SO - BAB 42


Diana menatap punggung Ryan hingga ruangan itu tertutup dan melenyapkan sosok Ryan. Lantai ini terasa sangat sepi dan entah bagaimana Diana baru menyadarinya. Diana tak mengerti mengapa Ryan membuat satu lantai penuh hanya untuk ruangannya. Meja Sarah kosong dan kemungkinan besar wanita yang selalu sopan pada Diana itu sedang mengikuti Ryan.

Diana meletakkan kotak-kotak makanannya di meja, lalu menjauh dari aroma menggiurkan itu. Diana mulai tidak sabar untuk mencomot apapun yang ada di dalam sana karena makan mulai menjadi kebiasaannya sejak hamil. Ia bahkan merasa lapar tanpa tahu waktu. Terkadang, ia terjaga saat dini hari dan mencari-cari makanan di dapur. Untung saja stoples kue keringnya selalu penuh dan Diana hampir tidak menolak macam-macam makanan.

Tapi tentu saja Diana akan menahan diri untuk kali ini. Ia setia menunggu Ryan. Ia akan menyajikan masakan ini spesial untuk suaminya. Jadi ia akan menunggu Ryan sebelum mencomot apapun yang telah ia masak sejak pagi.

Diana mengernyit melihat kertas bertebaran di lantai. Ia tak mengerti mengapa dokumen-dokumen ini tergeletak. Setahu Diana, Ryan adalah penggemar kebersihan. Lihat saja, meja kerja pria itu saja bersih. Tapi bagaimana mungkin lantainya dipenuhi dokumen?

Dilihat dari ketegangan Ryan saat berbicara dengan Diana, apalagi dengan Deanita, Diana tahu ada yang salah di sini. Tapi Ryan tidak mau membaginya. Diana hanya bisa diam―tapi mungkin untuk saat ini saja. Setelah ini ia akan mendorong Ryan untuk bercerita.

Dan sepupu Ryan itu masih saja tidak terlihat menyukainya. Jika Diana tidak berhalusinasi, maka benar Deanita mendorong pelan bahu Diana saat melewatinya.

Memangnya apa masalah Deanita pada Diana?

Wanita itu jelas lebih cerdas, cantik, dan penuh percaya diri dibanding Diana. Deanita juga lebih tinggi dan lebih luwes saat mengenakan hak tinggi. Kakinya jelas indah. Sementara Diana, kakinya mulai seperti gajah sejak hamil.

Bahkan sekarang ini kakinya mudah lelah. Ia lebih suka membuat kue sambil duduk. Diana bahkan sudah tidak lagi menyetor kue. Diana tidak pernah lebih mensyukuri betapa ia punya apartemen yang punya lift, atau apartemennya yang kecil sehingga tidak perlu repot membersihkan ruang yang luas.

Diana mengenyakkan tubuhnya di sofa. Ia mengangkat kaki dan berbaring di sofa. Berapa lama sampai urusan Ryan selesai? Sekarang Diana mulai merasa mengantuk karena biasanya ia tidur siang. Dan berada sendirian di lantai ini membuatnya semakin mengantuk.

Mungkin ia akan tidur sebentar sambil menunggu Ryan?

Benar. Itu mungkin bisa saja dilakukan jika bunyi nyaring itu tidak mengusik Diana. Merasa heran, Diana pergi keluar ruangan untuk memastikan. Ada bau gosong dan asap memenuhi udara. Diana menelusuri arah asap itu berasal dan ia berhenti pada sebuah pintu yang selanya mengepulkan asap pekat.

Kepanikan pun menguasai Diana. Ia menutup hidung dengan kerah blusnya dan membuka pintu mengepul itu. Diana tersentak saat setengah ruang dapur telah dilalap pagi dan bau gas menyengat terhirup olehnya.

Astaga... apa yang harus ia lakukan?

Ia harus lari―tidak, ia tidak boleh berlarian. Ia harus menyelamatkan kantor Ryan―ya, sebelum api ini membesar. Ia hanya harus mencari alat pemadamnya.

"Oke, alat pemadam," ujar Diana pada diri sendiri. Ia mencari-cari tabung pemadam di sepanjang lantai. Tabung terdekat berada di lift dan terlindung kaca yang terkunci. "Sialan." Diana harus memecahkan kacanya dengan sesuatu.

Diana berusaha sebisa mungkin untuk tidak panik, meski napasnya terengah-engah karena banyak asap. Ia mencari-cari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memecah kaca. Ia menyambar asbak di meja kerja Sarah dan melemparnya hingga kaca itu pecah berkeping-keping.

Diana baru saja akan meraih pemadam itu, namun ledakan keras terdengar hingga pintu dapur kini ikut terbakar dan api mulai merambat ke langit-langit.

Oke, yang satu itu jelas tidak lagi bisa ditanggulangi.

Diana menarik napas dan mengembuskan meski ia tidak mendapatkan udara pengganti di sini. Ia menekan tombol lift tak sabaran, namun ia semakin panik ketika lampu lift tidak menyala.

Mati. Sialan.

Diana beringsut menjauh dari api dan kembali ke kantor Ryan. Ia menyambar tasnya dan merogoh ponsel. Ia harus meminta bantuan. Astaga. Apakah lantai ini tidak punya jalan keluar lain?

Ledakan terdengar lagi dan kali ini Diana menjerit.

"Astaga... astaga... Ryan..." Diana gemetar ketika menyentuh layar ponselnya. Aksinya sama sekali tidak berguna. Diana harus menyelamatkan diri―menyelamatkan putranya. "Kita pasti selamat," ujar Diana. Ia menegakkan kakinya dan mencari-cari pintu selain ruang yang Diana tahu adalah kamar mandi. Ia mengernyit ketika melihat tulisan EMERGENCY di dinding dekat meja kerja Sarah.

Diana meraba dinding itu dan mendorong pelan. Sialan, ini bukan dinding. Ini pintu yang mengarah ke ribuan anak tangga menurun. Diana tersenyum dan segera menutup pintu di belakangnya. Ia menatap ke bawah di mana bunyi berdecit di kejauhan sana terdengar. Itu pasti orang-orang. Ini pasti jalan keluar.

Oke, Diana hanya harus melewati ini satu demi satu. Tidak peduli betapa ia lebih menyukai lift karena kakinya terasa membesar. Diana tidak seharusnya panik. Diana pasti selamat.

"Dan jangan berlarian." Benar, terlalu beresiko untuk bayinya. "Jangan panik."

Diana menghembuskan napas berulang kali. Ia telah memperlajari ini di kelas yoga. Perlatihan pernapasannya berguna. Bekal-bekal yang ia dapatkan untuk persiapan persalinan bahwa ia tidak boleh panik, juga berguna. Satu-satunya hal yang tidak ia bekali adalah cara menyelamatkan diri dari kebakaran yang berada di lantai dua puluh.

Tentu saja.

"Tenang," ujar Diana seraya meniti satu per satu anak tangga. "Jangan panik―" Ucapannya terputus dan Diana memejamkan mata ketika mendengar ledakan dari satu lantai di atasnya.

Apakah Diana akan tepat waktu sebelum api menyusulnya?

Apakah Ryan selamat?

"Tenang," ujar Diana pada dirinya sendiri. "Jangan stres. Semua akan baik-baik saja. Kau hanya harus lari―bukan, berjalan cepat dan hati-hati. Menjauh dari kebakaran―"

"Diana!"

Diana terhenti dan menatap ke bawah. Suara debum langkah kaki cepat terdengar dan suara itu begitu familiar. Diana tersenyum lega, ia yakin ia hampir menangis. Bahkan ia sudah siap melemparkan diri ke bawah karena begitu lega mendengar suara suaminya―tapi tentu saja tak ia lakukan karena ia harus mengingat si bayi.

"Sial. Sial," umpatan itu juga Diana rindukan. "Diana!"

"Ryan!" balas Diana berteriak. Ia mendengar langkah yang berhenti dan Diana menyusuri kembali anak tangga yang tak ada habisnya itu.

"Diana? Kau di sana?"

"Ya!" Diana tersentak ketika mendengar ledakan lagi. "Ada, um... kebakaran..."

"Tunggu di sana, Sayang!"

Tunggu? Yang benar saja. Diana takut apinya menyusul. Tentu saja ia tak akan menunggu. Ia akan terus berjalan turun sambil memikirkan cara yang tepat untuk memarahi Ryan karena punya kantor di lantai teratas, karena lantai itu sengaja dibuat sepi, karena alat pemadamnya terlindung kaca, dan karena pintu darurat tidak terlihat seperti pintu.

Suara langkah Ryan semakin mendekat. Diana menjaga langkahnya supaya tidak terjungkal. Diana tidak ingin panik. Ketika Ryan tiba di hadapannya, napas pria itu terengah-engah, dan wajahnya basah.

Ryan menarik Diana ke pelukannya, namun pelukan itu cepat dan tergesa. "Ayo kita turun."

"Hai, juga Ryan." Diana menepuk bahu Ryan, lalu melewati Ryan untuk kembali menyusuri tangga. "Jangan membuatku panik. Jangan panik."

Tanpa aba-aba, Ryan mengangkat tubuh Diana. Langkah Ryan cepat namun pasti di setiap undakan tangganya. Diana reflek mengalungkan lengan pada Ryan. "Jangan panik," dengus Ryan. Matanya terlihat lebih gelap dari biasanya dan wajahanya tegang. "Aku tidak panik. Aku takut."

"Jangan terjun. Kita masih di lantai 17."

"Jangan konyol!" bentak Ryan.

Diana menghentikan ocehannya dan membiarkan Ryan membawanya turun. Sekarang ia mulai panik karena Ryan panik. Ia takut Ryan tidak kuat menggendongnya karena Diana menggembung seperti gajah dan mereka harus menuruni lebih dari sepuluh lantai.

Sekarang, setelah berada dalam dekapan Ryan, ketakutan Diana mulai menggerogoti. Diana tak bisa membayangkan jika saja ia tidak menemukan pintu. Bagaimana jika Diana tidak bisa menyelamatkan bayinya? Tidak bisa lagi bertemu dengan Ryan? Padahal ia sudah berjanji tidak akan bertindak egois dan akan berjuang demi Ryan.

Diana membenamkan kepalanya di dada Ryan. Pria itu beraroma maskulin akrab bercampur asap. Diana menangis sesenggukan di dada Ryan. Merasakan tubuh Ryan yang begitu mantap, tiap langkah pastinya menapaki satu demi satu anak tangga.

Kasak-kusuk mulai terdengar. Orang-orang yang berteriak. Suara sirene yang meraung. Tapi Diana merasa pongah. Ia masih tidak mau lepas dari dekapan Ryan. Ia masih ingin terus berada di dada Ryan. Diana bisa merasakan angin menyapi rambutnya. Udara yang mulai mengisi paru-parunya. Langkah Ryan yang tidak lagi menuruni tangga.

Yang dirasakan kemudian adalah jok empuk dan debum pintu yang tertutup. Diana membuka mata dan menemukan dirinya masih dalam dekapan Ryan, pangkuan Ryan, di jok belakang taksi.

Pria itu menatap Diana dalam-dalam. Rahangnya tegang. Matanya berubah gelap. Diana meraih wajah Ryan dan saat itu juga Ryan runtuh dengan membenamkan kepala di leher Diana. Mereka membiarkan sopir mengemudi. Mereka membiarkan kecemasan mereka terlepas. Mereka menumpahkan ketakutan yang telah mereka pendam akibat peristiwa yang baru saja terjadi.[]   

Hikz :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top