuk itu meninggal langsung di tempat."
Mulutku terbuka. Ternyata kecelakaannya sangat parah. Aku merinding, tidak dapat membayangkannya.
"Aku tidak tahu sama sekali," cicit Victoria. "Sepertinya aku sedang tidur saat kecelakaan mengerikan itu terjadi."
George mengangguk. "Kau akan ketakutan jika melihat bagaimana hancurnya kedua mobil tersebut."
"Kau kini sedang menakutiku, George."
Rekan kerjaku ini tertawa kecil. Ia menepuk pelan tanganku sebelum menarik tangannya kembali.
"Untung kau ditemukan dengan cepat oleh polisi," aku mengangguk setuju dengan ucapan George. "Polisi berusaha mencari tahu tentang kerabat terdekatmu. Ia menelepon sahabatmu yang berada di Los Angeles karena nomornya berada di riwayat panggilan terakhir."
"Tere," lirihku menyebut namanya.
"Ya, itu dia," George menjentikkan jarinya di depan wajahku. "Kurasa dia memberikan nomor Joshua pada pihak kepolisian. Kudengar dari ceritanya, Tere mengira kau akan menonton bersama Joshua malam itu."
Aku mendengus geli. Tere benar-benar percaya dengan celotehan tak jelas Michelle saat itu rupanya. Yah, pertanyaanku terjawab sudah mengenai bagaiaman Joshua bisa berada di rumah sakit menemaniku.
"Kemudian Joshua meneleponku untuk segera ke rumah sakit karena tidak ada orang yang ia kenal di New York selain diriku," sambung George. "Dia sendiri tiba disini dengan keadaan yang kacau keesokkan harinya. Ia mengurus semua hal untukmu."
Pintu kamar terbuka. Aku dan George otomatis menoleh kesana. Kulihat Joshua diambang pintu dengan senyum menawannya. Di tangannya terdapat tas tenteng yang terlihat menggembung.
"Apa aku mengganggu obrolan kalian?" tanyanya sambil berjalan mendekat. Ia menoleh ke arahku. "Kau sudah merasa lebih baik?" tanyanya.
"Never been better," jawabku membalas sembari tersenyum manis.
George berdeham kecil. Ia mengerling ke arahku. "Sepertinya aku harus pergi."
"Kau kan sudah izin pada Dave," ucapku tak terima ia akan kabur. Sesungguhnya aku masih canggung berdua saja bersama Joshua. Aku tidak ingin George pergi.
"Aku punya banyak perkerjaan walaupun di hari libur," bela George. Ia berdiri dan mengemasi laptopnya. "Joshua, kau bisa menjaganya kan?"
"Ah, terima kasih kau sudah bersedia menggantikanku, George," ucap Joshua. "Mau kuantar ke depan mencari taksi?"
George menggeleng kuat. "Tidak, tidak. Ada seseorang yang memerlukanmu disini," katanya sambil tersenyum jahil ke arahku. "Vic, aku pergi dulu. Semoga harimu menyenangkan!"
Kedua mataku terbuka lebar. Dasar George! Lihat saja nanti jika aku sudah kembali ke kantor!
Kini hanya ada aku dan Joshua di dalam kamar. Aku merasa tidak nyaman hanya dengan diam-diaman seperti ini. Tanganku bergerak meraih remote televisi dan menyalakannya.
"Selangnya sudah dilepas ternyata," ucap Joshua.
Aku menoleh sambil menelengkan kepala. "Pardon?"
Joshua menggeleng. Ia tersenyum menenangkan. "Selang di dadamu. Dokter bilang ada banyak perdarahan hingga harus dipasang selang. Tapi sepertinya keadaanmu sudah membaik hingga mereka melepasnya," jelasnya panjang lebar. "Ah ya, aku akan memberitahu mengenai kondisimu. Kau menderita patah tulang rusuk cukup parah. Patahannya membuat selaput parumu robek dan mengenai liver. Namun keadaanmu sudah stabil berkat usaha tim medis yang cekatan."
"Terdengar menyeramkan," ucapku meringis.
Joshua terkekeh geli. "Tapi kau selamat dari kecelakaan maut itu. Kau benar-benar mengagumkan."
"Apakah itu pujian?" Joshua tertawa keras mendengar ucapan sarkasmeku.
Tawa Joshua mereda. Kini keheningan kembali menyelimuti kami. Suara percakapan dari sitkom yang sedang ditayangkan televisi tidak mampu menenangkanku.
"Aku sangat terkejut ketika mendengar kabar mengenaimu, Vic," ucap Joshua. Entah mengapa suasana menjadi sangat sendu.
"I am sorry."
"Jangan meminta maaf, itu bukan salahmu." Joshua tersenyum, aku ikut tersenyum. "Setelah hampir satu tahun tidak ada berita, kini aku menemani dirimu berbaring di ranjang rumah sakit. Setelah kuingat-ingat, aku tidak pernah mengurusmu dulu seperti ini. Kau tidak pernah sakit."
"Aku memang jarang sakit," ucapku. Seketika aku tergelitik ingin bertanya padanya, sekaligus memastikan bahwa cerita George tadi benar. "Bagaimana kau bisa tahu keadaanku, Josh?"
"Aku ditelepon oleh pihak kepolisian," ucap Joshua singkat. Tiba-tiba ia tertawa sendiri. "Mereka mencari data mengenai diriku dan memastikan bahwa kita sudah bercerai sejak lama. Jadi polisi lebih memilih menghubungi Tere terlebih dahulu. Lucunya, Tere justru memberikan nomorku pada mereka. Kini pihak kepolisian jadi bingung aku ini siapamu."
Aku tersenyum. Sudah lama aku tidak melihat wajah penuh antusias Joshua ketika sedang bercerita seperti sekarang. "And then?"
"Ya, aku bilang saja aku akan bertanggung jawab menjadi walimu," jawab Joshua. "Mereka juga memeriksa ponselmu dan menemukan nomorku disana. Mereka menjadi yakin begitu melihat nama kontakku. Dan... kurasa mereka menyimpulkan bahwa kau dan aku terlibat hubungan yang begitu rumit."
Pipiku merona merah karena malu. Sial. Joshua pasti juga tahu apa yang kutulis untuk nama kontaknya. Ugh, aku bukan tipe orang yang cheesy seperti dirinya. Bisa kubayangkan wajah Joshua yang akan mengolokku karena hal sepele itu.
"Hubby Josh?" Aku merengut mendengar Joshua menyebutkannya. "Dengan tanda hati merah di bagian depan dan belakangnya."
"Stop it!" Aku menutupi wajah dengan kedua belah telapak tangan. "Setelah sekian lama, kau datang hanya untuk meledekku, huh?"
"Sambil merawatmu, lebih tepatnya."
Aku menurunkan tangan dan memandang ke dalam manik matanya. Ya, benar. Ucapannya tidak salah sama sekali.
"Apa kau tidak sibuk? Bagaimana dengan pekerjaanmu di Seoul?" tanyaku berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Joshua tampak acuh. "Sudah kuurus, kau tenang saja dan jangan merasa bersalah," jawabnya. Ia kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan. "Aku akan merawatmu hingga benar-benar pulih."
"Jangan memaksakan diri seperti itu," ucapku tak enak hati.
"I am doing my job right now," jawabnya cepat tak ingin dibantah. "As your Hubby Josh."
Tawanya kembali pecah ketika melihat wajahku yang sukses memerah seperti tomat matang. Joshua tampaknya sangat menikmati diriku yang tersipu malu. Tentu saja. Aku yang ia kenal adalah wanita yang bisa menahan semua beban di pundaknya. Aku lebih sering bersikap cool dan savage di depannya.
"Come on, Josh," desahku kesal. Orang lagi sakit saja masih dia ledek begini.
"Arra, arra," ucapnya sambil berusaha menghentikan tawa. "Mianhae."
Aku menoleh. Joshua sudah kembali menunjukkan senyum manisnya padaku. Ah, sudah lama aku tidak mendengar suara lembutnya bicara dalam bahasa Korea. Aku merindukan hal itu.
"Kudengar, saat itu kau sedang dalam perjalanan menuju Broadway theater?" tanya Joshua setelah keheningan selama lima menit menyelimuti kami. "Kau suka drama musikal? Tidak seperti dirimu saja."
"Aku... aku hanya sedang ingin mencoba nonton saja," tukasku cepat. Ugh, aku kan penasaran kenapa Joshua suka sekali denngan drama musikal. Lagipula aku memesannya karena merasa bersalah tidak dapat memenuhi 'undangan' Joshua dulu untuk menonton bersamanya dalam acara perayaan anniversary kedua kami.
"Kau ingin menontonnya?" tanya Joshua. Entahlah. Aku tidak tahu apa arti tatapannya saat ini. Nada bicaranya pun berubah menjadi sangat lembut.
"Uhm, yeah?" jawabku tak yakin.
"Kalau begitu," Joshua tersenyum. Kulihat ada binar di kedua matanya. Aku tersihir. "Ayo kita menonton bersama setelah kau keluar dari rumah sakit."
Aku terkejut. Entah mengapa suasana kali ini terasa sangat menyesakkan. Sesak karena aku terlalu gembira. Aku jadi ingat masa lalu ketika kali pertama kita diajak 'double date' oleh saudara tiriku.
Aku tersenyum miring. "Are you hitting on me?"
Beda dulu dengan sekarang. Dulu Joshua akan menunjukkan raut wajah malu-malunya jika sedang kugoda seperti sekarang. Kini ia justru menunjukkan senyum menggodanya sambil mencondongkan tubuh ke arah wajahku.
"Is it too obvious?"
Oh God! Apa yang dia lakukan?! Aku memundurkan kepala dan menahan dadanya agar tidak semakin mendekat. Mengapa kini keadaan jadi berbalik?!
"Kau membuatku sesak," ucapku berusaha menoleh ke arah lain. "Aku akan memanggil perawat jika kau terus menggodaku seperti ini."
"Kau sesak karena tersipu malu oleh ucapanku," sahut Joshua. Ia sudah kembali duduk di tempatnya. "Then, apa jawabanmu? Kau mau menonton bersamaku?"
Aku mengatupkan bibir kuat-kuat, berusaha keras agar lengkung senyum bibirku tidak terbentuk. Kutolehkan kepala ke samping sambil mengangkat kedua bahu.
"Molla," jawabku. Tawa Joshua kembali pecah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top