SO - BAB 46
Diana mulai bosan berada di rumah sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan. Meski ada Nana dan Delia yang selalu mengambil pulang cepat sejak Diana tinggal di rumah itu, namun kebosanan sedikit demi sedikit mulai melandanya. Terutama saat Ryan bekerja, Adrian punya urusan, Delia punya jadwal praktik, dan si kembar bersekolah. Praktis Diana berada di rumah bersama Nana dan Ali saja, padahal pasangan suami istri itu juga terkadang harus mengurus beberapa hal yang menjadi tugas mereka di rumah ini.
Diana memang tidak pernah mempertanyakan keputusan Ryan yang mulai melarangnya keluar rumah. Ryan bilang ini untuk keselamatannya dan Diana sebisa mungkin menerima. Tetapi sikap protektif Ryan mulai berlebihan. Suaminya itu bahkan membawa dokter kandungan ke rumah. Baik Adrian maupun Delia juga tidak berbuat banyak jika Ryan telah membulatkan keputusannya.
Suara mobil berhenti di teras rumah merupakan salah satu kepekaan Diana setelah ia berbulan-bulan tinggal di rumah ini. Ia selalu siap menyambut siapapun yang datang jika memasak dan menonton TV tidak lagi bisa menghiburnya.
Delia yang masih mengenakan jas putih dokternya tersenyum ketika melihat Diana. "Apakah para pria sudah pulang?" tanya Delia.
Diana menggeleng. "Ryan berjanji akan pulang saat makan siang. Sebentar lagi. Aku sudah memasak ikan bakar bumbu. Mama mau makan siang sekarang?"
"Nanti saja. Biarkan Ryan yang mencicipinya untuk pertama kali. Kau tahu, seharusnya kau tidak perlu memasak untuk kami serumah."
Diana tertawa. "Aku tidak keberatan. Saat ini, hanya itu yang bisa kulakukan."
Delia melepas jas dan menjatuhkan tubuhnya ke sofa. "Di usia tujuh bulan kehamilan, kau punya banyak cadangan tenaga. Dulu aku hampir tidak melakukan apa-apa selain bergelung di ranjang. Kau harus tahu betapa aktifnya Ian dan Kate saat usia itu. Astaga, mereka seperti berebut tempat dan meninju perutku berkali-kali."
"Tidak heran mereka bersikap seperti sekarang."
Delia mengendik. "Benar. Mereka benar-benar selalu menggemparkan sekitarnya. Sama sekali tidak bisa diam. Tapi... yah, Ian mungkin lebih cepat melewati fase itu. Dia sekarang agak dewasa dan menyukai lawan jenis. Aku harus memantaunya lebih intensif. Omong-omong, apa kau tidak berniat berbelanja perlengkapan bayi?"
Diana ragu-ragu. Ia sering melihat perlengkapan bayi di internet yang trendi dan lucu. Terkadang Diana ingin menjemput barang-barang itu ke tokonya, tapi Diana tahu bahwa Ryan tidak akan suka.
Delia menghela napas seolah bisa membaca pikiran Diana. "Kupikir, Ryan masih akan bersikap seperti itu, sekurang-kurangnya, sampai putra kalian berumur satu tahun."
"Ryan protektif karena ingin melindungiku," tukas Diana.
"Aku tahu," ringis Delia. "Percayalah, aku sangat tahu karena Adrian juga bersikap begitu. Lihat, kan? Sebenarnya mereka punya kesamaan yang mencolok. Ryan saja yang tidak pernah mau mengakuinya. Tapi serius, jika kau memang ingin membebaskan diri... um, maksudku sedikit melanggar peraturan, aku akan menemanimu sekaligus menjagamu―jika itu yang dikhawatirkan Ryan. Kita juga akan membawa Ali... mungkin Nana sekaligus."
"Tidak akan terjadi, Delia!" seru Ryan yang muncul dari ruang depan. Tatapannya terlihat waspada pada Delia. Kemudian menatap tajam pada istrinya. "Jangan sekalipun berpikir bahwa kalian bisa pergi diam-diam. Tidak, Diana, ini riskan untuk bayinya. Aku bisa memenuhi apapun keinginanmu tanpa kau harus keluar dari gerbang rumah ini."
Delia mendengus dan tidak menanggapi. Sepertinya wanita itu tahu persis bahwa berurusan dengan Ryan tidak akan membuahkan apa-apa. Jadi Delia menyambar jas putihnya dan melangkah pergi, meninggalkan Diana yang gugup ditatap suaminya semacam itu.
Ryan menjatuhkan tubuh di samping Diana. Ia masih mengamati istrinya itu. "Kau tidak benar-benar tergiur pembangkangan itu, kan?"
Astaga, ada apa sih dengan suaminya? Diana hanya menunduk dan menggeleng pelan.
Ryan menghela napas lega. Lalu menarik Diana dalam pelukannya. "Ini akan segera berakhir. Aku janji."
"Aku ingin melihat bayinya, Ryan," bisik Diana hati-hati. "Aku ingin ke rumah sakit untuk mendapatkan fotonya. Aku ingin mengalami masa itu lagi. Kumohon." Diana telah memendam ini selama sebulan terakhir. Dokter memang membawa pendeteksi detak jantung portabel ketika mengecek keadaan Diana setiap bulannya. Hanya saja, dokter tidak bisa memberi gambar bayi yang ada di perut Diana, padahal Diana ingin mendapatkan foto lainnya.
"Diana―"
Diana menempatkan telunjuk di bibir Ryan, sebelum pria itu bicara. "Hanya ke dokter, aku janji. Tidak ada api, tidak ada mampir ke manapun. Aku akan pergi bersamamu. Aku ingin melihat bayinya. Sekali ini saja. Aku... aku tidak akan berpikir untuk membeli perlengkapan bayi tanpamu. Aku... akan membelinya lewat jasa kurir. Um... kita bisa memilihnya bersama lewat internet."
Ryan menatap Diana dengan penuh penilaian. Diana sebisa mungkin meyakinkan Ryan dengan memasang raut memelas. Diana akan menepati semua janjinya jika Ryan mengijinkannya melihat bayinya lagi. "Tapi... kau yakin?"
Diana tersenyum. "Apa kau yakin?"
"Tidak," jawab Ryan cepat. Ia menyugar rambut pirangnya. "Aku berharap minggu ini kita mengatur jadwal kunjungan Dokter Amalia saja."
"Kumohon," ujar Diana menatap Ryan penuh harap. "Suamiku... tolonglah."
Ryan mengerang. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" gerutunya. "Kau akan menggoyahkanku."
Diana tersenyum kecil sebagai tanda kemenangannya. Tangannya meraih ruang di antara paha Ryan yang masih tertutup celana hingga pria itu tersentak.
"Yang itu baru curang," desis Ryan sementara matanya setengah tertutup menatap Diana.
"Kupikir kau suka," bisik Diana.
"Kau tahu betul apa yang kusukai."
"Aku tahu," ujar Diana seraya menyentuh dada Ryan dibalik kemejanya. "Jadi... bisakah kita ke dokter? Aku tidak akan keberatan kapanpun waktunya. Aku mau kau menyelesaikan pekerjaanmu lebih dulu."
Ryan menghela napas. Ia merogoh ponsel dari kantongnya, menggulir beberapa kali sebelum mendekatkan benda itu ke telinga.
Diana menunggu.
"Sarah," ujar Ryan. "Atur ulang seluruh jadwalku sepanjang sisa hari ini. Aku ada urusan yang tidak bisa kutinggal." Kemudian pria itu menutup panggilannya dan tersenyum pada Diana. "Puas?"
Diana tersenyum lebar dan merangsek maju untuk memeluk suaminya. Ia memberi kecupan di leher Ryan hingga membuat pria itu menggeram. Sebelum Ryan kehilangan akalnya, Diana menjauh dan mengecup pipi Ryan. "Aku... aku akan bersiap-siap."
Kebahagiaan tak sanggup Diana bendung. Ia ingin segera melesat ke kamar, berganti pakaian, dan pergi ke rumah sakit. Namun kemudian, suara berat Ryan terdengar gusar saat Diana menapaki anak tangga. "Jangan berlari, Diana! Kau sedang hamil, astaga!"
* * * * *
Dokter Amalia terkejut ketika melihat kedatangan Ryan dan Diana, namun wanita paruh baya itu tersenyum ramah dan dengan sabar menanyakan keluhan yang dialami Diana selama berjalan bulan ke tujuh ini.
Melihat wajah Diana yang berbinar selama perjalanan mereka ke rumah sakit, bagaimana Diana terlihat manja-manja pada Ryan, membuat rasa bersalah Ryan semakin melebar. Ryan tahu keputusannya untuk mengurung Diana sangat egois, tapi Ryan akan melakukan apa saja demi menjaga keselamatan Diana dan putra mereka. Bagaimanapun, Ryan beruntung memiliki Diana yang masih menolerir keputusannya sebagai suami.
Ryan masih merasakan kecemasan sejak mereka keluar gerbang. Ryan tak tahu kenapa kewaspadaan ini mulai berlebihan, tapi Ryan tidak cukup kuat untuk mengendalikan ini selama Diana masih dalam keadaan mengandung―dalam kondisinya yang sangat riskan.
Ryan juga masih menolak berbicara dengan Delia seolah dirinya adalah pasien. Ryan tidak mengelak ketika Delia mengecapnya sebagai padanan lain Adrian. Satu hal yang Ryan sadari dari ganjalan hatinya adalah betapa ia tak mau Diana mengalami hal yang sama dengan ibunya.
Deanita masih tidak berbicara pada Ryan, bahkan tidak untuk urusan pekerjaan. Ryan tidak bisa melemparkan tuduhan tanpa ada bukti kuat bahwa kebakaran itu adalah sabotase seseorang. Pembersih tempat kejadian juga tidak menemukan sidik jari―yang sebenarnya memang sulit ditemukan mengingat sebagian dari lantai itu memang telah hangus.
Mungkin itu memang sebuah kecelakaan yang kebetulan terjadi di saat keadaannya benar-benar sial.
Tapi bagaimanapun, Ryan tak mau melengahkan penjagaannya pada Diana.
"Astaga!" desahan Diana menyadarkan Ryan bahwa saat ini ia sedang menemani istrinya memeriksa kehamilannya. "Lihat dia, Ryan!"
Ryan menatap layar di mana sesosok bayi bergerak di dalam perut Diana. Bayi itu memejamkan matanya, namun kakinya bergerak hingga perut Diana menonjol. Ryan tertawa pelan melihat kebangaannya seolah tengah menunjukkan diri pada ayah dan ibunya.
"Sehat sekali," kata Dokter Amalia. "Beratnya sudah cukup untuk ukuran bayi tujuh bulan."
"Ya Tuhan!" desah Diana. Air mata mengalir di pipinya ketika menatap layar. "Aku bisa melihat wajahnya sekarang. Terlihat jelas."
Ryan tersenyum dan mengecup kening Diana. Kunjungan ini mungkin membayar segala kecemasannya sejak keluar dari gerbang. "Aku bisa melihatnya. Putraku."
Dokter Amalia tersenyum melihat kebahagiaan suami istri itu. Ia mencetak foto janin itu dan memberikannya pada perawat. "Nah, sudah. Silakan turun, Nyonya Diana."
Perawat menyodorkan tisu dan Ryan tak keberatan untuk mengurus Diana. Wanita itu tersenyum, mengecup pipi Ryan, dan mengucapkan terima kasih; sebelum menghadap Dokter Amalia.
"Mulai bulan depan, kita bisa merutinkan jadwal temunya. Di rumah atau di sini akan sama saja. Saya harus memantau kontraksi yang terjadi mendekati waktu kelahiran. Jadi kita akan melihat perkembangannya dua minggu lagi."
Diana dan Ryan mengangguk bersamaan. Dokter Amalia menyerahkan foto USG dan resep vitamin yang biasa untuk ditebus. Diana masih memeluk Ryan ketika keluar dari ruang periksa. Tidak melepaskan Ryan ketika menuju ke tempat parkir. Dan memberikan kecupan lagi ketika mereka akan memasuki mobil.
"Aku senang sekali," kata Diana. "Terima kasih, Ryan."
"Terima kasih kembali, Sayangku." Ryan tersenyum, mengecup pipi Diana. "Nah, sekarang kau lah yang akan menepati janji. Omong-omong, aku juga ingin memilih beberapa perlengkapan bayi di internet."
"Aku juga tidak sabar." Diana mengenyakkan tubuhnya di jok mobil. Memasang sabuk pengaman seraya menunggu Ryan menyusul.
Ryan melajukan mobilnya dengan aman, keluar dari area parkir rumah sakit. Waktu masih belum terlalu sore dan terlalu macet ketika mereka menyusuri jalan raya. Melihat kebahagiaan Diana, Ryan berpikir bahwa waktu seperti ini sebaiknya ia manfaatkan untuk menyenangkan Diana yang telah menurutinya selama beberapa bulan ini. Diana pantas mendapatkan ini.
Mungkin mereka bisa mampir melihat-lihat perlengkapan bayi? Atau bahkan membeli sebanyak-banyaknya karena Ryan tidak mau Diana keluar rumah lagi.
Atau... mereka bisa pergi makan malam?
Waktunya masih cukup panjang, kan, untuk hari ini?
Ryan ragu-ragu saat akan mengucapkan niatannya untuk menyenangkan Diana. Wanita itu masih saja berfokus pada gambar tiga dimensi bayi mereka dalam berbagai posisi―yang sebenarnya tidak berbeda banyak.
"Diana..." Ryan menghela napas, membangun keberaniannya. "Aku―"
"Awas!" jerit Diana ketika suara klakson panjang menyentak mereka. Ryan menginjak rem namun mobilnya tak kunjung melambat.
Brengsek.
Ryan membanting setir untuk menghindari truk besar yang siap menghantam mobil mereka. Kejadiannya begitu cepat hingga Ryan sulit mencerna. Yang selanjutnya adalah benturan kuat yang melempar tubuhnya, kemudian... kegelapan.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top