08 ~ Tidak Ada Alasan

Seribu alasan diupayakan untuk lari.
Padahal beralasan bukan hal tepat untuk lari.
Aku berhenti beralasan karena semua sama saja.
Sebab alasan hanyalah kedok semata.

(L.K)

🍁🍁🍁

Sudah dua hari ini Dama menjalani hukuman yang ditetapkan oleh sekolah karena ia dianggap terlibat dengan tawuran antas sekolah tempo hari. Remaja belasan tahun itu memilih untuk tidak melakukan pembelaan apa-apa.

Bahkan teman yang diselamatkan olehnya juga tidak memberikan pembelaan untuk membalas jasa Dama. Justru beberapa memberi kesaksian bahwa Dama memang ada di tengah kekacauan di depan sekolah.

Inginnya memberi pembelaan, tetapi Dama rasa itu semua percuma. Sebab puluhan pasang mata lebih banyak memberi saksi tentang apa yang mereka lihat. Dan hanya dirinya yang tahu kenapa ia turut turun bersama teman-temannya.

"Dam, sisa berapa hari lagi?" tanya petugas perpus.

"Sisa besok saja, Pak."

"Setelah ini nggak usah kamu ikut-ikutan tawuran lagi. Kamu yang rugi, Nak. Nggak dapat apa-apa, malah dapat luka sama hukuman."

Dama hanya tersenyum sambil memawa buku yang sudah ditata kembali ke rak masing-masing. Ia sudah mulai nyaman berada di perpustakaan ini dan juga mulai betah dengan suasana hening.

Tidak begitu lama, bel berbunyi pertanda ia harus kembali ke kelas. Hukuman yang diberika oleh sekolah hanya berlaku dari jam pertama sampai selesai istirahat pertama, dan berlanjut lagi saat istirahat kedua dan jam pulang untuk membereskan bangku dan mengecek daftar peminjaman buku.

Sejak menjalani hukuman, Dama pulang ke rumah nyaris bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat. Ia seolah menghindari seluruh anggota keluarganya. Meski begitu, hanya ada satu orang yang setiap harinya selalu menyempatkan diri untuk ke kamarnya.

Kakak keduanya, si tengah yang cerewet dan usil. Satya selalu saja ada dikamar Dama saat si bungsu itu baru pulang sekolah. Entah memutar lagu, atau sekadar menyalakan lampu kamar yang sengaja dibuat redup itu.

Seperti hari ini, begitu Dama sampai di kamarnya, sang kakak sudah berbaring di kasur sambil memainkan remot yang bisa mengubah lampu kamar menjadi warna berbeda. Hijau, biru, merah, lalu berubah menyala bersamaan.

"Kalau gabut nggak usah rusuh di kamar orang, Kak."

"Dama, Dama, Dama, besok hari terakhir hukuman, ya? Kira-kira setelah ini ada lagi nggak?"

Sang adik hanya mengangkat bahunya sambil menaruh tas dan mulai membuka pakaian.

"Dam, tahu nggak?"

"Nggak, Kak."

"Ish, dengar dulu sampai selesai."

"Mau mandi, dah magrib. Kakak balik ke kamar sendiri sono."

"Dulu, Kakak sama Abang itu senang banget pas kamu lahir. Berharapnya sih cewek, eh malah cowok yang keluar. Kamu tuh jadi mainan kita, suka sengaja bikin kamu nangis, terus bapak sama ibu marah. Makin kamu dewasa, kok jadi susah diajakin bercanda, ya?"

"Bukan aku yang susah diajak bercanda, Abang sama Kakak sudah punya prioritas sendiri-sendiri, dan itu bukan aku," jawab Dama sambil melangkah masuk kamar mandi.

Satya tertegun mendengar jawaban sang adik. Benarkah yang adiknya katakan? Apakah ia terlalu nyaman dengan kesibukannya dan kehidupannya? Satya berusaha menepis segala pemikiran yang terlintas dalam benaknya itu.

Si tengah memilih untuk keluar dari kamar sang adik dan membawa sebaris kalimat Dama yang ternyata tetap terngiang di telinganya. Padahal, awalnya ia hanya ingin membawa topik tentang masa kecil yang bahagia atas kelahiran Dama, tetapi keadaan berbalik dan menyerangnya.

Sebelum kejadian tawuran, Dama paling suka dengan acara makan malam bersama keluarga inti. Namun, sejak kejadian itu, lelaki belasan tahun itu seperti menghindari setiap kegiatan yang berbau kebersamaan.

Seperti malam ini, begitu selesai menghabiskan makan malam yang disediakan sang ibu, Dama bergegas membawa piring kosong ke dapur, tetapi sebelum beranjak, Pak Renan lebih dulu menahannya untuk pergi.

"Letakkan di meja lagi piringnya! Bapak mau bicara."

Satya meluruskan punggung tanda ia menyimak perkataan si kepala keluarga. Begitu juga dengan Dama yang meletakkan piring dan membenarkan posisi duduknya.

"Mau bahas apa lagi, Pak? Anak-anak sudah lelah seharian dengan kegiatannya di luar rumah. Biarkan mereka beristirahat dulu," ujar Bu Laras.

"Dama sudah menjalankan sanksi dari sekolah? Sisa berapa hari lagi?"

"Sisa besok, Pak."

"Waktu itu Bapak belum dengar penjelasanmu. Sekarang jelaskan sama Bapak kenapa sampai kamu terlibat tawuran di depan sekolah, apa alasanmu, Dek?"

"Nggak ada alasannya, Pak. Bapak sudah dengar dari guru-guru dan seperti itulah kenyataannya. Toh mau dibahas kemarin, sekarang, besok sekalipun nggak akan mengubah apa-apa. Semua sudah terjadi."

"Setidaknya Bapak juga harus tahu apa alasan kamu, karena tidak seperti biasanya kamu seperti ini."

"Apa dengan menjelaskannya sekarang bisa membuat suasana rumah jadi nyaman buat Dama? Apa dengan alasan itu bisa bikin Dama tenang setelah dengar Bapak dan Ibu saling berteriak? Nggak, Pak!" tegas Dama dan selanjutnya ia langsung pergi meninggalkan meja makannya.

Satya yang melihat adiknya sedang dikuasai emosi meminta sang bapak untuk tenang dan mengejar si bungsu ke kamarnya. Hanya tersisa sepasang suami-istri di meja makan. Keduanya menghela napas dan bertukar pandang.

"Ibu bilang apa, Pak? Dama nggak paling nggak bisa kalau diajak membahas hal-hal yang sudah lewat. Dia paling nggak suka seperti itu."

"Bapak hanya butuh penjelasannya, Bu. Supaya kita nggak salah paham sama dia."

"Dari awal kita sudah salah, nggak dengar penjelasannya dulu malah mengabaikannya. Bahkan Ibu nggak tahu kalau ternyata Adek menahan sakit."

"Kalau nggak dikerasi dari awal Adek nggak akan jadi anak penurut, Bu. Bapak nggak suka kalau anak Bapak melawan dan tidak menghormati orang tua."

"Kurang nurut gimana Dama sama kita, Pak? Sama Abang dan Kakak dia juga nurut banget. Jadi nurut yang bagaimana yang harus Dama tunjukkan?"

"Sudah, Bu. Bapak nggak mau Adek dengar kita berantem lagi. Bapak nggak suka lihat Adek murung karena tingkah kita."

"Bapak harus minta maaf sama Dama."

"Nggak ada ceritanya Bapak minta maaf sama anaknya."

"Oh, ya? Kalau begitu jangan heran kalau nanti anak-anak Bapak nggak bisa bilang Maaf sama orang lain. Karena bapaknya saja angkung, enggan mengakui kesalaha."

Ucapan Ibu Laras yang pelan, tetapi nyelekit itu membuat Pak Renan bergidik ngeri. Ia lalu berpikir, apakah caranya mendidik anak salah? Atau adakah hal yang ia lewatkan sampai sang istri menjadi semengerikan itu?

Padahal selama ini Pak Renan adalah sosok yang selalu mengedepankan prinsip soal terima kasih, meminta maaf, dan selalu bersabar. Namun, kali ini semua seolah berbalik. Ia seperti lupa untuk meminta maaf, merasa benar terhadap semua yang ia lakukan, tetapi lupa untuk bersabar dalam menghadapi keluarganya sendiri.

🍁🍁🍁

ANFIGHT FTV Series 2021

Bondowoso, 25 November 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top