Break Up
Hyesung melangkah masuk ke rumahnya dengan langkah gontai. Sudah tiga hari ia tidak kemari. Debu-debu tipis tampak menutupi sebagian perabot. Hyesung menjatuhkan badannya di sofa ruang televisi.
"Kau mandi saja dulu," kata Jisung sambil berjalan menuju dapur. Ia sibuk membuka-buka lemari penyimpan makanan. Ia menarik dua bungkus ramyeon keluar dan mengambil panci. "Aku hanya bisa masak ramyeon. Jangan protes jika masakanku tidak terlalu enak."
"Aku sedang tidak nafsu makan."
Jisung membalikkan tubuhnya menghadap Hyesung. Dengan langkah-langkah lebar ia menghampiri gadis itu. Jisung menarik tangan Hyesung hingga gadis itu berdiri dari sofa.
"Kau harus makan untuk tetap hidup," ucap Jisung gemas.
"Aku sedang tidak ingin hidup," balas Hyesung tak peduli sambil kembali duduk.
"Ya, Han Hyesung!" Seru Jisung mulai kehilangan kesabarannya. Baru kali ini ia melihat gadis di hadapannya tampak sangat putus asa. Kemana perginya gadis kecil yang selalu membawa aura positif ke sekitar? Jisung menghela napas panjang. Ia duduk di samping Hyesung yang sedang menundukkan kepalanya. "Masih belum ada kabar baik dari sana?"
Hyesung menggelengkan kepalanya. Ia menyandarkan punggungnya ke sofa. "Semakin hari mereka semakin membuatku pusing. Bergantian tanpa henti mereka menghubungiku untuk berada di pihaknya. Aku sampai enggan untuk melihat ponsel."
"Apa benar-benar tidak ada jalan keluar yang lebih baik selain... berpisah?" Tanya Jisung dengan hati-hati. Sebisa mungkin tidak membuat Hyesung semakin stress.
"Entahlah," entah untuk yang keberapakalinya Hyesung menarik napas panjang hari ini. "Mereka berdua adalah orangtuaku. Aku satu-satunya anak mereka. Menurutmu, jika kau berada di posisiku, siapa yang akan kau pilih diantara mereka?"
Jisung menutup mulutnya. Ia tidak yakin apa yang harus dikatakannya pada saat-saat seperti ini. Hyesung terlihat sangat rapuh, ia tidak ingin menyakitinya dengan saran yang salah.
"Selama ini aku terlalu memikirkan duniaku sendiri. Aku memilih sekolah di luar karena kemauanku sendiri. Setelah bekerja, aku juga terlalu sibuk bahkan untuk pulang mengunjungi keduanya. Aku merasa bersalah. Apa karena aku memilih untuk pergi keluar rumah, mereka berdua jadi merasa kesepian? Andaikan ada aku disana, mereka pasti lebih ingat peran mereka sebagai orang tua. Tidak akan ada kejadian seperti ini. Mereka berdua akan tetap bersama. Kami bertiga akan tetap bahagia seperti dulu," celoteh Hyesung dengan mata terpejam.
"Hyesung-ah," panggil Jisung. "Kadang ada beberapa hal yang hanya dimengerti oleh orang dewasa. Ini semua bukan karena salahmu. Tidak ada yang pantas untuk disalahkan."
"Dua puluh lima tahun bersama dalam ikatan pernikahan. Apakah perasaan mereka bisa hilang begitu saja? Tidak ada cinta dan kasih sayang lagi?" tanya Hyesung frustasi. "Ya, anggaplah aku ini belum dewasa. Tapi menurutku menodai janji pernikahan dengan berselingkuh adalah hal yang sangat kekanak-kanakan. Aku benci pada Ayahku yang seperti itu. Aku juga benci pada Ibuku yang terlalu banyak bekerja diluar. Atau jangan-jangan ibuku juga sudah punya teman pria lain di tempat kerjanya? Makanya dia juga jarang pulang ke rumah?" Hyesung mendengus kesal. Hatinya sakit saat membayangkannya.
"Hyesung-ah," Jisung tidak dapat berbicara banyak.
"Ah ya, mengingat mereka memilih untuk berpisah, bukankah berarti sudah tidak ada tempat yang bisa kusebut rumah lagi?" Hyesung mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangannya.
Keadaan kembali hening. Hyesung kembali berkutat dengan pikirannya dalam diam. Jisung tak bersuara sedikit pun. Mau bicara panjang lebar pun, gadis itu tetap tidak bisa berpikir jernih.
"Ah ya," Hyesung menegakkan punggungnya. "Oppa pasti mendatangiku untuk membahas masalah mengenai Jihoon oppa kan?"
Jisung tersenyum masam. Ia mengelus rambut panjang Hyesung dengan lembut. "Lebih baik kau istirahat dulu saja. Kau sudah bekerja keras selama ini. Biar masalah itu aku yang bereskan."
"Apa yang akan kau lakukan terhadap skandal itu?" tanya Hyesung. Ia berdeham kecil. "Apa yang dikatakan oleh Jihoon oppa? Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Aku masih belum tahu. Sebaiknya kita harus mengeluarkan klarifikasi mengenai skandal itu secepatnya," kini Jisung yang terlihat frustasi. "Jihoon sendiri ingin mengumumkan hubungan kalian. Ia ingin jujur pada publik. Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya saat ini. Sebagai bosnya, tentu saja aku marah karena ia bersikap tidak profesional dan tidak memikirkan dampaknya pada member lain. Namun aku juga mengerti bagaimana perasaannya sebagai seorang kakak. Jihoon benar-benar tulus mencintaimu."
Hyesung terhenyak mendengarnya. Jujur saja, akhir-akhir ini ia semakin jarang menghubungi kekasihnya itu. Hyesung tidak menyangka Jihoon masih memikirkannya ditengah-tengah masalah seperti ini. Lebih mudah untuk menyangkal daripada mengakui.
"Aku ingin yang terbaik untuk semuanya," kata Jisung. "Posisi Jihoon dan Seventeen terancam akan kekurangan penggemar, padahal ini adalah masa-masa kejayaan mereka. Sebenarnya saat ini posisimu yang paling tidak diuntungkan. Kau sedang di-bully habis-habisan oleh netizen. Privasimu sebagai masyarakat biasa akan terganggu oleh oknum nakal yang semangat mengais-ais berita gosip panas."
Hyesung menghela napas panjang. Ia bangkit dari duduknya dan berlalu menuju kamar. Pikirannya jadi semakin rumit sekarang.
"Aku akan menghubungi Jihoon oppa secepatnya. Tentu saja tidak secara langsung," kata Hyesung.
"Ya! Kau mau kemana?" seru Jisung kaget. "Kau belum makan Han Hyesung."
Hyesung membalikkan badannya menghadap Jisung. "Terima kasih sudah mengantarku pulang. Oppa pulang saja. Aku akan mandi dan tidur sebentar. Pasti aku akan makan jika perutku merasa lapar."
Jisung berdiri dari duduknya. Ia sangat mengenal sifat keras kepala gadis itu. Ia meraih kunci mobil dari meja bar dan berjalan menuju pintu keluar.
"Tidak ada yang melarangmu untuk menangis, Hyesung-ah. Menangislah jika itu membantumu. Kalau ada sesuatu, hubungi aku secepatnya," kata Jisung sebelum benar-benar pergi dari rumah Hyesung.
---
Jihoon terbangun pada tengah malam. Akhir-akhir ini ia jadi mudah terbangun oleh suara sekecil apapun itu. Jihoon berjalan menuju ruang tengah tempat ia mengisi ulang baterai ponselnya sebelum tidur. Jihoon sengaja belum menghubungi Hyesung mengenai berita skandal yang muncul siang tadi. Ia bahkan ragu gadis itu sudah membaca artikel. Yang paling Jihoon takutkan adalah jika Hyesung membaca berbagai komentar tidak mengenakkan mengenai hal tersebut.
Jihoon membuka layar ponselnya. Satu pesan masuk dari ... Hyesung? Pria itu langsung membukanya dengan sekali sentuhan pada notifikasi yang masuk.
"Jihoon Oppa, sebaiknya kita berpisah."
Satu kalimat singkat dan jelas. Jihoon terhenyak. Rasanya ada beban berat yang jatuh tepat di dadanya, membuat pria itu sesak napas. Apa Hyesung sudah membaca artikel-artikel itu? Jihoon langsung menekan tombol dial pada nomor Hyesung.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya gadis di seberang sana mengangkat teleponnya. Hening. Tidak ada yang berani membuka suara duluan. Jihoon yakin gadis itu tidak sedang tertidur. Ia mendengar suara napasnya yang... tunggu dulu. Apa dia sedang terisak? batin Jihoon.
"Halo?" Suara sengau Hyesung terdengar dari seberang sana.
"Hyesung-ah," panggil Jihoon lirih, ia takut membangunkan member lainnya. "Kau menangis?" tanya Jihoon khawatir. Ia berjalan menuju beranda dorm Seventeen.
"Aku hanya sedikit flu," jawab Hyesung.
Bohong, batin Jihoon. Dia sudah terlalu mengenal gadis itu untuk bisa dibohongi olehnya. Jihoon memilih berpura-pura percaya saja pada Hyesung.
"Kau serius ingin agar kita ... berpisah?" tanya Jihoon berhati-hati. Sesungguhnya ia masih sedikit terkejut dengan permintaan tiba-tiba Hyesung. Namun, kalau tidak segera dibicarakan sekarang, kapan lagi waktu yang tepat untuk melakukannya.
"Iya," jawab Hyesung mantap. Mendengarnya langsung dari gadis yang sangat ia kasihi, hati Jihoon kini benar-benar hancur. "Menurutku... hubungan kita sekarang hanya membebani kedua belah pihak."
"Menurutku tidak," sahut Jihoon cepat. Ia sedikit marah mendengar alasan Hyesung. "Kalau memang ada masalah, kita bisa membicarakannya dulu bersama. Jangan langsung mengambil keputusan secara sepihak."
"Apa lagi yang harus dibicarakan?" tanya Hyesung dengan suara dingin. "Berpisah adalah opsi terbaik untuk saat ini. Seventeen akan terbebas dari skandal yang tidak penting dan aku akan bebas dari perasaan bersalah."
Jihoon mengusap wajahnya dengan frustasi. "Hyesung-ah, kau tidak salah. Tidak padaku ataupun Seventeen." Jihoon menarik napas panjang. Dalam kondisi seperti ini ia harus pandai mengatur emosi. "Aku yakin masalah skandal ini bukan alasan utama bagimu untuk mengatakan hal-hal tadi."
Tidak ada jawaban dari seberang. Jihoon yakin apa yang dikatakannya barusan adalah fakta yang tepat sasaran.
"Hyesung-ah," panggil Jihoon hati-hati. Ia takut ada member lain yang bangun dan mencuri dengar.
"Ya. Aku ada masalah sendiri yang lebih penting dari mengurusi masalah skandal. Saat ini kau bukanlah prioritas utamaku. Jujur saja, kau hanya makin menambah beban pikiranku saja," jelas Hyesung panjang lebar. Jihoon terdiam tidak menyangka gadisnya bisa mengatakan hal-hal yang menyakitkan seperti itu. "Bersikaplah profesional, berpikir rasional, Lee Jihoon. Tidak hanya kau yang ada di Seventeen. Kau sudah merelakan masa mudamu untuk meraih kesuksesan saat ini. Jangan pedulikan aku yang hanya mampir sebentar di hidupmu, yang belum tentu terus bersama denganmu."
"Jangan bicara sembarangan!" bentak Jihoon. Ia gagal menahan emosinya. Pria itu sudah tidak peduli jika ada member yang terbangun mendengar seruannya. "Tidak ada yang tahu tentang masa depan."
"Oppa," panggil Hyesung. "Sudah tidak ada yang bisa kita bicarakan lagi. Maafkan aku. Keputusan ini adalah yang terbaik. Jaga diri baik-baik, ya."
Jihoon menatap layar ponselnya yang sudah menghitam. Sambungan telepon telah diputus dari sang lawan bicara. Jihoon dengan keras memukul pagar pengaman beranda dengan kepalan tangannya. Pria itu menangkupkan kedua belah telapak tangannya ke wajah. Perasaan marah, kesal, dan sedih bercampur menjadi satu. Ia masih tidak percaya hubungannya dengan Hyesung berakhir seperti ini begitu saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top