SO - BAB 4
Kenapa lama sekali wanita itu tiba? Apakah Diana tidak mampu mengangkat seluruh kue-kue itu? Apakah Ryan terlalu berlebihan dengan menyuruh Diana membawa semua kue itu? Apakah Ryan sebaiknya menyuruh seseorang untuk menyusul Diana dan menawarkan bantuan?
"Ryan, kenapa kau berjalan memusingkan seperti itu?" tanya Ian polos.
Ryan berhenti sejenak menatap adik laki-lakinya yang mengerjap penuh tanya. Ryan bahkan tak menyadari bahwa yang ia lakukan hanya berjalan bolak-balik mengitari ruangannya sementara adik-adiknya duduk tercenung di sofa, menatap sang kakak yang tak mau diam. "Tidak ada apa-apa," sahut Ryan. Tanpa ia kehendaki pula, ia kembali berjalan mondar-mandir.
"Aku mulai pusing mengamatinya," kata Kate. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, menyandarkan tubuhnya ke sofa, dan mulai mengotak-atik ponselnya.
"Kate, menurutmu siapa yang akan memakan kue-kue itu?" tanya Ian pada saudarinya.
Kate mengangkat bahu. "Ryan, kan, sudah menyuruh seseorang untuk membagikannya."
"Apakah kau sering menraktir karyawanmu, Ryan?" tanya Ian lagi.
Ryan kembali menghentikan kegiatannya. Ia menatap adiknya dengan tatapan kosong karena pikirannya masih melayang akibat menanti wanita itu. Ryan tidak mendengar dengan pasti apa yang Ian tanyakan, tapi ia menjawab, "Tidak." Kemudian ia kembali sibuk dengan pikirannya, hingga ia berhenti di depan kaca bening yang memperlihatkan ramainya kota di bawah sana.
Ryan berharap bisa melihat Diana dari jarak ini, memastikan apakah wanita itu telah menyebrangi jalan. Atau setidak-tidaknya, ia mau repot dengan melihat jaringan yang menghubungkan langsung seluruh sistem kamera pengintai di seluruh gedung ini.
Ryan mendengar dengusan Kate serta hentakan kakinya ketika menegakkan tubuh. "Sekarang aku melihatnya."
Ryan dan Ian berkata bersamaan, "Apa?"
Kate mengendikkan bahu. "Kesamaan Papa dan Ryan. Mereka berjalan bolak-balik karena mereka cemas. Kau pernah lihat Papa seperti itu, kan, ketika Mama tak kunjung tiba di rumah hingga tengah malam."
Ian mengangguk setuju.
Ryan... cemas?
Yang benar saja?!
Tentu saja itu benar. Ryan takut wanita itu berubah pikiran dan melupakan permintaan Ryan karena menganggap permintaannya tidak serius. Meski sebenarnya itu juga merupakan alibi Ryan.
Ryan tidak suka adiknya yang masih berumur dua belas tahun itu mengoceh dan mengatakan kebenaran. Hanya segelintir orang yang mampu mengerti keinginan Ryan Archer, tapi dibaca seperti buku yang terbuka oleh si kembar yang bahkan belum resmi mengenakan seragam putih-biru bukanlah sesuatu yang Ryan banggakan.
Ryan mulai berpikir lebih baik dua anak hiperaktif ini pergi. "Bicara soal Papa kalian―"
"Kau mulai lagi," potong Ian, mengingatkan Ryan. "Adrian Salendra juga Papamu."
Ryan memutar mata. Ian telah jutaan kali mengingatkan yang satu itu. Ryan tak pernah menyanggah bahwa Adrian adalah ayah kandungnya. Namun kejadian bertahun-tahun silam tak mudah dilupakan. Bahkan hingga detik ini pun Adrian Salendra, sang ayah kandung, tak pernah menjadi wali resmi Ryan. Ini akan menjadi suatu kebiasaan yang sulit dihilangkan meski hubungan Ryan dan Adrian baik-baik saja. "Terserah. Aku berpikir lebih baik kalian pulang."
"Papa dan Mama belum pulang," gumam Kate.
"Kalian tak akan tahu jika kalian belum tiba di rumah," tukas Ryan.
Suara berdenting memecah perdebatan mereka. Ryan bisa melihat pintu lift yang terbuka dari balik pintu kaca ruangannya yang setengah buram. Otomasi pintu ruangannya telah Ryan aktifkan. Jadi ketika dua sosok itu mendekat, pintu terbuka dengan sendirinya.
Ryan berusaha menampakkan senyumnya karena ia merasakan kaku di setiap sudut bibirnya. "Halo lagi, Nona Diana."
Petugas keamanan yang mengantar Diana mengangguk sopan pada Ryan. Sementara Ryan lebih berfokus pada wanita yang rambut sepunggungnya telah diikat dengan cantik. Persetan dengan kaos polo dan celana jinsnya, wanita ini tetap terlihat cantik. Jadi Ryan hanya memberikan lirikan singkat pada karyawannya.
Diana tersenyum lebar dan entah bagaimana di mata Ryan wajah wanita itu menjadi berbinar-binar. Semakin cantik. "Astaga, Tuan Archer, aku belum pernah mendapatkan perlakuan semacam ini. Maksudku, kantormu hebat. Kuharap aku bisa mengenakan sesuatu yang lebih pantas untuk masuk ke sini," kata Diana seraya membuka tangan ke ruangannya yang luas. "Sebenarnya kau bisa menitipkan uangnya ke respsionis lantai dasar. Jadi aku tidak perlu mengganggu sampai ke ruanganmu seperti ini."
Ya Ampun! Entah bagaimana semangat wanita ini ketika mengucapkan setiap katanya membuat dada Ryan menghangat. Ia tak pernah merasa seperti ini sejak ibunya meninggal lebih dari enam belas tahun yang lalu. Kegelisahan yang sedaritadi mengganggu Ryan hingga mendorongnya melakukan hal bodoh telah terbang entah ke mana. Semuanya terbayar dengan adanya Diana di sini.
"Aku sedang bebas," jawab Ryan. "Ini jam makan siang."
"Oh! Dan ini cup cakes-nya." Diana menyodorkan satu kotak pada Ryan, namun justru disambar oleh Kate yang tersenyum cerah karena mendapatkan oleh-oleh untuk ibunya. Diana tersenyum menanggapi tingkah bocah itu. Ia menyodorkan kotak lainnya. "Dan ini roti cokelat spesial karena kau bilang kau menyukainya."
"Tapi Ryan sudah makan dua potong yang kami belikan untuk makan siang―"
"Terima kasih," ujar Ryan lebih dulu, memotong Ian. Ryan menerima kotak itu dengan sukacita. Sebuah kotak dengan stiker sederhana bertuliskan Diana's Bakery yang dicetak dengan huruf meliuk indah. Hampir saja Ian mengacaukan seluruh alibinya yang membiarkan Diana naik ke atas ini. Jadi Ryan menatap petugas keamanan yang masih setia di belakang Diana. "Kau. Tolong antarkan dua anak ini pulang." Ryan merogoh kunci mobilnya dan menyerahkannya pada pria yang lebih muda darinya itu. "Gunakan dengan aman."
"Ryan!" Kate merengek. "Tidak bisakah kau saja mengantar kami sepulang kerja?"
Ryan menggeleng. "Aku sibuk. Aku akan ke rumah pada akhir pekan. Sampaikan salamku pada Adrian dan Delia."
Kate masih cemberut ketika memberikan pelukan perpisahan untuk Ryan. Namun Ryan bersyukur Ian lebih dewasa daripada adiknya, jadi ia menggandeng tangan saudarinya dan berjalan keluar diikuti sang pengantar.
Sekarang, tinggal Ryan dan Diana yang terjebak dalam ruang kaca yang diliputi kecanggungan.
"Uh... mungkin... kau memerlukan notanya?" kata Diana memecah keheningan.
Ryan mengernyit. "Nota?"
Diana mengangguk. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantong belakang jinsnya. "Ya. Nota." Sebuah kertas ia tunjukkan pada Ryan.
Ryan mengangguk karena teringat tujuan wanita itu dengan senang hati naik ke sini. "Kau benar. Nota."
Diana tertawa pelan hingga membuat Ryan mati kutu. Demi Tuhan, selama sepak terjangnya menjadi presiden direktur, Ryan tidak pernah kehilangan kontrolnya seperti saat ini. Alih-alih ia salah tingkah seperti remaja, meski usianya sudah kepala tiga.
Sial. Ia bukan lagi Ryan Joseph yang itu. Ia sudah jauh dari kehidupan terdahulunya yang hanya bisa mengagumi seorang Diana Reese dari jauh. Dan Diana yang di hadapannya ini bukan Diana yang mencampakkannya meski ia berkata menyukai Ryan. Demi Tuhan, itu hanya cinta monyet.
"Berapa totalnya?" tanya Ryan. Ia berjalan lebih dulu ke arah mejanya untuk mengambil lembar cek. "Silahkan duduk lebih dulu, Nona Diana―"
"Kau bisa memanggilku Diana saja, Tuan."
Ryan berbalik memandang wanita itu sebelum membuka lacinya. "Lalu buat nyaman dirimu pula, Diana. Kau tak perlu memanggilku Tuan."
Diana tertawa. "Aku memanggil semua pelangganku begitu."
Lagi-lagi tawa itu menciptakan pengaruh tersendiri bagi Ryan. "Maka aku tak mau jadi pelangganmu jika kau masih bersikeras. Aku bisa berhenti menjadi pelangganmu jika itu bisa membuatmu memanggilku tanpa sebutan Tuan―"
"Oke," potong Diana. Ia tersentak seperti ketakutan kehilangan pelanggannya. "Kita bisa mengatasi itu. Di bagian mana aku bisa memanggilmu? Archer? J?"
Ryan tertawa karena kekonyolan wanita itu. "Nama depanku."
"Ryan." Diana mengangguk.
Ryan tersenyum. Ia senang wanita ini menyebut namanya. "Duduklah, Diana." Ryan menunjuk sofa. "Kau ingin minum sesuatu?"
Diana menolak ramah. "Aku tak ingin merepotkanmu."
"Santai saja," kata Ryan. "Jadi berapa totalnya? Aku tak yakin berapa jumlah uang tunai di dompetku. Jadi aku mungkin bisa membayarmu dengan cek. Berapa juta?"
Diana mengerjap. Ia menatap Ryan dengan senyuman geli. "Ryan, kue-kue di tempatku sangat murah. Jika dikalikan dengan jumlahnya pun, aku tak yakin jika itu setara dengan guci di ruanganmu."
Ryan mengernyit.
Diana bangkit dari tempatnya dan menghampiri meja Ryan. Wanita itu menyodorkan kertas notanya. "Hanya delapan ratus lima puluh ribu. Apakah menurutmu aku harus ke bank untuk mencairkan uang sebesar itu?"
Ryan tergugu di tempatnya. Ia telah membeli semua kue Diana dan semuanya hanya delapan ratus ribuan? Ia yakin dompetnya menyediakan jumlah itu. Ia hanya tak menyangka bagaimana pendapatan kotor wanita itu tidak lebih tinggi dari harga gucinya. Ia tak akan menduga keuntungan bersih yang diterima Diana hari ini.
Ryan mengangkat wajah dan bertemu lagi dengan senyum wanita itu. Bagaimana wanita ini bisa tersenyum setiap saat, memancarkan keceriaannya hingga mempengaruhi orang lain, meski di mata Ryan kehidupan yang Diana jalani sangat miris.
Ryan mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan sembilan lembar seratus ribuan. Ia menyodorkan pada Diana dan wanita itu menghitung jumlahnya. Diana hampir merogoh kantongnya untuk mengembalikan sisanya, namun Ryan mencegah.
"Ambil saja," kata Ryan. "Itu tip karena sudah mengantarnya ke sini."
Diana tertawa geli. "Ryan, aku hanya harus menyebrang dan aku bahkan tidak memberimu potongan. Harga itu sudah termasuk layanan antar. Aku tak keberatan. Lagi pula, lima puluh ribu itu sangat besar."
"Tapi aku keberatan," sahut Ryan dengan wajah sehari-harinya ketika mendebat seseorang.
Diana bungkam seketika. Ia mengendikkan bahu karena merasa tidak bisa membantah. "O-oke. Ya sudah jika kau memaksa. Omong-omong, terima kasih." Ia memasukkan uang itu ke kantong celananya. "Aku mungkin harus turun."
Ryan beranjak. "Aku akan mengantarmu."
Diana tertawa lagi seraya berjalan keluar ruangan. "Aku yakin aku masih ingat jalannya."
Ryan balas tertawa kaku. "Aku tidak mau dicap sebagai tuan rumah yang buruk." Ia mengarahkan Diana ke pintu lift dan memencet tombol untuk Diana.
"Tuan rumah buruk?" terka Diana. Ia tertawa. "Kau memberiku tip. Bagian mananya yang buruk?"
"Aku senang bertemu denganmu," kata Ryan.
Diana tersentak tepat saat bunyi denting terdengar dan pintu lift terbuka. Ia menatap Ryan dengan binar mata itu lagi, yang membuat Ryan melupakan seluruh dunianya. "A-aku... juga senang bisa bekerja sama denganmu," kata Diana pelan hingga suasana intens mengungkung keduanya. "Semoga kau menyukai kuenya dan bisa datang kembali ke tokoku untuk mencicipi yang lainnya."
Ryan mengamati wajah itu dari dekat. Entah bagaimana efeknya sangat luar biasa pada dirinya. Jantung bertalu-talu tanpa sanggup ia kendalikan. Ia tak ingat bahwa pintu itu menanti salah satu dari mereka masuk. Pintu yang tertutup kembali memecah tatapan intens mereka, Ryan harus menekan tombol untuk mencegah pintu tertutup.
"Maaf," kata Diana yang baru saja tersadar. "Aku harus kembali ke toko. Sekali lagi, terima kasih. Dan..." Diana terlihat kehilangan kata-katanya.
"Dan?" tuntut Ryan.
Diana mengernyit memikirkan kata yang tepat. "Dan... sampai bertemu lagi?"
Ryan tersenyum rileks kali ini. Ia tak yakin pernah tersenyum seperti ini sejak ia kembali menginjakkan kaki di Indonesia. Ia mengangguk dan membiarkan Diana masuk ke lift. Tatapan mereka kembali bertaut bahkan ketika pintu perlahan tertutup.
Sebelum pintu sepenuhnya tertutup, Ryan berkata meski ia tak tahu Diana akan mendengarnya atau tidak. "Kita akan bertemu lagi. Segera, Diana."
Kemudian pintu tertutup sepenuhnya dan Ryan bersumpah hal terakhir yang ia lihat adalah senyum Diana.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top