Part 10, Vic
Victoria melangkahkan kakinya di pelataran rumah bertingkat dua. Rumah sahabatnya, Teresa, tidak banyak berubah. Ia ingat betul bagaimana sahabatnya itu hobi menghiasi halaman rumahnya dengan berbagai jenis tanaman.
Ia menekan bel sekali. Sambil menunggu pintu terbuka, pandangan Victoria menjelajahi pekarangan rumah lagi. Ia tidak pernah bosan menghabiskan waktu disana. Tak lama kemudian, seorang wanita berumur pertengahan dua puluh tahun muncul membukakan pintu untuknya.
"Vic, kau datang!"
"Of course, Adriana," balas Victoria sambil memeluk adik perempuan dari sahabatnya itu. "Kakakmu akan marah besar kalau aku tidak datang ke acara baby shower anak pertamanya."
Adriana meringis. Ia menyingkir dari depan pintu dan mempersilahkan Victoria untuk masuk.
"Semua sudah berkumpul di halaman belakang," ucap Adriana sambil menunjukkan jalan, yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan karena Victoria telah mengenal seluk beluk rumah itu.
"Tere, lihat siapa yang datang!" Seru Adriana penuh semangat memanggil sang kakak yang sedang menyapa tamu lain.
Teresa membalikkan tubuhnya. Ia terkejut ketika melihat Victoria berdiri disana sambil melambaikan sebelah tangan dengan semangat. Wanita berbadan dua itu menghampiri sahabatnya yang sudah lama tak ia jumpai.
"Look at you!" Seru Teresa heboh. Ia melihat penampilan Victoria dari atas ke bawah setelah melepaskan pelukannya. "Kau tambah kurus dari terakhir kali aku melihatmu."
Victoria meringis. "A lot happened lately."
Teresa memberikan tatapan simpatinya. Ia mengelus lengan kanan Victoria pelan. "I am sorry."
"Hey, I am fine. Sekarang waktunya untuk bersenang-senang," balas Victoria. "Aku akan berada di Los Angeles untuk lima hari ke depan. Kita harus jalan-jalan, okay?"
Teresa mengedipkan sebelah matanya. "Bagaimana kalau kau menemaniku belanja pakaian wanita hamil, aku butuh pendapatmu untuk memilihkan pakaian yang tampak modis walaupun perutku membesar."
"Sure," Victoria tertawa kecil. Ia kemudian teringat dengan bingkisan kado yang masih berada di tangannya. "By the way, here. For your baby."
"Bean," ucap Teresa sambil mengelus permukaan perutnya yang membesar. "His name is Bean."
"Baby boy?!" pekik Victoria tertahan.
Teresa langsung menyuruhnya untuk memelankan suara dengan menempelkan jari telunjuk di depan bibir. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. Wanita itu kemudian mengangguk kecil sambil tersenyum lebar.
"Jangan bilang siapa-siapa. Tom bahkan belum tahu," ucap Teresa sambil menyebutkan nama suaminya.
Teresa meraih tangan kanan Victoria dan menempelkannya di perutnya. Refleks tangan Victoria bergerak mengelus pelan.
"Hello Bean. Ini Aunty Vic. Kau harus tumbuh besar dan kuat ya," ucap Victoria sambil menunduk dan bicara di depan perut sahabatnya. "Aunty bawakan kau hadiah. Kau harus makan yang banyak menggunakannya."
Teresa terkekeh geli mendengar ucapan Victoria. Ia menerima hadiah pemberiannya dan berterima kasih.
"Ayo, aku ajak kau bertemu dengan yang lainnya. Ibuku bahkan terus menanyakanmu karena kau sudah lama sekali tidak kemari," kata Teresa sambil berjalan merangkul lengan Victoria.
--
Aku mengeringkan rambut yang masih setengah basah dengan handuk. Kueratkan tali jubah mandiku sebelum membuka pintu dan keluar dari kamar mandi.
"Josh, giliranmu mandi," ucapku mengingatkan sambil berjalan menghampiri meja vanity. Aku duduk dan meraih cream wajah dari dalam laci.
Aku sibuk melakukan rutinitas skincare pagiku. Lima menit kemudian aku sadar bahwa Joshua tidak juga beranjak dari kasur. Ia masih duduk diam dengan badan bagian atas polos tak berbalut busana. Aku mendapati kasur masih berantakan, sisa dari pergulatan kami semalam. Biasanya, sambil menunggu aku mandi, Joshua akan merapikannya. Begitu pula sebaliknya jika Joshua yang mandi duluan.
"Josh, are you okay?" tanyaku berjalan menghampirinya.
Aku berdiri di depannya dan meletakkan kedua tangan di pundaknya. Aku sangat kaget ketika pria ini justru menepis tanganku pelan. Ia tidak membalas tatapan mataku. Joshua bertindak aneh.
"Kau menyembunyikan sesuatu dariku, Vic," ucapnya dengan nada dingin.
Hatiku terasa sakit mendengarnya. Joshua menyebutku dengan nama. Ia selalu memanggilku dengan nickname cheesy buatannya. Honey, Baby, dan masih banyak lagi. Tapi tidak dengan Vic. Aku jadi merasa jauh dengannya.
"Apa maksudmu?" tanyaku tak mengerti. Suaraku seperti tercekik tak mau keluar dari tenggorokan.
Joshua menutup wajah dengan kedua tangan. Ia berusaha keras mengendalikan diri. Sesuatu yang tidak pernah aku lihat. Bahkan di pertengkaran kami sehari-hari, ia tidak pernah terlihat sefrustasi sekarang.
"Kau menipuku," ucapnya lirih. Jujur saja, aku makin terluka mendengar nada putus asa dari kalimatnya barusan.
"Kau membuatku takut."
"Jangan merengek!" bentaknya tiba-tiba. Aku berjengit kaget. "Disini aku yang berhak marah."
Aku berusaha keras menahan air mataku yang sudah mau keluar. Aku sudah biasa mendengar bentakan dari banyak orang, tapi tidak pernah sekalipun berasal dari Joshua. Selama satu setengah tahun pernikahan kami, ia selalu bersikap lembut padaku.
Tanpa banyak bicara, Joshua menunjukkan bungkusan obat yang kusembunyikan rapat-rapat di laci meja hias. Aku terkejut. Mengapa Joshua bisa mendapatkannya?
"Bisa kau jelaskan tentang ini?" tanyanya menekan ketika aku tak juga membuka mulut.
"I am sorry, Josh," cicitku ketakutan. Wajar saja jika Joshua marah besar. Aku telah mengkhianatinya.
"Aku tidak butuh permintaan maafmu," bantahnya cepat. "Kau bilang kau akan berhenti minum pil ini. Namun nyatanya? Kau diam-diam meminumnya tanpa sepengetahuanku? Itu yang kau sebut dengan loyal?"
"Aku bisa menjelaskannya, Josh," ucapku sambil menunduk dalam-dalam.
Joshua memejamkan kedua matanya. Ia menarik napas panjang. "Go on. Tell me."
"Aku... masih takut untuk punya anak," aku memberanikan diri menjawabnya. "Kau tahu aku punya trauma dengan rencana membangun keluarga kecil bahagia. Aku belum siap, Josh."
"Apa selama ini aku hanya mainan bagimu?" tanya Josh, kulihat air mata menggenang di pelupuk matanya. "Kita sepakat untuk menunda punya anak pada setahun awal pernikahan. Kukira aku sudah cukup memberimu keberanian. Kau sudah percaya padaku. Aku kurang apa, Vic?"
"Kau tidak salah, Josh," aku mengelap air mata yang lolos dari mata. "Aku saja yang belum siap."
"Kau bisa jujur padaku," ucap Joshua dengan tercekat. "Aku merasa bodoh ketika percaya begitu saja bahwa kau sudah menghentikan minum pil sejak enam bulan yang lalu. Aku merasa bodoh ketika kita datang ke klinik fertilitas berdua untuk konsultasi dengan dokter karena tak kunjung punya anak. Oh, aku benar-benar bodoh."
"Maafkan aku," cicitku. Kali ini Joshua membiarkan air mata lolos dari pelupuk matanya.
"Jawab dengan jujur alasan sesungguhnya. Kau belum siap atau kau lebih mementingkan kariermu?"
Aku diam. Bahkan aku tidak berani mengeluarkan isakanku.
Joshua menghela napas panjang. Ia berdiri meraih kaos bersih dari dalam lemari dan memakainya. Pria itu tak mempedulikanku. Setelah selesai memakai jaket, topi, dan kacamata untuk menutupi matanya yang bengkak, Joshua berlalu keluar kamar.
Tidak ada ucapan perpisahan. Tidak ada kabar darinya selama seharian. Bahkan setelah aku pulang dari kantor, suasana apartemen masih saja sama. Tidak ada tanda-tanda bahwa dirinya akan pulang.
Detik itu juga aku sadar. I am so messed up. Joshua marah besar untuk pertama kalinya.
--
Victoria meletakkan tas selempangnya di kursi. Ia kemudian berlalu ke kamar mandi untuk membasuh muka. Ia memandang bayangan wajahnya di cermin. Sekali lagi ia membasuhnya dan mengeringkan dengan handuk bersih.
Victoria merasa tubuhnya sangat lelah. Ia sengaja tinggal lebih lama di kediaman Teresa. Keluarga sahabatnya itu terus saja menahan dirinya ketika akan pamit pergi. Victoria memang kenal dekat dengan seluruh anggota keluarga Rollins.
Tanpa mengganti pakaiannya, Victoria berbaring miring di atas kasur. Pandangannya melihat sebuah tas kertas di lantai hasil belanjanya kemarin saat membeli hadiah untuk acara hari ini. Wanita itu bergerak mengeluarkan isinya dan kembali pada posisi awalnya berbaring.
Seketika bayangan adegan manis antara Teresa dan Tommy kembali berputar di kepalanya. Suami sahabatnya itu memperlakukan Teresa dengan sangat baik. Ia penuh dengan kehati-hatian dalam mengurus kehamilan sang istri. Hal itu, sesungguhnya, membuat Victoria iri.
Victoria memeluk erat-erat bungkusan kaos kaki bayi berwarna biru. Perlahan air matanya turun. Bantal yang ia tiduri menjadi basah.
Dirinya menyesal. Andaikan bisa, Victoria ingin memutar waktu. Membenahi semua kesalahannya di masa lalu dan kembali menyelamatkan sumber kabahagiaannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top