Part 16, Josh
Gedung ballroom hotel bintang lima tampak ramai. Orang berpakaian formal berlalu-lalang masuk dan saling sapa. Salah satunya Joshua. Ia terlihat makin tampan dengan setelan jas berwarna hitam dengan dasi kupu-kupu yang ia kenakan.
Joshua menunjukkan kartu undangan di meja penerimaan tamu. Ia berjalan menuju ruangan sang mempelai pria. Tak butuh waktu lama, Joshua sudah bisa menyapa temannya tersebut.
"Wah, orang penting ini datang di acara pernikahanku!"
"Kau berlebihan Baekyung," sahut Joshua sambil memukul pelan lengan temannya itu. "Dimana wanitamu? Aku penasaran orang jenis apa yang rela menghabiskan waktunya untuk meladeni kebawelanmu."
"Wanitaku orang spesial yang susah untuk ditemukan," jawab Baekyung penuh rasa percaya diri.
Joshua tertawa menanggapi. Ia melihat deretan orang yang menunggu untuk bertemu dengan sang mempelai pria. Sadar bahwa ia harus berbagi dengan yang lain, Joshua pamit. Pria itu berjalan memasuki hall dan memilih duduk di kursi bersama beberapa orang kenalannya.
Seorang MC naik ke atas mimbar. Suasana yang tadinya ramai, kini menjadi hening. Joshua mengarahkan badannya ke depan. Ia mendengar pidato pembukaan dengan tenang.
Kini giliran sang mempelai pria memasuki ruangan. Joshua beserta teman-teman Baekyung yang lain, memberikan standing ovation ketika pria itu berjalan dengan gagah melintasi hadirin yang memenuhi ruangan menuju depan mimbar.
Keadaan kembali hening ketika MC memberitahu bahwa kini giliran mempelai wanita yang menyusuri jalanan karpet merah penuh bunga. Joshua kembali duduk, pun begitu dengan yang lain.
Pintu ruangan terbuka lebar. Kehadiran mempelai wanita, yang memakai gaun berwarna putih, menambah kesan sakral pada acara hari ini. Ia mengalungkan tangannya pada lengan sang ayah dan berjalan pelan sembari tersenyum cerah. Baekyung benar-benar terpana melihat pengantinnya yang bak malaikat turun surga.
Joshua terdiam. Kedua belah telapak tangannya tanpa sadar mengatup di depan dada. Pandangannya mengikuti ke arah mana mempelai wanita berjalan.
Pria itu teringat dengan upacara pernikahan sederhananya. Hanya dirayakan di kapel kecil nan indah di Los Angeles. Dihadiri oleh beberapa orang teman, rekan kerja terdekat, dan sanak keluarga. Bahkan dari keluarga Joshua, hanya beberapa sepupunya saja yang datang beserta dengan sang ayah. Tidak menggunakan adat Korea, apalagi memakai hanbok. Joshua dan Victoria mengucap janji suci dihadapan Tuhan dan acara dilanjutkan dengan makan bersama.
Yang jelas, pernikahan kecil mereka sangat berkesan bagi Joshua dan Victoria karena itu semua merupakan buah dari kerja keras mereka. Berbeda sekali suasananya dengan pernikahan Baekyung saat ini. Tidak ada gedung mewah, tidak ada buffet makanan yang menyediakan puluhan jenis menu, tidak ada gaun cantik khas putri Disneyland.
Hati Joshua menciut mengingat pesta pernikahannya dulu. Sesungguhnya ia sanggup membuat pesta besar, hanya saja keadaan yang tak memungkinkan. Andaikan ia bisa mengulang waktu, Joshua sangat ingin menyelenggarakan pernikahannya sesuai keinginan wanita pada umumnya. Megah, berkilauan, dan merasa menjadi ratu. Ia ingin memberikan itu semua pada Victoria.
--
Sudah tiga bulan sejak aku terakhir kali bertemu dengan Victoria. Pertemuan yang kurang mengenakkan sesungguhnya. Hingga kini kami hanya saling berkirim pesan basa-basi menanyakan kabar masing-masing. Tidak seintens dulu. Kurasa kecanggungan diantara aku dan Victoria makin menjadi.
Aku mengunci mobil dan berjalan menuju lift yang akan membawaku ke lantai apartemenku berada. Dengan menenteng jas di tangan kiri dan tas di tangan kanan, aku menyeret langkah menuju pintu bertuliskan nomor 714. Ah, hari yang melelahkan. Rasanya aku tidak punya tenaga lagi walau hanya untuk berjalan.
Aku memasukkan password di panel dan pintu terbuka. Dengan sisa tenaga, aku menunduk untuk melepas tali sepatu beserta kaus kaki. Aku menarik sandal rumah dari dalam lemari dan berjalan menuju sofa ruang tengah.
Tunggu, tadi pagi aku tidak lupa mematikan lampu, kan? Mengapa semua lampu di ruangan menyala terang?
"Kau sudah pulang?"
Aku membalikkan tubuhku dengan cepat ke arah dapur. Mataku terbelalak. Tak percaya Victoria saat ini sedang berdiri di sana dengan gelas berisi jus jeruk di tangannya.
"Honey," ucapku lirih, masih terdiam di tempat.
Victoria terkekeh geli. Ya, itu dia. Dia benar-benar wanitaku!
Aku melempar barang-barang di tanganku ke atas sofa dan berjalan cepat menghampirinya. Langsung saja kupeluk tubuh semampai Victoria yang menguarkan aroma sabun mandiku. Hm, aku rindu aroma tubuhnya.
"Kapan kau sampai kemari? Kenapa tidak bilang kalau mau ke Seoul?" cecarku sambil memegangi kedua bahunya.
"Surprise, maybe?"
Aku tertawa kecil mendengar jawabannya. Kembali kutarik tubuhnya masuk ke dalam rengkuhan lenganku. Aku sangat merindukannya. Terlebih karena perpisahan tiga bulan yang lalu terasa benar-benar menyakitkan.
"Kau sudah makan malam?" tanya Victoria. Tangannya bergerak mengelus lembut punggungku.
Ugh, aku kangen dengan sikap perhatiannya. Jujur saja, setahun belakangan terlalu banyak pertengkaran yang menghiasi kehidupan pernikahan kami. Aku ingin semuanya seperti sedia kala. Tidak masalah jika Victoria sibuk dengan pekerjaannya, setidaknya dia tidak akan melupakanku suaminya ini.
Aku melepas pelukanku dan menggeleng pelan. "Kau mau menemaniku makan malam, kan?"
Victoria mengangguk. Ia berjalan ke arah meja makan dan meraih ponselnya yang tergeletak di atas sana. "Kau mau makan apa? Kita bisa pesan dulu sambil menunggumu mandi."
Aku mengulum senyum. Ah, suasana rumah ini kembali seperti sedia kala. Penuh kehangatan sentuhan wanita.
"Apa saja, aku ikut kamu," jawabku sambil meletakkan dagu diatas pundaknya. Kulingkarkan lenganku di pinggang rampingnya.
"Nasi goreng kimchi?" tanya Victoria. Ia tidak terlihat terganggu sedikit pun dengan tingkah manjaku. Padahal sudah lama kami terpisah. Aku merasa lega, setidaknya Victoria tidak menolak maupun bersikap dingin walau tiga bulan yang lalu kami terlibat dalam pertengkaran yang yah... cukup besar.
"Boleh," jawabku.
Victoria mendorong kepalaku pelan agar tidak bersandar padanya. Ia membalikkan badan dan menatapku lekat-lekat.
"Kau mandi saja. Biar aku yang pesan."
"Kau mau menelepon?" tanyaku sedikit ragu. "Bicara dengan bahasa Korea?"
"Aku bisa kok," ucapnya meyakinkanku. Ia kembali mendorong tubuhku menjauh. "Sana kau mandi saja."
--
Aku meletakkan sumpit. Kuraih selembar tissue untuk membersihkan sisa saus jjangmyeon dari sudut bibir. Kulihat isi piring Victoria yang masih tersisa lebih dari setengahnya. Entah aku yang makannya terlalu cepat, atau dia yang terlalu lambat.
Sambil menikmati teh hijau seduhan Victoria, aku menunggunya. Kupandangi wajah Victoria yang sudah lama tidak kulihat. Sepertinya wanitaku ini makin kurus. Pasti dia kurang makan.
"Josh," panggilnya. Kulihat ia meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Raut wajahnya menjadi sangat serius.
"Ya, honey?" sahutku. "Kau mau minum? Aku ambilkan dulu."
"Aku bisa ambil sendiri," cegahnya sebelum aku sempat berdiri dari tempat dudukku.
Pandanganku mengikutinya yang berjalan ke arah dapur. Ia membuka pintu lemari pendingin dan meraih sebotol air mineral dari dalam sana. Kulihat Victoria terdiam selama beberapa detik sebelum menenggaknya.
"Kau kenapa?" tanyaku ketika Victoria kembali duduk di hadapanku.
Victoria menunjukkan senyumnya. Senyuman sendu. Aku mencium hawa tidak mengenakkan.
"Josh, sepertinya kita harus membicarakan hal ini sebelum semuanya terlambat," ucapnya hati-hati.
Aku membenahi posisi dudukku. "Ya, katakan saja."
Victoria memandangku tanpa suara selama beberapa detik sebelum akhirnya ia berdiri dan berjalan menuju kamar. Aku mengerutkan kening tidak mengerti. Bukankah tadi ia mau bicara? Kenapa justru pergi?
Lima menit kemudian, istriku kembali. Ditangannya terdapat folder plastik berisi tumpukan kertas. Kubiarkan Victoria untuk duduk sebelum kucecar dengan pertanyaan.
"Itu apa, honey?" tanyaku penasaran.
Victoria menarik napas panjang. Kudengar ia menghembuskannya perlahan. Wanita di hadapanku ini tersenyum sembari meraih tangan kananku yang berada di atas meja.
"Josh, I am sorry," ucapnya. Ah, kurasa firasat burukku makin menggunung.
"Ada apa?" tanyaku, berusaha mungkin agar suaraku tak terdengar bergetar.
"Kau tahu, akhir-akhir ini kita terlibat banyak pertengkaran," ucapnya. "Aku pun bersikap menyebalkan terhadapmu. Aku minta maaf."
Aku berusaha tetap tenang dan tersenyum. "Aku sudah memaafkanmu. Mau bagaimanapun rasa sukaku padamu mengalahkan rasa kesal yang ada."
Victoria terkekeh geli. "So cheesy."
Kedua alisku terangkat. Aku rindu dengan ucapan sarkasme ini. "And, you still like it, right?"
"Sure," Victoria mengangguk kecil.
Keheningan menyelimuti kami. Tangan kananku dan tangan kirinya masih saling bertautan di atas meja. Kami saling tatap. Entah mengapa diriku tidak bisa mencari bahan pembicaraan. Sesuatu dalam hati mengatakan untuk aku diam saja dan menikmati momen ini bersama Victoria.
"Josh," Victoria memanggil namaku. Aku berdeham menjawabnya. "Aku ingin minta satu hal darimu."
"Apa itu?"
Victoria tidak menjawab. Ia melepas tautan tangan kami. Wanitaku ini mengeluarkan selembar kertas dari folder plastik yang tadi dibawanya dan menyodorkannya ke arahku.
Aku meraihnya dengan kening berkerut. Begitu melihat deretan huruf teratas di kertas aku langsung meletakkannya lagi di atas meja. Tidak perlu aku baca hingga baris terakhir. Kepalaku berdenyut hebat. Rasanya masalah terus saja menghampiri keluargaku.
"Kurasa kita harus menyudahi hubungan ini."
Aku mengangkat wajah memandang marah ke arah Victoria. "Divorce paper? Are you kidding? Aku tidak mau!"
Victoria menggeleng pelan, dirinya masih menunduk. "Kurasa ini yang terbaik untuk kita semua, Josh. Kau tidak bahagia bersamaku. Aku pun merasa tidak bebas bersamamu."
"Victoria," ucapku dengan suara bergetar. "Siapa yang bilang aku tidak bahagia bersamamu?"
"You never said that," Victoria mengangkat wajahnya. Kulihat air mata sudah menggenang dipelupuk matanya. Sama seperti diriku. "Tapi aku bisa melihatnya. Kau terlihat sangat menyedihkan. Seperti seorang pria yang selalu mengejar wanita tanpa terbalas perasaannya."
"Tapi kau mencintaiku, kan?" tukasku tak terima. "You said. Kau selalu membalas dengan kata yang sama tiap aku mengutarakan perasaanku."
Victoria mengangguk. Ia tersenyum. "I love you," wanita itu menghapus setetes air mata yang berhasil lolos dengan telapak tangannya. "Tapi cintamu padaku terlalu besar dan berharga untuk kuterima. Perasaanku tidak sebesar perasaanmu untukku."
"Bullshit," makiku. "Tidak ada hal seperti itu. Aku mencintaimu, kau pun mencintaiku. Itu cukup."
"Jangan menyakiti diri sendiri, Josh," ucap Victoria dengan lantang. "Seharusnya kau sendiri tahu kapan harus berhenti. Kita terlalu ceroboh untuk memulai hubungan ini tanpa berpikir matang-matang. Jujur saja, kita hanya akan saling menyakiti jika terus begini."
Aku memijit pelipisku dengan kedua tangan. "Hentikan omong kosong ini."
"Joshua, please." Kulihat Victoria memandangku dengan mata berlinang air mata. Segitu inginkah dia berpisah dariku? Aku sangat mengganggu kehidupannya?
"Kalau kau marah mengenai ideku untuk tinggal di Seoul, maafkan aku," ucapku pada akhirnya. "Aku akan mengatur semuanya hingga aku bisa tinggal bersama denganmu di New York. Kita akan tinggal bersama disana sesuai dengan yang kau inginkan. Kau bisa tunggu beberapa tahun lagi, kan?"
"It's not about that, Josh," tukas Victoria. "Ini masalah yang lebih kompleks lagi."
Aku benar-benar marah. Tanpa sadar kedua tanganku menggebrak permukaan meja. Tak peduli betapa perih dan menyakitkannya tanganku sekarang, aku begitu emosi.
"Work, work, work. You are such a workaholic. Kalau bukan itu, apa lagi?!"
Victoria menarik napas panjang. "Aku tidak kuat untuk bertahan dalam pernikahan ini. Aku terkekang dengan... hubungan kita."
Terkekang? Aku diam dan berusaha mendengarkan lebih lanjut mengenai perasaannya. Jujur saja, aku sakit hati dengan ucapannya tadi hingga tidak mampu berkata-kata.
"Aku tidak terbiasa hidup dengan komitmen bernama keluarga. Sedari kecil aku tidak merasakan kehangatan keluarga sama sekali. Sejak itu, aku selalu berusaha menjadi wanita mandiri yang tidak bergantung pada siapapun," ucapnya sembari menunduk. "Kau kemudian datang. Menawarkan impian yang sudah lama kupendam. Namun, itu semua tidak berjalan baik. Aku tidak kuat dengan perlakuan keluargamu padaku. Maka dari itu, aku tidak ingin tinggal bersamamu atau mengandung anakmu. Aku tidak ingin ada sesuatu yang mengikat diantara kita."
"Victoria," cicitku. Aku tahu bahwa perlakuan keluargaku pada Victoria sangat sadis. Kukira selama ini wanitaku tidak mempermasalahkannya karena selalu bersikap santai dan tenang. Ternyata perkiraanku salah.
"Aku tidak cukup percaya diri untuk meneruskan hubungan ini," lanjutnya, suaranya makin lirih. "Aku tidak tahan untuk hidup dibawah bayang-bayang seorang Hong Jisoo."
Aku menghela napas panjang. Mendengar penuturannya membuatku makin tidak terima akan alasannya. Aku marah, benar-benar marah.
Tanpa banyak bicara, aku berdiri dari tempat dudukku. Aku meraih kunci mobil dan memakai sandal. Bahkan aku tidak sempat mengambil jaket dari dalam lemari saking emosinya.
Aku pergi meninggalkannya. Aku butuh berpikir sendiri. Sepertinya aku tidak sanggup untuk menemui Victoria selama beberapa hari ke depan.
--
Joshua melepas kemejanya dan menyampirkan pada sandaran kursi. Ia berjalan menuju meja prasmanan yang menyediakan berbagai jenis minuman. Joshua meraih segelas air mineral dan kembali berjalan menuju mejanya.
"Hai, what's up bro!" sapa Baekyung menghampiri meja Joshua.
Dongsuk membalas sapaan temannya dengan cengiran, Shiwoo memukul bahu Baekyung dengan heboh, sedangkan Joshua memilih duduk saja sembari menegak isi gelasnya. Semuanya ramai, hanya Joshua saja yang memilih diam.
"Kalau kau terus bergerak heboh seperti itu, hanbok-mu bisa kusut," ucap Joshua mengingatkan.
Baekyung tersadar. Ia segera menurunkan kedua tangannya ke sisi tubuh, mengambil sikap siap.
"Teman kita yang paling dewasa ini memang patut diandalkan," sahut Dongsuk sambil menaikkan kedua ibu jarinya ke atas.
Joshua tersenyum simpul. Ia melihat ke seberang ruangan, dimana wanita yang sudah resmi menjadi istri Baekyung itu sedang menyapa tamu lain. Wanita dalam balutan pakaian tradisional Korea Selatan cukup menawan ternyata. Joshua jadi ingin tahu bagaimana rupa Victoria jika memakai hanbok.
Baekyung mengikuti arah pandang Joshua. "Kau jangan naksir padanya, wanita itu milikku."
Joshua mengerutkan kening. "Calm down, bro. Aku tidak akan merebutnya darimu." Ucapan Joshua mengundang tawa dari teman-temannya.
"Baekyung-ah," panggil Joshua. Temannya itu menoleh. "Kau jagalah istrimu dengan baik. Aku mengatakan ini karena sudah pernah mengarungi bahtera rumah tangga lebih dulu darimu."
Baekyung mengangguk. "Ya, aku pasti akan menjaganya."
"Pernikahan adalah awal mula dari kehidupanmu yang baru. Tidak mungkin tidak ada masalah nantinya. Kuharap kau bisa menyelesaikannya bersama dengan istrimu secara baik-baik," lanjut Joshua. "Jangan sampai kau menyesal sendiri nantinya jika dia sudah tidak berada di sisimu."
"Jisoo-ya," ucap Baekyung sambil menepuk bahu Joshua. Tatapannya penuh dengan simpati. "Doakan saja agar kami bisa hidup bahagia bersama dalam jangka waktu yang lama."
Joshua mengangguk dan tersenyum. Tangannya ganti menepuk bahu Baekyung, mengatakan bahwa dirinya tidak semenyedihkan perkiraan temannya itu. Joshua kembali mengangkat gelasnya dan menandaskan air mineral di dalamnya. Ia butuh banyak minum karena entah mengapa di acara pernikahan ini, energinya cukup terkuras untuk bernostalgia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top