Part 15, Vic

Victoria melangkahkan kakinya menapaki tangga di depan rumah Teresa. Ia menekan bel. Tak lama kemudian, Tommy datang membukakan pintu.

"Victoria," sapanya ramah. Ia menggeser tubuhnya dari pintu, menunjukkan gesture mempersilahkan Victoria untuk masuk. "Masuklah, Tere ada di dalam."

"Aku tidak akan lama, aku hanya ingin berpamitan pulang," ucap Victoria.

"Kau sudah akan pulang?" ucap Tommy tak percaya. Ia memaksa Victoria untuk masuk dan menunggu di dalam, ia sendiri berlalu mencari sang istri ke kamar.

"Vic!" sapa Teresa. Ia berjalan pelan sembari mengelus perut buncitnya. "Tom bilang, kau sudah mau pulang? Kenapa terburu-buru?"

Victoria berdiri dari sofa yang ia duduki. Ia membimbing sahabatnya itu untuk duduk di sebelahnya. Tangan kanannya bergerak mengelus bahu Teresa yang tampak cemberut.

"Aku ingin liburan sendiri di New York," jawab Victoria. Ia meringis. "So, yeah, aku mempercepat penerbanganku kembali kesana. Mumpung cutiku belum habis."

Teresa tersenyum tipis. "Ya, kau memang butuh liburan. Aku tidak bisa menyalahkanmu." Victoria ikut tersenyum mendengarnya. "Tapi, kau harus berjanji untuk sering pulang ke Los Angeles. Kalau baby bean sudah lahir, kau harus menengoknya."

Victoria tertawa kecil. "Pasti. Aunty-nya ini tidak akan lupa."

Teresa tersenyum dan membiarkan Victoria mengelus lembut permukaan perutnya. Ia tahu bahwa sahabatnya itu kesepian namun berusaha menyembunyikan semuanya sendiri. Sebagai orang yang kenal dekat dengan Victoria, Teresa tahu semua hal tentang teman sepermainannya itu. Mulai dari masa kecil ketika ia terpaksa tinggal berdua hanya dengan sang ibu dan ditinggal oleh ayah kandungnya yang brengsek, hingga pernikahan Victoria yang penuh dengan masalah.

"Aunty Vic!"

Teresa dan Victoria menoleh. Michelle berlari ke arah Victoria sembari merentangkan kedua tangan kecilnya. Victoria yang melihatnya menyambut senang kedatangan keponakan Teresa tersebut.

"Michelle!" panggil Victoria. Ia menciumi pipi gadis kecil yang berada dalam pelukannya dengan penuh rasa gemas. Michelle tertawa keras dibuatnya.

"Adriana masih di rumahmu?" tanya Victoria sambil menoleh ke arah Teresa.

Teresa mengangguk. "Siang ini kami ada pertemuan keluarga besar. Orangtua Tom juga sebentar lagi akan sampai," jelas Teresa. "Andaikan kau tidak harus pulang sekarang, aku pasti akan memaksamu untuk tinggal disini juga."

Victoria tersenyum simpul. "Lain kali."

"Aunty Vic mau pulang?" tanya Michelle sambil memeluk erat lengan kiri Victoria.

"Aunty Vic harus kembali bekerja di New York sayang," jawab Teresa menenangkan gadis mungil itu. Jika ia tidak dihalangi, pasti Michelle akan menempel terus pada Victoria dan membuat keributan karena tidak ingin dipisahkan dari aunty-nya itu.

"Aunty pasti mau menonton pertunjukkan teater itu, kan?" tuding Michelle. "Aku juga mau bertemu dengan Uncle Josh."

Teresa dan Victoria saling berpandangan. Teresa menyiratkan tanda tanya besar dalam benaknya, sedangkan Victoria terkejut mendengar ucapan itu keluar dari bibir mungil Michelle. Teresa pasti akan menginterogasinya mengenai hal tersebut.

"Long story, baby," ucap Victoria pada Teresa, sebelum si ibu hamil satu itu mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Victoria mengangkat tubuh Michelle dan mendudukkannya di atas pangkuan. "Aunty mau kerja bukan main."

"Aunty bohong," Michelle kecil merengut. Ia menyilangkan kedua lengannya di depan dada, merajuk.

"Vic, you know what you should do," kali ini Teresa yang berbicara dengan nada tak ingin dibantahnya.

Victoria memutar kedua bola matanya jengah. Ia mendekat ke telinga Terea dan berbisik. "It was misunderstanding. She didn't know anything. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali menghubungi Joshua."

"Kau tidak berbohong?" tegas Teresa lagi.

"Aku tidak bisa bohong padamu," ucap Victoria lagi.

"Okay, aku percaya," sahut Teresa. Wanita itu kemudian menarik Michelle pelan agar turun dari pangkuan Victoria. "Michelle, kau tidak ingin memakai dress? Sebentar lagi kakek dan nenek akan tiba," ucap Teresa menarik perhatian Michelle.

Michelle mengangguk. Ia turun dari pangkuan Victoria dan berlari masuk kembali ke kamarnya.

Bel pintu kembali berdering. Tere berdiri dan membukakan pintu. Victoria ikut berdiri, namun ia memilih tetap berada di tempat.

"Mama!" pekik Teresa senang. Victoria yang penasaran berusaha mengintip, melihat siapa yang datang. Ia mendapati sahabatnya sedang memeluk erat wanita berambut putih yang tampak berumur namun masih sehat bugar.

Detik itu juga, Victoria tahu bahwa wanita yang dipanggil Teresa sebagai Mama barusan adalah ibu Tommy, suaminya. Victoria tersenyum kecut melihat pemandangan di depannya. Hubungan Teresa dan mama mertuanya membuat Victoria cemburu. Mereka terlihat sangat dekat. Bahkan ibunda Tom itu menciumi perut buncit Teresa dengan bahagia.

"Ayo Ma, masuk dulu," ajak Teresa. Pandangannya bertemu dengan milik Victoria. "Oh ya Ma, kenalkan ini Victoria, sahabatku. Vic, ini ibu Tom."

Victoria tersenyum. Ia menyalami orangtua mertua Teresa sembari memperkenalkan dirinya dengan sopan. Ah, bahkan terhadap Victoria pun, Mama sangat ramah dan hangat.

"Tere, I need to go," pamit Victoria saat sahabatnya itu kembali ke ruang tamu seusai mengantar orangtuanya ke dalam ruang keluarga.

"Right now?" tanya Teresa seperti tak rela.

"Ada taksi yang menungguku diluar," ucap Victoria sambil mengedikkan dagunya ke arah pintu depan. "Kau tahu bagaimana ganasnya argo taksi disini."

Teresa terkekeh mendengar candaan sahabatnya. Ia memeluk Victoria erat sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.

"Hati-hati ya. Pintu rumahku selalu terbuka jika kau butuh teman bicara," ucapnya sambil melepaskan pelukannya.

Victoria mengangguk. "Kau juga hati-hati. Jaga baby bean dengan benar."

--

"I am home," teriak Joshua sambil membuka pintu rumah lebar-lebar. Ia menahannya hingga aku dapat masuk.

"Jisoo-ya," terdengar suara ibu Joshua yang tampak antusias berjalan mendekat. Begitu melihat siapa saja yang datang, raut wajahnya berubah menjadi datar kembali. "Kau pulang."

Joshua menurunkan barang bawaannya ke lantai dan bergerak memeluk tubuh ibunya. "Aku kan sudah kirim pesan ke Ibu," ucapnya. Joshua melepas pelukannya dan menarik tanganku pelan agar mendekat. "Vic, ayo salam dulu."

"Apa kabar, Bu?" sapaku berusaha tenang dan tetap sopan. Aku menyalami ibu Joshua dan menunjukkan senyum terbaik. Untunglah uluran tanganku tetap bersambut walaupun sapaanku tidak dianggap sama sekali.

"Ibu sudah memasak untuk makan malam," ibu Joshua berbicara sambil menghadap ke arah Joshua. "Nenek juga ada disini begitu mendengar bahwa kau akan datang ke Los Angeles."

"Benarkah?" tanya Joshua dengan wajah cerah. Ia menoleh ke arahku. "Kau belum pernah bertemu dengan nenek dari ibuku, kan? Aku akan memperkenalkannya padamu."

Aku menanggapi ucapan Joshua dengan senyuman simpul. Aku tidak berani bersuara karena aura ibu Joshua sangat kuat. Suasana sangat mencekam.

"Ibu, aku dan Victoria harus menaruh barang di kamar dulu, nanti kami menyusul," ucap Joshua pada ibunya. Sebelah tangannya merangkul pundakku agar aku berdiri di sampingnya. Ya, sedari tadi, tanpa sadar aku terus saja melangkah mundur, berusaha mengatur jarak dengan tempat berdiri ibu Joshua.

Ibu Joshua melirik ke arahku. Ugh, dinginnya. Ia kemudian berbicara dalam bahasa Korea pada anaknya dan mendahului masuk ke dalam rumah. Disaat-saat seperti ini, aku makin memotivasi diriku untuk giat belajar bahasa Korea. I hate to be left out. Terutama jika keluarga suamiku sengaja bercakap-cakap dalam bahasa ibunya untuk membuatku tidak betah.

Joshua menoleh ke arahku. Ia tersenyum menenangkan. "Ayo. Kamarku ada di atas."

Aku mengangguk. Aku bersyukur memiliki Joshua yang mampu membuatku nyaman berada disini. Andaikan Joshua tidak pengertian, aku pasti akan menolak dan lebih memilih tinggal di kutub utara untuk menghindari pertemuan keluarga Joshua yang diadakan tiap tahun di hari natal ini.

Setelah berbenah dan selesai membersihkan diri, aku keluar dari kamar dan memutuskan untuk bergabung di ruang tengah. Joshua yang melihatku langsung mengisyaratkan agar aku duduk di sebelahnya. Aku menurut.

"Jisoo, kau benar-benar sudah menikah rupanya," sahut seorang pria yang kutaksir masih berumur dua puluhan tahun yang sedari tadi mengobrol bersama suamiku.

"Mana sopan santunmu, Youngmin?" Joshua memukul belakang kepala pria itu. Ia kemudian menoleh ke arahku. "Honey, perkenalkan, ini sepupuku Youngmin. Youngmin, ini istriku, Victoria."

Aku dan pria bernama Youngmin ini saling bertukar salam. Yah, setidaknya saudara-saudara sepupu Joshua cukup terbuka dan menerimaku. Aku baru tahu bahwa keluarga Joshua di Los Angeles cukup banyak. Kukira kebanyakan dari mereka lebih memilih tinggal di Korea Selatan.

"Apa kau mengambil kursus bahasa Korea?" tanya Youngmin. Pria ini tampaknya sangat penuh rasa ingin tahu terhadapku.

"Iya, baru beberapa bulan," jawabku.

Youngmin bersiul. "Berarti kau mengerti kami bicara apa?"

Aku meringis, bingung harus menjawab apa. "Kurang lebih. Aku mengerti tapi masih tidak terlalu lancar dalam bicara."

"Semua butuh waktu, honey." Aku menoleh dan melihat senyum Joshua yang semanis madu dilemparkan untukku. Aku balik membalas senyumnya.

"Ya! Ya! Ya!" sela Youngmin. "Kalian sudah hampir satu tahun menikah, hentikan sikap manis manja itu di depanku."

Joshua tertawa, ia menempeleng kepala saudara sepupunya yang tidak tahu diri itu. "Kau urus saja urusanmu sendiri."

Youngmin bersungut-sungut. "Aku masih menyembunyikan hubunganku dengan Rachel dari ayah dan ibu. I mean, come on, this is America, man. Kenapa aku tidak bisa mengencani gadis yang kusukai dengan bebas?"

Aku dan Joshua bertukar pandang dalam diam. Ah, Youngmin masih kecil. Dia tidak tahu hal apa saja yang terjadi pada hubunganku dan Joshua yang ditentang oleh keluarga besar suamiku ini.

Joshua berdiri dari duduknya. Ia menarik pergelangan tanganku untuk ikut berdiri. Aku menurut.

"Nenek ada di ruang makan," ujarnya, entah padaku atau pada Youngmin. "Aku mau memperkenalkan Victoria dulu padanya."

Mulut Youngmin terbuka lebar. Ia buru-buru tersenyum ketika pandangannya bertemu dengan mataku. Kedua tangannya terkepal ke atas.

"Hwaiting!" ucapnya yang terdengar seperti bisikan. Ah sial, aku jadi makin gugup kan.

--

Perkenalanku dengan nenek Joshua tidak berjalan terlalu mulus. Walaupun sudah tinggal selama tiga tahun di Los Angeles, karena sang kakek di Seoul sudah meninggal dan berakhir dengan menumpang tinggal di rumah anak pertamanya yang notabene orang tua Youngmin, beliau kurang mengerti bahasa Inggris. Disinilah Joshua berperan sebagai penerjemah kami.

Pada saat kami baru melangkah memasuki ruang makan, aku langsung mendapat tatapan tajam dari wanita berumur 80 tahun itu. Yah, diantara orang-orang yang berada di rumah ini sekarang, hanya aku saja yang merupakan 'orang asing'. Walaupun Joshua sudah memberitahuku bahwa keluarga besarnya lebih setuju bahwa keturunan mereka menikah dengan orang Asia, bukan orang kulit putih, tetap saja aku cukup terkejut dengan perlakuan yang kuterima.

Saat aku akan menyalami nenek, tanganku langsung ditepis olehnya. Aku tahu bahwa Joshua merupakan cucu kesayangan nenek, jadi aku berusaha keras untuk tidak terlihat sakit hati di hadapannya. Joshua bahkan kaget dan tidak dapat berkutik. Tangannya langsung bergerak menepuk punggungku dan memberikan kode untuk tetap tenang.

Andaikan, aku tidak sadar diri, marahku bisa meledak saat ini juga!

Aku memutar otak. Aku melakukan pendekatan lain. Walaupun terbata-bata, aku berusaha memperkenalkan diri dengan bahasa Korea pada nenek. Masih dengan senyuman di bibir.

"Jisoo-ya, bawa perempuan ini pergi dari hadapanku," ucapnya dalam bahasa Korea kepada Joshua. "Aku tidak sudi mendengar bahasa kita keluar dari mulutnya."

Aku tertohok. Wajahku sudah pasti memerah menahan marah. Keluarga Joshua yang berada di ruang makan ikut mendengarkan. Sadar bahwa suasana memanas, mereka memilih meninggalkan ruangan secara diam-diam.

Ugh, aku dipermalukan.

"Nek, tenang dulu," bujuk Joshua. "Ini Victoria White, istriku. Dia sudah menjadi anggota keluarga kita."

Nenek kali ini melayangkan tatapan marahnya pada sang cucu. Jarinya bergerak-gerak mengacung di depan hidung Joshua.

"Nenek sudah bilang berkali-kali. Nenek tidak merestui hubunganmu dengan wanita ini. Bagi Nenek, kau belum menikah sama sekali!"

Aku tidak dapat menangkap kalimat-kalimat nenek berikutnya, yang jelas beliau masih menggunakan nada tinggi dalam bicaranya. Kurasa kali ini aku sedang dimaki-maki olehnya. Ah, entahnya. Aku tidak bisa memilih apakah lebih baik dianggap tidak ada oleh ibu Joshua atau dipermalukan di depan seluruh anggota keluarga oleh nenek Joshua. Aku terlalu shock untuk berpikir. Dalam hati aku berkata pada diri sendiri untuk tidak menangis.

Ayah Joshua datang melerai pertengkaran yang semakin membesar. Tak lama kemudian Ibu Joshua datang dan membawa pergi Nenek ke kamar di depan. Walaupun sudah tidak ada suara bentakan, tetap saja hawa di rumah ini tetap mencekam.

Ayah Joshua menghampiriku dan memelukku penuh kasih sayang. "Jangan didengarkan ya. Nenek hanya sedang pusing, mood-nya juga sedang tidak terlalu baik."

Aku mengangguk. Kini aku tahu darimana sikap hangat Joshua berasal. Aku tersenyum pada Ayah saat beliau menguraikan pelukan kami.

"Terima kasih, Ayah," ucapku.

Joshua meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Ayah, maaf kami sudah merusak acara di malam natal ini. Sepertinya lebih baik kami menginap di rumah orangtua Victoria."

Ayah Joshua mengangguk. Ia tidak memaksa kami untuk tinggal, sepertinya beliau sangat tahu bahwa aku merasa canggung dan tertekan disana. Terlebih setelah mendapat bentakan yang aku sendiri tidak tahu apa isinya.

"Ayah akan membungkuskan makanan untuk kalian bawa," ucapnya. Ia menoleh ke arahku sambil tersenyum menenangkan. "Di lain kesempatan, kita pasti bisa mengobrol lebih lama lagi, Victoria."

Aku mengangguk. Rasanya hidupku sangat menyedihkan. Ayah kandungku yang tidak menganggap keberadaanku. Keluarga tiriku yang sibuk dengan bisnis dan pekerjaan mereka masing-masing. Kini? Keluarga suamiku menolak pernikahan kami walaupun aku dan Joshua sudah resmi menjadi sepasang suami-istri setahun lamanya.

--

Perjalanan menuju bandara terasa lebih panjang dari biasanya. Netra hijau Victoria terpaku pada pemandangan di luar, namun tidak dengan pikirannya. Bayang-bayang kedekatan Teresa dengan mertuanya masih ada di ingatannya. Membuat wanita itu otomatis menjadi membandingkan dengan kehidupannya sendiri yang amat berkebalikan.

Air mata Victoria akhirnya lolos juga. Padahal sedari tadi ia sudah berhasil menahannya untuk tidak keluar saat sedang berada di kediaman Teresa. Ia sendiri tidak mengerti. Selama ini Victoria selalu tegar menghadapi tingkah laku keluarga besar Joshua yang tidak pernah menganggapnya ada, kenapa setelah sekian lama pertahannya runtuh begitu saja.

"Kau baik-baik saja, Nyonya?" tanya sang supir taksi sembari melirik ke arah Victoria yang sedang tersengal dari spion tengah.

"Aku tidak apa-apa," jawab Victoria. Berbanding terbalik dengan kata-katanya, ia tetap saja menangis sesenggukan tanpa suara.

Bapak tua supir taksi kembali terdiam. Ia tahu bahwa penumpangnya itu sedang tidak ingin diganggu. Ia memilih menjalankan taksinya dan tidak mempedulikan suara tangisan tertahan dari bangku penumpang belakang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top