SO - BAB 40
Ryan memarkir mobilnya di depan rumah Adrian. Kate berlari menghampiri ketika melihat mobil Ryan di terasnya. Anak itu tercoreng tanah, begitupun dengan Ali.
"Ryan!" seru Kate. "Aku menanam mawar. Itu tugas sekolah, tapi aku menjadikan taman ini penuh dengan warna. Tebak aku menanam warna apa."
"Um," Ryan berpikir sejenak. Melirik Diana yang sepertinya sama antusiasnya untuk menebak. "Merah?"
"Kau payah!" cecar Kate.
"Itu pink!" seru Diana. Ia mendengus menatap Ryan. "Semua perempuan suka pink. Ya, kan?"
Kate mengangguk. "Semua perempuan suka pink, Ryan." Kate terlihat gusar pada Ryan yang tidak bisa menebak. Gadis dua belas tahun itu tidak memeluk Ryan seperti biasanya, justru berlari ke dalam rumah meninggalkan jejak tanah.
"Apa?" tukas Ryan. "Perempuan juga suka merah. Warna itu jauh lebih universal daripada pink. Dan Emily tidak suka pink."
Diana memutar mata. "Emily suka pink. Kau saja yang tidak tahu."
Pink? Yang benar saja. Adik Ryan itu selalu berdandan punk dan berbusana serba hitam. Tidak sedikitpun terlihat bahwa adiknya suka pink.
"Diana? Ryan? Kalian sudah datang?" seru Delia dari dalam rumah. Begitu sosoknya nampak. Ia mencium pipi Diana dan memeluknya penuh sayang. "Aku menantikan hasil USG-nya. Aku ingin melihat bayinya. Adrian sangat senang mendengar ini. Ayo masuk. Buat Adrian menangis dengan menunjukkan foto cucunya."
Ryan mengecup pipi istri Adrian itu. "Bersiaplah menjadi nenek, Delia."
"Tutup mulut," dengus Delia.
Ryan masuk lebih dalam sambil memeluk Diana. Entah mengapa ia menjadi sangat posesif sejak Diana memberi kabar kehamilannya. Dan mungkin Ryan akan lebih posesif lagi setelah ini. Setelah tahu bahwa yang dikandung Diana adalah bayi laki-laki.
Keturunannya.
Adrian duduk di meja makan. Sedang membaca koran dan meminum kopi. Ia tersenyum ketika melihat kedatangan Ryan dan Diana. "Bagaimana pemeriksaannya?" tanya Adrian.
"Umurnya sudah lebih dari empat bulan," jelas Diana. "Aku tak percaya tidak menyadari ini lebih awal. Dia sudah terlihat. Sangat jelas."
"Wow," sahut Delia. "Kau sudah merasakan keanehan itu? Ketika kau ingin makan sesuatu yang aneh di waktu yang aneh."
Diana tertawa. "Untungnya belum―"
Obrolan itu didominasi Delia dan Diana yang saling bertukar cerita. Mereka membicarakan banyak hal tentang kehamilan. Sepertinya Delia juga menyukai ini, meski rasanya aneh Delia akan menjadi seorang nenek padahal umurnya hanya sedikit selisih dengan Ryan.
Sementara Adrian menatap aneh pada Ryan. Pria lima puluhan itu menghela napas seraya menggeleng penuh arti pada Ryan. Ia menyesap kopinya, namun Ryan bisa melihat bahwa Adrian mengetahui bahkan sebelum diberitahu.
Ryan duduk dan mengambil tempat di dekat Adrian. Delia dan Diana melanjutkan obrolan mereka di dapur, juga berencana mengepak beberapa blus ukuran ibu hamil yang akan diberikan pada Diana. Ryan senang melihat kehangatan ini, meski ada yang mengganjal di hatinya.
"Empat bulan, ya?" tanya Adrian, membuka obrolan. Koran telah ditutup dan didorong menjauh. Ia sepenuhnya terpusat pada putranya.
Ryan menyugar rambutnya. Kepalanya seperti penghitung mundur yang siap meledak. "Laki-laki, Adrian. Aku akan punya seorang putra."
Adrian menghela napas. Ia mengangguk, lalu menatap Ryan. "Aku tahu ekspresi itu." Ia tersenyum miris. "Persis ketika aku tahu bahwa Delia bukan hanya mengandung bayi perempuan, tapi juga... laki-laki. Bayangkan kenyataan itu berada di depanmu dan Satya Salendra beserta pengawalnya yang mencolok itu sudah menunggumu di pintu depan. Aku juga... panik. Aku tahu ayahku akan melakukan segalanya untuk membawa putraku ke dalam apapun permainannya."
"Ini gila." Ryan menghela napas. "Seminggu yang lalu, Derian datang bersama Sandi."
Adrian terlihat waspada. "Apa yang diinginkannya?"
"Dia menuntut pengukuhan aset warisanku."
Adrian tertawa pelan, namun tak ada nada humor di dalamnya. "Menuntut? Dia bahkan membawa Sandi ke hadapanmu? Aku sulit percaya."
Ryan mengangkat bahu. "Awalnya, dia mengatakan beberapa hal soal fakta apa yang akan kuhadapi jika aku tidak mempercepat pengukuhannya. Diana tidak akan mendapatkan apa-apa jika―sial, memangnya aku peduli soal itu? Tidak!"
Adrian mengangguk. "Aku tahu."
"Derian mendorongku. Dia tersinggung ketika aku berusaha mengulurnya lebih lama. Dia bilang aku tidak menghargai wasiat yang diberikan Satya Salendra. Astaga, aku tak tahu mengapa kembaranmu begitu penurut pada ayahnya bahkan hingga ayahnya berada di liang lahat. Deanita juga mulai melakukan omong kosong yang sama. Dia berusaha membuatku gila di kantor."
Adrian memicing. "Derian tidak mungkin melakukan itu."
"Aku tidak heran. Mereka semua fanatik pada Satya Salendra. Tapi kakek tua itu mengambil sebuah keputusan sepihak."
Adrian memandang kejauhan. Dahinya mengernyit, menciptakan lebih banyak kerut di wajahnya. "Derian tidak menyukai isi wasiat itu. Semua yang diinginkannya sedaridulu adalah posisi. Ia ingin dilihat, Ryan. Rasanya aneh jika dia mendorongmu."
Ryan tahu itu. Tapi melihat betapa Derian dan Deanita mulai melemparkan tanggung jawab pada Ryan, ia tak yakin akan berpikiran sama. Bisa jadi Derian hanya akan bertindak sebagai penindak di keluarga Salendra. Mempertahankan sesuatu yang sudah seharusnya.
Jika tidak ada lagi Satya Salendra yang menggembleng pewaris selanjutnya, Derian Salendra yang akan bertindak demikian. Kemudian akan diteruskan oleh Deanita, dan omong kosong ini tak akan pernah berakhir.
"Aku memikirkan Ian," ujar Ryan pelan. "Aku tak peduli dengan ini, Adrian. Sumpah. Ini bisa jadi hak Ian."
Adrian mendengus. "Kau tidak akan menanyai Ian soal itu. Dia baru dua belas tahun. Dia tidak bisa menjadi tolok ukurmu mengambil pengukuhan itu atau tidak. Yang akan dia tangkap dari semua ini adalah dia punya banyak uang." Adrian memelankan suaranya. "Aku tidak mau Ian dijadikan boneka siapapun."
Adrian juga menginginkan hal yang sama pada Ryan. Tetapi Ryan memilih jalan lain. Ia menjadi boneka Satya Salendra selama bertahun-tahun dan kini otak kecilnya akan terus diatur untuk mengemban tanggung jawab ini. Namun ini demi Ian. Tapi sekarang ia punya nyawa lain yang harus ia pikirkan. Ia juga tidak mau putranya berada di posisi ini.
"Kau cukup tahu keputusan apa yang kau ambil," ujar Adrian pelan. Ia masih memandang Ryan dengan tatapan sama... lepaskan semua ini, lari saja sepertiku. "Kau tahu konsekuensinya. Jika kau yang mengambil pengukuhan itu, putramu akan berada di garis selanjutnya. Aku tak tahu siapa yang akan menghancurkan tradisi itu, tapi kau pantas khawatir mengingat keluarga ini sudah terlalu rumit."
"Marissa Salendra? Bagaimana?"
Adrian mengendik. "Ibuku selalu menuruti apapun keputusan suaminya. Aku... juga mengkhawatirkan itu." Ia mendesah. "Ian juga semakin sulit. Aku tahu ini masa remajanya, tapi dia terlalu jauh. Aku tidak bisa memantaunya."
"Aku bisa," sela Kate yang tiba-tiba datang. Wajahnya sudah bersih dari tanah dan ia telah berganti pakaian. "Kami tetap saudara kembar, kan? Bagaimanapun, kami tidak terpisahkan."
"Enyahlah, Kate," dengus Ryan.
"Jangan mengumpat, Ryan," tegur Adrian. Kemudian beralih pada putrinya. "Kenapa kau tidak memanggil Ian untuk turun? Kita akan makan malam bersama Ryan dan Diana."
Kate memutar mata pada ayahnya hingga mendapat pelototan. "Cowok-cowok selalu puber lebih awal. Ian sedang naksir cewek di kelas."
"Tidak mungkin," tukas Ryan, terkejut mendengar itu. "Dia baru dua belas. Dia masih berada di tahun pertama. Dengan kata lain, dia masih ingusan."
Kate mengangkat bahu. Ia mengambil kue di stoples. "Itulah kenyataannya. Dia online sepanjang waktu demi menyapa Larisa. Itulah mengapa dia selalu membawa makanannya ke kamar."
"Kenapa kau tidak naksir seseorang?" tanya Ryan.
Adrian melotot. "Tidak. Jangan. Papa akan marah, Kate."
"Kau juga harus mengalami puber," kata Ryan seraya menyeringai pada Adrian.
"Ryan, kau tidak tahu betapa riskan seorang gadis jika menyukai laki-laki," tegur Adrian. "Kau akan tahu betapa dirimu khawatir setelah kau punya putri."
Ryan tertawa. "Kabar bagusnya, tahap pertamaku adalah seorang putra. Aku akan mengatasi yang seperti Ian lebih dulu sebelum aku dan Diana memrogramkan anak perempuan."
Kate mendengus. "Melihat Papa, Ryan, dan Ian, aku tidak yakin akan suka pada laki-laki dalam waktu dekat. Kalian memuakkan."
"Hei," seru Ryan. "Aku suka kata itu."
"Jangan mengumpat, Katrina! Ryan, kucekik kau!" seru Delia keras-keras dari belakang. Kemudian semua orang di meja itu terdiam.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top