SO - BAB 31

Jangan lupa support cerita ini dengan vote dan komentar :D

Semoga suka :) :)

Tidak. Itu tidak benar.

Diana telah menyematkan, memenuhi, bahkan menjejalkan pikirannya dengan kalimat itu. Berkali-kali dan terus mengulang-ulang. Ia tidak mau memercayai seseorang yang tidak cukup ia kenali untuk menyebarkan cerita yang tidak benar tentang ayah yang selalu Diana kagumi. Ayah Diana adalah seorang yang baik hati, selalu ramah, penyabar, penyayang, bertekad bulat. Ia menjadi ayah dan suami yang hebat sampai akhir hayatnya. Diana tidak bisa menggantikan sosok pahlawannya sebagai seorang pemakai obat-obatan dan pembunuh. Ia sama sekali tidak percaya―bahkan menolak percaya jika memang kenyataannya demikian.

Tidak. Kenyataannya tidak seperti itu. Bibi Yunita membual.

Diana menatap kembali pantulan dirinya di cermin. Ia tidak boleh membuat ini sebagai beban pikirannya. Ia akan baik-baik saja tanpa keluarga yang mendampingi. Baiknya Diana menerima kenyataan bahwa dirinya memang sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Satu langkah terbaik karena sebentar lagi, dalam hitungan jam, ia akan memiliki seseorang yang akan memilikinya. Seutuhnya. Untuk seumur hidupnya. Diana telah membiarkan dirinya terlepas dengan menginginkan kehadiran bibinya yang sebenarnya tidak diperlukan, ia tidak mau ucapan bibinya membuat hari bahagia Diana hancur.

"Tidak," ucap Diana dengan tegas di depan cermin. Ia berusaha memperingatkan dirinya sendiri. "Ini semua hanya akan menjadi milikku dan Ryan. Ayahku bukan pemakai narkoba. Bibi Yunita tak akan menodai di antaranya."

Tak akan Diana biarkan.

Apapun yang Yunita lakukan, tidak akan membuat Diana menangis lagi. Diana tidak akan merusak riasannya. Gaun putihnya yang cantik. Diana tak akan merusak hari pernikahannya. Inilah yang ia nantikan. Ia ingin bersama Ryan.

"Halo?"

Diana mengangkat wajah dan bertemu tatap melewati cermin. Emily yang melongo di ambang pintu tersenyum ketika menatap pantulan diri Diana. Ketika Emily masuk sepenuhnya ke kamar mempelai wanita yang mereka sewa, Diana sama terpukaunya dengan calon adik iparnya itu.

Diana berputar untuk melihat penampilan Emily. Gadis itu mengenakan gaun kuning pastel yang anggun. Riasannya natural tapi apik. Rambut hitam bobnya telah ditata dengan kepang-kepang kecil yang cantik. Emily juga mengenakan hak tinggi berwarna putih. Penampilan Emily mengubahnya menjadi wanita utuh. Walaupun tindiknya masih ada di telinga dan lidahnya, tapi sepertinya tindik itu terlalu kecil untuk merusak penampilan Emily hari ini.

"Aku tahu. Aku tahu," sahut Emily seraya memeriksa dirinya sendiri. "Jangan olok diriku, Kakak."

Diana tertawa. Ia bahkan melupakan apa yang dikhawatirkannya beberapa menit yang lalu. "Kau sangat cantik. Aku serius, kau sangat cocok dengan gaun."

"Rekam ini baik-baik, Diana. Aku mungkin tidak akan berpenampilan seperti ini lagi sampai aku menikah. Omong-omong kau juga sangat cantik. Kau pasti akan membuat Ryan menangis."

Diana ikut menilai dirinya. Gaunnya putih. Ada kesan sederhana dengan potongannya―tanpa lengan, melekat di tubuhnya, roknya jatuh namun tidak terlalu ketat. Namun manik-maniknya yang berkilau memang sengaja diberikan untuk mencocokkan pestanya yang meriah nanti. Rambutnya tersanggul ke atas, menyisakan rambut tipis di pipinya. Ia mengenakan mahkota kecil dan penutup kepala. Diana merasa dirinya sempurna.

"Ini," Emily menyodorkan sebuah kotak kecil dan surat. "Dari Ryan. Hadiah sebelum kau resmi menjadi istrinya. Katanya, kau harus membukanya sekarang."

"Aku tidak mempersiapkan hadiah untuknya."

Emily melambaikan tangan tak acuh. "Lupakan. Kau akan memberinya hadiah nanti malam." Kemudian ia mengerling.

Diana membuka surat itu terlebih dahulu. Tarikan setiap hurufnya jelas-jelas merupakan tulisan Ryan yang sebenarnya tidak terlalu bagus. Diana merasakan dirinya menghela napas sebelum membaca kata pertama.

Untuk Diana,

Aku tidak pernah menulis surat. Aku tidak tahu mengapa menulis surat. Jika aku berkata, aku mencintaimu, tentu kau sudah tahu kebenarannya. Jika aku berkata, hari ini aku sangat bahagia, kau juga sudah tahu itu.

Aku bersyukur atas kue cokelat. Aku berterima kasih kepada si kembar, Ian dan Kate yang kadang merepotkan. Aku telah kehilangan hidupku tapi kau mengembalikannya. Aku tak sabar menjalani menit-menit yang lainnya bersamamu.

Tapi pertama-tama, kau harus tahu kebenaran ini.

Aku tak tahu mengapa aku mengatakannya sekarang, di hari pernikahan kita, di mana ada kemungkinan kau akan meninggalkanku di altar. Aku juga tak tahu mengapa tak memberitahumu lebih awal.

Diana merasakan keharuan dan kekhawtirannya bercampur aduk. Jantungnya masih berdetak kencang sesaat setelah Emily memberikan hadiah padanya. Namun nyatanya, Diana tetap melanjutkan membaca surat itu meski kalimat Ryan seolah memperingatkan.

Ada sesuatu pada dirimu ketika aku bertemu denganmu. Selain karena kue cokelatmu sangat lezat, kau mampu mengembalikan masa-masa bahagiaku. Kau membuat masa laluku indah untuk dikenang. Namamu... namamu menjungkirbalikkan duniaku saat kau mengatakannya.

Diana...

Aku selalu meyakini takdir. Aku percaya takdir saat itu tengah berada di sampingku, mempertemukan aku dengan Diana yang lain, meski Diana di masa laluku tak sempat aku miliki. Kupikir aku mengejarmu karena kau adalah Diana di masa laluku, cinta pertamaku.

Tapi aku menyadarinya ketika aku menciummu, ketika aku berada di dekatmu. Kau adalah Diana-ku. Milikku. Diana Andisty. Bukan Diana yang lain. Aku tidak butuh Diana yang lain. Kau adalah masa depanku. Aku mencintaimu. Hanya dirimu.

Ryan Archer

Diana mengangkat kepala dan bertemu tatap dengan Emily yang menunggunya membaca. Diana masih mendekap kotak hadiah dengan perasaan meluap-luap setelah membaca suratnya.

"Aku tak tahu jika sebuah kartu ucapan hadiah bisa sepanjang itu," cetus Emily. Ia mengernyit ketika melihat Diana menangis. Mungkin Emily hanya menelaah air mata itu bukan air mata bahagia. Sebenarnya, Diana juga tak yakin dengan apa yang tengah ia rasakan. "Hei, ada apa? Apa Ryan mengatakan sesuatu yang brengsek?"

Diana terisak seraya mencengkeram suratnya. "Apakah itu benar? Ryan punya mantan bernama Diana?"

"Apa?" hardik Emily. "Mantan apa?!"

"Di sini tertulis dia punya masa lalu bernama Diana."

Emily merampas surat yang Diana tulis dan membaca cepat. "Apakah aku punya kakak idiot? Dia mengakui ini di hari pernikahannya?! Tidak bisa dipercaya."

"Apakah itu benar?"

"Mana kutahu!" sembur Emily. "Aku bahkan tak tahu dia berhubungan dengan wanita manapun sebelum denganmu. Aku bahkan nyaris meyakini kakakku seorang gay. Aku bahkan berusaha berpikiran terbuka untuk itu. Kata ayahku, dia tidak pernah berpacaran. Dia mungkin patah hati setelah ditolak oleh satu-satunya wanita bernama―" Emily berhenti.

Diana menuntut setengah terisak. "Bernama?"

"Reese. Diana Reese." Emily mengernyit. "Tapi jika dipikir-pikir, itu konyol. Saat itu Ryan berumur empat belas. Kau tahu, kan, itu cuma cinta monyet. Memangnya Ryan bahkan tahu di mana Diana Reese sekarang? Wanita itu mungkin saja sudah berubah nama belakangnya, yang artinya wanita itu sudah menikah. Mungkin sudah punya anak. Mungkin sudah menikah tiga kali. Atau mungkin sebenarnya dia lesbian. Siapa yang tahu? Aku yakin Ryan juga tidak tahu. Dia bahkan tidak pernah ikut reuni. Dia sudah terlalu lama di Indonesia, ingat?"

Diana masih memandang surat itu. Kata-kata terakhir Ryan sungguh menyentuh. Diana mungkin menangis juga karena itu. Diana bahkan yakin tidak memikirkan siapa pun itu Diana Reese. Diana tak mengerti mengapa ia menangis. Mungkin ini tekanan emosional sejak bertemu Yunita, mungkin juga suasana pernikahan yang mengharukan, mungkin kata-kata Ryan telah membuatnya jatuh cinta untuk sekian kali, mungkin Diana telah menemukan momen dan alasan menangis yang cocok setelah ia menahan air matanya sekian lama.

"Percaya padaku, Diana. Aku yakin Ryan masih menunggumu di bawah. Dia tetap akan menikah denganmu. Bukankah dia berkata dia mencintaimu?"

Diana mengangguk dan mengusap air matanya. "Ya, aku juga mencintainya."

"Bagus. Jadi mungkin kita bisa hentikan ini sebelum riasanmu rusak."

Diana mengangguk seraya tertawa. Ia berhati-hati ketika mengusap tisu yang disodorkan Emily.

"Mau buka kadonya?"

"Ya." Diana memberikan surat itu pada Emily. Ia sempat mendengar gerutuan Emily ketika membaca kembali surat itu. Diana membuka kotak dan menemukan sebuah kalung dengan mata berlian yang besar. Oh, astaga, apakah Ryan benar-benar memberikan ini padanya?

"Wow!" sahut Emily ketika menatap kado itu. "Dia habis-habisan untuk ini. Ayo, Diana, aku bantu untuk mengenakannya."

"Kau yakin aku harus mengenakannya?" tanya Diana panik. Dia tidak pernah menyentuh berlian. "Ini... ini terlau mahal."

"Benar, ini mahal. Kau bisa protes pada Ryan minggu depan. Sekarang, kau harus mengenakannya karena ini akan sangat cantik untukmu." Emily mengambil kalung itu dan menyuruh Diana berbalik. Ia mengenakannya ke leher Diana yang polos. Sekarang Diana punya sesuatu untuk menghiasi lehernya. "Aku terkesan Ryan memilih kalung ini. Aku tak bohong, Diana. Kalung ini cocok untuk gaunmu."

Benar, kalung ini indah dan sangat cocok untuk gaunnya. Ryan pasti telah memikirkannya ketika memilih kalung ini.

"Nah, siap?" tanya Emily.

"Aku merasa gugup." Diana mengakui.

Emily tertawa dan mengangguk. "Aku yakin Ryan lebih gugup. Jika kita terlambat, mungkin dia akan berpikir kau melarikan diri setelah surat itu."

Diana ikut tertawa.

"Ada satu lagi," sela Emily. "Yang ini pesan dari ayahku."

Diana mengernyit ketika nama William disebut. Diana tak pernah mengira akan mendapat sesuatu dari calon mertuanya. Namun kebingungan Diana bertambah ketika Emily keluar dari kamarnya dan berseru memanggil seseorang di lorong.

Emily tersenyum cerah seraya membuka pintu lebih lebar. Sosok pria di hadapan Diana sama sekali tak Diana duga. Tery Walsh berdiri di sana dengan setelan hitam yang cocok untuknya, rambutnya yang gelap rapi, dan Diana mendapati lelaki paruh baya itu telah bercukur. Setidaknya, pria itu lebih rapi dari kali pertama pertemuan mereka.

"Hai!" seru Tery. "Kau terlihat keren." Ia berdeham. "Seksi, yah, begitulah. Aku harus mengakui itu sebelum kita berhadapan dengan Ryan atau dia akan mendendam."

Diana dan Emily tertawa.

"Diana, jika kau tidak keberatan―kami tak tahu apakah ini menyinggungmu," kata Emily hati-hati. "Ryan bercerita tentang latar belakangmu. Tentang keluargamu juga. Aku menyesal mendengarnya, Diana."

"Seperti yang dikatakan Will waktu itu," lanjut Tery. "Kau akan menjadi bagian dari keluarga ini. Kau tak seharusnya merasa sendiri ketika..." Ia membuka tangannya. "Ketika keluarga kami sebesar ini. Kami saling memiliki satu sama lain. Kami telah menganggapmu bagian dari keluarga ini sejak Ryan mengenalkanmu pada kami. Jadi, pernikahan ini hanya bentuk resmi, Diana. Apapun yang terjadi padamu dan Ryan, kau tetap bagian dari keluarga aneh ini."

Diana merasakan matanya kembali panas. Ia tersenyum dan menatap dengan penuh rasa terima kasih.

"Ayahku berpikir supaya Paman Tery yang mendampingimu ke altar." Emily berkata, membuat Diana terkejut. "Menyerahkanmu pada Ryan. Paman Tery adalah keluarga tanpa ikatan darah dengan kami. Jadi, itu mungkin akan melegakanmu."

"Yah, aku tahu aku tidak pantas untuk itu," kata Tery. "Kupikir itu alasanku ketika tidak berpikir mengadopsi anak perempuan. Tapi Will benar, kau pantas mendapatkan ini. Aku akan mendampingimu ketika kau bersedia aku yang payah ini menjadi pendampingmu."

Diana tidak berpikir dua kali. Ia mendekat untuk memeluk Tery. "Terima kasih, Paman Tery."

Tery balas memeluknya. "Ya, seperti itu, Sayang. Aku sekarang pamanmu."

Diana menarik tubuhnya menjauh. Ia menatap Tery. "Aku tak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membalas ini."

"Tenang saja, Diana," sahut Tery enteng. "Aku sudah mendapatkan kesenanganku. Bagian favoritku adalah akhirnya aku bisa berkata pada Ryan, jaga dia atau aku akan menendang bokongmu."

* * * * *

Ini sudah terlambat lima belas menit. Ryan mulai khawatir. Adrian dan William jelas-jelas merasakan kegelisahan putra mereka. Para hadirin juga mulai berkasak-kusuk. Jason yang berada di samping Ryan juga tidak membantu.

"Astaga, dia mungkin melarikan diri," ujar Jason.

"Tutup mulut," bentak Ryan. Ia tidak mau berpikir Diana melarikan diri―atau mungkin Diana memang melarikan diri...

Astaga, harusnya Ryan tidak menulis surat itu. Ryan bisa menyimpan cerita itu sedikit lebih lama, atau mungkin tidak perlu menceritakannya sama sekali. Tapi Ryan merasakan kebuntuan semalam. Ia tidak bisa membuat puisi. Ia juga tidak biasanya menjadi seorang yang romantis. Ia ingin Diana tahu bahwa Ryan tidak lagi memikirkan masa lalunya ketika Diana mampu membuat kenangannya menjadi lebih indah. Jika Ryan ingin mengingat masa lalunya, Diana harus menyertainya karena Ryan tak mau mendapati mimpi buruknya. Ia ingin Diana memperindah kisahnya yang terlanjut tragis. Ryan ingin melangkah ke belakang ataupun ke depan bersama Diana. Ryan ingin Diana lah yang mengiringi hidupnya.

"Sekarang sudah hampir dua puluh lima menit," bisik Jason dengan suara menjengkelkan.

Ryan tidak habis pikir mengapa ia setuju menjadikan Jason pendampingnya sementara remaja lelaki itu sama sekali tidak membantunya. Kenyataannya, Ryan tidak punya kandidat yang cocok sebagai pendamping pria. Akhirnya, Jason lah yang menjadi pendampingya. Padahal Jason sepuluh kali lipat lebih menyebalkan dari Ian.

Musik bergema hingga perhatian dan kekhawatiran Ryan teralih. Tamu undangan dan keluarga yang hadir berbalik untuk menyambut mempelai wanita. Diana muncul dari balik pohon yang rimbun. Angin berembus lembut membelai wajah Ryan, gaun Diana dan penutup kepalanya. Gaun Emily ikut berkibar di belakang Diana. Pembawa bunga mulai mengiringi langkah Diana yang mendekat pada Ryan.

"Cantik." Itu bisikan Jason.

Ryan setuju. Diana sangat cantik dan wanita itu datang padanya. Akan menjadi miliknya.

Diana hanya tinggal beberapa langkah darinya. Tangannya berada di lengan Paman Tery. Pria yang Ryan hormati itu tersenyum khas. Ia mengulurkan tangan Diana untuk ia berikan pada Ryan.

"Jaga dia, keparat," bisik Paman Tery. "Atau aku akan melancarkan jurus Krav Maga yang tak kubagi denganmu."

Ryan hampir tertawa mendengar itu. Paman Tery pasti menikmati kalimat yang ia susun. Namun ia membalas sesuai apa yang telah dihafalnya. "Dengan sepenuh hatiku."

Kini Diana menggenggam lengan Ryan. Diana dalam genggaman Ryan. Sebentar lagi. Sebentar lagi akan menjadi miliknya. Ryan tak sabar menantikan itu.

"Siapa nama belakangnya?" bisik Diana sebelum doa-doa dimulai.

"Apa?" Ryan bingung.

"Diana... Diana Reese. Siapa nama belakangnya sekarang?"

Ryan tentu terkejut. Ia bahkan mengalihkan tatapan sepenuhnya pada Diana. Jika tidak dalam posisi berada di altar, ia pasti memekik. "Kau serius menanyakan itu?"

Diana mengendikkan bahu.

"Aku tak tahu!" desis Ryan. "Aku bahkan tak mau tahu."

"Apakah kau masih mencintainya?"

"Kau cemburu?"

"Tentu saja!" desis Diana.

Ryan tersenyum jail. Ia merasa bahagia. "Tidak, Diana. Aku tidak mencintainya. Aku tidak berdiri di altar bersamanya."

Ryan pikir Diana gusar padanya gara-gara surat itu. Namun senyum jail Diana terbit membalas senyum Ryan sebelumnya. "Itu melegakan. Aku mencintaimu. Aku ingin segera berkata, ya aku bersedia."

"Aku juga." Kemudian ia berbisik lagi. "Aku ingin segera menciummu."

Diana tersenyum. "Aku juga."[]

Akhirnya nikah :')

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top