SO - BAB 45
Aroma sup jamurnya menguar memenuhi udara. Diana menyajikan sup itu di mangkuk dan memberi taburan bawang goreng di atasnya. Semuanya telah siap dan Diana tinggal menyuruh Nana yang sedaritadi hanya menontonnya―karena Diana yang memintanya begitu―untuk menyajikan makanan ke meja makan. Tentu saja Diana tak akan mengabaikan pesan Ryan untuk tidak membawa barang berat. Meski rasanya Diana masih sanggup melakukannya.
"Mau mencicipi, Nana?" tanya Diana.
Wanita empat puluhan itu menggeleng. "Tadi sudah, Nyonya. Enak sekali. Saya mau belajar sama Nyonya Diana."
Diana terkikik. "Kudengar nasi gorengmu adalah favorit Ryan."
"Bukankah nasi goreng kegemaran Tuan Ryan sudah berganti?"
Diana merona. Ia tidak tahu dari siapa Nana mendengarnya atau memang Nana sedang menggodanya. Tapi mengingat wajah Ryan yang selalu lahap saat makan, membuat Diana merindukan pria itu.
Astaga, apa sih yang terjadi padanya? Saat ini ia ingin sekali melihat Ryan makan.
"Aku... ingin Ryan segera memakan sup ini," gumam Diana.
"Saya akan menyiapkannya," kata Nana. "Mari saya bantu."
Diana mengangguk. "Tolong, Nana. Panggilkan seseorang juga, siapapun yang mau memakan ini semua. Aku akan memanggil Ryan untuk turun."
Nana mengangguk dan membawa nampan berisi masakan Diana ke meja makan. Diana menghela napas ketika berhadapan dengan tangga. Meski rumah Adrian terbilang mewah dan tangganya meliuk cantik, tapi Diana tidak begitu menyukai tangga. Apalagi setelah turun dua puluh lanati jauhnya meski ia hanya berada di gendongan Ryan.
Diana bahkan terengah-engah ketika tiba di lantai atas. Sungguh ia merindukan apartemennya yang sempit tapi punya lift. Diana membuka kamar dan mendapati Ryan yang bergelung menyelimuti tubuhnya.
Ryan membuka mata dan tersenyum sekilas pada Diana.
"Kau tidak berangkat kerja? Kupikir kau bersiap-siap." Diana duduk di samping Ryan dan membelai kening pria itu. "Apa kau sakit?"
Senyum Ryan pudar. Bibirnya mencebik kemerahan, namun Diana merasa suhu tubuh Ryan normal saja. "Aku tidak mau berangkat kerja."
Diana memicing. "Sejak kapan ada bos yang malas bekerja dan menyelimuti dirinya seperti ini. Ayo bangun! Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu."
"Aku tidak mau makan."
Diana terheran. "Kenapa?"
"Aku tidak mau pergi dari ranjang."
"Tapi aku mau kau memakan masakanku." Diana merasa kecewa karena Ryan tidak terlihat semangat untuk berlari ke meja makan. Padahal ia ingin sekali melihat Ryan makan.
"Kalau begitu bawa makanannya padaku. Suruh Nana melakukannya. Aku tidak mau ke meja makan."
Nada kekanakan itu justru mengherankan Diana. Ia menyibak selimut dan bergabung bersama Ryan ke dalamnya. "Kenapa?"
"Aku hanya... tidak mau."
"Kenapa kau terdengar seperti Ian?"
Ryan mendengus.
"Ada masalah?" desak Diana. "Mau bercerita?"
"Aku hanya tidak amu bertemu Adrian dan Delia."
"Memangnya kenapa?"
Ryan mengendik. "Hanya tidak mau."
Diana menghela napas. "Yah, kau terdengar sedang merajuk. Apakah kau merajuk?"
"Aku tidak begitu," gerutu Ryan. "Aku hanya tidak mau meninggalkan kamar."
Diana menilai suaminya. "Apakah itu ajakan untuk seks?"
Ryan menatap Diana sekilas, kemudian menahan tawanya karena itu menghancurkan perannya yang sedang merajuk―meski pria itu membantahnya. "Aku tidak keberatan dengan seks."
"Aku keberatan karena yang kuinginkan sekarang adalah kau memakan masakanku."
"Aku lebih suka memakanmu."
"Aku mau kau memakan masakanku," tegas Diana. "Tidak ada yang kuinginkan saat ini selain itu."
Ryan menyangga kepala dengan lengan tertekuk. Ia menatap Diana. "Kenapa kau jadi manja?"
"Kenapa kau jadi kekanakan?"
"Aku tidak kekanakan. Aku seorang ayah."
Diana mendengus geli. "Bukan berarti sikapmu sekarang seperti seorang ayah. Kau juga jadi manja, asal kau tahu."
"Aku tahu. Aku ingin sesering mungkin dimanja olehmu sebelum perhatian itu direnggut oleh jagoan kita."
Diana tertawa dan Ryan pun tersenyum lebar. Diana meraih Ryan dan menyandarkan kepala di dada pria itu sehingga Diana mendengar jantung Ryan. Hidup dan nyata. Milik Diana. Mencintai Diana. Rasanya seperti sebuah kehidupan. Yang menyadarkannya bahwa kebakaran itu hanya sebuah peristiwa yang telah berlalu. Diana di sini dan selamat, itulah yang penting untuk segalanya.
"Aku memikirkan tentang rumah," ujar Ryan seraya membuat gerakan melingkar di lengan Diana yang terbuka. "Sebuah rumah yang luas dan mewah. Ada halaman untuk tempat bermain dan piknik."
Diana tersenyum. "Dan tanpa tangga."
Ryan terdiam sejenak. "Um, kupikir kau ingin punya tangga klasik yang cantik. Tapi, oke, tanpa tangga."
Diana terkikik. "Dan yang jelas kita punya lemari yang sama."
Ryan tertawa. "Tentu saja. Bisa kau bayangkan sekarang ini kita memakai pakaian lama Adrian dan Delia karena kita sedang mengungsi. Kemudian jika kita pulang untuk berkemas, kita ada di apartemen yang berbeda."
"Setelanmu tidak muat di lemariku."
"Maka kita akan punya rumah besar dengan lemari yang besar pula untuk kita berdua."
"Aku suka." Diana mengeratkan pelukannya. "Tapi kupikir aku akan tetap baik-baik saja jika tetap bersamamu. Tidak peduli tempat itu memiliki tangga atau tidak. Atau bahkan jika aku akan menyusuri dua puluh lantai jauhnya. Aku tahu kau bersedia menggendongku."
Diana merasakan tubuh Ryan yang berubah tegang. Pelukannya makin erat. "Aku... bersedia. Kau tinggal meminta atau... bahkan tidak perlu." Kemudian suara Ryan melemah. "Aku berjanji akan menjagamu. Tidak ada lagi hal yang sama seperti kemarin."
Diana mengangkat wajah dan mengecup Ryan. "Kita akan baik-baik saja, Sayang."
"Kau benar."
Diana membawa tangannya dan Ryan ke perutnya yang menggembung. Rasanya selalu menyenangkan ketika mereka bersama-sama melakukan ini. Bersama merengkuh si bayi sebagai orang tua. Hidup yang akan diisi oleh mereka bertiga. "Aku memikirkan nama. Apakah itu salah?"
Ryan menggeleng. "Aku memikirkan nama untuk Emily tepat di hari pertama aku tahu bahwa Emily hadir dalam hidup kami."
"Apakah nama itu juga yang terpikir olehmu untuk Emily?"
Ryan tertawa. Ia menggeleng. "Aku ingin menamainya Clara atau Claire karena kupikir itu cocok dengan Archer. Aku suka nama itu. Tapi ketika Emily lahir, aku ingin menghormati betapa kerasnya ibuku berjuang untuk melahirkannya. Aku tidak pernah mengira bahwa itu menjadi penghormatan terakhir kalinya untuk ibuku. Aku tidak membiarkan ayahku menamainya. Aku ingin memiliki Emily seorang diri." Ryan terdiam sejenak. "Tapi William terlihat sangat setuju ketika aku menamainya Emily, seperti ibu kami."
Ryan akan menjadi ayah yang baik, pikir Diana. Ia tahu betapa bertanggung jawab dan penyayangnya Ryan. Diana merasa beruntung berada dalam kehidupan pria itu.
"Jika kita punya anak perempuan, aku akan menamainya Claire. Claire Archer. Itu cantik sekali."
Ryan tersenyum. "Tapi anak pertama kita laki-laki, Sayang. Jangan membuatnya tersinggung."
"Kau sudah memikirkan nama untuknya?"
Ryan berpikir sejenak. "Anehnya, tidak. Aku ingin kita memutuskan bersama. Aku sudah punya nama tengah untuknya. Kupikir, kau saja yang memilih nama depannya."
Diana terkejut. Ia pikir Ryan ingin mengambil momen itu untuk pertama kalinya sebagai seorang ayah. Diana tentu tak keberatan, ia bisa menyusul kali lain untuk menamai putra atau putrinya kelak. Tetapi kegembiraan Diana tak terbendung ketika Ryan membiarkannya memilih nama depan. Nama yang akan menjadi panggilannya. Nama yang akan membuatnya dikenal.
"Kupikir, kita akan sepakat untuk nama tengah karena kita sama-sama tidak punya nama tengah."
"Aku suka itu," kata Diana senang. Entah bagaimana pula air matanya telah mengucur sekarang ini. Ia benci menjadi cengeng tapi perasaannya menjadi sangat sensitif akhir-akhir ini. "Kita akan memberinya nama tengah."
"Bagus. Kau sudah punya nama?"
Diana menggeleng. Tentu saja dia belum memilih, tapi ia akan memberi nama terbaik untuk putranya. "Aku akan memikirkannya nanti. Sekarang, aku mau kau turun dan memakan masakanku."
Ryan menghela napas. "Ada apa denganmu? Aku tidak mau makan di sana dan aku masih tetap pada pendirianku. Aku tidak mau berbicara dengan Adrian dan Delia dalam waktu dekat."
Diana cemberut. Bayang-bayang Ryan yang bersemangat memakan masakannya masih berada di dalam benaknya dan meminta diwujudkan. Harus sekarang dan harus tuntas. Oh, astaga, ada apa dengannya? "Ryan, kupikir kau harus melakukan ini. Aku... benar-benar ingin kau menghabiskan masakanku. Ini... mungkin keinginan bayinya."
Ryan menatap waspada pada Diana. "Astaga, Diana, kenapa menggunakan alasan itu?!" gerutunya.
Diana mulai terisak. "Aku benar-benar ingin kau turun dan menghabiskannya. Itu saja."
"Oh, sialan, jangan menangis, Sayang. Oke, oke. Aku akan makan. Apa itu pengaruh hormon? Apa itu ngidam? Sesuatu? Aku lebih memilih membelikan sesuatu yang kauinginkan."
Diana menggeleng seraya mengusap hidungnya yang basah. "Aku hanya ingin kau makan."
Ryanmenghela napas. Ia mengecup Diana kemudian dilanjutkan mencium perut Diana. "Kalianmenang, puas?"[]
Nama si jagoan... hmm... (berpikir)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top