07 ~ Pemanas Saat Dingin Melanda

Saat sudah memanas, biarkanlah semakin panas.
Saat mulai dingin, berhenti untuk memanaskan lagi.
Saat sudah benar-benar dingin,
jangan menjadi pemanas saat dingin sudah melanda.
Jika ingin otakmu aman, dirimu sehat, emosimu terkendali
hindari segala benturan, baik panas ataupun dingin.

(L.K)

🍁🍁🍁

Suasana rumah yang biasanya ramai dengan obrolan atau canda berubah menjadi sunyi. Si kepala keluarga lebih banyak menghabiskan waktunya di sawah bersama para pekerja. Sementara si ibu negara lebih banyak menunggui toko pakaian tempatnya berusaha.

Dua hari sejak kejadian Bang Asa membawa si bungsu ke klinik, aura di dalam rumah mendadak suram. Apalagi tidak ada sosok bocah kecil yang biasanya mengundang tawa. Yaya sedang tidak di sana, ia tengan berada di rumah keluarga ibunya.

Hanya tersisa Dama, Kak Satya, dan Pak Re dan Bu Ras. Makan malam yang biasanya menjadi ritual dan ajang curhat justru lebih tenang. Hanya sesekali saja suara terdengar, yaitu saat waktu makan. Entah sarapan atau makan malam.

"Kak, bantu adek turun. Makan malam sudah Ibu siapkan."

Satya yang mendengar panggilan sang ibu langsung beranjak dan menuju kamar si bungsu. Empat jahitan bertengger di lutut Dama. Hal itu membuat kakinya terasa kaku. Belum lagi bengkak dan kemerahan semakin membuat kakinya tidak nyaman.

Meski tidak dibantu, sebenarnya Dama bisa saja menuruni anak tangga dengan bantuan pegangan tangga di sisi kanan atau sisi kirinya. Cukup bermodal hati-hati dan pelan-pelan.

"Dama bisa sendiri, Kak, kalau nggak dilatih, gimana bisa ke kelas besok?"

"Loh, bukannya kelasmu di lantai bawah?"

Dama mengangkat bahunya, "Ada perubahan kelas, soalnya di kelas XII ada yang disabilitas, makanya kelas XI ngalah dan dipindah di lantai atas."

Keduanya berjalan pelan menuruni tangga. Karena tidak telaten dengan langkah sang adik yang seperti siput, Satya menggandeng adiknya dan menjadikan badannya sebagai tumpuan untuk Dama.

"Lama! Lambung Kakak sudah nangis minta diisi," ujar Satya.

Mau tak mau Dama menurut. Ia juga merasa lelah, jadi tidak ada salahnya menerima bantuan dari sang kakak. Begitu sampai di meja makan, Pak Renan yang sudah menunggu mengangkat kepalanya yang sedang fokus memeriksa ponsel dan memberikan tatapan datar pada kedua anak lelakinya.

"Karena kesalahanmu kemarin, besok pas masuk langsung temui guru BK. Sekolah sudah menetapkan sanksi untuk siapa saja yang terlibat tawuran," ucap Pak Renan.

"Luka di kakinya masih basah, memar di tangannya juga masih terlihat jelas, biarkan Adek istirahat dulu, Pak." Suara ibu negara terdengar sama datarnya dengan ucapan sang suami.

Belum juga ada tanggapan dari si bungsu, si tengah mengalihkan percakapan. "Dam, ini kesukaanmu 'kan? Sama ini juga," tunjuk Satya sambil memindahkan lauk yang ditunjuknya ke piring Dama.

"Jangan banyak-banyak, Kak."

"Biar cepat sehat, Dam. Besok sudah harus masuk biar nggak kena marah lagi. Mau, ya?"

Dama langsung mengangguk cepat dan menerima pemberian sang kakak. Meski bapaknya tidak memberitahukan hal itu, Dama juga sudah paham dari kabar yang diberikan Irza padanya.

Berhubung Dama belum masuk sekolah, maka ia belum menerima sanksi dari sekolah. Biasanya, sanksi yang ditetapkan untuk mereka yang melakukan pelanggaran berat adalah skorsing, tetapi entah sejak kapan, hukuman skorsing ditiadakan di SMA Patriot Pancasila.

Alasannya sederhana, karena hukuman seperti itu hanya membuat siswa semakin senang tidak pergi ke sekolah, merasa bebas tugas, dan merasa damai tinggal di rumah seharian. Oleh karena itu, hukuman yang ada diganti dengan hukuman yang lebih mendidik.

Hukuman mendidik tentunya berbeda dengan hukuman fisik yang banyak diterapkan di sekolah-sekolah lain. Jika dulunya populer hukuman fisik dengan lari keliling lapangan, kini sudah banyak yang menerapkan hukuman itu berupa hukuman sosial.

Bisa membantu menjadi petugas perpus, petugas jaga di kantin, petugas jaga di UKS, setidaknya mereka yang dihukum bisa memberikan pelayanan yang baik pada teman-temannya, lebih mengerti akan tanggung jawab, dan mengerti akan kesusahan ketika bekerja dengan sungguh-sungguh.

Sedang enak menikmati makan malam, rupanya saudara spesial hadir lagi. Pintu samping dekat ruang makan terbuka, sosok lelaki dengan kemeja biru motif bunga-bunga langsung menampakkan cengiran khasnya.

"Oi, keluarga Pramuka! Ehh ... satu, dua, Dasa Darma ke mana?" tanya Om Tito sambil berjalan memutari meja makan dan mengambil posisi berhadapan dengan si kepala keluarga.

"Lagi di rumah mertuanya, To." Pak Renan menjelaskan dan melanjutkan sesi makan malamnya.

"Ras, minta piringnya, dong. Aku udah laper berat."

Ibu Laras langsung mengambil piring yang memang lebih dan disodorkan pada Om Tito. Si tamu tak diundang ini langsung bergegas mengambil nasi dan beberapa lauk mulai berdesakan di piringnya.

"Re, kamu nggak tau anakmu dah jago tawuran?"

Pak Renan memusatkan perhatiannya pada Om Tito.

"Siapa yang Om maksud? Aku?" tanya Dama.

"Loh? Kok ngaku? Padahal Om masih mau main tebak-tebakan.

"Basi, Om! Udah pada tahu," timpal Satya.

"Eh, makanya kalau punya anak itu harusnya kalian jaga baik-baik. Soal pergaulannya, teman-temannya, dan juga soal nilai-nilai akademiknya."

"Lah, emang anak Om udah jadi juara kelas sampai berani kasih masukan gitu ke Bapak?" Satya mulai tidak sabar menimpali suara sumbang itu.

Om Tito mengarahkan sendoknya yang penuh ke dalam mulut. Tidak butuh waktu lama, mulutnya sudah kosong. Ia mengambil gelas berisi air yang sudah disiapkan Ibu Laras di sisi kanannya.

"Nggak gitu, Dama ini biasanya jadi anak penurut, kalem, baik, kok ya bisa-bisanya dia malah jago tawuran? Kabarnya dapat skorsing, ya? Makanya nggak masuk sekolah sudah dua harian. Bener nggak, Ras."

"Dama sakit, Mas." Ibu Laras menjawab dengan sangat ketus.

"Kamu lagi, Ras. Jadi ibu itu harus tegas! Jangan klemar-klemer gitu. Nanti banyak ditipu sama anak-anakmu. Dipermainkan kamu sama anak-anak. Emangnya mau begitu?"

Dama melirik pada kakaknya. Wajah sang kakak sudah memerah. Sedikit lagi terpancing, sudah bisa dipastikan baku hantam akan terjadi. Beruntung Pak Renan lebih tanggap dan meminta kedua putranya itu tidak terpancing.

"Laras sudah sangat tegas mendidik anak-anak, To." Pak Renan membela belahan jiwanya.

"Kamu ingat nggak jaman kita sekolah? Kita sampai dirotan, dijemur sampai jam 12 siang, belum lagi kalau keliling lapangan, bagh ..., bisa sampai klenger, 'kan? Aku kadang heran kenapa pendidikan di Indonesia ini jadi lemah, benyek, kemenyek, letoy kayak gini."

"Zaman sudah berubah, Om. Sekolah saat ini lebih mengedepankan sekolah yang rama anak." Satya bersuara keras. Ia yang notabene lulusan S1 pendidikan memberikan pernyataan yang sama dengan apa yang ia terima di sekolah.

"Halah, sekolah ramah anak, tapi tidak ramah guru. Karena hasilnya adalah generasi tawuran yang mudah tersulut emosinya seperti Dama dan teman-temannya."

Merasa sudah tidak tahan karena disudutkan, Dama memilih untuk beranjak dan meninggalkan meja makan sebelum kepalanya pecah dengan ocehan tamu yang tidak diundang itu.

"Makannya, Dek?" Satya mencoba menawarkan.

"Sudah kenyang, Kak. Kenyang dengar kuliah tujuh menit dari Om Tito."

Dengan tertatih, Dama berjalan pelan menaiki tangga dan mengabaikan suara sumbang yang lagi-lagi mengomentarinya. Belum lagi sumpah serapah yang menuduhnya tidak memiliki dan cenderung kurang ajar karena tidak menghargai tamu.

Satya yang awalnya geram dengan ocehan Om Tito mendadak diam. Ia melihat Pak Renan berdiri dan langsung menarik tamu musiman itu menuju pintu ke luar.

"Aku mendidik anakku sesuai dengan zamannya. Jangan pernah bandingkan dulu dan sekarang. Kalau memang ada yang ingin dibicarakan, katakan saja. Tidak perlu menyudutkan putra-putraku. Kamu tahu jalan keluar? Apa perlu aku antar?"

Suara dalam dengan penuh penekanan itu sukses membuat Om Tito membisu dan melangkah perlahan kemudian meninggalkan halaman rumah Pak Renan.

🍁🍁🍁

ANFIGHT FTV Series 2021

Bondowoso, 21 November 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top