Part 13, Vic
Victoria mengendarai mobil membelah jalanan yang lengang sembari bernyanyi riang. Sesekali ia melirik ke arah kaca tengah untuk melihat keseruan baby Michelle yang sibuk berceloteh mengikuti nyanyian Victoria. Walaupun yang dinyalakan adalah lagu anak-anak, anak berumur tiga tahun itu tetap memilih lagu milik Katy Perry kesukaan Aunt Vic.
"Sudah sampai," ucap Victoria setelah memarkirkan mobilnya di area khusus parkir pengunjung pantai. "Come on Michelle, enjoy the beach!"
"Beach!" teriak Michelle menanggapi ucapan Victoria dengan semangat.
Victoria terkekeh kecil melihat Michelle lebih bersemangat daripada dirinya. Anak pertama Adriana itu memiliki sifat yang berbeda jauh dari sang ibu. Jika Adriana adalah tipe yang kalem, Michelle justru sangat energik tidak bisa diam. Sikapnya lebih mirip dengan Teresa.
Rencananya pagi ini Victoria akan menemani Tere belanja baju-baju hamil lucu. Saat sampai di rumah sahabatnya itu, baby Michelle justru terus-terusan menempel pada Victoria. Padahal keduanya baru bertemu saat acara baby shower Tere kemarin, Adriana sendiri tidak percaya anaknya bisa begitu dekat dengan Victoria yang notabene masih asing baginya. Alhasil, Tere mengalah berada di rumah demi keinginan si keponakan untuk jalan-jalan ke pantai bersama Victoria.
"Mau main kemana?" tanya Victoria sambil mengedarkan pandangan ke seluruh area Santa Monica Beach yang cukup ramai di siang itu. Michelle yang berada di dalam gendongannya ikut memutar kepala ke kanan-kiri.
"There!" ucap Michelle menunjuk area bermain kereta-keretaan.
"Okay, Kaja!" Victoria berseru semangat sambil mengepalkan tangan ke udara.
"Kaja?" tanya Michelle dengan nada bertanya yang lucu.
Victoria meringis. Ia kelepasan bicara dalam bahasa Korea. "Come on!"
Michelle mengangguk mengerti. Ia ikut mengepalkan tangan kecilnya meninju udara dengan semangat. "Come on!"
--
Aku sampai di rumah lewat dari tengah malam. Kulepaskan wedges yang seharian ini menemaniku berjalan. Sambil meraba dinding untuk mencari saklar lampu, tangan kiriku bergerak memijat pangkal hidung. Kepala pening, badan lelah.
"Baru pulang?"
Aku berjengit kaget mendengar suara Joshua begitu lampu menyala. Kulihat pria itu sedang duduk di sofa ruang tengah dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Bahkan Joshua tetap memandang ke depan, seperti enggan melihat ke arahku.
"You know," jawabku singkat. Kepalaku sedang sakit berdenyut, jangan sampai rasa sakit ini berubah menjadi amarah yang meluap padanya.
Lagipula aku masih ingat pertengkaran kami tiga hari yang lalu, yang membahas perihal pindah ke Seoul dan meninggalkan pekerjaanku disini. Sejak hari itu, aku jadi lebih memilih menghabiskan waktu di kantor. Selain karena pekerjaan yang sudah dekat tenggat waktunya, aku jadi merasa canggung berlama-lama berdua saja bersama Joshua. Kita belum bicara panjang-lebar lagi mengenai hal itu, dia pun belum meminta maaf.
"Berhenti untuk bilang 'you know'," ucapnya dengan nada dingin. Aku mengerutkan kening menatapnya. "Kau selalu memintaku untuk terus memaklumimu."
"Josh, aku capek," potongku. "Besok lagi saja kita bicaranya."
"Kapan?" tantang Joshua. "Dari kemarin kau selalu pulang lewat tengah malam dan berangkat ke kantor pukul empat pagi. Kau membalas pesanku dengan sangat singkat. Bahkan seharian ini aku tidak mendengar kabar darimu," protes Joshua panjang lebar. "Kau menghindariku, Vic."
Aku mendengus kesal. Ucapan Joshua tepat sasaran. Aku selalu pergi meninggalkan rumah sebisa mungkin sebelum Joshua bangun dan kembali ke rumah setelah Joshua sudah tidur.
Tanpa peduli dengan dirinya yang masih setia duduk di sofa, aku berlalu ke dalam kamar. Aku masih marah padanya dan Joshua justru membuatku tambah pusing dengan omelannya itu.
Sebenarnya, sejak insiden aku ketahuan tetap minum pil kontrasepsi tanpa sepengetahuannya, Joshua berusaha keras untuk tidak marah lagi. Aku masih ingat saat itu Joshua marah bahkan sampai tidak pulang ke rumah selama seharian penuh. Pria itu kemudian kembali di pagi hari berikutnya dengan keadaan yang acak-acakan. Kami bicara baik-baik dan masalah itu selesai. Joshua menyanggupi permintaanku untuk menunda anak hingga setahun lagi.
Kurasa, setelah pertengkaran besar pertama kami itu, hubungan kami jadi terlihat seperti pasangan kebanyakan. Setahun pernikahan tidak ada drama kehidupan yang berarti, semua terasa sempurna, padahal kami tinggal terpisah jauh. Akhirnya, intensitas pertengkaran kecil kami meningkat. Sikap Joshua yang lebih dewasa dariku, seringkali membuat ia bergerak terlebih dahulu untuk menyelesaikan masalah dengan mengajakku bicara baik-baik.
Namun, tidak untuk kali ini. Mungkin Joshua juga capek karena selalu saja ia yang mengalah. Namun aku juga punya alasan tersendiri mengapa hingga kini aku belum ingin punya momongan ataupun tinggal bersamanya di Seoul. Alasan yang Joshua tidak tahu.
"Kau tidak sopan," ucap Joshua. Pria itu berdiri dan menahan pergelangan tanganku. Aku meringis kecil, cengkeramannya terasa menyakitkan.
"Lepas," berontakku mengibaskan tangannya kasar. "Aku lelah dan ingin istirahat."
"Kurasa kau benar-benar lupa, hari ini hari apa," ucapnya dengan diakhiri tawa sinis. Ia melepaskan tanganku.
Aku membalikkan tubuh menghadapnya. "Kalau kau ingin mengajak bertengkar, simpan saja hingga akhir bulan ini. Aku terlalu lelah dengan pekerjaanku."
"Work, work, work," ucap Joshua berulang. "Selalu itu alasanmu. Apa di otakmu hanya ada hal itu?"
Gigiku bergemeretak menahan amarah. Aku mendongak menantangnya. "Kalau iya, kenapa?"
Joshua tersenyum simpul. Pandangannya kini berubah. Yang awalnya terlihat tegas, kini jadi tatapan sendu yang kudapat.
"Kau pasti tidak tahu alasan khusus aku kemari, kan?"
Aku jadi tak enak hati untuk menantangnya. Aku diam saja, menunggu hingga pria berdarah asli Korea ini melanjutkan kalimatnya.
"Sejak pertengkaran kemarin, kau sengaja menjauh dariku. Jujur saja, aku jadi merasa tidak dihargai. Kehadiranku terasa tidak diharapkan, hanya mengganggumu saja," lanjutnya.
"Apa yang ingin kau katakan?" tanyaku pada akhirnya. Aku lelah dengan ucapannya yang berbelit-belit.
Joshua masih menunjukkan senyum dan tatapan sedihnya. Ia menarik sebelah tanganku pelan, membuat tubuhku mendekat ke arahnya. Aku menurut saja. Kubiarkan pria ini memelukku dengan kedua tangannya. Anehnya, aku tidak tergerak untuk membalasnya.
"Aku sudah pesan tiket ke Seoul pukul empat pagi," ucapnya sambil melepaskan pelukannya yang tak terbalas. "Aku pulang dulu ya. Jaga dirimu baik-baik."
"Josh," ujarku. "Kau bercanda, kan? Tiba-tiba?"
Joshua menggeleng. "Aku tidak ingin mengganggumu, jadi lebih baik aku menjauh dulu."
"Tidak lucu, Josh," dengusku kesal sambil membuang pandangan ke arah lain. "Kalau kau memang ingin pergi, pergi saja. Jangan bawa-bawa namaku dalam alasanmu."
Joshua tidak menanggapi ucapan kejamku. Pria itu bergerak masuk ke dalam kamar. Benar saja, ia sudah keluar kembali menarik koper kecil di sampingnya.
"Aku harus pergi sekarang, perjalanan ke bandara cukup jauh," ujarnya.
Aku terheran-heran dengan perubahan sikapnya. Joshua tidak terlihat main-main saat mengatakan akan pulang ke Seoul. Aku jadi merasa sangat jahat padanya. Terlebih lagi, aku sedari kemarin tak mempedulikan keberadaan Joshua disini.
Pria itu mencium puncak kepalaku dan melenggang pergi ke arah pintu. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, aku mengekor tanpa banyak bicara. Bahkan aku tidak menahan kepergiannya!
"Tidurlah, kau pasti lelah," ucap Joshua ketika melihatku hanya berdiri diam di depannya.
"I will," balasku, masih dengan egoisme tinggi. "Setelah kau pergi." Oh, Victoria, kau adalah istri yang durhaka!
Joshua tersenyum kecil mendengar ucapanku. Dia pasti merasa sakit hati.
"Jaljayo, yeobo," ucapnya sebelum tangannya yang berada di handle pintu bergerak. "Walaupun sudah berganti hari, kuharap ucapanku ini masih berlaku. Happy anniversary kedua untuk pernikahan kita."
Aku terpaku. Kedua mataku melebar. Aku lupa! Jadi itu maksud ucapan Joshua dari tadi.
Tidak melihat tanda-tanda aku akan membalas, Joshua membuka pintu. Ia menarik kopernya keluar. Sebelum daun pintu menutup, kulihat senyumannya untuk terakhir kali.
Aku terlalu gengsi untuk mengejarnya. Dengan setengah sadar karena masih bingung harus berbuat apa, aku justru berjalan masuk ke dalam kamar setelah terdiam cukup lama di depan pintu. Netraku menangkap bayangan suatu barang tergeletak di atas meja vanity dalam remang-remang lampu kamar. Aku menghampirinya.
Kuraih sebuah amplop berwarna krem dari atas sana. Pandanganku mengabur ketika melihat dua tiket Broadway theater malam ini beserta selembar surat. Langsung saja kubaca cepat apa yang tertulis disana. Air mataku sukses meleleh ketika tahu bahwa Joshua sudah menyusun rencana perayaan hari pernikahan kedua tahun kami.
Sial. Victoria, kau telah menghancurkan hati Joshua!
--
Victoria menyuapkan kentang goreng ke dalam mulutnya sambil mengulum senyum. Pandangannya sedari tadi terpaku pada Michelle yang bersemangat makan spaghetti bolognese dihadapannya. Mulutnya belepotan, pun begitu juga pakaiannya. Hanya dengan menemani anak Adriana itu saja, Victoria bisa tersenyum dan melupakan rasa lelahnya.
Liburan. Hal yang berada di urutan terakhir dalam list kegiatannya. Sebenarnya, sejak dirinya berhasil bekerja di Coach, brand fashion terkenal di New York, ia merasa dirinya jadi lupa dengan yang namanya istirahat. Apalagi selama satu tahun belakangan ini, Victoria sengaja bekerja lebih keras. Bukan untuk promosi di kantor, tapi ia memang butuh suatu hal untuk melupakan masalahnya.
Padahal, karena bekerja jugalah Victoria jadi bermasalah dengan Joshua.
Victoria mengelap tangannya dengan selembar tissue dan meraih ponselnya dari dalam tas selempang miliknya. Fokusnya kini teralih pada layar berbentuk persegi panjang itu. Ibu jarinya bergerak aktif mengetik kata kunci di mesin pencarian.
"What are you doing Aunty?" tanya Michelle. Bola mata biru lautnya memandang Victoria dengan penasaran. "Eating is eating, playing is playing."
Victoria tertawa kecil. Benarkah Michelle baru berumur tiga tahun? Ucapannya barusan terdengar seperti orang dewasa.
"Aunty sedang mencari tiket pertunjukan teater," jawab Victoria sambil tersenyum. Ia kemudian menunjukkan layar ponselnya yang kini menampilkan hasil belanja dua tiket teater musikal untuk akhir pekan depan.
"Michelle mau nonton sama Aunty," rengek Michelle.
Victoria meraih selembar tissue dan mengelap bibir gadis cilik di hadapannya dengan perlahan. "Kalau Michelle ke New York, ayo kita nonton bersama."
"Tapi Aunty sudah beli dua tiket," sambung Michelle lagi sambil menunjuk ke arah angka dua yang tertera di layar ponsel. Padahal setahu Victoria, bocah itu belum bisa membaca. Ah, pasti Adriana mengajarnya dengan benar hingga anaknya jadi secerdas ini.
"Sok tahu ah," balas Victoria. Ia mengangkat garpu dan berusaha menyuapi Michelle agar anak itu tidak bertanya lagi. "Aaa."
Michelle menggeleng sambil cemberut. "Aunty mau nonton sama siapa?"
"Sama teman," jawab Victoria sekenanya. Ia masih berusaha menyuapi Michelle lagi.
"Uncle Josh ya?"
Tangan Victoria berhenti di udara. Ia terkejut karena Michelle tahu nama itu.
"Hm? Michelle tahu Uncle Josh?" tanya Victoria terdengar agar tidak terlalu panik.
"Mama bilang, dulu waktu Michelle masih kecil, Aunty Vic dan Uncle Josh sering ajak main Michelle kalau berkunjung ke Los Angeles. Mama menunjukkan foto Michelle masih kecil waktu digendong Aunty dan Uncle," ucap Michelle.
Victoria mengangguk. Ia tersenyum samar mengingat masa-masa itu. Tangannya bergerak mengelus rambut Michelle lembut.
"Sekarang habiskan makanmu dulu ya. Katanya masih mau main lagi," bujuk Victoria.
Michelle mengangguk. Gadis kecil itu langsung mengangkat sendoknya dan kembali menjejalkan makanan ke dalam mulut kecilnya.
Victoria memandangi Michelle dengan tatapan sendu. Bukan rahasia lagi kalau Joshua suka bermain dengan anak kecil. Bahkan ide mengasuh baby Michelle saja selalu keluar dari mulutnya. Pria itu berharap Victoria akan berubah pikiran dan jadi ingin punya anak dengan mengasuh anak bayi, pikirnya saat itu.
Pandangan Victoria sekilas melirik ke arah ponselnya. Dua tiket menonton sudah ia beli. Ia teringat dengan ucapan Michelle tadi yang mengiranya akan menonton pertunjukkan itu dengan Joshua.
Victoria mendesah pelan. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Wanita itu menghabiskan kentang gorengnya karena si kecil Michelle kembali mengomel.
Andaikan saja ia benar bisa menonton bersama pria itu. Victoria bahkan tidak tahu mengapa tiba-tiba ia ingin menonton teater musikal. Sepertinya dirinya hanya terbawa suasana. Bahkan Victoria membeli dua tiket saat tidak punya teman untuk diajaknya menonton bersama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top