09 ~ Sedikit Berbeda

Ada beda yang membuatku asing.
Semua masih sama, tetapi rasaku sudah tak di sana.
Menggiringku ke tepian yang tak berujung.
Membawaku ke singgasana tak bertuan.

(L.K)

🍁🍁🍁

"Bu, Bapak ke mana?" tanya Satya sambil menghampiri ibunya di dapur.

"Sudah berangkat tadi pagi, kenapa?"

"Ke mana? Bapak nggak bilang kalau mau pergi pagi ini."

"Ada cara sama paguyuban petani. Selama semingguan jadi perwakilan untuk bimbingan petani lokal. Seminggu berikutnya pertemuan sama petani dari lima kota tetangga katanya." Sang menjawab sambil melanjutkan kegiatan masaknya bersama satu asisten rumah tangga.

"Sibuk amat. Padahal petani aja kerjanya." Satya memilih untuk kembali ke kamarnya dan beberes sebelum berangkat menemui sang pujaan hati.

Sebelum sampai di kamar, ia masuk ke kamar sang adik. Niatnya untuk membangunkan si bungsu, tetapi rupanya sang pemilik kamar sudah siap dengan seragam dan tas ransel di punggung.

Satya menengok jam di dinding kemudian beralih menatap adiknya yang sedang mencari kaos kakinya di lemari.

"Pagi banget, Dam? Mau ke mana?"

"Sekolah. Emang udah pake seragam gini dikira mau ke mana?" jawab Dama sambil meninggalkan kamarnya.

Dama berpamitan langsung pada ibunya dan untuk kali pertama ia juga mengabaikan sarapan pagi yang sudah terhidang di meja. Padahal sebelumnya belum pernah sekalipun ia menolah masakan sang ibu.

"Dama sudah telat, Bu. Dama berangkat," ujar Dama sambil menarik tangan Bu Laras lalu mencium punggung tangannya.

Lelaki enam belas tahun itu tetap menolak sarapan paginya dengan berdalih akan terlambat jika harus menyantap sarapannya. Dama langsung berlari menuju jalan besar untuk menunggu bus yang biasa ia tumpangi.

Satu bus tampak dari kejauhan, tetapi bisa dilihat dari siluet penumpang sudah penuh dan berdesakan. Sekali lagi Dama melirik jam tangannya. Sepertinya menunggu bus setelah ini juga masih bisa terkejar dan sampai di sekolah tepat waktu.

Sialnya, bus kedua yang diharapkan tak kunjung hadir. Setelah menunggu lebih lama, bus ketiga akhirnya muncul dengan kondisi yang sama penuhnya seperti yang lewat pertama tadi. Mau tak mau, daripada terlambat sampai di sekolah, bergelantungan di pintu juga tidak masalah.

Keadaan bus yang melintas dan membawa penumpang dari desa Dama menuju sekolah memang begitu adanya. Armada yang ada sangat terbatas, sehingga meski penumpang sudah berdesakan, kondektur bus masih memaksakan dan menjejalkan penumpang.

Pelajar yang kebagian tempat duduk lebih sering memberikan tempatnya pada orang yang lebih tua, wanita hamil, yang sekiranya lebih pantas untuk duduk.

"Wes, pegangan yang kuat!" perintah kondektur bus pada Dama yang berada di pintu.

Dama mengangguk sebentar lalu menoleh pada orang yang berada di dekatnya. Ia menggeser tangannya dari gagang pintu dan meminta orang di sebelahnya untuk ikut berpegangan supaya tidak goyah saat bus berhenti.

Saat sampai di terminal, sebagian besar penumpang turun, hanya menyisakan beberapa penumpang dengan tujuan lebih jauh. Dama masih bertahan, sebab sekolahnya masih berjarak kurang dari lima kilometer lagi dari terminal.

Ia gelisah, berkali-kali melirik jam tangannya dan melirik ruang siaran yang belum mengumumkan pemberangkatan busnya. Dama bimbang, haruskah ia berlari dan mencari jalan pintas, atau bertahan sampai bus berjalan.

Dama hendak berdiri dan menuju pintu keluar, tetapi ruang siaran mengumumkan keberangkatan bus. Lelaki dengan seragam almamater sekolah SMA Patriot Pancasila itu bernapas lega.

Sekali lagi ia menikmati perjalanan menuju sekolahnya. Remaja penyuka makanan pedas itu merapal doa supaya ia tidak terlambat. Rupanya, keberuntungan sedang tak berpihak padanya. Gerbang sekolahnya sudah tertutup rapat.

Sial! Sudah usaha ga telat, masih juga telat, batinnya.

Begitu turun dari bus, Dama menoleh ke belakang dan ia melihat warung kopi yang biasanya menjadi langganan para pekerja dan penarik becak. Ia langsung masuk dan memesan secangkir kopi hitam beserta sepiring ketan bubuk hangat yang menjadi menu andalan di sana.

Rencannya sudah matang, apabila ia melihat teman dari kelas lain berolahraga, itu artinya gerbang samping sedang dibuka, itu adalah waktu yang tepat untuk menyelinap dan kembali ke sekolah.

Tidak perlu menunggu lama, Dama yang berada di seberang sekolah bisa melihat siswa sedang pemanasan di lapangan basket. Dengan cepat ia membayar dan mengambil ancang-ancang menyeberangi jalan.

Setelah menyeberang, Dama melompati pagar yang tidak terlalu tinggi dan berjalan pelan saat guru olahraga fokus memberikan arahan pada siswa. Ia lolos dan bisa masuk ke halaman sekolah melalui pintu samping.

Jalannya mulus, sampai akhirnya ia baru merasakan lututnya nyeri karena sok kuat melompati pagar. Dari kejauhan Dama melihat Irza sedang melambaikan tangan.

"Telat apa gimana? Ngapain masih di sini? Pak Surya sudah masuk di kelas, Dam."

"Terus, ngapain kamu malah keluyuran, Za?"

"Kamu yang keluyuran. Aku masih dikasih tugas ambil ini, nih," jawab Irza sambil menunjukkan sebuah tas hitam berisikan LED proyektor.

"Nyeri, Za. Boleh minta tolong bantuin ke kelas? Ntar bilang aja sekalian nyamperin aku di UKS, tapi asli ini lututku sakit."

"Hilih! Alasan bae, Dam," ujar Irza sambil menepuk lutut yang ditunjuk oleh Dama.

"Ish, asem! Ini sakit beneran, Za," sahut Dama sambil meringis.

Setelah perdebatan panjang, mereka akhirnya menuju kelas. Untuk kali ini Dama lolos dari drama terlambat sampai di sekolah. Ia juga melampiaskan kekesalannya karena bus tidak ramah pada pelajar karena jadwal kedatangan yang sering berubah.

"Kenapa nggak bawa motor, Dam? Bukannya kamu sudah bisa bawa motor?" tanya Irza di tengah perjalanan menuju kelas.

"Nggak dikasih izin sama Bapak."

"Bukan nggak dikasih izin, paling juga kamu belum minta. Atau emang nggak minta aja. Coba dong kayak yang lainnya, berani minta sama Bapakmu."

Percakapan singkat dengan Irza cukup membuat Dama membulatkan tekad untuk meminta sepeda motor pada keluarganya demi kelancaran perjalanan ke sekolah.

🍁🍁🍁

Gelap sudah lebih dominan di luar rumah. Namun, di dalam rumah ternyata juga masih gelap. Dama pikir dirinya adalah orang terakhir yang pulang, rupanya masih yang pertama. Ia mengecek ponsel barangkali ada pesan dari Ibu, Bapak, atau kakaknya.

Nihil. Dama menuju meja di teras dan mengangkat pot tanaman, di situ ada kunci rumah yang memangs sengaja ditinggalkan. Semua keluarga juga sudah tahu tempat meletakkan kunci jika rumah tidak ada penghuninya.

Seluruh sakelar lampu ia tekan untuk menyalakan lampu. Meski di rumahnya ada asisten rumah tangga, tetapi mereka tidak menetap. Hanya bekerja dari pagi sampai tengah hari. Selebihnya, mereka akan menemani sang ibu di toko.

Belum juga ia beranjak ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian, sebuah panggilan telepon masuk dari ibunya.

"Iya, Bu?"

"Sudah di rumah?"

"Hm," jawab Dama singkat.

"Dek, Ibu belum bisa pulang. Barang-barang di toko datangnya barengan, nih!"

"Nggak apa-apa. Dama sendiri dulu."

"Kakak belum balik? Habis ini Ibu cepat pulang. Kalau lapar lauk di kulkas tinggal dipanasin. Ada nugget sama rolade kalau nggak cocok sama yang disiapin tadi."

"Nggak usah, Dama makan apa yang ada saja."

"Nanti kalau kakak sampai jam 8 belum pulang ditelepon saja. Atau kalau mau, kamu ke rumah Abang Asa saja dulu biar nggak sendirian."

"Bu, aku sudah enam belas tahun. Nggak takut meski sendirian. Dama mau mandi dulu, setelah itu mau makan. Ibu jangan terlalu malam, jangan terlalu capek juga," ujarnya perlahan.

Percakapan itu diakhiri dengan salam dari Dama. Pelajar yang duduk di kelas XI itu memilih untuk berdiam diri sejenak. Ia merasa kecewa pada keluarganya. Padahal seluruh keluarganya sangat tahu bahwa dirinya tidak suka sendirian.

Entah kebetulan, atau memang takdir yang sudah menetapkan bahwa keluarganya mulai lupa dengan hal yang paling ia benci. Sendirian di rumah, gelap, teriakan di rumah, kurang dari seminggu semua itu sudah ia alami.

Si bungsu akhirnya urung untuk mandi dan makan. Ia mematikan lampu ruang tamu, ruang tengah dan dapur. Diraihnya ponsel yang tergeletak di sofa dan juga tas ranselnya. Masih lengkap dengan seragam almamater, ia berjalan kaki meninggalkan rumah dan menuju warung kopi tempat tongkrongan biasanya.

Sendiri di rumah yang sepi tentu sangat tidak nyaman, lebih baik mencari kesenangan untuk menenangkan dirinya sendiri. Toh, keluarganya juga sibuk dengan urusan masing-masing, kenapa juga ia tidak berusaha sibuk?

🍁🍁🍁

ANFIGHT FTV Series 2021

Bondowoso, 27 November 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top