Bonus Chapter, Vic

"Benar-benar deh, aku tidak menyangka dia akan membuang paper disertasiku begitu saja tanpa berpikir panjang," omel Hyesung. "Dia tidak tahu bagaimana sulitnya aku melakukan penelitian itu sejak Yerin masih dalam kandungan."

Aku hanya mengangguk-anggukan kepala mendengar omelan saudara tiriku ini mengenai kelakuan suaminya. Aku berusaha mengulum senyum. Pasangan Hyesung-Jihoon memang yang terbaik deh pokoknya. Mereka kalau berantem lucu banget.

Hyesung masih terus mengoceh dalam bahasa Inggris. Satu hal yang aku tahu darinya. Walaupun dia sudah amat sangat lancar berbahasa Korea, kalau sedang marah atau kesal, tetap saja Hyesung lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris. Kini aku tahu mengapa Joshua dan Hyesung bisa menjadi dekat. They have each other, untuk saling mendengar keluh kesah kehidupan masing-masing.

Aku memasukkan kata kunci di panel pintu apartemen. Begitu terbuka aku berjalan masuk dan mempersilahkan saudaraku juga untuk masuk.

"Honey, you're home," kudengar suara semangat Joshua menyambut kedatanganku. Pandangannya bertemu dengan Hyesung, sedetik kemudian raut wajahnya kembali datar. "Hyesung kemari?"

"Sorry, am I not invited?" Hyesung bicara sambil memainkan bibirnya. Wajahnya jadi terlihat sangat menjengkelkan.

"Hyesung yang mengantarku pulang," selaku sebelum Joshua dan Hyesung saling bertingkah kekanakan. "Aku bertemu dengannya di rumah sakit setelah selesai periksa kehamilan."

Tangan Joshua yang awalnya sudah berada di atas kepala Hyesung berhenti. Pria itu kemudian tersenyum lebar sembari bergerak mengelusnya.

"Good girl," puji Joshua. Haha, pasti awalnya ia ingin mengacak rambut Hyesung dan membuat wanita itu kesal.

"You're welcome," balas Hyesung.

Aku geleng-geleng kepala. Kurebut tas belanja dari tangan Hyesung dan membawanya ke meja dapur. Aku membiarkan Hyesung dan Joshua saling bercengkerama di sofa ruang tengah. Yah, dari dapur, lagi-lagi aku mendengar siaran ulang kekesalan Hyesung pada Jihoon.

Setelah selesai memasukkan bahan-bahan makanan ke dalam kulkas, aku menata camilan di atas nampan. Kulihat kakak beradik tanpa ikatan darah itu masih sibuk mengobrol. Mereka bahkan tidak menyadari kehadiranku yang datang membawa makanan ringan dan minuman untuk mereka.

"Terus sekarang Jihoon dimana?" tanya Joshua.

"Dia ada jadwal recording," jawab Hyesung. "Karena hari ini aku ada operasi besar, aku menyuruhnya untuk membawa Yerin bersamanya."

"And Chika," lanjut Hyesung menyebutkan nama anjing peliharaannya. Tangannya bergerak mencomot potato chips dari dalam toples yang kubawa. Ia melihatku dan melemparkan senyumnya. "Thanks, Vic."

Joshua ikut mengambil cemilan dan memasukkannya ke dalam mulut. "Mengurus anak berumur satu tahun dan seekor anak anjing? Itu sama saja repotnya seperti mengurus anak kembar. Apalagi dia sambil bekerja." Joshua geleng-geleng kepala. "Wah, aku bisa membayangkan bagaimana kacaunya ruang rekaman siang tadi."

"Count it as his punishment," Hyesung lagi-lagi mencomot keripik kentang.

"Lalu, kenapa kau malah masih disini? Tidak menyusul mereka?"

Hyesung mengerucutkan bibirnya. Ia merasa terusir sepertinya.

"Hyesung mau mengajariku memasak," aku cepat-cepat menjawab pertanyaan Joshua. Kulirik Hyesung yang masih membelalakkan mata belonya pada suamiku. "Gambas al Ajillo. Kami sudah membeli bahan-bahannya di perjalanan pulang tadi."

"Spanish," Joshua bersiul, ia terlihat antusias. "Ah, aku baru sadar bahwa sekarang hanya ada kita bertiga, American line."

"Empat, sayang," sahutku meralat ucapannya. Aku berdiri dari kursi dan berjalan menuju dapur. "And, I know, kau pasti bosan dengan makanan pesan antar."

Joshua mengikuti langkahku, pun begitu dengan Hyesung. Aku berjengit kaget ketika Joshua melingkarkan tangannya di perut buncitku dari belakang dan menghujani kepalaku dengan ciumannya. I mean, hey, ada Hyesung disini?!

"Kau benar-benar mengerti diriku," ucapnya senang.

Kudengar Hyesung menghela napas panjang tak jauh dari kami. "Love birds," ucapnya dengan suara lirih, namun masih bisa kudengar.

--

Aku terbangun di tengah malam. Kulihat Joshua masih tertidur lelap dengan tenang. Kuangkat tangannya dari atas perutku dengan hati-hati sebelum aku turun dari tempat tidur. Aku ingin minum.

Sambil menghabiskan segelas air hangat, aku duduk merenung di sofa ruang tengah. Kuelus perutku pelan. Senyum tipis tersungging di bibirku.

Usia kehamilanku sudah memasuki minggu ke-39. Aku harap-harap cemas menantikan kelahiran si kecil. Meskipun belum ada kontraksi yang aku rasakan, kurasa perutku selalu mulas tiap kali memikirkan proses persalinan nanti. Aku gugup.

"Honey, kau sedang apa?"

Aku mendongak. Kutemukan wajah mengantuk Joshua di ambang pintu. Dengan setengah nyawa, priaku ini duduk di sebelahku.

"Kau yang membuat eomma terbangun ya?" ucap Joshua, kali ini ia berbicara di depan perutku. Ia mengelusnya pelan dan menjatuhkan ciuman di atas sana. "Eomma kan jadi kurang istirahat."

Aku terkekeh geli melihat kelakuan Joshua. Kubelai rambut hitamnya dengan lembut. "Aku hanya haus."

"Oh," Joshua mengangkat kepalanya kembali. "Kalau begitu, ayo tidur lagi."

Aku tetap duduk. Kutahan tangan Joshua yang menggandeng tanganku untuk kembali ke kamar. Ia terlihat bingung.

Aku menepuk-nepuk kursi, menyuruhnya duduk. Joshua menurut. Kerutan di keningnya terbentuk.

"Aku gugup, Josh," aku membuka percakapan. "Aku merasa takut untuk melahirkan."

Joshua membenahi duduknya hingga menghadap ke arahku. "Baby baik-baik saja, kan?"

Aku mengangguk. "He is good. Hanya saja... aku... yah, aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya."

Hening. Kupikir Joshua ketiduran hingga ketika aku menatap ke arahnya, dia sedang memperhatikan gerak-gerikku. Pandangan mata kami bertemu. Ia menggenggam erat tanganku.

"I am here. Untuk sebulan kedepan aku tidak akan pergi jauh keluar dari Seoul," ucapnya. "Perlu aku telepon Mama Yang untuk menemanimu disini?"

Joshua menyebut nama ibuku. Ya, ibuku adalah generasi kedua pasangan berdarah Korea. Ibu menikah dengan seorang pria Amerika dan lahirlah aku. Sayangnya, semua penampilan fisikku justru sangat mirip dengan ayah kandungku, pria brengsek yang pergi meninggalkan kami berdua tanpa kabar saat aku berumur sepuluh tahun.

"Nanti saja," ucapku. Joshua mengangguk. Ia membiarkanku meneruskan curhatanku.

"Aku tidak dapat membayangkan bagaimana rasa sakit dan melelahkannya melahirkan. Aku tidak tahu cara memandikan bayi. Bagaimana cara menyusui," lanjutku. "Oh, sepertinya aku tidak tahu banyak hal."

Joshua meremas tanganku yang berada di dalam genggamannya. Aku otomatis mengangkat wajah melihatnya.

"Kita akan belajar bersama. Kau punya aku yang akan selalu siap untuk membantumu," ucapnya. Ia kemudian tersenyum manis. "Kau akan menjadi ibu yang hebat, sayang."

Aku mengangguk. Melihat wajah teduhnya aku jadi kembali tenang.

Ah, perutku. Aku menunduk melihat ke arah perut. Dahiku berkerut bingung. Apa itu kontraksi pertamaku? Rasanya tidak nyaman.

"Ada apa?" tanya Joshua mengetahui perubahan raut wajahku.

"Sepertinya barusan aku kontraksi," jawabku dengan tak yakin.

Joshua panik. "Apa kita harus ke rumah sakit sekarang?" Ia bergegas meraih ponselnya. "Aku harus bertanya pada Hyesung."

Kucekal pergelangan tangan Joshua sebelum pria itu berhasil menelepon Hyesung. "Ini tengah malam. Jangan ganggu kakakku. Lagipula dia pasti sedang tidur."

"Kalau begitu apa yang harus kita lakukan?"

"Untuk sekarang ayo kita tidur dulu," jawabku menenangkannya.

"Honey, tapi...," Joshua melirik ke arah perutku dengan khawatir.

"It's okay," ucapku. "Pagi nanti kita ke rumah sakit. Dari buku yang aku baca, tertulis hal seperti itu. Lagipula rasanya tidak sakit kok."

"Kau tadi bilang kalau cemas dengan kelahiranmu, mengapa kini kau jadi begitu tenang?" tanya Joshua tak mengerti.

Aku mendengus geli. "Itu karena kau panik. Aku otomatis harus bersikap tenang jika kau sedang panik."

Joshua menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak. Ayo kita pergi ke rumah sakit sekarang."

"Ayolah, Josh. Ini tidak separah itu," bujukku lembut. "Lagipula tanggal perkiraan lahirnya masih minggu depan. Aku tidak mau membuat keributan di tengah malam."

"No, honey," tegas Joshua. "Kita harus pergi sekarang. Aku tidak menerima penolakan."

Yeah, beginilah Joshua. Dia adalah pria yang lembut pada wanita. Julukan gentleman memang pantas tersemat dinamanya. Namun, ia tidak akan mengalah dari perdebatan kami jika mengenai keselamatanku dan Joshua kecil.

Turuti saja jika sudah begini. Lihat saja, Joshua sudah keluar dari kamar dengan pakaian rapinya. Ia memakaikanku jaket. Tangan kirinya menggandengku agar mau berjalan menuju mobil, tangannya yang lain menenteng tas berisi perlengkapan yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari andaikan waktuku untuk melahirkan sudah tiba.

Benarkah aku akan melahirkan hari ini? Ugh, aku tidak bisa membayangkannya. Aku tidak bisa berpikir jika begini. Aku akan menjadi ibu? Keluarga kecil impian Joshua akan terwujud? Huaaa, aku gugup!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top