SO - BAB 28

Ryan tertidur pulas sepanjang perjalanan pulang ke Indonesia. Diana bisa melihat kelelahan di wajah pria itu. Perjalanan pulang-pergi antar negara dalam waktu singkat ini pasti menguras pikiran sekaligus tubuh Ryan. Dan mungkin... uang yang harus Ryan keluarkan untuk membiyai perjalanan Diana.

Diana ingin bertanya pada Ryan berapa yang ia keluarkan untuk ini, tapi Diana ragu jika Ryan tidak akan marah atau tersinggung karena membahas soal uang. Lagipula, Diana juga tak yakin akan bisa melunasi perjalanan pulang pergi ini. Penghasilannya sebagai penyetor untuk toko-toko kue memang lebih besar daripada jika ia berdiam di toko saja, tapi semua itu hanya cukup untuk kebutuhan Diana dan sedikit uang yang harus Diana sisihkan untuk menabung.

Diana tentu tidak akan bisa mengandalkan orang lain. Ia hanya hidup sendiri dan ia tak mau berharap dari Ryan. Meski Ryan selalu menawarkan bantuannya, bahkan pernah sesekali berniat memberikan modal untuk Diana sebagai investasi, tapi Diana tak mau lebih merepotkan dari ini. Tinggal di apartemen elit seperti itu saja Diana sudah sangat bersyukur. Ia berpikir jika ia sudah tiba di Bogor tapi keluarga dari ibunya yang sudah lama putus hubungan itu tidak mau menerimanya, sudah pasti Diana hanya bisa tinggal di sepetak kos-kosan dan tidak mungkin memanggang roti-rotinya lagi.

Memikirkan itu membuat Diana memikirkan pernikahan yang akan ia jalani tak lama lagi. Diana tidak punya siapapun dan bagaimana Diana akan menjalani hari bahagianya seorang diri? Diana berharap setidaknya seseorang bisa menjadi pendampingnya untuk menyerahkannya pada Ryan, Diana berharap setidak-tidaknya ia punya seseorang yang ia undang, tapi Diana tak punya siapapun. Diana menyelesaikan SMA-nya tanpa pernah mempunyai teman. Ia tidak pernah benar-benar punya teman. Ia ragu jika ia mengundang seorang teman yang tidak terlalu dekat, orang itu justru bertanya-tanya siapa Diana. Sebelumnya Diana tak pernah megira ini masalah berarti, bagaimana ia menutup diri dari sekitarnya, bagaimana Diana tak pernah berusaha untuk menyesuaikan diri dengan sekitar. Bagi Diana, memiliki orang tua yang sangat menyayanginya sudah lebih dari apapun. Tetapi kesepian ini mulai terasa sejak ayahnya meninggal dan bahkan di hari berkabungnya, Diana tak punya seorang pun yang memeluk untuk menenangkannya.

Diana tak pernah menyangka Ryan datang hari itu ke tokonya. Awalnya ia hanya menganggap Ryan sebagai pelanggan yang harus ia layani sepenuh hati, namun pria itu justru terus datang dan bagi Diana yang selalu sendirian, hal itu membuatnya senang. Meski Ryan saat itu tidak banyak bicara, Diana senang bisa menghabiskan waktu bersama seseorang.

Diana menatap Ryan di sampingnya. Menyandarkan kepalanya di bahu Ryan hingga pria itu sedikit bergeser dalam tidurnya. Diana mengecup pipi Ryan untuk banyak kata terima kasih yang tak bisa ia ucapkan. Diana bersumpah sampai kapanpun tak akan berhenti menyerah untuk mendampingi Ryan.

Diana baru akan memejamkan mata untuk menikmati posisinya saat ini ketika ia merasakan sentakan keras hingga membuat beberapa penumpang memekik. Diana menarik diri dari pelukan Ryan. Orang-orang mulai panik dan berdiri. Pramugari bergerak cepat untuk menenangkan mereka.

Suara interkom berkumandang. Pengisi suaranya bersuara berat namun tetap tenang―mungkin itu taktik. Semua orang tergugu mendengar orang itu berbicara. "Kita akan mengalami guncangan. Tolong tetap di kursi dan kencangkan sabuk pengaman Anda. Jangan lupa menaikkan nampan. Guncangannya akan cukup keras. Para pramugari, silakan duduk."

Diana terdiam di posisinya. Ryan berada di dekat jendela dan sepertinya guncangan barusan tidak mengganggu tidurnya. Diana bimbang apakah harus membangunkannya atau tidak.

"Anda baik-baik saja, Nona?" tanya seorang pramugari yang lewat. "Teman Anda baik?"

"Yah, dia tertidur," kata Diana.

"Bisakah Anda memastikan sabuk pengamannya terpasang? Mohon maaf perjalanannya agak terguncang. Tolong segera gunakan sabuk Anda juga. Anda butuh bantuan?"

Diana menggeleng. Ia meraih sabuk pengaman Ryan dan tidak punya masalah berarti ketika mengenakannya pada Ryan. Kemudian ia melanjutkan untuk memasang sabuknya sendiri.

"Pegangan yang kuat," ujar pramugari itu sebelum melesat ke belakang dengan cepat.

Diana mengamati orang-orang yang mulai menggumamkan doa dan berpegangan erat. Beberapa orang berwajah pucat tersentak dan berteriak ketika pesawat kembali berguncang. Diana mengambil napas dalam-dalam dan berpegangan pada tangan Ryan. Bersumpah supaya tidak berteriak.

Astaga. Apa-apaan ini?

Diana bisa merasakan pesawat itu meluncur, oleng beberapa kali, kemudian dilanjutkan guncangan dengan intensitas berbeda. Diana mengambil udara dan mengembuskannya berkali-kali. Ia berdoa semoga semua ini segera berakhir.

Anak-anak mulai menangis kencang menjerit-jerit. Diana makin erat menggenggam tangan Ryan. Pesawat oleng ke arah kiri dan membuat tas-tas berjatuhan. Barang-barang meluncur di lantai melewati kaki Diana dan ia bisa melihat semua orang bertahan di kursi masing-masing seraya menjerit.

Kali ini Ryan terusik. Ia mengenyit dan mengerjapkan matanya. Ia membelalak ketika melihat keadaan, namun ia tak bisa beranjak akibat tersentak karena sabuk pengamannya terpasang kencang. "Ada apa?!" seru Ryan panik.

Diana hanya menggeleng ia tak yakin bisa bicara untuk saat-saat seperti ini.

Pesawat berguncang sangat keras kali ini. Ryan mengumpat di sebelahnya. Ia menggenggam tangan Diana kuat-kuat. Napas Ryan terengah-engah seperti banyak orang lainnya. Ryan memejamkan mata. Sambil mempertahankan diri di kursinya. Kantong-kantong napas keluar dari atas dan orang-orang menganggap itu sebagai pertanda buruk.

"Pegangan yang erat!" Suara interkom kembali terdengar. Kali ini taktik mereka gagal dan suara itu jelas-jelas terdengar panik. Pramugari yang sejak tadi menahan diri untuk tidak berteriak seperti kebanyakan penumpang kini mulai panik ketika pilot mereka lebih panik.

Diana baru saja memikirkan keluarga yang mungkin ia tinggalkan ketika ia tidak selamat setelah pesawat ini jatuh dari ketinggian. Siapa yang akan menangisinya? Siapa yang akan memakamkannya? Atau siapa yang akan mengenangnya? Namun Diana tersentak akan kenyataan bahwa tak satupun orang yang akan ditinggalkannya selain orang di sampingnya. Jika Diana harus mati sekarang, Diana merasa lebih baik karena ia menggenggam erat tangan Ryan.

"Sial. Sialan. Kita akan selamat. Kita akan selamat," tukas Ryan mengucap mantra sementara lampu pesawat mulai berkedip-kedip merah.

"Ryan," Diana merasakan suaranya getir. Jantungnya berdetak cepat seiring guncangan dan pekikan semua orang di sini. Cara mati semacam ini bukan seperti apa yang ia bayangkan. "Aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu."

"Sial, Diana, kau tahu aku juga mencintaimu," hardik Ryan.

Pesawat melaju ke depan dengan cepat. Meluncur membelah udara dan menghantam keras-keras. Kepala Diana tertimpa tas ranselnya sendiri dan seketika Diana merasakan pening yang luar biasa.

"Brengsek! Brengsek!" tukas Ryan. "Diana!" seru Ryan hingga suara setara dengan orang-orang yang berteriak.

Kemudian guncangan itu berhenti sepenuhnya. Baik dada Diana maupun Ryan kembang-kempis merasakan sirkulasi udara mereka sangat kacau. Detak jantungnya menggila dan masih belum normal. Orang-orang berpandangan mengamati sekitar. Lampu darurat masih berkedip namun seluruh kekacauan yang baru saja terjadi telah lenyap dalam hitungan detik.

"Selamat datang di Bandara Internasional Indonesia. Maaf jika pendaratannya kurang berjalan baik. Terima kasih sudah terbang bersama kami."

Orang-orang berbondong-bondong keluar seolah muak setelah dikoyak seperti tadi. Pramugari lebih sigap dengan mengucapkan terima kasih karena telah bergabung dalam penerbangan-hampir-menuju-maut. Meski penampilan para pramugari itu berantakan setelah banyak guncangan akibat pendaratan yang kurang mulus, mereka masih menyunggingkan senyum profesional.

Beberapa penumpang juga sama syoknya seperti Diana. Mereka tergugu di kursi masing-masing sementara wajah mereka pucat pasi. Beberapa di antaranya berpelukan seraya menangis dan mengucapkan syukur pada Tuhan.

Diana masih terdiam di posisinya. Ryan memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya. Bibirnya berkomat-kamit tapi Diana tak yakin apa yang Ryan katakan. Genggaman tangan Ryan masih sekuat saat guncangan, namun anehnya, Diana merasa aman. Diana merasa lega masih bisa merasakan sakit di tangannya bukan seluruh batin dan tubuhnya akibat dikoyak sekaligus ketakutan.

Diana berhati-hati ketika memanggil Ryan. "Sayang?"

Ryan terengah-engah. Kini Diana bisa melihat cairan bening yang meluncur dari ujung mata Ryan.

"Sudah berakhir," kata Diana. "Kau benar. Kita selamat."

Ryan membuka matanya dan seketika menyambar tengkuk Diana. Memberikan sebuah ciuman kuat, dalam, dan penuh hasrat. Diana balas mencium kekasihnya itu. Diana bisa merasakan air mata Ryan, air matanya, cinta Ryan, cintanya, ketakutan Ryan, ketakutannya. Seluruhnya milik mereka.

"Aku mencintaimu," kata Ryan tegas di depan bibirnya. "Astaga, Diana, kupikir kita tak cukup beruntung."

"Kita beruntung," balas Diana. Ia mengecupi berkali-kali bibir Ryan. Kemudian menghapus air mata Ryan.

Ryan pun ikut menghapus air mata Diana dengan ibu jari. "A-aku... tidak bisa membayangkan jika kau pergi. Atau aku pergi. Atau kita berdua mengalami ini. Astaga, aku nyaris menikahimu saat insiden tadi. Aku tidak mau batu nisanmu tidak tercantum namaku."

Diana tertawa. Sebenarnya ia lebih banyak mensyukuri posisinya tadi jika memang hidupnya harus berakhir. Ia tidak berpikir betapa egois dirinya jika dirinya yang pergi. Betapa tidak adilnya ini bagi Ryan. Pria itu pasti kehilangan. Diana tak berpikir bagaimana jika Ryan yang pergi, tapi Diana yakin yang terjadi saat itu juga adalah hidupnya yang berakhir.

Ryan mencium bibir Diana sekali lagi. Kemudian menyematkan ciuman lama di dahi Diana. "Kau baik-baik saja? Apa ada yang sakit?"

Diana menggeleng cepat. Dalam hati ia mematri janji yang baru saja dicetuskannya. Ia tak akan bertindak egois. Ia akan berjuang bagaimanapun demi Ryan. Diana tak mau cara mudah dengan mati karena tidak ada yang menginginkannya. Diana akan bertahan semampunya demi cintanya.

Ryan mengangguk. Ia melepaskan sabuknya kemudian membantu Diana melepaskan sabuk karena tangan Diana yang masih gemetar. "Ayo cari tas kita. Aku ingin segera keluar dari tabung pembunuh ini."[]

Gw sering yang paranoid bayangin ginian kalo naik pesawat wkwk

Semoga suka, ya. Jangan terguncang.

Terus support Surrender Series dengan cara memberikan vote dan komentar :D

Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top