Me too
Osaka, 2023
Han Hyesung
Aku menyusuri jalanan di kawasan Dotonbori yang tidak pernah tidak ramai. Musim dingin sudah lama lewat tapi udara sore itu mampu membuatku sedikit menggigil kedinginan. Aku merapatkan jaket kulit berwarna hitam favoritku sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Bbbrrr, sepertinya usahaku sia-sia. Aku segera mempercepat langkah.
"Irrasshaimase! - selamat datang!" Sapaan ramah seorang gadis dengan nampan di tangannya menyambut kedatanganku. Raut wajah gadis itu, yang merupakan pelayan sekaligus anak dari pemilik restoran udon yang saat ini kukunjungi, berubah ketika mengetahui bahwa pengunjung yang datang adalah sahabatnya.
Aku tersenyum lebar sembari memberi isyarat dengan tangan bahwa aku akan ke lantai atas, tempat favoritku ketika mengunjungi restoran ini. Midori mengangguk mengerti. Seorang pembeli memanggil Midori untuk memesan makanan, gadis itu segera berbalik badan dan dengan sigap mengerjakan tugasnya. Menyaksikan sahabat lamaku yang sedang sibuk dengan pengunjung yang terus berdatangan, aku segera melangkahkan kakiku ke anak tangga pertama.
Aku menggeser pintu dan memasuki ruang makan paling ujung koridor. Entah mengapa area makan di lantai dua hanya terisi beberapa. Aku melepaskan alas kaki dan kembali menutup pintu geser. Ruangan ini cukup hangat. Aku melepas dan melipat jaket kulit yang kukenakan, menyisakan sweet-shirt berwarna putih dibaliknya. Aku berkeliling sejenak mengamati sekitar. Suasananya masih sama seperti lima tahun lalu. Bahkan hiasan dinding yang kubuat bersama seseorang masih tergantung dengan indah di salah satu sisi dindingnya.
Tanpa aku sadari, jemari tanganku mengusap lembut bingkai hiasan itu. Aku tersenyum kecil mengingat kenangan lama ketika aku membuatnya. Aku mengerjap-erjapkan mata sebelum air mataku tumpah.
"Hyesung-chan!" Suara Midori menarikku kembali ke alam sadarku. Sontak aku membalikkan tubuh menatapnya. Midori meletakkan segelas ocha hangat diatas meja. Aku menghampirinya dan duduk diatas tatami dengan nyaman.
"Sudah kubilang jangan panggil aku dengan chan, aku bukan anak kecil," ucapku pura-pura ngambek. Aku menangkupkan kedua tangan di gelas ocha, mencari kehangatan disana, kemudian menyesapnya sedikit. "Terima kasih".
Midori mengamatiku dengan mata bulatnya. Tumben sekali ia tidak mendebat apapun yang aku katakan. Aku membalas tatapannya dengan bingung.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanyanya kemudian, tidak ada nada antusias sedikit pun.
"Tentu saja karena lapar. Cepat bawakan udon kesukaanku," jawabku dengan nada memerintah, tentu saja bercanda.
Midori menggeleng. "Maksudku, apa yang kau lakukan di Jepang? Kau kabur lagi dari pekerjaanmu di Korea sana?"
Aku memelototkan mata tak percaya. Anak ini! "Aku sedang mengambil jatah liburku. Bekerja di depan meja operasi itu melelahkan dan membosankan asal kau tau. Dan lagi, apa-apaan reaksimu itu? Kau tidak senang kalau aku mengunjungimu disini?"
Tawa Midori pecah. Ia berjalan memutari meja dan melingkarkan kedua lengannya di bahuku. Mau tak mau, aku balas memeluknya, mengabaikan rasa sebalku tadi.
"Kau lucu sekali, Hyesung. Tentu saja aku kaget ketika mendapatimu masuk ke dalam restoran tadi. Kukira aku bermimpi!" Midori melepaskan pelukannya, namun senyum bahagianya tidak meninggalkan wajah imutnya. "Pertanyaanku tadi belum kau jawab, apa yang kau lakukan di Jepang?"
Aku mengangkat kedua bahu, tampak acuh. Pandanganku beralih ke gelas ocha.
"Berlibur," jawabku singkat sambil kemudian menyesap ocha. Aliran teh tanpa gula itu menuruni kerongkongan dengan pelan, sedikit menenangkan kegugupanku ketika sedang berbohong.
"Kau datang kesini sendiri? Berlibur ke Jepang tanpa teman atau keluarga?" Tanya Midori sangsi.
"Kenapa tidak?" Tanyaku balik. "Jepang sudah ibarat rumah keduaku setelah Korea Selatan, kau tahu sendiri."
Midori mengangguk-angguk kecil sambil matanya tetap menatap kearahku. Lucu sekali, seperti boneka.
"Kemarin malam Jihoon juga kesini. Kalau tahu kamu ada di Osaka, semalam pasti aku sudah menyuruhmu untuk kesini."
Aku hampir saja tersedak oleh ocha yang ada di mulutku. Jihoon?! Aku buru-buru mengelap bibirku yang basah dengan selembar tissue.
"Dasar kalian ini. Kau kan tahu aku tidak bisa bahasa Korea. Kenapa tidak datang berdua saja, sih?!" gerutu Midori yang tidak menangkap kegugupanku barusan. "Semalam aku sampai memaksakan diriku untuk menyapanya menggunakan bahasa campuran, Jepang dan Inggris. Walaupun percakapan kami tidak terlalu lancar, untunglah ia masih mengenaliku sebagai sahabatmu."
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Sesungguhnya aku sendiri memang sudah tahu bahwa Jihoon ada jadwal konser di Osaka, karena alasan itu jugalah aku mengambil libur kesini. Tapi aku tidak menyangka bahwa Jihoon masih mengingat restoran ini. Kami berkunjung bersama kemari lima tahun lalu.
Midori masih melanjutkan cicitannya. Aku sendiri sudah tidak fokus pada apa yang ia ceritakan dengan menggebu-gebu. Pikiranku sudah sibuk menciptakan berbagai spekulasi tentang lelaki itu. Tanpa sadar, setetes air mata meluncur turun dari sebelah mataku.
"Lima tahun yang lalu, grupnya memang sudah terkenal. Tapi sekarang aku akui nama Seventeen sudah lebih populer dibandingkan sebelumnya. Semalam saja aku bahkan takut kalau fans-fans nya akan datang berbondong-bondong kesini jika mengetahui keberadaan member ....," Midori menghentikan omongannya. Ia tampak panik menyaksikan sahabatnya yang menangis dalam diam. "Hyesung, ada apa? Mengapa kau menangis?"
Tangisku pecah. Isakan tanpa suara yang sedari tadi aku tahan berubah menjadi suara menyedihkan dengan napas tersengal-sengal. Benteng yang sudah kubangun dari lama runtuh hanya dalam beberapa menit saja.
Midori segera memberikan sehelai tissue ditanganku. Ia menepuk-nepuk punggungku dengan mulutnya yang terus saja menceracau berbagai ucapan yang sekiranya mampu membuatku tenang. Namun, aku terus saja menangis. Bahkan aku sendiri saja tidak bisa menghentikan tangisku walaupun ingin.
Aku rindu...
---
Midori menatap tajam kearahku sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Aku hanya mampu menunduk sambil berusaha menghilangkan isakanku.
"Kenapa kau tidak bilang padaku sejak empat tahun lalu?" Kudengar nada tak terima dari caranya berbicara.
"Maafkan aku," ucapku lirih.
Empat tahun yang lalu, sidang perceraian kedua orang tuaku berlangsung sesuai dengan tanggal yang telah ditetapkan sebelumnya. Kepulanganku ke LA tidak mampu membuat keduanya membatalkan perceraian itu. Aku hanya mampu tersenyum getir. Aku tidak mengenali mereka sebagai Ayah dan Ibu yang selama ini menemaniku.
Selama sebulan aku menghabiskan waktu bersama masing-masing dari mereka. Walaupun sudah memiliki pasangan baru, mereka tetaplah orangtua kandungku. Tiap siang aku akan mengajak ibuku makan siang bersama di sela-sela kesibukannya sebagai direktur rumah sakit. Malamnya, aku akan bersantai bersama Ayah, terkadang ia juga mengajakku ikut ke beberapa acara makan malam bersama rekan bisnisnya. Sebagai anak, aku hanya mengharapkan kebahagiaan untuk keduanya.
Dihadapan mereka, aku selalu berusaha tersenyum dan terlihat tegar. Mereka tetap menjalankan kewajiban mereka sebagai orangtuaku, itu sudah cukup bagiku. Di bulan kedua, aku memutuskan untuk pergi ke Jepang. Masih ada lima bulan sisa libur cuti kuliahku, aku harus membuat diriku lupa akan sakit hati yang kupendam. Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu di Jepang.
Aku tinggal di apartemen Midori di Tokyo. Ketika sahabatku sibuk kuliah, aku selalu bepergian ke prefektur lain di negeri sakura ini. Saking seringnya aku berkelana, Midori sampai dibuat iri karenanya.
Walaupun lebih sering tinggal di penginapan di bagian lain kota Tokyo ketimbang tinggal bersama sahabatku itu, hubungan komunikasi kami selalu terhubung. Tiap malam Midori pasti akan meneleponku untuk menanyakan dan bercerita banyak hal. Sepertinya ia takut aku akan merasa kesepian setelah perceraian kedua orangtuaku. Aku jadi merasa memiliki seorang kakak perempuan. Yang cerewet.
Aku selalu menceritakan banyak hal yang terjadi padanya. Kecuali satu hal, tentang Lee Jihoon. Aku tidak tahu bagaimana harus memulainya. Sesekali saat weekend aku dan Midori akan pergi ke Osaka, membantu usaha restoran udon keluarganya. Saat ada waktu luang pasti aku akan melipat origami berbentuk burung bangau. Karena melihat kegigihanku dalam membuatnya, ia mengira hubunganku dengan pria itu baik-baik saja. Apalagi setelah membaca harapan yang kutulis.
Aku terpaksa baru membuka rahasia hubunganku dengan Jihoon hari ini. Itu murni karena kebodohanku yang tidak bisa menahan tangis. Midori jelas marah. Ia merasa bodoh baru mengetahuinya sekarang setelah melihat Jihoon, yang datang kemarin malam ke restorannya, dan diriku bertingkah aneh. Aku hanya mampu menerima segala omelannya. Tentu saja Midori berhak marah padaku.
Midori menurunkan kedua lengannya dan memelukku lembut. Aku mendengar dirinya yang menghela napas panjang di sela-sela rambutku.
"Sudahlah, aku maafkan. Kau pasti sangat berat untuk mengatakan hal itu padaku," katanya. Ia kemudian melepaskan pelukannya dan menatap kedua mataku yang masih berkaca-kaca. "Bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Jauh lebih baik," jawabku sambil tersenyum lebar. Midori mengusap jejak-jejak air mata dari pipiku dengan sehelai tissue.
"Kalau begitu, aku akan turun dan membawakan semangkuk udon untukmu," kata Midori sambil bangkit dari duduknya.
"Midori-chan," panggilku menahannya. "Aku punya dua tiket konser Seventeen untuk besok. Temani aku yaa."
"Bagaimana bisa kau .....," aku menunjukkan senyum lebar menunjukkan sederet gigi putih pada Midori yang keheranan. Gadis itu menghentakkan kakinya kesal dan membuka pintu geser dihadapannya. "Kau masih punya banyak hutang cerita padaku. Pokoknya setelah kau selesai makan malam siap-siap saja kubawa kau ke rumahku!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top