SO - BAB 34
Jangan lupa support dengan vote dan komentar :D
Semoga suka :) :)
Diana tidak menyetujui bulan madu dalam waktu dekat. Terlalu banyak yang ia dan Ryan tinggalkan selama mengurus persiapan pernikahan, sehingga menurut Diana, bulan madu bisa ditunda untuk sementara waktu.
"Aku bisa mengatasinya setelah kita pulang bulan madu," ujar Ryan mengukuhkan pendiriannya untuk melakukan bulan madu setelah lima hari mereka menikah.
"Ryan, kau pasti punya banyak pertemuan yang harus kautangani. Kau sudah meninggalkan semua itu selama sebulan penuh. Bulan madu sama sekali bukan prioritas untuk saat ini. Lagipula, apa yang kauharapkan dari bulan madu?"
Ryan bersidekap dan memandang Diana. "Sayang, aku bosnya. Sarah bisa mengurus itu untukku. Ia bisa menjadwal ulang. Deanita bisa menggantikanku untuk sementara dan Sarah akan melaporkan segalanya padaku. Aku bahkan bisa membawa pekerjaan itu ke pesawat. Semuanya akan baik-baik saja. Suasana santai mungkin adalah yang kaubutuhkan untuk... uh... menjernihkan pikiran?"
"Benar." Diana mengangguk skeptis. "Supaya aku bisa terbawa suasana dan tidak lagi bisa melarikan diri untuk itu―seks. Tidak. Aku masih ngeri membayangkan nyerinya."
Ryan mengerang. Tentu saja Diana tahu kebutuhan pria itu sedang meledak-ledak. Tapi, astaga, Diana merinding jika diingatkan dengan pagi pertamanya. Ia butuh segenap tenaga untuk memanggang kue, mengantarkannya untuk disetor dan dijual. Diana bisa kehilangan bisnisnya jika harus mangkir lebih lama.
"Tidakkah kau melihat bahwa pemilik toko yang kuundang sengaja datang ke acara penikahan kita hanya untuk mengingatkan tentang jumlah pesanan? Aku juga tidak bisa lama-lama menjauh dari oven."
"Bagaimana jika kujanjikan tempat bulan madu yang punya oven? Kau bisa memanggang apapun di sana."
Diana memutar matanya. "Jangan merayuku, oke? Pergilah bekerja."
Ryan akhirnya mengalah, tapi Diana tahu Ryan akan berusaha lagi. Suaminya itu tak bisa mengelak. Ia memang punya banyak pekerjaan. Setelah cuti pasca menikah yang ia ambil, Ryan selalu pulang lambat dan wajahnya terlihat lelah. Diana mungkin setuju bahwa Ryan butuh sesuatu untuk menenangkan diri, liburan terdengar bagus untuk keduanya. Tetapi setelah Ryan kembali ke kantor, Ryan bahkan tidak bisa jauh dari laptopnya. Diana bersumpah ponsel Ryan berdering setiap setengah jam. Ryan membicarakan bisnis yang tak Diana mengerti. Ryan jelas punya banyak pekerjaan yang harus ditangani. Diana bisa mengalah untuk itu.
Sementara itu ganjalan di hati Diana perlu ditangani. Ia ingat di hari pernikahannya bahwa orang-orang menanyakan keluarga sang mempelai wanita. Bahkan Derian, paman Ryan, terang-terangan menanyakan asal-usul Diana secara langsung. Diana hanya menjawab sekenanya ketika ditanya―orang tuanya sudah meninggal, itu sudah jelas, dan bukan suatu kebohongan. Kebanyakan orang hanya menilai Diana di belakang Ryan, tapi Diana cukup bisa membawa diri untuk tidak memedulikan mereka. Orang-orang juga berpikir bahwa keluarga Archer atau Lazuardy, yang terlihat akrab pada Diana, adalah keluarga Diana. Diana tak menyanggah, toh mereka juga bagian dari hidup Diana sekarang ini.
Tetapi Diana masih memikirkan Yunita dan perkataannya. Diana tak pernah tahu mengapa Yunita begitu membencinya. Diana pasti akan maklum jika bibinya tak mau menerimanya, namun pernyataan Yunita terakhir kali benar-benar mengguruinya.
Kenapa Yunita harus menyalahkan ayahnya? Kenapa Yunita harus mengotori citra Andreas di benak Diana?
Harusnya Diana tidak pergi begitu saja saat itu. Setidak-tidaknya, ia ingin Yunita menjelaskan. Tetapi saat itu Diana dilanda emosi sebagai respon pertama karena Yunita membawa nama ayah yang ia kagumi sejak lahir.
Diana ingin menyelesaikan ini sendiri. Diana pun tahu Ryan sudah cukup sibuk dengan segala urusan kantor. Diana tak mau membuat pikiran Ryan bercabang. Diana ingin bertemu lagi dengan Yunita, tapi ia pun tahu bahwa ia tak bisa sendirian. Diana butuh seseorang untuk membantunya.
Jadi setelah Diana selesai mengantar pesanan kue-kuenya, Diana menuju ke rumah keluarga Salendra setelah membuat janji. Diana selalu gugup ketika melewati pagar menjulang rumah Adrian, meski telah berkali-kali melewatinya. Tapi kali ini ia menggunakan kakinya untuk menyusuri teras depan nan luas.
"Nyonya Diana?" sapa seorang pria yang sibuk menyiram tanaman di taman.
Diana memberikan senyuman. Ia cukup familiar dengan wajah itu. Ia sudah menemui pria yang sudah lama bekerja untuk Adrian, namun ia belum mengingat namanya dengan baik.
"Cari Nyonya Delia, ya? Tadi Nyonya sudah pesan. Langsung masuk saja. Nyonya Delia sudah siap. Sebentar, saya siap-siap dulu."
Diana mengangguk dan membiarkan pria itu masuk lewat pintu samping, sementara Diana melanjutkan langkahnya ke pintu depan. Benar saja, Delia sudah bersiap di kursi tamu, ia sedang menerima panggilan sehingga Diana menunggu.
"Akan kuurus. Sampai nanti." Kemudian Delia mengakhiri panggilan itu dan tersenyum pada Diana. "Halo, Diana. Aku tak mendengar suara taksi."
"Aku... memang tidak menggunakan taksi."
Delia menaikkan alisnya yang dipulas sempurna. Ia bangkit dan menghampiri Diana. "Lalu? Jangan bilang kau menggunakan transportasi merakyat yang lain."
Diana mengendikkan bahu dan tersenyum tak enak hari. "Aku terbiasa."
"Jangan lakukan itu," tukas Delia. "Kalau Ryan sampai tahu, dia akan memarahimu habis-habisan. Apakah aku sudah bilang bahwa Ryan dan Adrian punya karakter yang sama?"
"Yah, Mama belum mengatakan itu untuk yang kesepuluh kalinya."
Delia tertawa. "Mereka sangat protektif. Angkutan merakyat akan dimasukkan sebagai kategori tempat tidak aman. Adrian bahkan tak memberiku ijin untuk menyetir sendiri. Aku kehilangan kemampuanku dalam kurun waktu tiga tahun. Menyebalkan. Sekarang Ali akan ikut ke manapun aku pergi. Kau tidak keberatan Ali ikut?"
Diana menggeleng. Bertepatan dengan mobil yang Ali sudah siapkan di teras. Ali mengangguk sopan pada keduanya. Delia mendorong Diana masuk lebih dulu ke bagian belakang penumpang.
"Jadi... kau akan mengajakku ke mana?" tanya Delia ketika mereka mulai berjalan.
Diana ragu-ragu. Ia berusaha berkata pelan. "Ke tempat bibiku. Di Bogor."
Delia jelas terkejut. "Kau punya bibi? Kupikir kau... maaf... yatim piatu dari orang tua tunggal."
Diana menyandarkan punggungnya. Delia mengatakan pada Ali bahwa tujuan mereka adalah Bogor. "Tidak dari pihak ibuku. Ia punya seorang kakak. Aku tak pernah benar-benar mengenalnya, Ma. Aku hanya melihatnya sekali, saat pemakaman ibuku. Selebihnya, kami tidak pernah berhubungan."
"Ryan tahu?"
Diana mengangguk. "Dia hanya tidak mengetahui kejadian hari ini. Sebelum hari pernikahan, aku dan Ryan mencoba mencarinya. Dia... mengatakan sesuatu yang buruk, namun tidak kumengerti."
"Tentang apa?"
"Ayahku." Diana mendesah. "Ia bilang, ayahku adalah seorang pembunuh dan pemakai narkoba. Aku merasa sangat sulit untuk memercayainya."
"Percayalah pada sesuatu yang membuatmu lebih baik. Selama itu tidak merugikan siapapun, itu sah-sah saja, Diana."
Diana nyaris lupa bahwa Delia adalah seorang psikiater. Delia tahu bagaimana caranya menjadi pendengar yang baik. Delia tahu caranya membuat seseorang merasa nyaman padanya, dan itulah yang Diana rasakan saat ini.
"Terima kasih sudah mau membantuku, Mama."
Delia mengangguk. "Aku senang kau hadir di keluarga kami. Aku dan Adrian bahagia melihat Ryan bahagia. Kau adalah pilihan terbaiknya."
Hal itu membuat Diana berpikir ke masalah lainnya. "Tapi sepertinya, keluarga Salendra tidak berpikir begitu."
Delia mendengus. Sungguh sulit dipercaya Delia melakukan hal seperti itu padahal wanita itu selalu terkendali dan anggun. "Jangan pikirkan keluarga Salendra, Diana. Aku bahkan ragu mereka bisa menerima anak dari anjing yang mereka rawat puluhan tahun. Mereka sangat sulit menerima orang baru. Aku juga pernah mengalami apa yang kau alami."
"Bagaimana kau menghadapinya?"
"Kau akan gila jika berusaha menghadapi mereka. Adrian lebih menjagaku saat itu. Ia bersikap tak acuh dan kupikir aku mulai bisa membawa diri bersamanya. Jadi, aku hanya akan bicara jika kata-kataku sangat dibutuhkan. Selebihnya, aku tak mau ambil pusing. Keluarga ini rumit, Diana. Mungkin kesalahan terbesar ada pada Adrian, karena ia sudah sejak lama melepaskan diri dari keluarga Salendra. Tapi sekarang, setelah Ryan masuk ke sana, kupikir mau tidak mau, kami harus mengalami perang dingin yang tak berkesudahan ini."
Emily pernah menceritakan garis besar keluarga Ryan. Memang rumit jika harus ditelusuri. Adrian melepaskan diri dari keluarga Salendra karena mempertahankan ibu Ryan. Namun ibu Ryan akhirnya pergi membawa bayi Ryan, lalu menikah dengan William dan memiliki Emily. Ryan masih harus berhubungan dengan keluarga ibu dan ayah kandungnya meski nama belakangnya adalah Archer.
"Jangan khawatir," tukas Delia. "Ryan akan menjagamu dan mengajarimu bagaimana caranya membawa diri. Hanya saja... tolong, usahakan supaya ia berada dalam emosional yang wajar. Ryan itu sulit sekali untuk dikendalikan."
"Aku tak mengerti mengapa Ryan tidak mau memanggilmu Mama. Kau mengerti dirinya dengan baik."
Delia tersenyum. "Diana, pekerjaan sehari-hariku adalah memahami seseorang. Aku cukup mengerti bahwa sesuatu yang kasat mata dan dapat dinilai dari Ryan sudah melekat pada diri Adrian. Aku mengerti karena aku mengenal suamiku. Lagipula, rasanya aneh jika dia memanggilku Mama. Beritahu aku, apa alasan yang digunakannya untuk mengelak dari pertanyaan itu? Kenapa dia tidak memanggilku Mama?"
"Karena kau bukan ibu kandungnya."
"Klasik." Delia terkekeh. "Yah, tapi kenyataannya memang begitu. Lagipula, Ryan hanya selisih delapan tahun denganku. Dia lebih pantas disebut adikku daripada putraku."
Diana tertawa. Sebenarnya, Diana tak pernah benar-benar mengetahui usia Delia. Wanita itu selalu terlihat cantik dan Diana pikir Delia mampu menjaga penampilannya supaya terlihat awet muda.
"Aku tak ambil pusing jika memang Ryan tidak mau memanggilku Mama. Tapi Adrian selalu berharap lebih. Dia sangat senang kau mau memanggilnya Papa."
Diana juga senang. Menyadarkannya bahwa ia punya sosok lain yang ia anggap sebagai ayahnya. Adrian adalah sosok ayah sempurna lainnya.
"Aku khawatir Adrian mencemaskan satu hal," lanjut Delia. "Aku tidak mengerti mengapa ia memikirkan ini ketika Ian dan Kate saja belum mengalami pubertas yang sesungguhnya. Mungkin ia khawatir akan usianya. Mungkin ia khawatir akan terjangkit suatu penyakit dan bisa meninggal kapan saja."
"Jangan sampai," Diana meringis.
"Benar." Delia mengangguk. "Aku masih belum siap menjadi seorang ibu tunggal untuk anak seaktif Ian dan Kate. Aku cukup salut pada ibu Ryan yang masih bertahan dengan anak itu. Ia orang tua tunggal sampai usia Ryan empat belas, tapi ia membesarkan Ryan dengan sangat baik."
"Aku menyesal tidak pernah bertemu dengan ibu Ryan."
Delia mengangguk. "Ini aneh, tapi... aku juga. Aku berharap aku sempat bertemu Emilia. Emily dan Ryan adalah seorang yang hebat. Aku jadi menyadari darimana mereka berasal."
Diana merenungkan itu. Ia juga tidak bisa membayangkan berada di posisi ibu Ryan. Jika membayangkan apa yang orang-orang ceritakan, kehidupan yang dilalui Emilia sama sekali tidak mudah. Kebanyakan orang pasti akan menyerah bahkan sebelum memulai. Tidak heran jika Ryan punya prinsip paling kuat yang tak bisa digoyahkan.
"Uh... Diana?" Delia memulai ragu-ragu.
"Hmm?"
"Jujur saja, aku tidak mau menjadi mertua menyebalkan. Tapi aku bersumpah aku hanya menyampaikan apa yang Adrian ingin sampaikan. Ia benar-benar cemas soal ini."
"Apa?" Diana bingung.
Deliamemasang raut tak mudah diartikan. "Cepatlah beri kami cucu. Meski rasanya anehsekali, aku punya cucu padahal aku baru genap berumur empat puluh tahun ini."[]
Jangan ada bulan madu di antara Ryan & Diana... atau 10 bab ke depan hanya ada part Rated wkwk.
Jadi aku habis dari kondangan teman aku (cewek). Dia nikah muda, sementara ibunya masih muda, padahal mantunya (cowok--mempelai pria) adalah temen sekantor ibunya. Ya... gitulah... kemudian aku teringat ironi ini... Hmm... aku sedang memikirkan malam pertama mereka (eh, anu... canda :p) Lagi mikirin hasil persilangan pagi pertamanya Ryan & Diana... wehehehehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top