Part 3: Rencana Rahasia

"Aku lupa kalau kamu itu keras kepala".

– Elang Wirasena –

DARA menoleh ke sumber suara, begitupula dengan lelaki bermasker tersebut. Elang sudah mendekat ke arah Si Lelaki Misterius, dan langsung menghajarnya habis-habisan. Lelaki misterius itu jatuh tersungkur ke belakang, tetapi tak lama kemudian ia bangkit dan membalas Elang dengan pukulan yang tak kalah kuat.

Mereka berdua seolah sedang beradu kekuatan, dan masih sama-sama berkelit. Elang masih terus berusaha melayangkan tinjuan ke bagian wajah musuh sampai berhasil membuat pelipisnya berdarah. Dara baru tahu kalau kemampuan Elang berkelahi cukup andal. Cara Elang menghindari lawan lumayan mulus layaknya petarung di atas ring. Namun, tiba-tiba Dara merasa cemas sekaligus takut. Ia khawatir kepada Elang. Apa yang harus ia lakukan di situasi seperti ini, bahkan ponselnya mati. Dara tidak bisa berbuat apa pun, apalagi menghubungi polisi.

Dara menyaksikan Elang mendominasi perkelahian tersebut, sampai pada akhirnya Elang mencekik musuhnya. Lelaki itu terlihat kewalahan mendapat serangan dari Elang. Namun sayangnya, kejadian itu tak berlangsung lama saat perut Elang ditendang musuh. Elang terpental dari tempat keduanya berkelahi. Lelaki Misterius itu kembali menghampiri Elang lalu duduk di atas lawannya.

Sementara Dara mulai berpikir keras untuk menghentikan semua ini. Ia tidak ingin musuh mereka memenangkan pertarungan tentu saja. Dara melihat ke sekeliling, dan ia menemukan balok kayu yang tergeletak di tumpukkan ban. Perlahan ia mengambilnya, lalu berjalan mengendap ke arah dua lelaki yang sedang bertarung. Dengan yakin Dara melayangkan pukulan tepat ke bagian bahu Si Lelaki Misterius. Dara pikir musuh mereka akan langsung jatuh, nyatanya lelaki itu masih segar bugar. Apa pukulannya kurang keras atau ia salah bagian?

Lelaki itu turun dari tubuh Elang dan berbalik menghampiri Dara. Dara sigap memperhatikan gerakan lawannya seraya memegang kuat-kuat balok kayu yang masih berada di genggaman tangannya. Ia sudah siap melayangkan pukulan, tetapi lelaki itu berhasil merebut senjata satu-satunya dan membuangnya sembarangan. Sepasang netra Dara melebar saat lelaki itu mendorongnya hingga membentur tembok bengkel. Gerakan tangannya menyusuri leher Dara sampai akhirnya berhenti di bagian wajah.

"Kenapa kamu bisa sejahat itu kepadaku?" Dara berusaha melepaskan cengkeraman lelaki itu, tetapi tidak berhasil. Ia melihat Elang sudah bangkit, dan memberi isyarat kepadanya. Dara menurut seraya mengikuti pergerakan Elang mengambil balok kayu yang tadi sudah dilempar musuh mereka. Dengan gerakan cepat Elang melayangkan ke bagian belakang kepala beberapa kali hingga musuh mereka mengaduh dan berhasil menjauh dari Dara.

Merasa lawannya sudah jatuh tersungkur, Dara menampar wajah lelaki itu cukup kencang hingga sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Ini bentuk balasan yang harus lelaki itu dapatkan karena sudah menyentuh wajahnya sembarangan.

Elang memperhatikan Dara dengan kecamuk di benaknya. Lalu suara motor berhenti tiba-tiba dan beberapa orang berpakaian serba hitam menghampiri keduanya. Sebagian dari mereka mendorong tubuh Dara sampai terjatuh, sementara Elang ditendang di bagian perut oleh salah satu dari mereka. Tanpa keduanya sadari, ternyata segerombolan orang tersebut komplotan dari lelaki misterius. Dan semuanya terasa cepat.

Elang berniat mengejarnya. Namun, saat itu juga Dara menghampirinya. Elang tampak masih kesakitan sambil memegangi perutnya bekas tendangan yang ia dapatkan tadi.

"Sudah, Elang. Biarkan saja!" Dara memandang Elang dengan tatapan khawatir. Ia jadi tidak tega melihat Elang kesakitan begitu.

"Kamu tidak apa-apa? Ada bagian yang terluka?" Elang memegang kedua bahu Dara dengan tatapan tak kalah khawatir.

Bodoh, tutur Dara dalam hati. Kenapa masih sempat mengkhawatirkan orang lain daripada dirinya sendiri?

"Aku baik-baik saja." Dara berusaha meyakinkan lelaki di hadapannya. "Ayo, aku bantu kamu berdiri. Lukamu harus segera diobati!" Elang merasa tidak rela membiarkan lelaki misterius itu kabur begitu saja, tetapi ia bisa apa. Kalau saja tidak ada Dara, ia pastikan akan mengejarnya sampai dapat.

Dara memapah Elang menuju mobil yang terparkir di tepi jalan. Ia lalu membuka pintu belakang dan mendudukkan Elang di kursi penumpang.

"Biar aku yang menyetir," tawar Elang menghentikan gerakan Dara yang akan menutup pintu belakang.

"Sudah. Aku saja." Dara memandang Elang dengan tatapan tidak bisa dibantah. Ia lalu menutup pintu belakang, setelah itu duduk di kursi kemudi dan meluncur dengan kecepatan rata-rata. Jalanan sepi tak membuatnya menambah kecepatan, Dara hanya takut Elang akan tambah kesakitan. Anggaplah ini balas budi karena Elang sudah menolongnya malam ini.

"Kenapa kamu pergi sendirian? Dan kenapa tengah malam begini masih berkeliaran di luar?" Elang bersuara di sela-sela ringisan kesakitannya.

Dara tidak mungkin jujur pada Elang, kalau ia menghabiskan setengah harinya untuk jalan-jalan sendirian. Setelah ini, Elang akan memarahinya seperti waktu Dara pergi diam-diam di Puncak begitu acara pemotretan selesai.

"Jangan bilang kalau kamu jalan-jalan sendirian lagi?"

Voila, apa sih yang Elang tidak tahu dari sifatnya? Kalau begini, tanpa menjawab pun Dara sudah tertangkap basah.

"Sandara, sudah berapa kali aku peringatkan. Jangan pernah jalan-jalan sendirian, lalu buat apa ada Erina atau Robin? Mulai besok, aku akan buat penjagaan lebih ketat untukmu!" ungkap Elang frustrasi menghadapi tingkah Dara.

"Oke, hari ini aku salah. Maafkan aku, tapi kamu tidak perlu berlebihan seperti itu. Sesekali aku butuh me time. Aku tidak mau ditemani Robin yang sifatnya tidak beda jauh denganmu," jawab Dara sekenanya, sementara Elang sama sekali tidak peduli dengan rajukan gadis itu.

"Me time kamu itu bisa dilakukan di rumah. Lagi pula ini penting untuk keselamatan kamu. Jadi, jangan membantah dan aku tidak menerima penolakan." Dara hanya bisa mengembuskan napas lelah menghadapi sikap Elang. Berdebat dengannya sungguh tidak mungkin menang. Lama-lama sifat Elang sudah makin mirip papinya saja.

Sampai di rumah, Dara berniat membantu Elang mengobati lukanya. Namun, saat kembali ke ruang tengah, lelaki itu sudah tidak ada di sana. Dara berjalan menuju kamar Elang lalu mengetuknya, setelah mendengar sang pemilik kamar memberikan izin, Dara pun masuk.

"Kamu tidur saja, aku bisa mengobati lukaku sendiri." Elang mengatakannya sambil membuka kancing kemejanya. Setelah semua kancing terlepas, otomatis Dara membalikkan tubuhnya agar tidak melihat Elang bertelanjang dada.

"Walaupun kamu menyebalkan, tapi aku tidak akan setega itu. Kamu sudah menolongku tadi, setidaknya aku mau membalas budi." Dara memutar tubuhnya karena merasa Elang sudah menyelesaikan aktivitasnya, walau bagaimanapun ia tetap merasa risi.

"Tidak perlu. Sudahlah, tidur saja sana! Besok kamu bisa kesiangan." Elang lalu masuk ke kamar mandi usai memberi perintah. Namun, Dara masih menunggu lelaki itu keluar dari sana.

Begitu menyelesaikan aktivitasnya, Elang menatap Dara tak percaya. Gadis itu masih berada di dalam kamarnya.

"Aku lupa kalau kamu itu keras kepala," tuturnya sambil menyampir handuk kecil di lehernya.

"Thats right." Dara menarik lengan Elang untuk duduk di sofa kamarnya. Gadis itu lalu membuka kotak P3K, dan mulai mengobati luka Elang. Ia membersihkannya lebih dulu dengan telaten. "Minum dulu!" Dara mengarahkan dagunya ke arah meja.

"Apa itu?"

"Teh hangat, Mbok Asna yang membuatkannya untukmu."

"Malam-malam begini kamu minta Mbok Asna membuat teh?" Lagi-lagi Elang menatap Dara tidak percaya. Bagaimana bisa gadis di depannya membangunkan orang tua demi membuatkan teh?

"Aku belum menjelaskan, kenapa kamu sudah memotong ucapanku begitu saja?" Dara mencibirkan bibir bawahnya kesal. "Tadi aku yang mau membuat tehnya, tapi tiba-tiba Mbok Asna menghampiriku setelah dari kamar mandi. Setelah itu, kamu pasti sudah tahu kelanjutan ceritanya."

"Terima kasih."

"Aku belum mengobatimu."

"Untuk niatmu."

"Oh ya, tadi kenapa kamu bisa ada di sana?" Usai Elang meneguk teh hangatnya, Dara mulai mengoleskan salep pengering luka pada sudut bibir dan pelipis Elang yang terluka.

"Hmm, kebetulan lewat, dan … kamu juga tidak bisa dihubungi." Elang berkata santai dan Dara percaya saja dengan alasan lelaki itu.

"Tapi tadi ada yang aneh," ucap Dara menghentikan sejenak aktivitasnya.

"Aneh?"

"Lelaki misterius itu tahu namaku." Elang menatap Dara dengan raut wajah tak terbaca. "Aku yakin dia memanggil namaku dengan Sandara. Padahal aku masih mengenakan hoodie dan masker."

"Mungkin kamu salah dengar." Elang ikut berkomentar.

"Tidak, Elang. Aku yakin tadi itu tidak salah dengar," katanya yakin pada argumennya.

"Ini masih mau dilanjutkan atau tidak? Aku mau tidur." Elang kembali mengingatkan aktivitas Dara yang sedang mengobati lukanya.

"Oh iya, maaf."

"Lain kali jangan seperti itu!"

"Seperti apa?"

"Melawan pejahat tanpa strategi, kamu bisa lebih terluka."

"Tapi kamu lihat sendiri, tadi aku berhasil menamparnya." Tawa riang Dara seolah menyambut keberhasilannya menghadapi penjahat secara nyata bukan hanya menonton di tayangan Gigi Hadid saja.

Gadis itu kembali fokus pada sudut bibir Elang, menyelesaikan tugasnya yang sempat tertunda. Sementara Elang memperhatikan gadis yang ada di depannya dalam diam. Ada sesuatu yang aneh pada Elang saat melihat Dara dari jarak yang sangat dekat seperti ini. Tiba-tiba Elang menjadi sentimentil dengan perlakuan yang Dara berikan.

***

Pagi ini Dara mempunyai jadwal mengajar para trainee guna membantu seniornya. Tahun ini banyak sekali trainee yang mendaftar menjadi seorang model. Dara sangat menikmati aktivitas mengajarnya, seolah ia mengulang kembali masa-masa saat ia menjadi seorang trainee. Mulai dari kelasnya, suasananya dan juga pelatihannya.

Akhirnya, ilmu yang didapatnya selama ini bisa bermanfaat bagi orang lain melalui pengajaran yang sedang dilakukannya hari ini. Kerja kerasnya selama ini bisa ia rasakan sekarang, betapa berat perjuangannya waktu itu. Dara sangat bersyukur karena bisa sampai di titik seperti sekarang.

"Ra, mulai sekarang kamu harus lapor padaku kalau mau ke mana-mana, nanti biar aku temani." Erina memberitahu saat keduanya sedang berada di ruang istirahat.

"Pasti perintah Elang." Mata Dara memicing ke arah Erina sembari menunggu jawaban.

"Perintah dari siapa pun akan kuturuti kalau itu menyangkut keselamatanmu."

Jawaban Erina sukses membuat Dara terdiam. "Berhenti bersikap keras kepala, Sandara!" Dara mengercutkan bibir, tetapi ia juga sadar kalau kejadian kemarin ada andil dari kesalahannya.

"Maaf, Kak," sahut Dara pada akhirnya.

"Oke, dimaafkan. Lalu, bagaimana dengan cerita yang kemarin? Kenapa kamu bisa sampai berurusan dengan Si Lelaki Misterius?" Kemudian cerita Dara mengalir pada kejadian tadi malam, dan semuanya ia sampaikan kepada sang manajer. "Wah aneh juga lelaki misterius itu. Kenapa dia bisa tahu namamu, ya?" Erina menggaruk-garuk dagunya yang tidak gatal sembari menatap ke arah lain. "Tapi Ra, Elang sangat mengkhawatirkanmu. Baru kali ini dia memberi peringatan dengan mode super serius seperti tadi pagi."

"Bukankah itu hal yang biasa?" kilah Dara cepat.

Erina berdecak sebal lalu menjawab lagi, "Kamu harus percaya, Ra! By the way, sepertinya kemarin kamu mau cerita sesuatu," ujar Erina mengingatkan Dara dan gadis itu memutar kembali otaknya, tentang hal apa yang kemarin ingin ia ceritakan pada Erina. Setelah ingat, Dara membuang napas lemah.

"Aku dijodohkan dengan Elang, Kak." Kemudian Dara bercerita secara lengkap tentang perjodohannya dengan Elang. Dara sudah tidak sungkan untuk bercerita apa pun kepada Erina. Bagi Dara, Erina adalah manajer sekaligus teman yang bisa menjaga rahasia. Erina juga selalu siap mendengarkan keluh kesah Dara dan perempuan itu sudah sangat paham sifatnya luar dan dalam. Lebih tepatnya, Erina seperti kakak baginya.

"Jadi begitu ceritanya. Lalu respons Elang bagaimana?"

"Aku tidak tahu. Kalimatnya benar-benar membuatku bingung." Erina terlihat berpikir sambil menyesap kopinya.

Mereka berdua sudah berada di kafetaria perusahaan untuk makan siang. 

"Apa mungkin dia menyukaimu?" Erina menyimpulkan analisisnya.

"Jangan bercanda, Kak!" tolak Dara cepat.

"Ya bisa saja, mungkin Elang termasuk tipe lelaki yang gengsi untuk mengutarakan perasaannya atau dia sedang berusaha mencari momen yang tepat untuk mengatakannya padamu. Memang sikapnya selama ini seperti apa?" Erina makin penasaran.

"Ya, biasa saja. Kami lebih banyak membahas seputar pekerjaan, apalagi setelah dia sekolah sarjana lanjut master di Inggris. Kami jadi makin jarang berkomunikasi."

"Hemp ... kamu ikuti saja permintaan papimu. Om Danu pasti sudah berpikir matang-matang sebelum mengambil keputusan sebesar ini." Erina mencoba memberikan saran. "Lagi pula secara fisik kamu tidak akan rugi, Ra. Elang punya tubuh oke dan pasti perutnya seperti roti sobek yang banyak dibicarakan kaum hawa di sosial media." Dara menggelengkan kepalanya mendengar komentar absurd manajernya itu.

"Jangan sok tahu, Kak" Dara menyahut. 

"Sok tahu? Apa jangan-jangan kamu sudah pernah melihat roti sobeknya Elang, Mengakulah? Kalian kan, satu rumah jadi ada kemungkinan kamu pernah melihat dia selesai mandi."

"Ti-tidak mungkin," ujar Dara mencoba menepis dengan raut wajah gugup, beruntung Erina tidak menyadarinya.

Sebenarnya, Dara pernah melihat Elang bertelanjang dada saat lelaki itu selesai berenang, dan memang benar perut lelaki itu mirip roti sobek seperti yang dikatakan oleh Erina. Kala itu Dara tidak tahu kalau Elang ada di kolam berenang, ia duduk di sun lounger sambil mendengarkan lagu melalui earphone dengan menutup matanya. Namun saat ia membuka matanya, sudah ada Elang yang berjalan menuju sun lounger tepat di sebelahnya. Tanpa menghiraukan kehadiran Dara di sebelahnya, lelaki itu dengan santainya tiduran di kursi tersebut.

"Kenapa kita jadi membahas hal seperti ini?" Dara mencoba mengalihkan pembicaraan untuk menutupi kegugupannya.

"Penting, Ra, supaya kamu bisa merasakan enaknya dipeluk. Lalu, kamu juga tidak akan rugi saat mengenalkan Elang di acara besar. Pokoknya menurutku, lelaki seksi itu yang punya perut seperti roti sobek." Erina terus mengoceh hal yang tidak penting menurut Dara.

"Case closed, Kak. Pikiranmu makin ke mana-mana," gerutu Dara menyeruput jus alpukatnya sampai tandas.

Dara berdiri hendak berbalik. Namun, ia menabrak seseorang di belakang dengan menumpahkan minuman yang dibawa orang tersebut.

***

Bunyi ketukan pintu terdengar, lalu diikuti sosok Elang masuk ke dalam ruangan bertuliskan Presiden Direktur pada papan nama di atas meja. Tampak di dalamnya menunjukkan seseorang yang sedang memeriksa sebuah aplikasi di layar komputernya.

"Kamu baik-baik saja, Elang?" Lelaki itu bertanya saat Elang mulai duduk di hadapannya.

"Baik, Pak, hanya luka kecil saja."

"Saya sudah katakan berapa kali. Kalau hanya kita berdua, kamu boleh memanggil saya seperti biasa."

"Maaf, Pak, tapi ini masih di area kantor." Danu hanya geleng-geleng kepala melihat kepatuhan lelaki di hadapannya itu.

"Orang itu benar-benar serius dengan ucapannya," katanya mulai ke topik penting.

"Maaf, Pak. Semalam, saya tidak bisa menangkap orang itu."

"Tidak apa-apa. Kamu sudah berusaha, Nak. Terima kasih juga karena sudah menyelamatkan Dara. Tapi yang aneh, apa maksud mereka mengikuti Dara tanpa berniat membawanya?"

"Sepertinya ini sebuah peringatan." Keduanya tampak berpikir keras seolah menerawang tentang kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya.

"Apa Dara sering jalan-jalan sendiri seperti kemarin?"

"Saya rasa tidak, mungkin kemarin Dara sedang butuh menyegarkan pikiran."

"Anak itu memang keras kepala. Kamu pastikan Dara selalu ditemani Robin atau siapa pun yang bisa melindunginya!"

"Baik, Pak," jawab Elang dengan sigap. 

Danu mengetuk-ngetukan bolpoin di atas meja kerjanya. Ia sudah berpikir cukup matang perihal rencananya dengan Elang. Lelaki paruh baya itu mendekat ke arah Elang lalu berujar, "Elang!" Elang yang dipanggil langsung memasang mode siaga karena melihat raut wajah serius Danu. "Apa sebaiknya saya majukan saja rencana kita?"

10 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top