06 ~ Hening Seketika
Aku tidak suka pada sunyi, aku tidak suka pada sepi.
Semua itu menyiksaku, menusukku, lalu membinasakanku.
Aku tidak suka pada teriakan, bentakan, dan suara keras mengagetkan.
Semua itu membuat lidahku kelu, membisu, lalu terpaku.
Sekali tidak suka, aku tidak suka.
Pada sunyi dan hening yang menyapa.
(L.K)
🍁🍁🍁
Suasana SMA Patriot Pancasila masih tampak ramai. Beberapa wali siswa mulai berdatangan setelah mendapat telepon dari sekolah dan mengatakan bahwa putra mereka menjadi korban tawuran. Sebagian yang luka ringan ditangani oleh anak PMR, sedangkan yang luka lebih parah dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Dama yang mendapat luka memar di tangannya menetap di sekolah, luka memarnya sudah diberi kompres es untuk meringankan nyeri yang muncul. Ia menoleh saat ekor matanya melihat sosok lelaki mendekatinya di aula sekolah.
"Dam, mana yang luka? Kamu nggak apa-apa, Dek?" Lelaki itu adalah Bang Asa, kakak sulungnya.
Si bungsu hanya mengangkat tangan dan menunjukkan pada Bang Asa. Berikutnya ia bergeser dan bersembunyi di belakang si sulung saat melihat kedatangan Bapak dan Pak Surya.
"Dama sudah boleh pulang. Jangan lupa lukanya diobati, ya? Bapak harap untuk selanjutnya nggak usah kamu ikutan kawan-kawanmu yang suka memancing keributan. Tetap jadi anak baik, Nak," ujar Pak Surya sambil menepuk bahu Dama.
"Pamit dulu sama Pak Surya dan guru lainnya." Suara Pak Renan membuat Dama merinding. Aura bapaknya terasa sangat berbeda.
Ketiga lelaki berbeda usia itu berjalan menuju halaman sekolah, menuju salah satu mobil yang terparkir. Suasana canggung langsung terasa begitu memasuki mobil. Dama yang duduk di kursi tengah memilih melihat ke luar jendela. Sementara si sulung sesekali menoleh untuk melihat keadaan si bungsu lebih jelas.
"Fokus sama yang di depan, Bang."
"Iya, Pak, maaf," jawab Bang Asa. "Ini langsung pulang atau Adek mau dibawa ke klinik dulu?"
"Langsung pulang, adikmu nggak apa-apa. Di rumah ada salep untuk memar," ujar Pak Renan.
Sepanjang perjalanan pulang ketiganya bungkam. Hanya deru kendaraan dan angin yang mengisi kesunyian. Begitu mobil memasuki halaman rumah, keluarga lainnya sudah menunggu di teras.
Si tengah langsung merapat dan membuka pintu belakang tengah. Dia melihat si bungsu masih bisa turun dari mobil tanpa bantuannya. Ia amati dengan saksama keadaan adiknya, barulah dituntun menuju teras.
Ibu Laras langsung menabrak tubuh si bungsu. Dikecupnya kening dan pipi Dama sambil memeriksa sekujur tubuhnya. Sedangkan si kepala keluarga tanpa banyak kata masuk rumah dan mengabaikan Satya yang bertanya bagaimana kronologi kejadian tawuran di sekolah adiknya.
"Adek nggak apa-apa? Mana yang luka, Nak? Ada yang sakit?" Ibu Laras tidak berhenti bertanya hal yang sama pada putra bungsunya.
Sementara yang ditanya hanya mampu menggeleng. Ia terlalu kaget melihat reaksi keluarganya. Baru saja dikabari dirinya jadi korban tawuran, kehebohan langsung terjadi. Kekhawatiran keluarganya juga sangat terlihat jelas.
"Bu, biar Adek bersih-bersih dulu. Nanti Abang minta Salsa untuk bantuin ngobatin lukanya adek."
Dama langsung beranjak dan menuju kamarnya setelah sang ibu mengangguk setuju. Sepeninggal Dama, yang lainnya kembali ke kamar masing-masing. Begitu juga dengan Ibu Laras yang langsung menyusul suaminya.
Begitu selesai mandi, barulah Dama merasakan perih di kakinya. Ia melihat lututnya berdarah sampai menetes di lantai. Buru-buru ia mengambil handuk yang baru saja dicampakkannya di kasur untuk menekan luka di lututnya.
Rupanya ia tidak menyadari kapan luka itu didapatnya. Bahkan ia juga tidak tahu bahwa celana abu-abunya itu sudah berlubang dan berubah warna menjadi kemerahan di bagian depannya. Lelaki dengan kaos berwarna navy dan celana training yang tergulung sebelah itu beranjak.
Masih dengan handuk yang melilit di lukanya, ia berjalan tertatih untuk menuruni tangga. Baru sampai di pertengahan, terdengar suara bapak dan ibunya yang meninggi saling bersahutan.
"Biarin Adek istirahat dulu. Kalau Bapak mau marah, tunda dulu. Adek tuh pasti masih kaget, Pak."
"Ibu kebiasaan, kalau anaknya salah pasti dibela!"
"Kenapa nggak sekalian di jalan pulang dimarahin, biar cepat selesai. Jadi sampe rumah tinggal diem, istirahat."
"Mana bisa begitu? Yang ada malah Abang nggak konsen bawa mobil dengerin Bapak ngamuk."
Suara keduanya makin keras dan tidak ada yang mau mengalah. Dama berhenti di tengah tangga dan terduduk di sana dengan tangan yang terus menekan luka. Bang Asa dan Kak Satya yang mendengar suara keributan dari teras rumah akhirnya masuk dan melihat si bungsu yang terpaku.
"Lututnya kenapa berdarah lagi? Bukannya sudah diobati, Dek?" tanya Bang Asa.
Dama menggeleng, "Malah baru tau kalau ada luka di lutut, Bang."
Saat Bang Asa mendekati Dama untuk melihat lukanya, Kak Satya menuju ke arah suara bapak dan ibunya yang masih beradu argumen.
"Lukanya dalam, Dek, sepertinya harus di jahit. Kita ke klinik saja, ya?"
"Bisa minta tolong Mbak Salsa saja yang ngobatin?" pinta Dama.
Di antara jeda pembicaraan Dama dan Bang Asa, terdengar suara Satya yang meninggi meminta kedua orang tuanya itu berhenti berdebat. Dama tertunduk semakin dalam, karena dirinya rumah yang biasanya ramai celoteh riang berubah menjadi ajang adu suara keras.
Ia muak, kesal dan mulai lelah mendengar suara yang tidak biasa didengar. Si bungsu merutuki kebodohannya dan mulai memukul kepala dengan tangannya yang terkepal. Bibirnya bergerak mengucap kata bodoh berkali-kali selaras dengan pukulan yang semakin keras di kepalanya.
Bang Asa yang awalnya hendak memanggil Satya urung karena melihat pergerakan adiknya yang memukul kepala. Dengan sigap ia menahan kepalan tangan si bungsu dan merengkuhnya.
"Satya!" teriak Bang Asa. "Siapkan mobil, antarkan ke klinik!"
"Ke-napa dibawa ke klinik?" tanya Satya dengan suara yang tiba-tiba memelan setelah melihat handuk di lutut Dama sudah mulai memerah.
Bang Asa melilit dan mengikat handuk itu supaya tidak terlepas dan meminta si bungsu untuk naik ke punggungnya. Si tengah yang sudah paham situasi langsung berlari dan menuju mobil yang terparkir di halaman.
Mendengar suara gaduh anak-anaknya, Pak Renan dan Ibu Laras keluar untuk melihat keadaan. Mereka nyaris saja menabrak Bang Asa yang membawa Dama di punggungnya. Sorot mata anak pertama itu menjadi sangat tajam.
Lirikan tak mengenakkan ia tujukan pada bapak dan ibunya. "Selesaikan selama kami pergi. Bapak sama Ibu lupa dengan pesang Abang? Kalau lupa, nanti Abang ingatkan lagi."
"Adek mau dibawa ke mana, Nak?" tanya Ibu Laras sambil berusaha menyentuh punggung Dama.
"Abang mau bawa ke tempat yang nggak ada suara teriakan seperti di sini."
Ucapan tegas dari si sulung membuat si kepala keluarga dan ibu negara terdiam. Keduanya hanya bisa melihat tanpa berani mengikuti putranya menuju mobil. Begitu mobil menjauhi pekarangan, barulah mereka bertukar pandang lalu tertunduk.
Ibu Laras melihat bagaimana punggung si bungsu itu bergetar, sementara kepalanya ia tenggelamkan pada ceruk leher si sulung. Seperti tertampar oleh keadaan, keduanya memilih untuk duduk dalam dian di teras rumah yang sunyi.
🍁🍁🍁
ANFIGHT FTV Series 2021
Bondowoso, 18 November 2021
Na_NarayaAlina
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top