16 ~ Ada Apa?

Lelah? Sama, aku juga.
Ketika semua yang diharapkan tidak teraih,
justru di situlah ketahanan diri teruji.
Bisakah menerima? Sanggupkah menjalaninya?
Hanya diri yang mampu menjawabnya.

(L.K)

🍁🍁🍁

Beberapa hari berlalu dari sejak menghilangnya Dama hari itu, tetapi keluarga Renandito tampak seperti biasa saja. Padahal sebelumnya Dama sudah menyiapkan berbagai skenario yang akan disampaikan apabila keluarga mempertanyakan alasan kepergiannya.

Hanya saja, di rumah itu seperti tidak ada yang terjadi. Jika mendengar cerita dari sang kakak, terkesan bahwa Bapak, Abang, dan ibunya sangat panik. Bahkan Dama mengetahui bahwa Om Tito juga ikut mencarinya ke kota malam itu.

Hal ini menimbulkan tanya tersendiri untuk Dama. Ia sadar betul kesalahannya kali ini seharusnya membuat bapaknya marah besar. Sudah lelah dari luar kota, nyatanya anak bungsunya justru menghilang.

Apa mungkin keluargaku sudah nggak peduli lagi? Seharusnya anak pergi dinasehati, bukan dibiarin gini aja 'kan? batin Dama.

Pikiran buruk kembali singgah di benak Dama. Tidak berhenti di situ saja. Pemikiran lain juga turut menyerangnya. Di sekolah, lelaki itu lebih banyak diam dan berperang dengan batinnya sendiri.

Seharusnya ia bisa menikmati hari-harinya di sekolah karena sang kakak sudah bergabung dengan SMA Patriot Pancasila.

"Dam, mulai hari ini nggak usah naik bus lagi. Kamu berangkat sama Kakak," ujar Ibu Laras di suatu pagi.

Dama hanya mengangguk sambil menuntaskan sarapan paginya. Semua masih tampak normal dan bisa diatasi. Namun, pikiran Dama soal keluarganya masih belum selesai.

"Mulai sekarang kamu nggak akan terlambat, Dek. Ada kakak yang selalu nemani setiap harinya," celetuk Satya sambil mengendarai motor menuju sekolah.

"Kakak mata-matanya Ibu, ya?"

"Ha? Apanya yang kenapa?"

"Mata-mata, Kak! Bukan kenapa," teriak Dama di atas motor.

Seperti yang sudah-sudah, suara Dama terbang terbawa angin dan menyisakan suara vokal a saja dan membuat Satya menerka apa yang diucapkannya tadi.

"Oh, iya, emang nggak apa-apa."

"Allahuakbar! Nggak pernah bener ngobrol berdua di motor pas lagi jalan."

Dama mengusap dada beberapa kali karena terlanjur kesal dengan sang kakak. Ia menemuk pelan dan memberi kode supaya menepikan motornya.

Satya yang kebingungan langsung menurutinya. Begitu menepi, si tengah membuka helm dan menoleh ke belakang.

"Sekolah masih jauh, loh! Mau ke mana?"

"Aku turun sini. Nanti seisi sekolah heboh kalau tau aku sama kakak."

"Lah, semua sudah tau kalau kita saudara, ada yang salah?"

"Nggak enak saja."

Si bungsu turun dan beranjak meninggalkan kakaknya. Begitu memeriksa keadaan dan dirasa sepi, Dama langsung menyebrangi jalan dan setengah berlari supaya lekas sampai di sekolah.

Sejak kakaknya mengajar dan menjadi guru di sekolahnya, banyak teman-teman yang kurang percaya. Karena dilihat dari usia, mereka terpaut terlalu jauh.

Kakaknya yang waktu itu memang tidak langsung kuliah setelah lulus SMA, dan memilih lanjut kuliah setelah hampir tiga tahun menganggur. Hanya sesekali membantu keluarganya untuk mengurus sawah bersama si sulung.

Rata-rata teman-teman Dama menanyakan kebenaran ikatan persaudaraan itu. Bahkan beberapa ada yang usil dan membandingkan keduanya secara fisik dan kepintaran. Yang paling menyebalkan justru datang dari beberapa guru sepuh yang sudah mengabdi selama puluhan tahun di SMA Patriot Pancasila.

"Ternyata Dama ini adiknya Dasa Darma sama Tri Satya, ya? Pantesan, namanya gabungan dari kakaknya, ya?"

Dama hanya tersenyum canggung saat ia diminta mengambil buku tugas siswa dan mendengar celetukan dari salah satu guru yang pernah mengajarnya di kelas X.

"Tahu nggak, Nak? Dulu kakakmu itu menjadi kebanggaan sekolah. Pas tahu ternyata Asa nggak lanjut kuliah, rasanya itu kok yaa eman-eman. Sayang banget sama pinternya."

"Iya, Bu. Bang Asa tidak lanjut kuliah, tetapi sekarang sukses berwirausaha."

"Terus, ya, kalau Satya ini emang pinter. Di bagian akademik dan non akademik, cocoklah kalau misalnya dia jadi guru di sini."

"Iya, Bu. Sa—saya ...."

Dama yang hendak pamit untuk kembali ke kelas urung mengatakannya sebab si guru sepuh itu memotong pembicaraannya.

"Makanya, kamu juga harus contoh kakak-kakakmu itu, jangan justru bikin malu."

Mendengar tutur kata yang seperti itu, Dama tak enak hati. Sebab ia merasa tidak ada yang bisa dilakukannya untuk memandingi kepintaran dan menjaga nama baik kedua kakaknya. "Buku milik teman-teman sudah ketemu, Bu. Saya pamit dulu."

"Oh, sudah dapat? Inget, Nak. Di keluargamu nggak ada yang gagal jadi anak pinter."

Skakmat! Sebaris ucapan itu sukses menghujam jantung Dama.

🍁🍁🍁

"Oi, Dam! Lama nggak gabung sama kita," ujar Irza saat bertemu Dama di warung Mbak Yam.

"Bukannya kita sekelas? Masa gitu aja dah lama?" jawab Dama datar.

"Ya, maksudku kamu sudah lama nggak kelihatan di sini, Dam. Mainnya ke mana, sih? Di sini nggak ada, di kantin sekolah apalagi."

"Mager ketemu orang-orang, Za."

"Itu Pak Satya beneran kakakmu, Dam?"

Dama hanya mengangguk lalu meninggalkan Irza yang melongo di depan pintu masuk. Ia memesan secangki kopi dan membeli sebatang rokok. Belum juga menyalakan korek api, Irza sudah meraihnya dan menyembunyikan rokok yang tadinya terselip di antara jari telunjuk dan jari tengah Dama.

"Nggak usah sok bisa. Nanti keselek lagi, Dam."

"Nggak usah sok ngatur. Aku sudah bisa. Nggak percaya? Siniin makanya."

Lelaki pemilik mata sipit itu langsung meraih kembali miliknya. Korek api dinyalakan dan Dama mulai menikmati setiap tarikan napas yang penuh dengan nikotin memenuhi rongga parunya.

Irza mundur beberapa langkah sambil tersenyu. Seseorang yang awalnya parah soal rokok, kini sudah tampak lebih mahir darinya yang menjadi perokok sejak SMP.

Tidak hanya Irza, beberapa kakak kelas yang dulu pernah melihat kegagalan Dama dalam tahap uji coba merokok, mengacungkan jempol pertanda bangga pada adik kelasnya.

Belum juga habis sebatang rokok di tangannya, seorang kakak kelas mendekat kepada Dama. Dirangkulnya bahu si bungsu lalu membawanya ke teras.

"Aku salut sama kamu. Adik seorang guru, tapi berani merokok di sekitar kelas. Sudah bosan jadi anak baik?" ujar seseorang yang dikenal dengan nama Rico.

"Kakak saya memang guru, tapi apa saya nggak boleh punya kehidupan sendiri tanpa embel-embel statusnya yang guru?"

"Whoa, bisa dipercaya, nih! Aku kira kamu bakal jadi pengadu, ternyata kamu berprinsip."

"Kak, percaya saja sama Dama. Dia nggak akan cepu-in kita ke guru. Kalau iya, sama saja dia bunuh diri, nyari mati," ungkap seorang siswa yang Dama tahu setingkat dengannya hanya berbeda jurusan.

"Ya bukan apa-apa, musuh dalam selimut itu banyak, Bro. Jadi harus hati-hati." Rico menjawab sambil melirik pada Dama.

"Kalau emang aku yang lapor, kalian boleh lakuin apa saja sama aku, tapi kalau nggak terbukti? Kalian yang harus nurut apa kataku."

Dama menyelesaikan kalimatnya, membuang puntung rokok dan menginjaknya untuk mematikan bara api. Lelaki yang duduk di kelas XI itu beranjak meninggalkan gerombolan siswa di warung Mbak Yam.

Baru saja melangkah memasuki halaman area parkir, ia dikejutkan dengan kehadiran salah seorang siswa yang menjadi anggota Pramuka di sekolahnya. Lelaki yang Dama ketahui berasal dari kelas bahasa itu langsung berdiri tepat di hadapan Dama.

"Allahuakbar!" pekik Dama sambil mundur beberapa langkah supaya tidak menabrak seseorang di hadapannya itu.

"Eh, sori! Aku bikin kaget, ya? Maaf, ya?"

"Lain kali hati-hati kalau mau nyamperin orang." Dama melenggang dan tidak menunggu jawaban berikutnya dari si anak lelaki itu.

"Tunggu, Dam! Pak Satya minta aku untuk tanya ke kamu. Mau nggak kamu gabung di ekskul Pramuka? Sekarang yang jadi pembinanya itu Pak Satya."

"Nggak, makasih. Aku nggak suka kegiatan luar ruangan."

"Bukannya keluargamu semua anggota Pramuka? Kenapa nggak mau? Aku saja senang ketemu Pak Satya, prestasinya di Pramuka tuh nggak main-main, loh! Piala lomba waktu itu masih terpajang di sekret dan itu jadi kebanggaan kita."

"Itu Pak Satya, bukan aku. Aku nggak tertarik dengan Pramuka, terima kasih sudah meluangkan waktu, maaf aku nggak bisa gabung."

Dama pergi meninggalkan anak lelaki itu. Ia berjalan menuju kelasnya. Belum sebulan kakaknya di SMA Patriot Pancasila keadaan sudah seperti ini. Dama seperti tidak menemukan kedamaian.

Entah apa yang terjadi, ia merasa harinya sangat buruk saat ini. Sudah tidak terhitung rasanya, berapa kali Dama mendapat kata-kata yang selalu membandingkan dirinya dengan kakaknya.

Belum sebulan sudah begini, bagaimana Dama harus bertahan sampai lulus? Dama menggeleng, terlalu jauh ia membayangkan apa yang akan terjadi. Hidupnya sungguh tidak bebas, rasanya mendapat kedamaian adalah hal yang mustahil untuknya.

Meski dalam hatinya ia bersyukur sang kakak sudah mendapat pekerjaan, tetapi sisi lain hatinya menggerutu. Tidak bisakah orang-orang berbicara tanpa membandingkan? Sungguh, dibandingkan itu rasanya tidak enak. Merusak diri, hati, dan pikiran.

🍁🍁🍁

ANFIGHT FTV Series 2021

Bondowoso, 18 Desember 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top