Part 5: Kenangan Buruk

"Sebab, sebuah kenangan selalu tertanam di dasar hati sekalipun itu menyakitkan".

– Elang Wirasena

TANGISAN Dara tumpah ruah. Keputusan sepihak Danu membuatnya tidak mampu menahan kekecewaan sekaligus kemarahan di hatinya. Memang harus, ya, Dara menjalani hidup bersama seorang lelaki yang sama sekali tidak pernah memperlakukannya dengan baik? Bukan baik dalam artian sesungguhnya, yang Dara tahu Elang tidak pernah menyukainya. Sifat dan sikapnya selalu saja sinis kepadanya. Dara tidak suka itu.

Dara tidak ingin hidupnya terus dikuasai oleh Elang. Selama ini ia merasa kalau Elang selalu mengintervensinya, apalagi bila mereka sudah menikah nanti. Dara tidak bisa membayangkan hal buruk apa yang akan menantinya di depan sana.

Danu mengetuk pelan pintu kamar anak gadisnya, kemudian melangkah masuk. Pandangannya disuguhi warna biru muda yang mendominasi ruangan tersebut. Dara memang menyukai warna biru. Warna tersebut mengingatkannya dengan laut dan Dara sangat menyukainya. Sebelum mendekat ke arah sang putri, Danu melihat foto keluarga yang menggantung di dinding ruangan. Hal itu membuatnya melirik ke arah Dara sebentar. Betapa waktu cepat sekali berlalu.

Ia merasa baru saja kemarin menggendong bayi perempuannya, dan sekarang bayi itu sudah tumbuh menjadi dewasa. Meski seringkali sifat manja Dara masih tertanam dalam diri gadis itu, Danu tidak masalah. Justru ia sangat menyukai sifat Dara yang seperti itu, karena putrinya akan menunjukkan ekspresi manjanya tanpa malu-malu meski sudah beranjak dewasa.

Danu menghampiri Dara, lalu duduk di sudut ranjang. Dilihatnya, Dara sedang menangis dengan posisi telungkup. Setelah berusaha mengingat, terakhir kali ia mendengar Dara menangis saat Hilda bergurau soal kepergiannya ke luar kota.

"Dara, kamu tahu tidak, kenapa Paman Danu sering pergi ke luar kota?"

"Tentu saja karena pekerjaan."

"Kamu salah. Paman Danu sering meninggalkanmu ke luar kota, karena kamu adalah anak yang nakal dan cengeng. Kamu juga manja dan menyebalkan!"

Danu tersenyum ketika ingatan masa sekolah Dara muncul di benaknya. Danu sadar, setelah mendengar ucapan Hilda, Dara berusaha menjadi anak penurut. Sekeras apa pun tantangan dalam meniti karier, Dara berusaha tegar. Danu kembali memperhatikan putrinya. Kini bagian kepala Dara ditutupi bantal yang mengakibatkan suara tangisannya terdengar samar-samar. Danu meraih bantal tersebut dan menaruhnya di ujung ranjang. Ia lalu membawa tangannya ke arah Dara untuk mengelus puncak kepala putrinya dengan penuh kasih sayang.

"Sayang. Dara anak Papi." Dara masih setia pada posisinya. "Dara, maafkan Papi karena sudah memaksa kamu. Papi pikir, suatu hari kamu akan mengerti kenapa Papi melakukan hal ini." Dara bangkit dengan cepat, lalu menatap sang papi dengan wajah sembap. Di sudut pipinya masih tersisa sisa air mata.

"Mengerti? Apa maksud Papi?" Dara duduk menghadap Danu, masih dengan wajah cemberut menahan kekesalannya.

"Di dunia ini hanya Elang yang Papi percaya untuk menjaga kamu. Nanti kalau Papi sudah tidak ada, Papi bisa tenang." Danu memperlihatkan wajah sedihnya dan Dara terenyuh.

"Pa-papi mau ke mana? Apa Papi berniat meninggalkanku? Tidak boleh. Pokoknya Papi jangan pernah sekalipun berpikir untuk meninggalkanku!" Gadis itu langsung berhambur ke pelukan Danu.

Meski mempunyai sifat keras kepala, Dara sangat perasa apalagi ketika membahas tentang hal yang bersangkutan dengan kata "ditinggalkan". Dara sudah pernah ditinggalkan oleh Divia, dan itu membuatnya kesepian di masa kecilnya. Bayangkan saja, saat semua anak diantar ke sekolah dengan orangtua yang lengkap, Dara hanya diantar oleh papinya, terkadang bila Danu sedang sangat sibuk, ia hanya bisa diantar oleh Mbok Asna.

Ditambah lagi, Dara merasa terganggu dengan cerita teman-teman di sekolahnya. Hampir semua anak selalu menceritakan sifat ibu mereka. Ibu yang cerewet. Ibu yang tukang mengatur. Ibu yang galak. Ibu yang suka menghukum bila anaknya melakukan kesalahan dan segala macam keluh kesah mengenai ibu mereka.

Dara hanya bisa mendengarkan dengan hati perih dan terluka. Di sudut netranya genangan air mata itu berhasil ia tahan walau sesekali gagal juga dengan melarikan diri ke kamar mandi. Dara ingin seperti anak-anak lain menceritakan sosok ibunya pada semua orang, tetapi ia tidak tahu. Dara bahkan tidak sempat merasakan kehangatan Divia saat membesarkan dirinya kala itu.

"Papi tidak ke mana-mana, Sayang. Tapi sebagai manusia, bukankah kita harus selalu siap dengan keadaan terburuk yang akan menimpa?" Danu memberikan penjelasan pada Dara dengan tenang dan pelan-pelan.

"Stop, Pi! Pokoknya Papi tidak boleh membahas hal seperti ini lagi. Papi tahu kan, kalau aku tidak mau ditinggalkan!" seru Dara setengah frustrasi.

"Iya, Sayang. Papi tidak akan meninggalkanmu. Jadi, apa sekarang kamu mau mengikuti permintaan Papi, hemp?" Danu menatap mata Dara lurus, seolah menembus sampai ke dalam retinanya. Danu mencoba memahami apa yang sedang putrinya rasakan saat ini, dan yang didapatkannya adalah sebuah keraguan dan juga kecemasan.

"Tapi, Pi, kalau aku menikah, nanti siapa yang akan menjaga Papi?" Ternyata hal ini yang membuat Dara ragu, di samping soal dirinya yang tidak menyukai Elang.

Danu tersenyum lembut lalu menjawab, "Sayang, memangnya setelah menikah nanti Elang mau membawa kamu ke mana? Paling jauh juga ke griya tawang miliknya. Lagi pula kamu masih bisa mampir kapanpun kamu mau, Sayang. Semuanya bisa diatur, kamu tidak perlu mencemaskan hal itu!" Danu meraih tangan Dara yang ternyata sangat dingin, ia lalu menggenggamnya erat untuk memberi kehangatan pada putri kesayangannya.

"Tapi, Pi, aku masih bingung."

"Sayang, tidak ada lelaki yang bisa melindungi dan membahagiakan kamu selain Elang. Pegang kata-kata Papi, Dara. Papi tidak akan pernah membuat anak Papi masuk ke lembah kesengsaraan, justru Papi memberikanmu jalan menuju kemudahan untuk bisa bahagia nanti." Danu memeluk putri dengan penuh rasa sayang. Danu mengurai pelukannya lalu beralih menangkup kedua pipi Dara. "Papi menyayangimu, Dara. Hanya kamu di dunia ini yang Papi punya setelah mami. Jadi, mana mungkin Papi akan menjerumuskanmu ke dalam ketidakbahagiaan. Kamu harus percaya pada Papi." Danu mengecup kening Dara sangat lama, seakan menyalurkan seluruh perhatian, kasih sayang dan cintanya selama ini hanya untuk putri semata wayangnya.

***

"Bu, kenapa memberiku nama Elang?" Elang mengajukan pertanyaan pada ibunya.

"Karena Elang itu punya filosofi yang bagus, Nak."

"Filosofi seperti apa, Bu?" Elang bertanya dengan rasa ingin tahu.

"Ada beberapa filosofi, Ibu jelaskan satu per satu, ya. Kamu mau dengar, kan?" Elang mengangguk antusias lalu duduk di sebelah ibunya yang sedang menonton tayangan Discovery Channel ketika itu menampilkan burung elang sedang terbang tinggi.

"Lihat, Nak!" ujar Ibu Elang meminta anaknya memperhatikan ke layar kaca. "Pertama, burung elang memiliki pandangan yang sangat tajam. Apalagi dalam membidik mangsa, bahkan burung elang bisa melakukannya dari jarak puluhan kilometer. Kamu tahu kecepatan terbangnya burung elang?" Elang menggeleng. "Burung elang mampu mencapai kecepatan 300 kilometer per jamnya dan itu lebih cepat dari pacuan mobil, Sayang." Elang menatap kagum ke arah burung elang di layar kaca.

"Kedua, burung elang selalu berhasil dalam hal berburu, itu karena dia selalu fokus. Sama seperti kehidupan, kita harus fokus pada tujuan-tujuan yang ingin kita capai, Nak. Dengan cara mengerahkan segala kemampuan terbaik yang kita punya. Ibu berharap, suatu hari nanti kamu selalu mengerahkan usaha terbaikmu untuk mencapai mimpi-mimpimu."

"Ketiga."

"Kok masih ada, Bu, filosofinya?" Elang mengkritik sang ibu dengan pipi gembil dan bibir mengerucut. Hal itu terlihat sangat menggemaskan dan menarik perhatian sang ibu untuk mencubitnya pelan.

"Iya Sayang, maka dari itu Ibu suka sekali nama Elang. Mau dilanjutkan?" Elang mengangguk lemah. Ia merasa lelah, tetapi juga masih penasaran.

"Ketiga, burung elang punya kebiasaan yang berbeda dari hewan lainnya. Elang suka mencari angin badai di saat hewan lain justru menghindari terjangan badai."

"Loh, kenapa begitu, Bu?"

"Alasannya yaitu angin. Badai tentu memiliki embusan angin yang lebih kencang dan hal ini sesuai dengan kesukaan elang. Dia selalu memanfaatkan embusan angin untuk terbang lebih tinggi, karena elang bukan sosok burung yang menghindari badai."

"Hebat sekali burung elang ya, Bu," kagum Elang.

"Iya, Sayang. Di dalam hidup, kita juga seharusnya bisa berteman dengan masalah. Katakanlah angin itu sebuah masalah. Hal itu bukan karena kita tidak peduli dengan masalah, justru kita harus tetap tenang untuk menggali potensi positif di balik suatu masalah tersebut."

"Keempat, burung elang lebih suka terbang sendiri dibandingkan terbang dalam kawanan atau kelompok besar. Hal ini terkait dengan tujuannya dalam berburu. Elang bisa lebih memfokuskan daya penglihatannya bila dia terbang sendiri, dibandingkan terbang secara berkelompok. Kesendirian elang dalam terbang ini mengajarkan kita untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang mandiri. Baik dalam kondisi senang ataupun susah. Tapi bukan dalam artian menjadi pribadi antisosial, ya, Nak. Sendiri di sini dalam arti mandiri dan mampu menjalani kehidupan dengan kemampuan diri sendiri serta tidak menyusahkan orang lain. Kamu mengerti?"

"Mengerti, Bu. Kalau sudah besar nanti, Elang mau jadi orang yang mandiri." Elang berkata dengan antusias yang kembali hadir dalam dirinya.

"Nah, semua itu filosofi burung elang, Sayang. Hal yang bisa kita petik adalah bahwa untuk mencapai suatu impian besar dalam hidup, kita memang perlu berkorban. Tapi percayalah, Nak, seperti burung elang, setelah kesulitan akan ada kemudahan. Kita harus bersusah-susah dulu, barulah bersenang-senang kemudian. Seperti halnya nama kamu, Elang Wirasena memiliki arti burung elang yang pemberani. Ibu harap, saat kamu besar nanti bisa menjadi manusia pemberani layaknya burung elang."

Lelaki itu bangun dari tidurnya dengan keringat bercucuran di seluruh tubuhnya, terutama pada bagian dahi yang tercetak jelas seakan pendingin ruangan tak mampu mendinginkan suhu tubuhnya saat ini. Elang mengatur napasnya perlahan, setelah terengah-engah mengalami mimpi yang selalu menemani tidurnya. Selama dua puluh tahun lebih, ia masih mengalami mimpi yang sama. Saat ibunya menceritakan tentang filosofi burung elang, sama hal dengan nama yang diberikan untuknya.

Apa karena cerita tersebut, yang akhirnya membuat ibunya rela meninggalkan dirinya? Elang bahkan sudah menjadi burung elang saat ini. Terbang tinggi, fokus pada tujuan serta mandiri. Ia masih tidak mengerti alasan ibunya pergi. Apa karena induk elang ingin anaknya mandiri secara nyata? Sungguh, tidak masuk akal menyamakan hatinya dengan seekor burung.

Sialnya, beberapa kali ingin dilupakan, kenangan buruk itu tetap terpatri di sudut hati Elang sekalipun terasa menyakitkan.

Elang menegak air beningpada gelas yang terletak di meja kecil di dalam kamarnya. Ia mencobamenenangkan kembali hati dan pikirannya. Berusaha keras mengenyahkan segalaingatan tentang ibunya.

19 Mei 2021
Bagi yang mau lihat trailer SB bisa balik lagi ke Prakata, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top