Pemasangan Susuk


Bram berbaring di kasurnya sambil memegangi kartu nama yang diberikan Putri, terbayang-bayang senyuman Putri tadi membuat hatinya senang.

"Anehh, kenapa aku senyum-senyum gini kalau ingat wajah dia, kayaknya ada yang salah, nih," gumam pria itu.

ia pun mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Putri.

[Hallo Dokter Putri, lagi ngapain?] tanyanya.

Putri saat itu sedang makan malam bersama keluarga Krisna. Di tengah keheningan, ponsel Putri berbunyi. Ia hanya meliriknya dan tau kalau itu dari Bram. Wanita itu tak menghiraukannya. Bram merasa diacuhkan, lalu mengirim beberapa pesan lagi.

"Kenapa nggak dibales aja sih SMS-nya, berisik tau!" bentak Donna yang merasa terganggu karena suara hp Putri.

"Donnaaaa!" bentak ayahnya.

"Memangnya siapa sih, Putri? Malam-malam gini, sms kamu?" tanya Bagas penasaran.

"Ehmmm, itu pasien baru aku, Kak, mungkin dia mau tanya tentang lukanya tadi," ujar Putri beralasan.

"Emhh, gitu ya, Om kira Putri sudah punya pacar sekarang, jadi malu-malu gitu," ejek Krisna pamannya.

Putri tersedak mendengar omongan pamannya itu.

"Ehhhh, enggak, Om, Putri nggak punya pacar, kok!" bantahnya.

"Putri, kamu kan, udah dewasa, Om mau kamu mendapatkan laki-laki yang baik, ya," ujar Krisna lagi.

Putri mengangguk.

"Kalau cowok itu jahat sama kamu, bilang ke Kakak, ya, ntar Kakak hajar dia!" sahut Bagas.

"Ahh, Kakak, udah deh, Putri kan, bilang, belum punya pacar," ujar Putri seraya malu.

Donna tiba-tiba menggebrek mejanya.

"Aku dah, kenyang! Ma, aku balik ke kamar!" ucapnya sambil nyelonong pergi.

"Kenapa sih, tuh, anak!" sahut Bagas.

"Ini semua tuh, gara-gara Papa sama kamu Gas, udah ah, Mama juga dah, kenyang," sahut ibunya sambil berlalu pergi.

Putri yang merasa suasana itu sedang tidak baik, ia juga ikut pergi.

"Om, Kak Bagas, Putri juga udah kenyang, Putri balik ke kamar dulu, ya," sahut Putri seraya pergi dari meja makan.

Ia menelepon Bram.

[Ada apa, sih!] tanya Putri dengan ketus.

[Aku kira kamu sudah tidur,] sahut Bram.

[Jam segini kami semua tuh, masih makan.]

[Oh, maaf, ya, kalau aku ganggu, aku bener-bener nggak tau,] ujar Bram.

[Ehmm yaudah, lah, aku udah selesai, kok, ada perlu apa nyari aku?] tanya Putri.

[Besok siang aku ke klinik, ya, aku nggak tau cara ganti perban, kayaknya ini perban udah kotor banget, aku takut infeksi, bisa, kan?] ujar Bram beralasan.

[Ya udah, datang aja besok,] sahut Putri dan mengakhiri panggilannya.

***

Keesokan harinya, Bram datang ke klinik Putri, seperti biasa ia mampir ke resepsionis.

"Siang Sus, apa Dokter Putri ada di ruangannya?" tanya Bram.

"Oh, bentar, ya, saya telepon kan, dulu," sahut suster itu.

[Iya, Sus, ada apa?] tanya Putri.

[Ini, Dok, ada Mas Bram yang pengen ketemu Dokter,] ujar suster Ana.

[Oh, ya udah, suruh dia masuk ke ruanganku, Sus.]

[Ehh, iya-iya, Dok.]

"Mas, langsung masuk aja, Dokter Putri sudah menunggu, kok."

"Makasih ya, Sus permisi dulu," sahut Bram dan berlalu pergi.

Belum sempat Bram masuk ke ruangan Putri, ia mendengar beberapa Suster berbicara.

"Lihat tuh, padahal kemarin sok, banget nggak mau nemuin, sekarang langsung dibolehin masuk, kayak perempuan nggak bener aja!" ujar suster itu diiyani oleh beberapa suster lainya.

Bram merasa geram mendengarnya dan berbalik ke arah mereka.

"Apa kalian semua nggak punya kerjaan selain gosipin orang, Dokter Putri itu atasan kalian, tapi kalian sama sekali nggak punya sopan santun, kalau mau jadi Dokter, yang profesional dong!" ujar Bram memarahi mereka semua.

Para suster itu hanya diam dan kembali ke meja mereka masing-masing. Tak berapa lama Bram masuk ke ruangan Putri. Dia duduk di depan Putri dengan muka yang kesal, Putri melihat itu.

"Apa suasana hati kamu sedang buruk ya, kok murung gitu?" tanya Putri.

"Apa kamu akan biarin aja, mereka gosipin kamu sesuka hati mereka!" sahut Bram sedikit kesal.

Putri paham apa maksud Bram.

"Sini, tangan kamu, kamu ini ke sini mau ganti perban atau mau ngomelin orang, sih," sahut Putri yang mencoba menenangkan hati pria itu.

"Tau nggak apa yang dikatakan mereka tentang kamu!" bentak Bram.

"Aku tau kok, aku dah biasa digituin," sahutnya

"Kamu tuh, kelewat baik ya, kenapa nggak ditegur aja!" pinta Bram.

"Aku nggak suka memperpanjang masalah, ntar juga mereka berhenti sendiri."

Tak berapa lama terdengar suara pintu diketuk.

Tok, tok, tok!!

"Iya, masuk!" sahut Putri.

Suster Ana dan kedua temannya pun masuk.

"Iya, ada apa, Sus?" tanya Putri.

"Begini Dok, kami mau minta maaf atas sikap kami ke Dokter selama ini, kami nggak bermaksud melanggar kesopanan kami, Dok, kami janji tidak akan mengulanginya lagi, Dokter mau memaafkan kami, kan?" pinta suster Ana.

Putri tampak terkejut dan terharu.

"Sebelum kalian berbuat salah, aku sudah memaafkan kalian, kok, jadi jangan dipikirin ya," ujar Putri tersenyum.

"Beneran, Dok, makasih ya, Dokter memang sangat baik," sahut suster Ana.

"Ya udah kalian boleh pergi makan siang sekarang," ujar Putri.

"Iya, Dokter juga, ya, kami permisi dulu," ujar suster itu sambil pergi keluar.

Putri menatap Bram, ia balik menatapnya.

"Makasih, ya, seumur-umur aku kerja di sini, belum pernah mereka minta maaf sampai segitunya," ujar Putri tersenyum kecil.

"Kalau kamu mau berterima kasih, traktir aku makan siang, ya, biar impas," ujar Bram. 

"Ehmm ya udah, tunggu di luar bentar, aku ambil tas dulu," ujar Putri membereskan meja kerjanya.

Bram dan Putri pergi makan di warung dekat klinik.

"Kukira cewek kaya kayak kamu, malu makan di tempat seperti ini," ujar Bram.

"Ngapain mesti malu, harta itu kan, titipan, yang penting kita merasa nyaman udah," sahutnya.

Bram tersentuh dengan ucapan Putri. Makanan yang di pesan datang, mereka makan sambil berbincang.

"Kalau boleh tau, sejak kapan kamu mulai bisa melihat arwah?" tanya Bram.

"Sejak aku bangun dari koma selama 10 tahun lamanya."

"Wahhh, jadi kamu tidur selama 10 tahun dan setelah bangun kamu bisa melihat mereka," ujar Bram tak percaya. 

Putri mengangguk.

Tiba-tiba angin dingin melewati rambut belakang Putri.

"Gitu dong, Nek, kalau datang ngasih sinyal ke Putri, jadi kan, Putri nggak kaget lagi," ujar Putri tiba-tiba.

Bram langsung kaget mendengar ucapan Putri.

"Put, Nenek siapa itu?" tanyanya.

"Nenek kamu, lah, tuh, beliau duduk di samping kamu," timpal Putri.

"Put, kok Nenekku belum pergi ke surga, ya, kan, kami sudah menguburnya," tanya Bram.

"Kalau kata orang, orang yang baru meninggal, arwahnya masih gentayangan selama 40 hari," ujar Putri.

"Jadi, Nenekku bakal ngikutin aku selama 40 hari, ya," sahut Bram panik.

Putri mengangguk dan tersenyum.

"Nggak usah takut, kamu kan, nggak bisa ngeliat mereka, anggap aja mereka nggak ada dan lakukan aktivitas seperti biasanya," saran Putri.

Bram menghela napas dan merasa sedikit lega.

***

Di sisi lain Donna dan ibunya sedang naik taksi dan menuju ke sebuah tempat. Mereka memasuki kawasan hutan belantara.

"Ma, sebenarnya kita mau ke mana sih! Kok di hutan gini?" tanya Donna penasaran.

"Nanti kamu juga bakalan tau, Don," sahut ibunya.

Tak berapa lama kemudian, mereka sampai di sebuah rumah gubuk. Dari luar rumah itu tampak menyeramkan, ditambah banyaknya tulang belulang yang digantung di sekeliling rumah menambah aura mistis rumah itu. Mereka berdua turun dari taksi.

"Ma, ini tempat apaan? Donna takut, Ma!" ujar Donna merintih ketakutan.

"Ada Mama di sini Sayang, kamu nggak perlu takut, ayo kita masuk," ajak ibunya seraya menggandeng tangan Donna.

Mereka masuk ke dalam rumah. Mereka sudah disambut oleh Mbah Karyo yang sedang menyalakan kemenyan di sebuah wadah berbentuk kendi.

"Sudah lama kita tidak bertemu?" tanya Mbah Karyo.

"Iya, Mbah. Mbah masih ingat sama saya?" tanya Silvi ibunya Donna.

"Tentu saja, Mbah tidak akan lupa pada semua anak-anak, Mbah," katanya sambil tersenyum.

"Apa ini anakmu, sudah besar rupanya!" ucap Mbah Karyo.

"Iya, Mbah, ini anak saya, kami ke sini karena ingin memasang susuk ke anak saya, Mbah," ujar Silvi tiba-tiba dan mengagetkan Donna.

"Susuk! Ma! Yang bener aja!" ucap Donna kaget.

"Jadi kamu belum cerita semuanya ke anak kamu, bahwa dengan susuk yang kamu pakai. Kamu bisa mendapatkan pria yang kamu idam-idamkan!" timpal Mbah Karyo.

Donna menatap ibunya.

"Jadi, Mama juga --?" Perkataan Donna di potong oleh ibunya.

"Iya, Mbah, setelah hari ini saya akan menceritakan semuanya," ujar ibunya.

"Jadi, apa anakmu sudah siap untuk memasang susuk hari ini?"

"Sebelumnya saya mau tanya Mbah, gunanya susuk itu untuk apa, ya?" tanya Donna yang tak mengetahui apa pun tentang susuk.

Mbah Karyo pun tertawa.

"Ndok, susuk itu banyak kegunaannya, tergantung pada pemintanya, kalau susuk yang akan Mbah pasang di kamu nanti, namanya Susuk Nyi Blorong. Susuk untuk memikat para pria, susuk yang sama seperti yang dipakai ibu kamu," jelasnya.

Donna mengangguk tampak mengerti.

Ritual pun diadakan. Tampak Mbah Karyo membacakan beberapa mantra, lalu membuka sebuah peti yang berisikan susuk berbentuk bunga. Ia memasukkan benda itu ke dalam wajah Donna dan juga tubuh Donna. Lalu mengitari tubuh wanita itu seraya memercikkan air ke tubuhnya. Tak berapa lama ritual itu pun selesai.

"Ini, Mbah." Silvi memberikan amplop berisi uang ke Mbah Karyo.

"Terima kasih, Ndok," sahut Mbah Karyo.

"Oh, iya, syaratnya tetap sama, ya, kamu tidak boleh makan sate dari tusuknya dan juga hindari makan pisang raja yang terakhir, jangan gunakan susuk itu untuk melukai seseorang. Kalau kamu melanggar, kamu akan menerima konsekuensinya!" ucap mbah Karyo memperingatkan Donna.

"Iya, Mbah, saya mengerti, saya akan menjaga anak saya supaya menuruti perintah Mbah," sahut Silvi.

Mereka undur diri dari rumah itu.

Di dalam taksi." Jadi ini, rahasia Mama selama ini?" tanya Donna.

"Karena umurmu sudah 20 tahun, Mama sudah bisa mengatakanya padamu. Mama harap kamu bisa mendapatkan lelaki mana pun yang kamu sukai Sayang," ujar ibunya seraya mengelus rambut Donna.

"Terima kasih, Ma," ujar Donna seraya memeluk wanita itu.

***

Putri dan Bram sudah selesai makan dan Bram mengantar Putri kembali ke klinik.

"Makasih, udah mau makan siang sama aku," ujar Bram.

"Ehhmm iya, oh ya, dua hari lagi perbannya udah boleh dibuka, hati-hati jangan terluka lagi," sahut Putri dan berlalu masuk ke klinik.

Mendengar ucapan Putri. Pria itu tampak tersenyum dan hatinya berbunga-bunga.

***

Keesokan harinya, Donna tampak berjalan di koridor kelasnya.

Semua orang menatapnya dengan penuh kagum, terlihat seorang wanita memakai baju kebaya berwarna hijau sedang menari-nari di belakang tubuh Donna. Ia bergoyang sambil menghentakkan kaki dan selendang di tangannya. Matanya hitam merona seperti menyihir semua yang ada di sana.

Hanya satu orang yang tak tersihir olehnya, yaitu Bram. Pasalnya nenek Bram menutup mata batinnya agar Bram tetap melihat Donna seperti biasanya.

"Bram, lihat tuh, Donna, kayaknya makin cantik aja, ya," ujar Ridwan dengan mata berkaca-kaca.

"Biasa aja tuh!" ujar Bram acuh.

"Kamu buta ya! Lihat baik-baik, Donna tuh cantik, sexy lagi, idaman para pria banget!" ucap Ridwan memaksa Bram.

"Udah ah, kalau kamu ngidamin dia, sana kejar aja! Aku mau ke perpustakaan, mau cari bahan makalah," sahut Bram dan pergi meninggalkan mereka.

Donna datang mendekati Ridwan.

"Hai, Ridwan," sapa Donna sambil tersenyum manis.

"Hai, Donna, ka--, kamu tambah cantik aja," ujarnya sambil malu-malu.

"Makasih, oh, ya, Bram ke mana?" tanya Donna.

"Oh, Bram, dia baru aja ke perpustakaan," jawab Ridwan.

"Ya uda,h kalau gitu, daa ... Ridwan," Donna berlalu pergi.

"Daa ... Donna," sahut Ridwan yang masih tersenyum.

Bram sedang mencari buku di perpustakaan, tiba-tiba angin dingin melewati tubuh pria itu. Ia menoleh seperti ada seseorang yang baru saja lewat, bulu kuduknya pun merinding. Tampak dua sosok sedang bertengkar.

"Jangan berani-beraninya, kamu ganggu Cucuku!" bentak Nenek Bram kepada Nyi Blorong.

"Siapa pun, tidak akan bisa mengalahkan pesonaku, apalagi hanya Nenek tua seperti kamu!" bantah wanita berbaju hijau itu.

Mereka tampak saling memandang dengan penuh emosi.

"Hai, Bram," sahut Donna mengejutkannya.

"Astagfirullah, bikin kaget kamu, Don!" ucap Bram menata napasnya lagi.

"Maaf, ya, Bram, kukira kamu nggak bakal kaget," ujar Donna.

"Iya-iya, nggak papa, kok," sahut Bram. Sebenarnya sejak ia tau Putri bisa melihat arwah gentayangan ia jadi sedikit parno.

"Bram, kita makan siang yuk," ajak Donna.

Bram berpikir sejenak.

"Ehmm, ya udah yuk, aku juga lapar," sahut Bram seraya mengembalikan buku yang ia pegang.

Donna tampak senang sekali, ia berpikir susuk yang ia pakai berhasil menarik perhatian Bram.

Di kantin kampus.

"Donna, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Bram lirih.

Donna berpikir bahwa Bram akan bertanya apakah dia sudah punya pacar atau belum, wanita itu begitu senang.

"Iya, Bram, mau tanya apa?" Donna tersenyum malu sembari membenarkan duduknya.

"Ehmm, ngomong-ngomong, si Putri udah punya pacar belum?" tanya Bram sedikit malu.

Pertanyaan itu bagaikan petir di siang bolong yang kemudian menyambar tubuh Donna. Wanita itu sangat kecewa dan marah, tetapi ia harus tetap menjaga sikapnya di depan Bram.

"Kok, kamu malah nanyain si Putri, sih! kamu suka ya, sama dia?"

"Bukanya gitu, kamu kan, sepupunya, pasti tau dia lebih banyak, dong," sahut Bram beralasan.

"Ehmm, Putri belum punya pacar, kok, jangankan pacar, temen aja nggak punya!" ucap Donna sinis.

Mendengar ucapan Donna, Bram tersenyum, tampak hatinya begitu lega. Sedangkan Donna, hatinya berkecambuk. Ia serasa ingin meluapkan semua kemarahannya, tetapi ia menahan diri.

***

Sesampainya di rumah, Ia berteriak-teriak mencari ibunya.

"Mamaaa, Maaaa!" teriak Donna.

Ibunya yang sedang berada di kamar membuka pintunya.

"Ada apa Sayang? Kenapa teriak-teriak gitu?"

"Maaa, apa Mama nggak salah pilih dukun, susuk ini tuh bohongan, Ma!" ucap Donna begitu saja.

Silvi menutup mulutnya tak ingin orang lain mendengar ucapannya.

"Masuk kamu, Donna." Ibunya menarik tangan wanita itu dan masuk ke dalam kamar.

"Maksud kamu apa?" tanya ibunya.

"Bram masih tetap nggak suka sama aku Ma, malahan dia tadi tanya, Putri tuh, udah punya pacar belum, aku sakit hati, Ma," ujar Donna seraya menangis.

"Hah! Sialan tu anak, kenapa bisa nggak manjur gini, ya!" sahut ibunya sambil berpikir.

"Udah Sayang, kamu yang tenang, serahkan semuanya sama Mama, minggu depan Mama akan undang keluarga Bram untuk datang makan malam ke sini, kamu jangan khawatir, ya," ujar ibunya menenangkan Donna.

"Beneran, ya Ma," sahut Donna

Ibunya mengangguk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top