03 ~ Kecurangan Dalam Liburan

Adakah adil dalam kehidupan?
Bagi sebagian yang bisa menerima mungkin ada.
Namun, tidak untuk mereka yang ragu pada adil.
Karena pada dasarnya manusia memiliku "adilnya" sendiri.

(L.K)

🍁🍁🍁

Waktu masih menunjukkan pukul lima pagi, tetapi Ibu Laras sudah dua kali menggedor kamar Dama. Si bungsu yang kembali tidur setelah salat subuh itu begitu sulit untuk dibangunkan.

"Dama, bisa nggak anterin Ibu ke pasar?" ujar Ibu Laras sekali lagi.

"Kak Satya saja, Bu, Dama masih ngantuk."

"Ya gimana nggak ngantuk, disuruh pulang jangan malam-malam malah pulang pagi. Pokoknya Ibu tunggu kamu saja. Kakak nggak bisa diganggu soalnya semalam lanjut beresin tugas Mbak Syifa."

Nama tunangan dari kakaknya kembali di sebut. Memang begitu sayangnya si tengah kepada tunangannya. Sampai tugas kuliah juga dibantu. Awalnya Dama memaklumi, tetapi semakin lama ia merasa sang kakak lebih memprioritaskan tunangannya daripada ia dan keluarganya.

Dama hanya mampu berdecak kesal sambil mengeratkan genggamannya. Ditendangnya selimut yang menutupi tubuhnya beberapa kali berikut dengan tinju yang mengarah ke udara.

Lelaki dengan rambut ikal itu menoleh pada cermin di lemari pakaiannya. Allahuakbar, aku dah persis kecoa terbalik, batin Dama. Ia lantas beranjak dan langsung menuju kama mandi untuk mengabulkan permohonan ibu negara.

"Bu, jadi diantar ke pasar? Dama sudah siap."

"Nah, gitu kan cakep. Liburan itu harusnya dimanfaatkan dengan baik, bukan sekadar diam di rumah, nongkrong, tidur."

"Liburan itu seharusnya dimanfaatkan untuk beristirahat dari segala kegiatan yang menguras tenaga dan pikiran. Bukan malah nambah kerjaan di liburan." Dama berkilah.

"Nyaut saja kalau dibilangin. Hayuk berangkat, keburu kehabisan bahan nanti kalau kesiangan."

"Ibu yang ngajak ngobrol, Dama yang salah. Sabar, sabar, anak sabar sawahnya paling lebar!" lirih Dama sambil mengikuti ibunya yang sudah menuju halaman.

Definisi mengantarkan Ibu ke pasar pagi hari bukan dengan kendaraan tertentu, melainkan menemani Ibu bercerita sepanjang jalan menuju pasar tentunya dengan berjalan kaki.

Dama yang sebenarnya lebih irit berbicara mau tidak mau menanggapi setiap obrolan yang dibahas ibunya. Mulai dari kelucuan Yaya, tunangan si tengah yang kemarin baru saja mengirim bingkisan berupa buah, sampai salah satu kenalan di desa sebelah yang akan mengadakan pesta pernikahan.

"Kenapa Ibu nggak pernah minta antar Bapak ke pasar? Kan bisa lebih mesra."

"Pas Ibu masih punya Abang sama Kakak sudah terlalu sering ditemani ke pasar. Mumpung Dama libur, makanya gantian dulu. Sekarang Ibu pengin sering-sering sama kamu. Nggak apa-apa?"

Dama mengangguk, "Kenapa nggak Kak Satya diajak sekalian biar rame?"

"Kakakmu kalau jam tidurnya kurang suka ngelantur ngobrolnya. Ibu yang capek dengerin. Oh iya, nanti siang jangan lupa antar kiriman nasi untuk orang-orang yang kerja di sawah, ya?"

"Kakak saja, Bu."

"Anak gantengnya Ibu, mau yaa?"

Lelaki dengan kaos warna denim dan celana training berwarna hitam akhirnya melunak. Ia paling tidak bisa menolak saat ibunya sudah memanggilnya seperti itu. kata-kata ajaib yang membuatnya luluh.

Sepulang dari pasar, Dama memilih beberapa jajanan hasil menjelajah isi pasar. Sebuah kesempatan yang tidak ingin dilewatkan saat ia mengunjungi pasar. Sementara itu, sang ibu kembali sibuk memasak.

"Dam, ini sudah beres, tinggal tunggu Mas Isa jemput ke sini."

"Kalau sudah ada Mas Isa kenapa Dama juga harus ikut? Kan sudah dijemput, Bu?"

"Mas Isa pake motor cowok, bukan motor bebek. Susah naruh barangnya, Dam."

"Iya, deh. Liburan kali ini Dama produktif, tapi pengin diulang lagi soalnya banyak kecurangan. Nggak jadi libur ini mah ceritanya."

Si penjemput akhirnya tiba, Dama mengikutinya sambil membawa barang yang sudah disiapkan Ibu Laras. Keduanya menyusuri jalan desa dengan motor sambil menikmati pemandangan sawah yang mulai menghijau.

Tanaman padi menghampar di hadapannya, selain itu ada juga tanaman sayur seperti kacang panjang dan timun. Sebagian lainnya ditanami cabai dan kedelai. Sungguh salah satu keuntungan tinggal di desa adalah mendapat pemandangan dan udara sejuk.

Bahkan ada yang bilang jika ingin memperbaiki kualitas pengelihatan setelah lelah bekerja di depan alat elektronik, ataupun menghadapi berkas dengan tulisan beragam yang harus dicari selanjutnya adalah pemandangan hijau.

Begitu sampai di tujuannya, Dama bergegas menghampiri Pak Renan yang memberi arahan pada orang-orang suruhannya di sawah. Dama berselonjor di pematang sawah setelah meletakkan bawaannya.

"Capek, Dam?"

Dama hanya menganggguk, ia mengambil piring plastik dan digunakannya sebagai kipas untuk menghalau panas.

"Gini dah kalau kerja di sawah. Berminat buat ngurus ini, nggak?"

Lelaki itu hanya menggeleng, ia tahu batasan dan kemampuannya. Lagipula, Dama sama sekali tidak tertarik dengan dunia pertanian. Mungkin Abangnya yang sedang mengembangkan usaha kuliner lebih paham akan hal ini, pikirnya.

"Abang lebih cocok ngurusin ini, Pak. Emangnya kalau Dama yang urus, Pare bisa percaya?"

"Kamu ini, masih saja panggil Pare. Nggak sopan, Dam. Awas saja kamu masih panggil Buras ke Ibu."

"Pare, Pak Renan. Buras, Ibu Laras. Nggak ada yang salah, Pak. Kata Kak Satya itu panggilan sayang."

Pak Renan menghela napas, ia sudah mati kutu jika harus berdebat dengan si bungsu. Padahal kalau sedang irit bicara Pak Renan akan mati-matian mencari topik untuk sekadar berbicara dengannya. Namun, saat jiwa usilnya lebih dominan siapa saja yang dihadapi akan takluk.

"Itu sawah bagianmu, Dam. Sebelahnya yang lagi ditanami cabai itu bagiannya Kak Satya. Kalau yang di belakangmu itu bagiannya Abang. Itu sudah Bapak rundingkan sama ibu," ujar Pak Renan sembari menunjuk lokasi yang dimaksud.

Si bungsu terdiam, baru saja naik kelas XI ia sudah diberi pembahasan soal pembagian tanah. Dama tak habis pikir dengan keluarganya yang kata warga di sana adalah pemilik tanah terluas di desanya dan termasuk petani sukses.

"Kalian tiga bersaudara laki-laki semua, sudah sewajarnya dapat bagian sama rata. Pesan Bapak, jangan kalian ribut soal harta selama Bapak sama Ibu masih ada. Kalian akan tercukupi."

"Misalkan nggak ada Bapak sama Ibu, Dama juga nggak akan ribut soal harta. Biar semua apa kata Abang dan Kakak, mereka nggak akan nelantarin Dama 'kan, Pak?"

Lelaki yang dengan usia lebih dari setengah abad itu tersenyum. Ia menatap wajah putra bungsunya. Jauh di lubuk hatinya ada rasa bangga yang menimbulkan hangat. Tidak disangka pemikirannya sudah sejauh itu.

"Tergantung kamu, Dam. Kalau nggak macem-macem ya aman, tapi kalau bikin masalah kamu hadapi saja dua kakakmu itu. Bapak sama Ibu tinggal lihat saja," ujarnya sambil tertawa.

Dama mendongak dan melihat bapaknya. "Pak, Dama minta izin mau ikut teman-teman ke pantai. Liburan sudah hampir selesai, tapi Dama masih nggak ada liburnya."

"Bilang sama Ibu, kalau dari Ibu kasih izin, Bapak izinkan. Kalau nggak dikasih, Bapak bisa apa melawan ibu negara?"

Berganti giliran Dama yang menghela napas. Kalau sudah menyangkut ibunya, maka bersiaplah dengan ratusan penjelasan dan ribuan alasan untuk menguatkan supaya izin didapatkan.

Mungkin begitu nasib bungsu, melihat saudaranya begitu mudah mendapat izin keluar rumah, main, bahkan menginap di rumah teman. Berbeda dengan anak bontot yang biasanya akan ditanya lebih panjang daripada kereta dan lebih komplit dari isian martabak spesial.

Bisa lolos pun pasti dengan syarat yang beranak-pinak. Belum lagi persiapannya harus di bawah kontrol orang tua. Hal ini yang sering kali membuat Dama memilih untuk berdiam diri di rumah daripada berdebat panjang.

"Cuma nginap sehari saja, Pak. Berangkat sore, siang sudah pulang lagi."

"Sama siapa?"

Dama lantas mengabsen nama-nama temannya yang biasa nongkrong bersamanya di warung. Sebagian adalah teman SD dan SMP, sisanya adalah teman sedesa yang usianya lebih tua darinya.

"Nggak usah ikut! Anak-anaknya nggak ada yang bisa dipercaya. Nanti kamu malah ngerjain yang aneh-aneh."

Jika sang Bapak sudah melarang, maka harapan satu-satunya adalah ibunya. Jika keduanya tidak mengizinkan, mungkin bondo nekad adalah jawaban dan jalan terakhirnya. Meski ia tahu resiko yang harus ditanggung sekembalinya dari mantai nanti.


🍁🍁🍁
Hai, Dama balik lagi. Kali ini manis-manis aja dulu sama dia 😍😍 ntar kalau udah diabetes baru dikasih obat pahit biar manisnya luntur
😂😂
🍁🍁🍁

ANFIGHT FTV Series 2021

Bondowoso, 09 November 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top