04 ~ Adaptasi
Katanya, kita bisa mengenal tabiat seseorang
dari siapa saja yang menjadikannya kawan.
Katanya, jangan suka pilih-pilih teman.
Nyatanya memang tidak semua teman bisa berlaku baik.
Lain di depan, lain di belakang.
Seperti dua sisi mata uang.
(L.K)
🍁🍁🍁
Liburan telah usai, sudah saatnya kembali ke sekolah dan menempati kelas baru. Semangat baru akan terlihat saat siswa berlomba-lomba untuk tempat duduk dengan posisi yang strategis. Berbeda dengan Dama yang justru datang nyaris bersamaan dengan dering bel masuk.
Lelaki yang duduk di kelas XI itu langsung menuju papan pengumuman untuk melihat pembagian kelas. Dengan jumlah siswa seangkatan yang hampir mencapai tiga ratus orang, sudah pasti harus membaginya ke dalam beberapa kelas.
Dama langsung berlari menuju kelas untuk meletakkan tasnya terlebih dahulu sebelum menuju lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Kelasnya sudah mulai sepi, hanya tersisa satu atau dua siswa laki-laki yang kebingungan karena tidak membawa topi.
"Dam, bawa topi cadangan?" tanya seorang siswa yang lebih tinggi.
Dama hanya menggeleng, ia familiar dengan lelaki yang mengajaknya berbicara, tetapi sama sekali tidak ingat siapa nama teman sekelasnya itu. "Aku ke lapangan dulu."
Tanpa menunggu balasan jawaban dari dua siswa tadi, Dama langsung berlari ke lapangan. Karena semua sudah rapi dengan barisan kelas masing-masing, sementara Dama masih asing dengan temannya di kelas XI, maka ia menyelinap di jajaran siswa yang menjadi teman sekelasnya di kelas X.
Hari pertama sekolah, tahun pelajaran baru adalah hari yang sulit untuk Dama. Ingin rasanya protes dan mengajukan kebereratan dengan perombakan kelas. Ia sangat tidak suka dengan situasi dan teman baru di setiap jenjangnya.
"Oi, Darma Satya Renanda!" panggil Irza—temannya semasa kelas X—begitu upacara selesai dan barisan dibubarkan.
"Za, ada apa?"
"Kita sekelas lagi, dong. Kuy, ikut kita dulu ke warung Mbak Yam. Guru-guru nggak akan langsung masuk. Aku dengar akan ada rapat guru selama dua jam pelajaran di awal. Bebaslah."
Irza menggiring Dama dan mengajaknya bergabung dengan beberapa siswa kelas lainnya. Mereka menuju warung langganan tempat ngopi, merokok, bahkan bersembunyi dari pelajaran yang tidak disukai.
Dama canggung dengan suasana riuh di dalam warung, sehingga ia memilih untuk mojok di sisi bagian belakang dan sedikit tersembunyi.
"Dam, Dama? Ke mana ni anak!" teriak Irza dari dalam warung.
Merasa namanya dipanggil, Dama mencari arah suara Irza. Begitu kedua mata saling bertemu, Irza melemparkan sebungkus rokok ke pangkuannya. Dama yang memang belum pernah merokok akhirnya merasa penasaran.
"Boleh minta?"
"Ambil aja kalau emang bisa ngerokok. Abis itu sebelum balik ke kelas pakai parfum dulu buat nyamarin bau asapnya," saran salah seorang siswa di samping Irza.
"Makasih." Dama langsung menarik sebatang rokok dan meraih korek api yang disodorkan Irza.
Mendadak, degup jantung Dama meningkat. Ini adalah kali pertama ia menyentuh barang yang bahkan tidak pernah ada di dalam keluarga intinya. Tarikan napas diambilnya bersamaan dengan rokok yang sudah tersulut.
Asap bernikotin langsung memenuhi rongga dadanya. Namun, Dama belum terbiasa dengan asap yang mengepul hingga tersedak dan terbatuk beberapa kali. Sebagian teman di sekitarnya tertawa melihat Dama yang sedang belajar merokok.
Sedangkan Irza langsung mengambil alih rokok dari tangan Dama dan mematikan bara api di ujungnya. Lelaki itu bergegas menepuk punggun temannya.
"Nggak usah sok bisa kalau masih belajar, Dam. Lagian nggak biasanya kamu langsung mau ditawari rokok."
"Uji coba, Za. Kemarin pas mantai sama anak-anak rumah mereka nggak kasih pas aku minta rokoknya.'
"Ya gimana mau kasih kalau sekali hisap aja langsung bengek!" ujar Rizvan—teman SMP sekaligus teman sedesa Dama.
"Guys, nanti siang hati-hati, anak SMA kota sebelah ada yang nantangin!" ujar salah seorang siswa kelas XII.
Dama mengenal sosok kelas XII yang baru saja berbicara. Ia adalah pentolan dari sekolah. Suka mengundang keramaian, mencari masalah, tetapi solidaritas dan loyalitasnya tinggi pada sesama temannya. Juga sebuah nilai setia kawan yang selalu dibanggakan.
"Rame nih, ntar siang. Kelas XI boleh ikutan nggak, Kak?" celetuk Rizvan.
"Sok lah, siapa yang mau ikutan persiapkan diri. Ingat keselamatan kalian adalah tanggung jawab bersama. Jadi jangan sampai menyusahkan, ya!"
Rencana untuk tawuran dadakan di hari pertama ajaran baru akhirnya terbentu. Dama yang awalnya menjadi pendengar merasa ada dorongan untuk turut serta bergabung bersama teman-temannya.
Bisa dibilang ini adalah tindakan bodoh, tetapi tidak juga jika yang ia lakukan ini untuk membela nama baik sekolahnya. Perlahan adaptasinya di kelas XI mulai terbentuk, bukan di dalam kelas melainkan di warung Mbak Yam.
"Za, nanti aku ikut."
"Apaan dah? Nggak ada, nggak usah ikutan. Kamu tuh citranya anak baik, Dam. Kalau ikutan apa kata Pak Surya? Bisa-bisa ceramahnya ke kita bukan ke kamu, Dam." Irza menolak mentah-mentah permintaan Dama.
Pak Surya yang dimaksud adalah guru agama yang jatuh hati pada bacaan Al-Quran yang dilantunkan Dama pada saat test masuk SMA. Sehingga setiap kali bertemu dikelas, beliau selalu saja memuji dan meminta Dama yang membacakan potongan ayat yang berkaitan dengan pelajaran hari itu.
"Citra baik nggak mengharuskan aku selalu baik, Za."
"Lain kali saja, gimana? Ehh, mending nggak usah. Ntar dikira aku yang ngajak-ngajak."
Dama menghela napas, ia menatap Irza sejenak lalu beranjak. "Aku balik ke kelas duluan."
Lelaki dengan seragam putih abu-abu itu berjalan keluar warung dan menyeberangi lapangan kemudia memasuki halaman sekolah. Ia berjalan pelan, pikirannya kembali pada hari saat egonya memuncak.
Dama benar-benar pergi ke pantai bersama teman-temannya tanpa izin dari kedua orang tua. Bahkan sang kakak yang biasanya tahu sepak terjang si bungsu juga tidak tahu. Barulah saat pulang dari pantai di hari berikutnya, si bungsu menjadi terdakwa dalam sidang keluarga.
Untuk pertama kalinya kala itu Dama melihat bapaknya marah besar. Sebuah kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun akhirnya runtuh dalam sehari semalam karena kebohongannya.
Dama berbohong, ia pamit akan keluar sebentar dan main di rumah salah salah satu teman SMP-nya. Namun, sampai tengah malam ia tidak juga pulang. Panggilan telepon dari bapak, ibu, dan keluarga lainnya juga ia abaikan.
Suasana rumah yang sepi saat itu membuat Dama memilih memasuki rumah melalui pintu samping yang tembus di ruang makan. Ia berjalan pelan supaya tidak mencuri perhatian, sialnya sang keponakan yang kala itu sedang bermain melihat kedatangannya.
"Yeay, Om sudah pulang!" teriak Yaya.
Seluruh kepala yang sedang berkumpul di ruang tengah menoleh dan membuat Dama membeku. Ia lantas berjalan menghampiri keponakannya dan menuju ruang tengah untuk mengakui kesalahan yang membuat semua orang khawatir.
"Sudah puas main-mainnya? Apakah sebegitu sulitnya untuk meminta izin?" suara tegas Pak Renan bergema di ruang keluarga.
Mbak Salsa—istri Bang Asa—memilih untuk mengajak Yaya bermain di luar. Sementara Bang Asa beranjak dan merangkul Dama lalu mengajak untuk duduk di sampingnya.
"Maaf, Pak."
"Sebuah kesalahan yang paling tidak bisa Bapak toleransi adalah berbohong. Kamu pamit mau main, nyatanya nggak pulang sampai sehari semalam. Sudah belajar untuk menjadi pembohong rupanya?"
"Bukan gitu, Pak. Dama pengin bisa keluar sama teman-teman. Nggak yang selalu dikekang nggak boleh begini, nggak boleh begitu."
"Kamu nggak lihat Abang sama Kakak, adakah yang berbohong dan membangkang saat diberitahu? Nggak bisakah kamu menurutu saja?" Nada bicara Pak Renan semakin meninggi.
Kurang nurut bagaimana Dama selama ini? Padahal ia sudah berusaha untuk selau diam dan menurut. Ternyata apa yang dilakukannya masih saja kurang dan dibandingkan dengan kedua kakaknya.
"Dama bukan Abang juga bukan Kakak. Apa Bapak nggak bisa lihat Dama adalah Dama?"
"Dam, jaga bicaranya sama Bapak." Abang Asa menepuk paha Dama pelan.
"Sudah berani pakai nada tinggi rupanya. Mana Dama yang lembut dan sopan? Apa susah untuk menjadi anak baik?"
Begitu disinggung soal anak baik, Dama langsung berdiri. Dengan wajah yang merah padam ia berteriak, "Dama bukan anak baik, bukan penurut, bukan juga kesayangan Bapak sama Ibu seperti Abang dan Kakak!
Setelah teriakannya kembali terdengar, Dama tersadar ia sudah dekat dengan kelasnya. Lelaki itu menghela napas sambil meneruskan langkah kakinya memasuki kelas.
Di sekolah dicap anak baik, padahal di rumah dianggap pembangkang. Ah, kehidupan gini amat! Dama bergumam pelan.
🍁🍁🍁
ANFIGHT FTV Series 2021
Bondowoso, 12 November 2021
Na_NarayaAlina
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top