Bonus Chapter, Josh

Aku mengunci pintu mobil sembari menenteng kantung makan di tangan kanan. Suasana hatiku akhir-akhir ini sedang baik. Walaupun banyak pekerjaan di kantor, pikiran untuk kembali ke rumah selalu membuatku bersemangat. Ah ya, aku juga sedang tidak menerima tawaran menjadi model manapun karena tidak ingin waktuku banyak tersita untuk pekerjaan.

"Aku pulang," teriakku dari pintu depan. Sambil melepas sepatu, mataku berputar mengamati seisi rumah.

Tidak ada pergerakan sedikit pun. Tidak ada tanda-tanda berpenghuni. Benar saja, aku sudah mengitari seluruh ruangan dan tidak menemukan sosok istriku dimana pun. Aku meraih ponsel dari saku dan langsung meneleponnya.

Kepalaku menoleh ketika mendengar suara seseorang memasukkan kata sandi di pintu. Aku bergerak ke sumber suara.

"Josh, kau mengagetkanku!"

Aku menghela napas panjang. Kulihat tangan Victoria yang menenteng tas plastik transparan berisi es krim. Sadar karena dirinya tertangkap basah, wanitaku itu menyembunyikan belanjaannya di balik punggung.

"Aku akan membuat susu dulu, sudah waktunya aku minum susu hehe," Victoria melipir melewatiku sambil terkekeh kecil.

"Kalau begitu kenapa kau membeli es krim?" tanyaku sambil mengangkat tangannya yang menyembunyikan es krim.

Victoria merengut. Wajahnya jadi lebih menggemaskan jika sedang merajuk seperti ini. Terlebih lagi pipinya yang menjadi berisi membuatku ingin sekali menggigitnya.

"Tiba-tiba aku ingin makan es krim, jadi aku pergi beli di minimarket bawah," ucapnya.

Aku tersenyum. Tanganku bergerak mengusap puncak kepalanya. "Kau bisa sekalian titip beli padaku. Jadi kau tidak perlu repot-repot ke minimarket."

"Josh, aku hanya hamil. Bukan sakit," rengeknya. "Aku bisa urus diriku sendiri."

"Okay, okay, aku kalah," sahutku sambil mengangkat kedua tangan.

Raut wajah Victoria melunak. "Maaf, aku tidak bermaksud mengajakmu bertengkar."

Aku menggeleng. Kucium pipi kanan dan kirinya dengan gemas.

"Tidak apa, sayang," ucapku tepat di depan wajahnya. Kulihat wanitaku ini tersipu malu. Memanfaatkan kesempatan yang ada, aku merebut tas belanja dari tangannya. "Tapi, kau boleh makan es krim setelah makan malam denganku dan minum susu."

"Aku ingin makan es krim sekarang," rengeknya lagi. Ia mengikuti langkahku yang kini sedang sibuk memasukkan es krim miliknya ke dalam freezer.

"Atau kau ingin aku larang sama sekali tidak boleh makan es krim?" ancamku dengan nada bicara dibuat setenang mungkin. Victoria menunduk seperti murid yang sedang dimarahi gurunya.

"Nanti ya, biar baby makan makanan bergizi dulu, habis itu kau bisa es krim sepuasmu," bujukku lagi sambil mengelus permukaan perutnya yang mulai membuncit.

Victoria mengangguk. Ia kemudian berjalan menghampiri bungkus makanan yang tadi aku bawa.

"Kau mandi dulu saja, biar kusiapkan makan malamnya."

See? Karena hormon kehamilan, Victoria memang jadi lebih labil. Awalnya bersikap kekanak-kanakan, namun jeda beberapa menit berikutnya ia sudah kembali pada sosok dewasanya. Aku jadi harus ekstra hati-hati memperlakukannya.

"Okay," ucapku tak membantah. Kucium sekilas perutnya sebelum berlalu ke kamar mandi.

Setelah kecelakaan yang menimpa Victoria satu tahun yang lalu, aku kembali melakukan pendekatan padanya. Kali ini lebih pelan. Aku menikmati waktu 'pacaran' kami yang berharga, tidak terburu-buru untuk kembali memintanya menjadi istriku. Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama, membuatnya tak nyaman.

Pelan-pelan, dengan bantuan Ayah juga, aku membujuk keluargaku untuk kembali menerima kehadiran Victoria dalam keluarga kami. Kubilang aku sangat menderita selama satu tahun setelah perceraianku. Ibu sedikit luluh. Setidaknya Ibu sudah mulai membalas sapaannya ketika aku mengajak Victoria berkunjung ke rumah.

Tak lama kemudian, nenekku meninggal. Beliau memang sudah sakit-sakitan. Sebagai cucu kesayangannya, aku merasa sangat kehilangan. Walaupun nenek pernah mempermalukan wanitaku di depan banyak orang, tetap saja beliau sosok yang berjasa merawatku selama di Seoul saat ayah dan ibu berada di Los Angeles.

Victoria hadir di upacara pemakamannya. Ia menemaniku melewati masa-masa sulit. Sepertinya Ibu jadi percaya melihat ketulusan hati Victoria padaku. Hubunganku dan Victoria akhirnya mendapat restu darinya.

Perjalan kami tidak semudah itu. Walaupun sudah mendapat dukungan dari keluarga, Victoria masih ragu untuk kembali menikah denganku. Aku tidak memaksanya. Ia memang butuh waktu sendiri untuk merenung.

Hingga suatu hari, aku mendapat telepon darinya yang sedang berada di New York. Aku ingat betul saat itu di Seoul masih pukul empat pagi. Bertepatan dengan manajerku yang datang untuk membangunkanku dan menjemput untuk syuting music video comeback solo Seungkwan.

Di telepon Victoria mengatakannya dengan suara bergetar. Ia memberi tahuku bahwa dirinya hamil. Otomatis kedua mataku membuka lebar. Aku tidak menyangka akan mendengar kabar bahagia sepagi ini.

Aku bersorak senang ketika tahu bahwa Victoria mengandung anakku. Aku mengatakan padanya untuk tidak takut karena aku akan bertanggungjawab padanya. Tentu saja. Ini impianku sejak lama!

Kami mengatur semuanya dalam kurun waktu sebulan. Mulai dari mendaftarkan pernikahan ke kantor catatan sipil, hingga kepindahan Victoria ke Seoul. Ya, wanitaku rela melepas pekerjaannya di New York demi ikut tinggal serumah denganku. Rasanya kebahagiaan ini sudah sempurna.

Victoria mampu beradaptasi dengan cepat. Bahasa Koreanya juga sudah lancar. Ia bahkan ikut klub khusus pertemuan para orang asing di Itaewon.

Victoria ikut bekerja di kantorku. Ralat, aku sudah membaliknamakan perusahaan kecilku ini menjadi namanya. Kurasa hadiah ini tidak sepadan dengan keberaniannya untuk kembali menerimaku disisinya. Walau begitu, Victoria tidak tamak. Ia membiarkanku mengurus segala hal administrasi. Sedangkan dirinya cukup senang menyalurkan "hobi" dengan mendesain berbagai jenis barang. Kita adalah tim yang kompak.

Sebenarnya aku membebaskan ia melakukan hal yang ia sukai asalkan tidak membuatnya terlalu lelah. Namun perhatianku makin menjadi seiring bertambahnya usia kehamilan Victoria. Yah, akunya saja yang parno. Ini pasti akibat dari cerita Jeonghan mengenai kehamilan pertama Nari. Padahal dari hasil check up bulanan, kandungan istriku baik-baik saja.

"Ayo makan," panggil Victoria sambil melambaikan tangan agar aku mendekat. "Wanginya sangat menggoda. Bikin aku lupa kalau tadi aku sangat ingin makan es krim."

Aku terkekeh geli. Aku duduk di seberang Victoria dan menarik piring berisi nasiku yang telah ia siapkan mendekat.

"Jadi kau sudah tidak ingin makan es krim?" godaku.

"Lihat nanti," jawabnya sambil meringis.

Aku menyuap makanan ke dalam mulut. Begitu pula dengan Victoria. Aku senang melihatnya makan banyak seperti ini. Aku jadi teringat dulu ia sangat menjaga pola makannya. Victoria benar-benar memperhatikan bentuk tubuh.

"Bagaimana pekerjaan di kantor? Sudah seminggu aku tidak kesana," tanya Victoria.

"Biasa saja," jawabku. "Oh ya, desainmu minggu lalu mendapat apresiasi cukup besar dari para investor. Lusa kau bisa datang untuk diskusi langsung dengan mereka?"

Victoria mengangguk semangat. "I will."

Aku tersenyum melihatnya. Binar mata itu sangat indah. Victoria memang sangat menyukai dunia fashion.

"Kalau begitu, ayo habiskan makanannya dulu," ucapku sambil menunjuk isi piringnya. "Sebelum dingin dan menjadi tidak enak."

Victoria menurut. Ia kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya.

Aku memperhatikan cara makannya sambil menahan senyum. Aku tidak tahu sejak kapan Victoria jadi sangat lancar berbicara dalam bahasa ibuku, pun demikian dengan menerapkan budayanya. Andaikan penampilan luarnya tidak terlihat berbeda, Victoria pasti sudah dikira warga asli Seoul.

Aku sangat bersyukur. Andaikan saat itu aku tidak memberanikan diri untuk kembali mendekatinya, sepertinya aku akan tetap melajang hingga akhir hayat. Kini, aku sudah memiliki Victoria dan Joshua junior yang siap mengisi hari-hariku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top