SO - BAB 44
Terus support Surrender Series dengan memberikan vote dan komentar :D Jangan lupa untuk merekomendasikan cerita ini untuk teman dekat, teman gosip, teman arisan, teman palsu, teman tapi mesra, teman hidup, dan teman-teman yang lain :D
Ryan mendapati dirinya berada di ruangan gelap. Telinganya berdengung seolah tempat ini adalah lorong sempit yang menggemakan suara. Ryan tidak dapat menggerakkan kakinya, namun masih bisa menutup telinga dengan tangan karena dengungnya semakin menyakitkan. Kemudian, dalam keremangan itu ia bisa mengenali sosok di hadapannya. Diana sedang memeluk seorang anak. Keduanya duduk bersimpuh menatap Ryan penuh harap.
"Tolong lepaskan," pinta Diana dengan suara rintihan.
Ryan hampir merangsek maju, namun kakinya tak bergerak. Suaranya tak bisa keluar namun ketakutan mulai menggerogoti. Diana menangis tersedu-sedu bersama si anak, tapi Ryan tak melakukan apa-apa.
~
Ryan tersentak dari tidurnya. Napasnya terengah-engah dan keringatnya mengucur. Ia mencoba mengatur napas. Paru-purunya butuh udara secepatnya. Ryan memproses tempatnya terbangun.
Bukan ruang gelap.
Ini kamarnya di rumah Adrian.
Diana...
Ryan menyibak selimut, namun hanya menemukan guling. Secepat kilat melesat ke arah kamar mandi, namun tempat itu juga kosong. Ketakutan yang didapati dalam mimpinya mulai naik ke permukaan. Ryan menyambar kausnya dan berlari ke luar ruangan.
Sial. Sial. Kumohon, jangan sekarang. Jangan jadikan mimpinya nyata.
Rumah itu sepi dan Ryan mulai kalang kabut. Ke mana semua orang? Apakah Ryan benar-benar sudah bangun? Kenapa lidahnya melekat ke langit mulut padahal otaknya frustasi ingin berteriak? Di mana Diana? Di mana putranya?
"Ryan?"
Ryan berbalik dan mendapati Adrian yang bingung menatapnya. Napasnya masih terengah-engah seolah ia baru saja berlatih Krav Maga sehari penuh.
"Kau oke?" tanya Adrian khawatir. "Hei, hei, kau kenapa? Stabilkan napasmu."
Ryan tidak tahu caranya menyetabilkan napasnya. Dadanya sesak dan udara di sini tidak cukup banyak untuknya. Ryan ingin Diana.
Adrian memegang bahu Ryan dan menatap Ryan lamat-lamat. "Tarik napas... dan buang. Ayo lakukan."
Ryan berusaha keras menarik napas meski tersendat-sendat. Rasanya ia seperti berada di ruang kedap udara dalam mimpinya, seperti berada di gedung yang dipenuhi asap.
"Sial, Nak, ayo kita duduk dulu."
"Diana," Ryan akhirnya mampu berkata, meski napasnya terengah sesekali. "Di mana dia?"
"Diana sedang keluar."
"A-apa?!" bentak Ryan. "Dia tidak boleh keluar! Ada bahaya di luar sana! Aku harus mencarinya dan membawanya pulang. Dia tidak boleh keluar. Dia tidak boleh sendirian―"
"Tenangkan dirimu!" hardik Adrian. "Dia tidak sendiri. Dia bersama Delia."
"Di luar... berbahaya..."
"Dia hanya berada di luar gerbang, astaga!"
Ryan mendorong Adrian dan berlari menuju pintu depan. Diana tidak boleh melewati pintu depan. Diana tidak boleh ke mana-mana kalau ingin selamat. Ryan harus melakukan ini. Ia tidak akan mengambil resiko kehilangan Diana. Dia tidak bisa kehilangan Diana.
Langkah Ryan terhenti di teras ketika Delia masuk bersama Diana seraya membawa kantung-kantung plastik. Ali berbicara sesuatu pada Diana hingga membuat wanita itu tersenyum dengan cantiknya. Kemudian Ali mengambil alih kantung-kantung plastik yang Diana bawa.
"Ryan!" seru Diana penuh semangat. Ia memberi kecupan singkat di pipi Ryan ketika tiba di hadapannya. "Kau sudah bangun."
Diana... baik-baik saja.
Untuk saat ini ia baik-baik saja.
Ryan mencoba menanamkan itu meski rasanya sulit sekali. Ada bahaya di luar sana. Di balik gerbang itu ada sesuatu yang membahayakan Diana.
"Mari kita lihat apa yang bisa kumasak hari ini," ujar Diana penuh semangat. Wanita sepenuhnya bahagia dan baik-baik saja. Ryan bisa melihat binar di matanya. "Suruh perutmu untuk bersabar." Kemudian Diana masuk lebih dulu.
Delia menatap Ryan bertanya-tanya. Siapapun tak akan pernah lolos dari pengamatan seorang psikiater seperti Delia. "Kau kenapa?"
Ryan hanya menggeleng. "Jangan bawa Diana keluar lagi."
Delia mendengus. "Oh, yang benar saja, sekarang kau adalah Adrian? Diana hanya hamil. Dia tidak harus berada di sangkar seharian. Dia hanya membeli sayur di depan gerbang. Tukang sayur yang membawa sayurnya ke sini, kalau-kalau kau khawatir. Mungkin kau mau memastikan sayurnya masih steril untuk dikonsumsi Diana?"
Ryan mengabaikan Delia dan menggerakkan kakinya untuk berputar.
Delia menyela sebelum ia sempat melangkah. "Jadi terlalu protektif. Itu menyebalkan bagi wanita sebebas Diana. Jangan terlalu keras padanya."
Ryan memelototi Delia. "Dia yang berada di lokasi kebakaran itu, Delia. Bagaimana mungkin kau menyuruhku untuk tidak terlalu keras? Yang kulakukan belum cukup keras untuk melindunginya!"
Delia membelalak, mulutnya terbuka ketika mendapati respon Ryan. "Oh, astaga, kau trauma."
"Aku..." Ryan menghembuskan napasnya. Ia ingin mengelak bahwa ia tidak trauma. Ia tidak mau dianggap lemah. Tetapi Ryan bahkan tak bisa lari dari tuduhan Delia yang tepat sasaran. "Mungkin."
"Ryan, itu bukan salahmu," tegas Delia. "Itu kecelakaan."
"Sudah kubilang, itu bukan kecelakaan."
"Sekalipun jika itu bukan kecelakaan, kau juga tidak bisa menyalahkan dirimu. Itu hanya peristiwa, Ryan. Siapapun bisa terjebak dalam kebakaran dengan beragam skenario berbeda. Bisa jadi aku lah yang berada di posisi itu karena aku bahkan tidak tahu seberapa besar api untuk membuat telur dadar."
Kenyataan itu menyentak Ryan. Api. Kompor. Sial, Diana berkata akan memasak. Kaki Ryan melesat sendirinya menuju ke dalam rumah, menuju ke dapur. Ryan harus memperingatkan Diana soal apinya.
"Jangan bertindak bodoh!" gema suara Delia terdengar. Tetapi Ryan tidak peduli.
"Ada apa?" tanya Adrian yang dilewatinya. "Kenapa Delia berteriak?"
"Diana!" seru Ryan. Wanita yang sedang membelakanginya di meja dapur berbalik untuk menatap Ryan. Wajah polos, penampilan pagi hari, apron, dan perut gembung itu jelas mampu mengalihkan perhatian Ryan menjadi lebih terkendali. Melihat binar bahagia Diana ketika memasak membuat Ryan tak sampai hati memaksa wanita itu menjauh dari kegemarannya.
Hilang sudah seluruh peringatan yang akan Ryan teriakkan. Ia tersenyum singkat pada Diana.
"Apa?" tanya Diana. "Kau sudah lapar?"
Ryan mengangguk. Mungkin dengan begitu Diana akan lebih cepat memasak. Tapi bagaimana jika Diana jadi terburu-buru dan ceroboh soal apinya? Jadi Ryan buru-buru menggeleng untuk meralat jawabannya.
Diana tertawa melihat respon Ryan. "Ambil kue kering yang kubuat kemarin. Mungkin kau bisa mendapatkan kopimu sebelum masakan ini matang. Kau sudah mandi? Kau akan ke kantor pukul berapa?"
Ryan terhenyak. Ia menghampiri Diana dan memeluk wanita itu dari belakang. Gerakan memotong bawang yang dilakukan Diana seketika terhenti. Ryan membenamkan kepalanya di leher Diana. "Aku tidak mau ke kantor. Aku tidak punya ruangan lagi, ingat? Aku mau di sini. Aku mau dirimu."
Diana mendengus. "Tidak ada seks untuk sekarang. Aku sedang memasak."
Ryan geli karena Diana berpikir begitu. Sejujurnya yang Ryan inginkan saat ini memang Diana, namun dalam berbagai makna. Ryan ingin Diana baik-baik saja. Ryan ingin Diana tetap bahagia. Ryan ingin Diana menjauh dari api. Ryan ingin mengurung Diana dan wanita itu menurutinya.
Semua ini demi kebaikannya juga.
"Lepaskan aku," gerutu Diana. "Kau membuatku tidak bisa menyelesaikan ini."
Ryan melepas pelukan dan menatap penuh harap pada Diana. "Ciuman pagi?"
Alis Diana naik ketika menatapnya. Wanita itu terlihat geli mendengar permintaan Ryan. Diana mendekatkan wajahnya dan mengecup singkat bibir Ryan, kemudian kembali pada bawangnya.
Tentu saja Ryan tak puas. Ia tak mau dikalahkan bawang. Jadi ia menyambar tengkuk Diana dan memberi ciuman panjang yang manis. Wanita itu kentara tidak siap. Ketika ciuman itu berakhir, bibir Diana bengkak, terbuka, dan basah. Wajahnya menjadi kemerahan, membuat Ryan gemas. Ryan memberi kecupan di pipi sebelum meninggalkan dapur dan membiarkan Diana memasak.
Untuk dilanjutkan dengan pengamatan jarak jauh.
"Ryan," panggil Adrian. "Kau mungkin mau mendengar ini."
Ryan melirik sekali lagi ke arah Diana, namun sepertinya wanita itu baik-baik saja. "Ada apa?" tanya Ryan setelah mengikuti Adrian ke ruang kerjanya. Anehnya, berada di ruangan ini terasa asing sekali bagi Ryan.
Barulah Ryan menyadari bahwa selama ini dirinya tak pernah memasuki ruangan ini. Ruangan itu berbeda dengan interior rumah Adrian yang dipenuhi warna putih dan keemasan elegan. Ruang kerja Adrian didominasi furnitur kayu kokoh. Ada banyak buku dan berkas-berkas. Ryan terperangah ketika menatap satu bagian lain ruang itu.
Di sana ada foto Ryan remaja bersama ibunya. Ada foto pernikahan ibunya dan William. Ada foto William dan Emily yang masih balita. Ada foto momen keluarga Archer yang didapatkannya sebelum ibunya meninggal. Selain itu ada foto yang lebih banyak lagi foto Ryan dalam berbagai pose dari beragam momen.
"Bagaimana kau mendapatkannya?" tanya Ryan.
Adrian mengendik. "William tak keberatan berbagi."
"Delia... baik-baik saja melihat ini?"
"Aku tidak tahu," ujar Adrian pelan. "Dia tidak pernah menanggapi. Mungkin itu sebabnya dia juga tidak pernah mau masuk ke sini. Tapi ruangan ini membuatku berpikir jernih. Foto Emilia kupasang bersama William supaya aku tahu dia pernah mempunyai kehidupan yang lebih baik. Itu akan mengurangi rasa bersalahku."
Di bagian dinding yang lain barulah foto keluarga Salendra terpasang. Ada si kembar Adrian dan Derian saat kecil. Foto keluarga Satya Salendra beserta kedua anak mereka. Satu lagi foto ketika keluarga Salendra membesar dengan kehadiran Ian dan Kate balita, Ryan dan Deanita juga ada di foto itu sebagai sepupu karena Satya yang memaksanya berada di sana, menantu Satya; Anita dan Delia. Keluarga itu menatap kamera dengan penuh wibawa. Kemudian ada banyak foto Ian dan Kate dalam usia yang berbeda, foto pernikahan Adrian dan Delia, foto kelahiran Ian dan Kate ketika mereka masih ternoda darah, dan masih banyak lagi.
Ryan tak percaya ia menjadi bagian di antara seluruh gambar keluarga ini.
"Itu hanya kecelakaan, Ryan," ujar Adrian kemudian. "Yang terjadi pada Emilia maupun Diana. Kau tidak bisa mengubah takdir. Biarkan saja yang sudah terjadi."
"Tapi aku tetap mengantisipasi masa depan," balas Ryan. "Aku tak akan membiarkan itu terjadi lagi."
Adrian mengangguk. "Tapi kau terlalu keras pada Diana. Mungkin juga pada dirimu."
"Kami akan baik-baik saja. Aku bisa menjaga diri. Aku bisa menjaga Diana."
Adrian mengambil tempat di sofa kulit yang kosong. Ia menatap Ryan penuh harap, supaya putranya itu ikut duduk bersamanya. "Hasil forensiknya sedang dalam proses. Mereka sedang menghitung kerugian yang terjadi. Sekitar enam puluh persen ruanganmu rusak parah. Untungnya api berhasil padam sebelum bisa merambat lantai yang lain. Mereka bilang itu murni kecelakaan. Kebocoran gas yang ada di dapur lantai itu. Hal itu lazim."
"Itu bukan kecelakaan," Ryan bersikeras. Dengan seluruh kegilaan yang terjadi beberapa bulan terakhir, sungguh diragukan jika menyebut itu kecelakaan jika hanya berpotensi merenggut Diana dan bayinya. "Aku tahu ada yang salah. Aku hanya harus mencari tahu."
Adrian mendesah. "Pikirmu siapa yang mungkin melakukan ini? Musuh perusahaan? Musuhmu? Apa kau punya musuh? Siapa? Jika memang benar orang itu menginginkan keuntungan untuk dirinya, kebakaran ini jelas tidak berpengaruh apa-apa untuknya. Kerugian separuh ruangan tidak berimbas apa-apa untuk keuangan kita. Dia juga tidak mendapatkan keuntungan."
"Bagaimana dengan kesenangan? Bagaimana jika orang itu melakukan ini hanya untuk melihatku... hilang kendali. Semata-mata karena ia ingin tertawa di atas semua ini."
Adrian menatap terkejut pada Ryan. Ia mencondongkan tubuhnya. "Pikiran konyol darimana itu? Ryan, ini sudah melewati batas. Siapa pula yang cukup gila membakar lantai teratas dengan akses terbatas hanya untuk kesenangannya? Kau hanya paranoid."
"Aku tidak paranoid!" bantah Ryan.
"Yang benar saja! Aku tahu seperti apa itu paranoid karena untuk alasan itulah aku bisa bertemu dengan Delia." Adrian menghela napas. "Sial, Delia benar, kau perlu diperiksa."
"Aku tidak gila."
"Diperiksa bukan berarti kau gila! Kau hanya butuh bantuan."
Ryan bangkit dari posisinya dan bersiap keluar. Adrian tidak mengerti dirinya. Ryan bukan Adrian. Meski Adrian adalah ayah kandungnya, tapi bagaimanapun Ryan tidak mau Adrian melihat Ryan seperti melihat dirinya sendiri.
Ryan tidak mengalami yang Adrian pernah alami. Itu jelas. Ryan hanya protektif. Itu saja.
"Kau punya nama?" desak Adrian.
Ryan berhenti di ambang pintu. Ia berbalik menatap Adrian. Kengerian menjalari tubuhnya. Ryan tahu bahwa ini salah. Ini belum terbukti. Tapi itulah yang Ryan pikirkan. Satu-satunya orang. "Deanita Salendra."
Adrian tercengang. "Brengsek." Ia bangkit menatap tajam pada Ryan. "Dia sepupumu!"
"Sepupu yang memusuhiku sepanjang hidupnya!"
Adrian tertawa meski tak ada yang lucu dalam topik mereka. "Segera datangi Delia, Ryan. Kau benar-benar butuh bantuan untuk menjernihkan pikiranmu."
"Aku tidak gila!" bentak Ryan. "Wanita itu sudah bermasalah denganku sejak pertama kali kami berurusan. Dia mencoba mengambil alih segala hal yang di perusahaan. Dia tidak terima akulah yang mendapat sepertujuh bagian. Dia tidak terima bahwa Diana mengandung pewaris selanjutnya. Dia membenci Diana."
"Cara itu terlalu kotor, Ryan. Meski aku tidak rukun dengan Derian, tapi rasanya mustahil menghancurkan hubungan darah ini dengan tindakan nekat."
"Terserah." Ryan mengibaskan tangannya. "Aku tak peduli apakah kau percaya padaku. Nyatanya kau memang selalu begitu. Kau juga selalu tidak memercayai ibuku."
Adrian menyentak Ryan. "Apa? Apa yang kau bicarakan? Ini tidak ada hubungannya dengan Emilia!"
"Tentu saja ada!" seru Ryan. "Seluruh omong kosong ini karena aku putra Emilia. Bukan seseorang yang kauikat dengan pernikahan. Bukan seseorang yang pantas berada di keluarga Salendra. Aku mengerti itu dengan baik."
Ryan melangkah keluar dengan emosi membara. Langkahnya terhenti ketika mendapati Delia yang menatap tajam padanya. Entah sudah berapa lama Delia di sana hingga mendengar seluruh teriakannya dan Adrian. Tapi Ryan tidak peduli. Ia hanya melewati Delia yang masih tergugu di posisinya.
Namun ketika Delia sejajar dengan Ryan, ia membuka mulut. "Bukan salahmu, Ryan."
"Apa? Kau juga mau menyalahkan ibuku?"
Delia menggeleng. "Kau butuh bicara denganku. Ayo, aku akan mengurusmu."
"Aku bukan pasienmu!" tukas Ryan dengan kasar. Kemudian ia meninggalkan Delia menuju kamarnya. Jika Ryan bisa pergi dari sini, ia pasti akan melakukannya. Tapi demi Diana, ia memaksa dirinya untuk bertahan lebih lama.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top