Part 2: Kebebasan
"Hal yang paling sulit didapatkan adalah kebebasan".
-
Sandara kalinda -
DARA tidak bisa menyembunyikan rasa kekecewaannya usai menjalani proses pemotretan untuk iklan produk minuman hari ini. Kendati semuanya berjalan lancar, di tengah pemotretan Dara sempat kehilangan konsentrasinya. Salahkan dirinya yang semalaman tidak bisa tidur nyenyak karena terus memikirkan ucapan Elang.
Seharusnya ia tidak perlu bertanya tentang alasan Elang menerima perjodohan mereka, karena percuma saja lelaki itu tidak akan menjawab apa pun. Namun Dara pikir, jawaban Elang semalam terkesan ambigu dan itu masih mengganggu pikirannya sampai sekarang.
"Kenapa aku harus tidak setuju dengan perjodohan ini?"
Memikirkannya membuat kepala Dara ingin meledak.
"Oke pemotretan selesai. Good job, Dara." Biyan sang fotografer memuji sambil memberikan senyuman manisnya.
Suasana penuh keceriaan dan hangat begitu terasa di ruang terbuka, tepatnya di depan Istana Anak, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Beberapa kru dan staf lain tengah menyalami model yang tengah bersinar, yakni Sandara Kalinda. Gadis berusia 25 tahun itu tampak memesona dengan balutan beaded yellow minidress tanpa lengan.
Dara mengucapkan terima kasih dengan tulus kepada semua kru yang bertugas selama berjalannya pemotretan hari ini. Dara berusaha bersikap sopan pada semua orang. Ia ingin menjalin hubungan baik terhadap orang yang bekerjasama dengannya. Dara mengalihkan pandangannya ke sumber suara saat namanya dipanggil seseorang. Kemudian, tangannya meraih botol minum yang diberikan untuknya seraya mengusap peluh.
Hari ini Jakarta terasa lebih terik daripada biasanya. Di musim panas ini, Dara lumayan kebanjiran tawaran pemotretan, khususnya di outdoor. Dara tidak bisa pilih-pilih pekerjaan hanya karena tidak tahan dengan cuaca terik. Selain karena ingin terus berada di dunia hiburan, ia juga masih harus menambah pengalaman. Dara selalu dididik untuk selalu menghargai setiap pekerjaan yang didapatkannya.
"Terima kasih, Kak, setelah ini apa lagi jadwalku?" Dara bertanya pada sang manajer, Erina Nathania. Perempuan berambut keriting itupun langsung memeriksa jadwal Dara pada tablet yang selalu dibawanya ke mana-mana.
"Hmm, seharusnya setelah ini ada pemotretan di Pondok Indah."
"Lalu?"
"Dibatalkan, karena baju yang akan kamu pakai belum siap. Kita masih menunggu re-schedule." Dara bergeming.
Erina kembali memandang Dara usai memasukkan kembali tablet ke dalam tasnya. Biasanya saat mendengar jadwal kosong gadis itu akan senang luar biasa. "Ada apa dengan raut wajahmu? Aku perhatikan dari tadi kamu terus menguap. Memangnya semalam tidur jam berapa?" Rentetan pertanyaan Erina yang berisi keprihatinan membuat Dara makin menekuk wajahnya.
"Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak karena Elang," tutur Dara pada perempuan yang terpaut usia lima tahun lebih tua darinya.
"Ada apa dengan Elang?" Mata Erina memicing menunggu jawaban dari gadis itu.
"Nanti aku ceritakan," jawab Dara singkat. "Sekarang ... bagaimana kalau aku jalan-jalan di sekitar sini?"
"Sandara!" Erina berkata lemah.
"Please, Kak, aku tidak akan pergi jauh-jauh. Lagi pula, sudah lama aku tidak jalan-jalan ke Taman Mini. Sebelum malam, aku pastikan sudah ada di rumah. Aku janji!" ujar gadis itu sembari membentuk gestur tanda V di kedua jarinya.
"Ya sudah, tapi kamu harus tetap hati-hati, ya!" Erina menyadari, Dara juga butuh menyegarkan pikirannya dari pekerjaan. "Jangan lupa ganti pakaianmu dengan nyaman dan aman!"
"Oke. Terima kasih, Kak Erina. I love you." Dara memeluk Erina seraya menggoyang-goyangkan bahunya dengan penuh semangat. Kendati demikian Erina merasa sedang dipeluk pohon, karena tinggi badan modelnya lebih 12 cm dibanding dirinya yang hanya 156 saja. Setelah itu, Dara meninggalkan area pemotretan dengan riang.
"Pelan-pelan jalannya, Sandara!" Erina memperingatkan gadis itu saat berlari meninggalkan dirinya, sedangkan yang diperingatkan hanya mengacungkan ibu jari tanpa menoleh lagi.
***
Elang mengembuskan napas panjang di sela bibirnya. Lelaki itu memijat pelipisnya sejenak, menghilangkan kepenatan setelah seharian berkutat di depan layar komputer. Bunyi ketukan pintu membuat ia membuka kedua matanya setelah terpejam sebentar.
"Masuk!" sahutnya diikuti munculnya sosok lelaki yang tak lain adalah asisten pribadinya, Nando.
"Mobil Anda sudah siap, Pak." Nando memberitahu dengan sopan.
"Apa jadwal saya setelah ini?" Elang bertanya sedikit lupa. Maklum saja, setelah dirinya menerima jabatan sebagai Wakil Presiden Direktur, jadwal barunya pun cukup padat akhir-akhir ini.
"Anda ada pertemuan makan siang dengan Bapak Danu dan para direksi lainnya."
"Ah, iya." Elang memukul kepalanya pelan, karena hampir melupakan pertemuan penting hari ini. Ia lalu beranjak dari kursinya untuk mengambil jas yang tersampir di belakang kursi. Merapikan penampilannya sejenak, setelah itu keluar dari ruangannya. Nando mengikuti langkah Elang berjalan di belakangnya.
Beberapa pegawai memberi salam pada Elang, sementara ia membalasnya dengan anggukan kecil atau hanya diam dan berjalan lurus. Elang memang selalu memasang wajah datar dan dingin hingga membuat orang lain segan kepadanya.
Elang Wirasena, usianya hampir 32 tahun. Ia menduduki posisi Wakil Presiden Direktur di perusahaan milik Danu Chandra Kusuma, Parasayu Entertainment. Posisi tersebut ia dapatkan bukan cuma-cuma, melainkan Danu melihat potensi yang Elang miliki sejak dulu.
Sebelumnya, Elang bekerja sebagai asisten pribadi sekaligus penasihat Danu. Namun, ada satu alasan yang mengharuskan pendiri perusahaan tersebut membuat Elang menduduki posisi Wakil Presiden Direktur. Tidak ada orang lain yang lebih dipercayainya selain Elang Wirasena. Bagi Danu, hanya Elang yang bisa menjaga rahasia dan semua yang dimilikinya agar tetap berada di tempatnya.
Elang paling tidak bisa menolak permintaan Direktur Utama Parasayu Entertainment tersebut, karena Danu adalah orang yang paling berjasa di dalam hidupnya. Tanpa adanya bantuan dari beliau, Elang tidak akan bisa hidup seperti sekarang. Mungkin ia akan menjadi orang yang paling menderita di dunia ini, atau bahkan hidup tanpa tujuan.
***
Dara merasa cemas saat taksi yang ditumpanginya mogok, ditambah ponselnya mati karena kehabisan daya baterai. Ia merutuki dirinya yang terlalu asyik bermain di Taman Mini. Saat berjalan-jalan sendirian Dara menyamarkan penampilannya dengan masker dan hoodie. Ia mengelilingi area 150 hektar itu dengan rasa senang saat menikmati pemandangan nusantara dari Sabang hingga Merauke dalam bentuk mini.
Kenapa bisa sesulit ini mencari kebebasan? Dara hanya ingin jalan-jalan sebagai warga biasa bukan sebagai seorang model yang sedang naik daun.
"Maaf, Mbak, lebih baik Mbak cari taksi yang lain. Saya kurang tahu masalahnya di mana." Si supir taksi menjelaskan keadaannya pada Dara dengan wajah khawatir bercampur tidak enak.
"Bapak benar-benar tidak tahu mogoknya karena apa?" Dara kembali memastikan.
"Iya, Mbak, saya memang kurang paham mesin, hanya tahu garis besarnya saja. Maaf, ya, Mbak, saya jadi tidak enak." Si supir taksi makin merasa bersalah pada Dara.
"Iya, Pak, mau bagaimana lagi. Bapak juga sedang kesusahan, jadi saya berusaha untuk mengerti." Dara berkata sambil memberikan ongkos taksi pada si supir.
"Terima kasih banyak, ya, Mbak. Mbaknya baik sekali, kalau penumpang lain mungkin saya sudah dimarah-marahi." Dara hanya tersenyum tipis saat mendengar pujian dari supir taksi tersebut. "Hati-hati di jalan Mbak, selamat sampai tujuan."
"Terima kasih, Pak. Bapak juga hati-hati." Selesai mengucapkan kalimat itu, ia berjalan menuju halte yang ada di depan matanya sambil menunggu datangnya taksi lain.
Lima belas menit berlalu, taksi yang ditunggunya belum juga muncul. Sebenarnya Dara sudah sampai di wilayah tempat tinggalnya. Namun, bila ditempuh dengan jalan kaki lumayan lelah juga dan cukup memakan waktu. Masih sekitar tujuh ratus meter lagi menuju rumahnya.
Selain itu, Dara sudah tidak sanggup lagi berjalan jauh. Itu semua karena sewaktu di Taman Mini, ia seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Berjalan dan berfoto ke sana kemari. Dara melirik jarum jam di tangan kirinya, sudah hampir tengah malam. Kenapa waktu cepat sekali berlalu, kalau seperti ini terus bisa sampai kapan ia duduk di halte?
Dara yakin, kalau ponselnya saat ini tidak mati pasti ia akan menyaksikan puluhan panggilan masuk. Dengan berat hati Dara memutuskan untuk meninggalkan halte. Ia berjalan pelan, melewati minimarket yang buka 24 jam. Di area ini, jalanan masih cukup ramai. Namun saat memasuki kawasan kompleks perumahan, suasana berubah cukup sepi. Dara termasuk gadis penyuka film horor, tetapi di saat seperti ini ia juga merasa takut. Perasaan was-was makin terasa saat Dara melewati bengkel yang sudah tutup dengan kondisi lampu yang sedikit redup. Dara mempercepat langkahnya berharap ia segera melewati tempat tersebut.
"Malam-malam begini, ternyata masih ada orang yang lewat." Langkah Dara terhenti saat kemunculan seorang lelaki mengadangnya. Lelaki itu memakai masker dengan rambut yang acak-acakan. Tubuhnya tinggi dan besar mirip bodyguard yang sering ia tonton di film action. "Apa jangan-jangan kamu sengaja mencariku, Gadis Cantik?"
Apa dia maling?
"Permisi, saya mau lewat." Dara berusaha bersikap sopan agar lelaki itu tidak mengganggunya. Namun bukannya minggir, lelaki itu justru mengabaikan ucapan Dara, dan hal itu makin memancing rasa takut dari dalam dirinya.
Dara makin bergidik ketika lelaki itu makin mendekat dan mencekal lengan kirinya. Dengan seringai dan tawa yang terdengar, meski maskernya masih setia menutupi sebagian wajahnya dan hanya menyisakan mata.
"Lepaskan!" teriak Dara panik bukan main. Namun sebaliknya, lelaki itu lebih mengeratkan cekalannya pada tangan Dara hingga membuatnya meringis kesakitan.
"Tidak bisa semudah itu, kamu harus ikut denganku!" Lelaki itu mulai menyeretnya dengan paksa.
Dia bukan maling. Apa dia tukang culik orang?
"Lepas atau aku teriak!" Dara mencoba mengancam meski dengan suara bergetar. Jantungnya sudah berdetak tidak beraturan lagi.
"Selain aslinya cantik, kamu juga sangat cerewet, ya. Ikut aku, Sandara! Aku janji tidak akan menyakitimu kalau kamu bisa jadi gadis penurut." Dara tertegun sejenak, kenapa lelaki ini bisa tahu namanya? Padahal ia masih mengenakan hoodie dan maskernya.
Siapa sebenarnya orang ini?
Dara berusaha sekuat tenaga meronta tetapi nihil, tenaganya kalah dengan lelaki itu. Meski begitu, ia tidak menyerah. Dara terus berusaha melawan lelaki itu lagi, ia sudah memasang kuda-kuda untuk menendangnya di bagian sensitif. Dara sudah memahami gerakan tersebut dari tayangan Gigi Hadid yang ia tonton kemarin malam. Di saat Dara hendak melayangkan tendangan, sebuah suara yang sangat familier terdengar sangat jelas di gendang telinganya.
"Lepaskan dia!"
04 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top