Part 1: Kabar Buruk

"Apa yang harus kulakukan saat harapan tak sesuai dengan kenyataan?"

– Sandara kalinda –

CERAHNYA hari Minggu menambah keceriaan Dara di waktu istirahatnya. Kebetulan sekali hari ini jadwal Dara kosong, maka dari itu ia bisa bersantai di kamarnya dengan nyaman. Dara terus membolak-balik majalah kecantikan bulan ini sembari duduk di kursi malas area balkon ditemani alunan lagu penyanyi lelaki favoritnya, sesekali lantunan merdu keluar dari bibirnya. Begini saja sudah membuat Dara bahagia.

Semua yang berhubungan dengan profesinya saat ini bisa dibilang, time is money. Namun, arti waktu bagi Dara adalah kebebasan yang berharga. Ia ingin sekali memanfaatkannya dengan me time atau hal-hal yang membuatnya senang. Apa pun itu.

Namun, hal itu tidak berlangsung lama saat Danu memanggilnya untuk berbicara empat mata. Nyatanya, cuaca cerah tidak bersahabat dengan nasib Dara di hari ini. Dara bahkan mendapatkan kabar buruk. Ya, ini berita buruk sekali. Danu mengumumkan tentang perjodohannya. Dara berulang kali mencerna ucapan Danu, berusaha memahami dengan saksama. Apakah yang didengarnya nyata atau hanya ilusi? 

And it's a bad news, telinganya masih cukup normal untuk mendengar kalimat, "menikah karena dijodohkan". Di zaman millenial dan serba modern seperti sekarang, papinya masih saja melakukan tradisi kuno seperti itu.

Klasik.

Begitu yang Dara tangkap dari arti perjodohan. Apa tidak ada cara lagi selain memintanya menikah? Memangnya Dara hidup di zaman Siti Nurbaya, di mana saat para orangtua terjebak utang piutang dan yang terjadi adalah nasib anak menjadi taruhannya, dengan cara diserahkan pada si penjamin dana tersebut.

Dara tidak habis pikir, papinya akan berpikiran kolot seperti ini. Padahal yang Dara tahu, beliau termasuk orangtua yang tidak konservatif.

"Pi, yang benar saja aku harus menikah dengan lelaki kaku itu," rajuk Dara tak henti.

"Sandara, jaga ucapanmu!" tegur Danu tegas diikuti sorot mata tajam. Mendapati perubahan di wajah sang papi, Dara bergeming di tempatnya berdiri sembari mendesah pelan.

"Papi yang seharusnya berpikir ulang! Jangan karena Papi menyayanginya, lantas Papi seenaknya saja memaksaku seperti ini. Lagi pula aku mau punya pasangan yang juga menyanyangiku, Pi." Dara makin frustrasi karena sang papi masih memintanya menuruti kemauannya.

"Papi yakin Elang menyanyangi kamu, Dara. Makanya Papi sangat percaya bahwa Elang bisa menjaga kamu dengan baik." Danu kembali menatap sang anak, kini tatapannya sedikit melunak.

Dara berjalan menuju sofa lalu duduk setengah membanting bokongnya di sana. Wajahnya masih ditekuk, pun bibirnya masih saja cemberut lalu ia kembali berkata, "Pi, aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagi pula, ini bukan masalah dia menyayangiku atau tidak. Ini masalah kebebasan. Ada banyak hal yang masih harus aku kejar. Aku juga belum kepikiran untuk menikah. Lalu, apa kata media nanti, Pi. Aku mohon, mengertilah!" Dara tetap membujuk Danu agar mau mengubah keputusannya. Danu lalu duduk di sebelah Dara untuk menenangkan sang putri kesayangannya itu.

"Dara, menikah tidak akan membatasi ruang gerak kamu. Kamu masih bisa melakukan apa yang kamu mau."

"Papi yakin? Kalau nanti dia terus mengintervensi kehidupan pribadiku bagaimana? Lalu, bagaimana tanggapan media nanti?"

"Papi yakin Elang bukan tipe lelaki over protective, apalagi dia sudah mengenal sifatmu, sudah tahu kebiasaanmu. Soal media, biar Papi yang urus. Pokoknya Elang adalah lelaki terbaik, dan kamu bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi saat bersama dia nanti," ujar Danu sembari mengelus lembut punggung Dara.

"Maksud Papi saat ini pribadiku tidak baik?" Dara menggeser duduknya menjauh dari Danu diikuti lirikan tajam.

"Bukan itu maksud Papi, Sayang."

"Kalau saja mami masih ada, mami tidak akan memaksaku menikah dengan lelaki yang bukan pilihanku. Dan kalau mami masih hidup, mami akan menerima sifatku apa adanya, Pi. Tidak seperti Papi begini!" Danu membuang napas berat, ia tahu Dara merindukan maminya. Ia juga tahu sejak kecil putrinya tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang utuh dari seorang ibu. Itu karena semenjak meninggalnya Divia, Danu memilih tidak menikah lagi.

Kenangan bersama istrinya tidak pernah hilang dari dalam hati dan juga ingatannya, selalu berputar layaknya sebuah CD mengalun dengan indah setiap hari. Alasan itulah yang selalu dipakai Danu untuk memilih sendiri dibandingkan menikah lagi. Meskipun sebenarnya, ia dihadapkan dengan model-model cantik setiap hari.

Sejak kecil, Dara hanya diasuh oleh Mbok Asna– asisten rumah tangga keluarganya saat masih ada mendiang Divia. Mbok Asna sudah seperti ibu bagi keluarga Danu, karena beliau bekerja dengan hati yang tulus. Dan karena rasa nyaman yang diterima dari keluarga besar Danu itulah Mbok Asna bisa bertahan sampai puluhan tahun.

Setelah sang istri meninggal, Danu mengajak Mbok Asna untuk menetap di rumahnya. Hal itu karena suami Mbok Asna yang pensiunan guru sudah meninggal. Di samping itu, beliau tidak memiliki seorang anak. Danu sangat bangga karena Dara bisa tumbuh menjadi anak yang kuat, meskipun ia tahu sehancur apa hatinya saat teman-teman Dara selalu bercerita tentang ibu mereka.

"Mbok!" rajuk Dara saat menemukan Mbok Asna menghampirinya di dalam kamar. Perempuan paruh baya itu lalu memeluk Dara dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Hanya di depan Mbok Asna Dara bisa menjadi diri sendiri. Ia tidak pernah malu untuk merajuk dan bermanja dengan pengasuhnya itu.

"Cup ... Cup ... ndak usah nangis tho, Non. Bapak begitu juga karena sayang pada Non Dara, percaya deh." Mbok Asna menepuk-nepuk bahu Dara dengan lembut, membuat gadis itu merasa nyaman dan lebih tenang.

Bagi Dara, Mbok Asna bukan sekadar asisten rumah tangga dan pengasuhnya. Dara sudah menganggapnya sebagai ibu, nenek serta penolongnya di kala dirinya sedang butuh perhatian seseorang. Selama ini Dara membutuhkan seseorang yang mengerti dirinya, ia tidak tahu dan sudah lupa seperti apa perhatian dan kasih sayang seorang ibu. Divia meninggal saat Dara masih berumur dua tahun, saat gadis kecil itu belum mengerti banyak hal.

"Tapi Mbok, masa aku harus menikah dengan lelaki itu sih. Lelaki kaku, irit bicara, dan tidak pernah senyum. Aku ragu, apa nanti aku bisa berkomunikasi dengannya?" Bukannya menjawab, Mbok Asna justru tersenyum melihat wajah cemberut Dara. "Kok Mbok malah senyum-senyum begitu, sih?" cicit Dara yang terlihat kesal.

"Maaf, Non, tapi semua yang Non Dara bilang tadi menurut si Mbok ndak benar. Mas Elang sering senyum kok kalau bicara dengan si Mbok, sifatnya juga hangat ndak kaku seperti yang Non bilang tadi. Terus, dia juga ndak irit bicara, irit duit iya mungkin." Mbok Asna terkikik sebentar. "Kadang, ya, Non, si Mbok sampai ndak ingat waktu kalau Mas Elang sudah cerita panjang lebar. Rasanya Mbok seperti sedang dibacakan dongeng." Mbok Asna kembali terkikik, dan hal itu membuat wajah Dara makin cemberut.

Dara termangu di tempat tidurnya, masa iya sifat Elang seperti itu? Setahu Dara, lelaki itu tidak pernah tersenyum, bercerita panjang lebar bahkan tertawa. Selama ini, Dara selalu melihat Elang dalam mode serius dan formal. Atau mungkin semua itu hanya karena tuntutan pekerjaan saja?

"Mbok yakin?" Dara masih tidak percaya dengan cerita yang diungkapkan Mbok Asna tadi.

"Makanya Non Dara harusnya apa, ya, namanya, kata-kata anak zaman sekarang?" Mbok Asna terlihat berpikir. Namun, tak lama kemudian ia kembali berkata, "Pedekate. Iya Non, pedekate dulu saja dengan Mas Elang. Lagi pula, Non akan menikah dengan Mas Elang biar lebih memahami karakternya."

"Aku malas, Mbok. Masa aku yang harus mendekati dia duluan. Big no, nanti dia besar kepala, Mbok." Dara masih memasang wajah kesal setelah mendapat nasihat dari pengasuhnya.

Mbok Asna hanya bisa menggeleng pasrah ketika mendengar jawaban Dara yang terlihat begitu gengsi. "Tapi si Mbok heran dengan Non. Kalian kan, dari kecil sudah sama-sama, kenapa Non seperti ndak paham sifatnya Mas Elang?"

"Ya, karena aku tidak menyukainya, Mbok!" Mbok Asna tidak bisa apa-apa kalau majikan mudanya sudah berbicara demikian. 

***

Dara duduk di depan layar 14 inci miliknya. Ia sedang melihat tayangan boxing workout milik Gigi Hadid. Selama ini, Dara belum pernah mencoba olahraga tersebut. Ia lebih memilih lari pagi, pilates dan terkadang yoga. Selain demi menjaga kesehatan, ia juga ingin mempertahankan tubuhnya agar tetap proporsional.

Dara kira, boxing adalah olahraga yang hanya diperuntukkan bagi kaum adam. Namun, setelah melihat tayangan Gigi Hadid tadi. Boxing actually looks kinda fun, pikir Dara. Mungkin lain kali ia harus mencobanya.

Dara melihat jarum jam beker di atas meja kamarnya yang bergambar bunga matahari. Tiba-tiba saja terlintas ingatan tentang jam tersebut. Jam beker itu ia dapat dari Elang, saat ulang tahunnya yang ke tujuhbelas tahun. Dara tersenyum samar, dan tak pernah menyangka lelaki itu memberinya benda pengingat waktu. 

Bukankah seharusnya gadis berumur tujuhbelas tahun mendapatkan hadiah gaun, parfum, jam tangan, sepatu dan barang mewah lainnya yang sedang tren pada masa itu? Atau minimal tiket nonton konser deh, yang pastinya Elang mampu membelikan untuknya.

Namun, saat Dara bertanya apa alasan Elang memberinya hadiah tersebut, lelaki itu hanya menjawab, "Dibandingkan semua barang yang kamu dapatkan, kamu paling butuh benda itu." 

Dara sadar, selama ini ia selalu kesulitan bangun pagi, tetapi bukan berarti Elang harus memberinya jam beker. Dara bisa saja mengatur alarm di ponselnya, meski hal tersebut selalu gagal membangunkannya. Beruntung, selalu ada Mbok Asna yang mengingatkannya untuk bangun. Kalau tidak, Dara akan terlambat pergi ke sekolah setiap harinya.

Dara merasa Elang selalu mengintervensi hidupnya, jangan begini lah jangan begitu lah. Dara benci itu semua. Dara benci diatur oleh Elang atas perintah papinya. Apa yang sebenarnya papinya lihat dari seorang Elang? Kenapa papinya seolah lebih menyanyangi Elang dibanding anaknya sendiri?

Memikirkan Elang membuatnya haus, Dara meraih botol minumnya yang ternyata dalam keadaan kosong. Lantas ia keluar kamar untuk mengisi kembali botol minumnya. Suasana di rumahnya sudah sepi, waktu memang sudah makin larut. Mungkin semua orang sudah tidur, pikirnya.

Dara bergegas menuju dapur. Namun, saat berjalan ke arah mesin air, Dara melihat sosok lelaki tengah berdiri di depan kitchen set. Dara berusaha mengabaikannya saja, lalu berniat menekan tombol berwarna biru hendak mengisi botol minumnya. Merasa ada seseorang yang datang, lelaki itu pun menengok ke belakang.

Dara mendesah pelan saat ia mengetahui water dispenser tersebut dalam keadaan kosong. Ia kembali menutup botol minumnya, dan berniat kembali ke kamar. Biarlah ia minum air dingin saja yang ada di dalam lemari pendingin.

Dara hendak mengambil air dingin dari dalam lemari es. Namun, belum sempat menuang, lelaki di belakangnya setengah berteriak, "Kamu bisa terkena flu kalau minum air dingin malam-malam begini!" Lelaki itu menghentikan aktivitas membuat roti panggangnya, lalu berjalan ke arah Dara.

Dara memperhatikan gerakan lelaki itu dalam diam. Sesekali ia melihat ke arah toster yang sedang bekerja.

"Sepertinya makan malam tadi tidak membuat perutmu terisi?" Dara melipat kedua tangannya di dada, masih memperhatikan gerakan lelaki itu saat mengisi ulang air ke water dispenser.

"Udara dingin membuat perutku terus berteriak."

"Kenapa tidak minta dibuatkan makanan? Aku ragu, perutmu bisa kenyang hanya dengan roti panggang."

Ia menggeleng lalu menjawab, "Roti sudah lebih dari cukup." Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk meminta botol minum yang dipegang Dara sedari tadi, lalu mulai mengisinya sampai penuh.

Satu hal yang baru Dara ketahui, bahwa lelaki yang ada di sampingnya ini sering kelaparan di tengah malam.

"Kenapa masih belum tidur?" Kini lelaki itu menatap Dara karena sudah menyelesaikan tugas mengisi airnya.

Dara tidak menjawab pertanyaan melainkan berkata hal lain. "Oh iya, aku ingin bertanya sesuatu." Dara memperhatikan gerakan lelaki yang kini sedang mencuci tangannya itu. 

Dara menarik kursi di ruang makan lalu duduk di sana. Wajahnya ia buat sedatar mungkin saat melihat lelaki itu memindahkan dua lembar roti ke atas piring saji. Kemudian lelaki itu duduk di depan Dara dan mulai menyantap roti panggangnya dengan santai.

"Mau?" Dara menggeleng cepat, tatapannya masih lurus ke arah lawan bicaranya.

"Elang!" Elang menengok sebentar lalu kembali menikmati rotinya. "Kenapa kamu setuju dengan perjodohan kita?" Elang masih diam tanpa memperhatikannya.

Dara kesal, karena Elang lebih fokus pada makanannya dibandingkan menjawab pertanyaan darinya. Selalu seperti ini, kenapa Elang sering bersikap seenaknya begini?

Mana sifat hangat, tidak kaku dan murah senyum seperti yang Mbok Asna bilang tadi siang kepadanya? Dara tidak mendapatkannya sama sekali tuh. Bahkan lelaki itu enggan menatapnya, walaupun mereka berdua sedang berhadapan seperti sekarang.

"Kamu mau terus mengabaikanku?" rajuk Dara tidak sabar. Elang menghabiskan rotinya dalam satu gigitan lagi, lalu menatap Dara dengan tatapan yang sulit dibaca. "Tolong jawab pertanyaanku dengan jujur!" Kini, tatapan Dara seolah hendak menghunus lawan bicaranya.

"Kenapa aku harus tidak setuju dengan perjodohan ini?" Elang bangkit berdiri kemudian berjalan menuju bak cuci piring, sementara Dara masih bergeming dengan segala macam pertanyaan di dalam kepalanya. “Tidurlah, ini sudah larut malam!”


29 April 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top