I Just Want to Disappear
Hyesung menghubungi Minho oppa, mengatakan bahwa ia sudah ada di depan dorm Seventeen. Ia menunggu duduk di dalam mobilnya. Hyesung tidak siap jika harus bertemu dengan Jihoon maupun Mingyu. Bahkan dengan member lainnya juga. Sudah cukup banyak kegilaan yang terjadi dalam satu hari. Gadis itu bahkan berpesan jangan sampai ada member yang tahu kalau Minho akan menemuinya untuk menyerahkan kunci.
Hyesung turun dari mobilnya ketika melihat Minho kebingungan mencari-cari mobil milik gadis itu. Sebelum menghampiri pria itu, Hyesung memastikan bahwa Minho benar-benar datang seorang diri. Hyesung memanggil Minho setelah yakin.
"Kenapa kau bertingkah aneh seperti ini sih?" Tanya Minho sambil menyerahkan kunci apartemen Hyesung.
Hyesung hanya meringis. "Tidak apa-apa," jawabnya menghindari pertanyaan Minho.
"Oh ya, apa Jisung-ssi sudah memberitahumu mengenai pekerjaan lanjutan proyek Jepang?" tanya Minho membahas tentang pekerjaan.
"Baru lewat telepon," kata Hyesung. "Kakakku itu benar-benar keterlaluan, kenapa ia menyerahkan tanggung jawab manajemen projek itu kepadaku?"
"Karena ia mempercayaimu," jawab Minho. "Kapan kau ada waktu untuk membahasnya?"
"Lusa malam?" tawar Hyesung. Ia membuka ponsel membaca agendanya. "Malam besok aku ada jadwal jaga."
"Boleh saja. Bagaimana kalau di ruang latihan Seventeen? Mereka masih harus melakukan rekaman dan latihan lagu-lagu berikutnya."
"Jangan disana!" Pekik Hyesung. Ia berdeham menyadari nada ucapannya meninggi. "Mianhae, oppa. Bagaimana kalau di ruang diskusi saja? Kalau malam pasti tidak ada yang memakai."
Minho mengernyitkan dahi bingung. Biasanya Hyesung tidak masalah jika mereka berdiskusi di ruang latihan Seventeen. Minho menyanggupi tanpa protes. Andaikan masih berada dalam satu gedung bersama Seventeen, sepertinya akan baik-baik saja.
"Tadi Seokmin hyung titip pesan apa?" terdengar suara Seungkwan mendekat.
"Cuma cola sepertinya," jawab Soonyoung.
Hyesung yang mendengar suara itu langsung berbalik badan, takut terlihat. Minho melihat kelakuan gadis itu dengan kebingungan.
"Oppa, aku pulang dulu ya. Kalau ada perubahan, nanti aku hubungi langsung ke oppa," bisik gadis itu pelan.
Hyesung langsung kembali berlalu menuju mobilnya sambil mengucap salam. Tak lama kemudian mobilnya berjalan melewati pria itu. Hyesung melambaikan tangannya kepada Minho sekilas, kemudian langsung menginjak pedal gas memacu mobilnya kembali ke rumah.
"Aneh," gumam Minho pada diri sendiri. Ia kemudian berbalik masuk kembali ke dorm Seventeen.
---
Satu bulan berlalu begitu saja. Seventeen sibuk mengerjakan album Jepang pertama mereka. Selain itu, beberapa member disibukkan oleh berbagai tawaran syuting dalam negeri. Sesekali Hyesung datang ke gedung agensi untuk menyelesaikan proyeknya bersama Jisung. Jadwal kerjanya sebagai dokter residen bedah juga membuat gadis itu tidak punya banyak waktu bebas. Jika semua urusan, baik di rumah sakit maupun perusahaan, sudah selesai, Hyesung lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di rumah.
Sesekali Seventeen menanyakan keberadaan gadis itu. Hyesung menghilang bagai ditelan bumi. Gadis itu tidak pernah mampir ke ruang latihan. Kalau ada urusan di perusahaan, Hyesung lebih memilih untuk mengerjakannya di ruangan Jisung atau ruang diskusi. Hyesung berusaha meminimalkan pertemuan dengan semua anggota boygroup itu, terutama Mingyu dan Jihoon.
Mingyu mencoba menghubungi gadis itu, tapi hasilnya selalu tidak diangkat. Beberapa jam setelahnya akan datang pesan dari Hyesung yang mengatakan bahwa dirinya sedang bekerja. Mingyu mengerti bagaimana sibuknya pekerjaan gadis itu. Akhirnya ia menyerah hanya mengirimi pesan padanya untuk selalu menjaga diri.
Setelah kejadian malam itu, Jihoon menyadari bahwa Hyesung sedang menjaga jarak dengan Seventeen. Pria itu mengutuki perbuatan bodoh yang ia lakukan saat itu. Perpaduan dari efek alkohol, rasa cemburu, dan pesona gadis itu benar-benar membuatnya lupa diri. Jihoon memaklumi jika nantinya gadis itu tidak ingin bertemu lagi dengan dirinya. Mana ada cewek yang mau dekat dengan cowok mesum, pikir Jihoon memaki diri sendiri. Tidak ada kesempatan baginya untuk meminta maaf pada Hyesung. Hal ini lah yang membuatnya selalu merasa bersalah.
Jam sudah menunjukkan pukul 23.47. Hari ini adalah tanggal 5 April. Hyesung berjalan menuju ruang latihan Seventeen dengan satu paper bag di tangannya. Besok adalah hari ulang tahun Mingyu. Biasanya anggota Seventeen akan sibuk mempersiapkan kejutan untuk member yang berulang tahun tepat jam dua belas malam. Melalui pengakuan satpam di basement tadi, Hyesung tahu bahwa mereka sudah pergi meninggalkan gedung agensi sejak sejam yang lalu. Itu berarti ruang latihan Seventeen sedang kosong saat ini.
Hyesung bermaksud untuk meninggalkan kado Mingyu di sana karena tidak mau memberikannya langsung. Besok pagi ia akan mengirimi pria itu pesan yang mengatakan permintaan maafnya karena tidak bisa mengucapkannya secara tatap muka. Gadis itu bahkan menimbang-nimbang apakah akan memberikan kado untuk Mingyu, mengingat dirinya belum menjawab pernyataan cinta dari pria tersebut. Karena Hyesung sudah memberikan kado ulang tahun pada tiap member yang berulang tahun sebelumnya, ia berusaha bersikap adil. Semoga saja Mingyu tidak salah menangkap maksud dari kado ini, pikir Hyesung.
Hyesung membuka pintu sedikit dan mengintip ke dalamnya diam-diam. Gelap. Kini ia membukanya lebar-lebar dan melangkah masuk dengan santai. Hyesung meletakkan kado untuk Mingyu di atas meja di pojok ruangan.
"Han Hyesung?" Tiba-tiba lampu ruang latihan menyala terang.
"Waaa!" Teriak Hyesung. Karena kaget, ia jatuh terduduk.
"Maaf, maaf," ucap seseorang dengan nada panik. Ia segera menghampiri gadis itu yang kini sedang berdiri sambil mengusap-usap celananya. "Kau tidak apa-apa?"
Hyesung melayangkan tatapan tajam ke arah Jihoon. "Ya, Oppa! Aku hampir mati terkejut tau!"
"Berlebihan," ucap Jihoon sambil tertawa geli. "Sedang apa kau disini?" tanya Jihoon. Ekor matanya menangkap paper bag yang baru saja diletakkan Hyesung di sana. "Ah, hadiah untuk Kim Mingyu ya?" ucapnya lagi dengan nada kecewa.
"Ah... ini bukan seperti yang kau pikirkan," kata Hyesung gugup. Gadis itu kemudian sadar. Kenapa harus mengelak sekeras itu kalau memang bukan sesuatu yang spesial? Hyesung berdeham pelan. "Ini kado ulang tahun untuknya. Sama seperti aku memberikan kado pada Seungkwan, Lee Chan, Vernon, dan Seokmin saat mereka ulang tahun.
"Kenapa kau tidak memberikannya secara langsung seperti biasa?" tanyanya lagi.
"Itu... karena," Hyesung mengerutkan dahinya. Mencoba mencari jawaban yang paling cocok. "Besok aku akan sangat sibuk. Benar-benar sangat sibuk sampai tidak bisa menemuinya langsung."
Jihoon menarik kursi yang ada di sana dan duduk. "Bukan karena kau sedang menghindariku?"
"Hmmm, kalau itu...," Hyesung kehabisan kata-kata. Ia menyerah. Percuma saja berbohong di depan Jihoon karena tebakan cowok itu tepat sasaran. "Ya, itu salah satu alasannya."
"Maafkan aku," kata Jihoon tiba-tiba. "Dulu kau mati-matian berusaha agar aku merasa nyaman di dekatmu. Namun, sekarang justru aku yang membuatmu tidak nyaman begini."
Hyesung hanya berdiri mematung. Akhirnya ia menghela napas panjang. Gadis itu menarik kursi dan duduk di hadapan Jihoon dengan sebuah meja sebagai satu-satunya penjaga jarak diantara mereka.
"Oppa.... Aku menghargai perasaanmu," ucap Hyesung memberanikan diri. Kemudian hening.
Jihoon menunggu kelanjutan kata Hyesung. Gadis itu sendiri tampak bingung bagaimana harus mengutarakan perasaannya. Sepuluh menit terlewati tanpa ada pembicaraan. Akhirnya cowok itu berdiri dan masuk ke mini studionya. Tak sampai semenit ia kembali dengan gitar di tangannya.
Jari-jemarinya memetik senar gitar dengan piawai. Sebuah melodi mengalun merdu dari permainannya. Jihoon asyik bergumam sendiri. Hyesung mengangkat wajah melihat ke arah pria itu. Ia menumpukan dagu pada sebelah tangannya sambil melihat jari-jemari pria di hadapannya yang dengan lincah menghasilkan nada-nada menenangkan. Seketika Jihoon menghentikan permainannya. Hyesung mengangkat kedua alisnya sambil menatap kedua mata cowok itu.
"Kenapa berhenti?" tanya Hyesung.
"Memangnya aku mau melakukan konser secara gratis?"
Hyesung memajukan bibirnya cemberut. "Baiklah, Mr. Composer."
Jihoon tertawa melihat reaksi itu. Jihoon mengulurkan tangan untuk mengusap kepala gadis itu, namun ia menghentikannya. Ia kembali menarik tangannya dan memilih untuk memeluk gitar di pangkuannya.
Akhirnya, Jihoon kembali memetik senar-senar gitarnya. Kali ini ia menyanyikan lagu Smile Flower. Permainan gitar dan suara merdu milik Jihoon mengisi keheningan di ruang latihan ini. Diam-diam Hyesung mengamati wajah pria di hadapannya yang bernyanyi dengan penuh penjiwaan. Hati Hyesung menghangat. Kekalutan pikiran tentang perasaannya berhasil ia lupakan sejenak.
Permainan Jihoon selesai. Pria itu mengangkat wajahnya dan memandang Hyesung tepat di manik mata. Ia memasang seulas senyum hangat di wajahnya.
"Aku tidak memaksamu untuk memberiku jawaban sekarang. Aku bisa menunggu selama yang kau butuhkan. Tolong jangan buat aku merasa bersalah karena membuatmu terbebani akan perasaanku," ucap Jihoon penuh pengertian. Ia bangun dari duduknya. "Aku harus pulang sekarang. Sungmin Hyung sudah menungguku di mobil. Kau masih mau disini Hyesung-ah?"
Bukannya menjawab, Hyesung justru menelungkupkan wajahnya di tumpukan tangan di atas meja. Gadis itu hanya diam. Berusaha mengatur emosi agar tidak mengeluarkan air mata di hadapan Jihoon. Ia bingung, sungguh bingung. Hyesung kesal karena tidak dapat mengetahui perasaannya sendiri. Saking kesalnya ia hanya dapat menangis.
Jihoon berjalan ke samping kursi Hyesung. Dengan sekali hentakan ia berhasil membuat gadis itu berdiri. Jihoon melihat wajah Hyesung yang sudah memerah. Gadis itu berusaha keras menahan tangisnya. Jihoon merengkuh Hyesung ke dalam pelukannya, membiarkan kausnya basah karena air mata Hyesung yang tiba-tiba mengalir deras.
Hyesung menangis sesenggukan. Gadis itu kini menyembunyikan wajahnya di bahu Jihoon. Ia tidak berani melihat ke arah pria itu.
"Maafkan aku. Sungguh-sungguh maafkan aku," kata Hyesung lirih disela-sela isakannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top